Jumat, 22 Juni 2012

Taharah fil Islam


TAHARAH adalah istilah yang berasal dari kata Arab. Berakar pada kata Tahara-yathuru-tahur (tuhr, tahur, taharah) yang berarti suci, bersih: lawan dari kata najis. Kata ini berbentuk ism masdar (kata dasar), sehingga dalam konteks bahasa dapat diartikan dengan kesucian dan kebersihan.
Secara istilahi, kata taharah --biasa dikenal dikalangan para fuqaha (ahli fikih)-- diartikan dengan membersihkan diri dari hadas dan najis. Melihat pada pengertian tersebut maka taharah terbagi menjadi dua macam. Yaitu: 1) bersuci dari hadas, seperti mandi, wudu, dan tayammum --sebagai pengganti wudu dan mandi-- dan 2) bersuci dari najis, baik untuk badan dan pakaian, maupun tempat dan lain-lain.
Alat Bersuci. Dalam bersuci, alat utama yang digunakan adalah air. Kemudian tanah, batu dan sebagainya bila tidak ada air. Khusus untuk air, dia dinyatakan tetap dalam keadaan suci selama belum berubah dari bau, warna, dan rasanya. Di antara macam-macam air yang dapat digunakan untuk bersuci adalah:
1.      Air yang suci dan menyucikan. Yang termasuk dalam kategori ini adalah segala air yang turun dari langit dan berasal dari bumi. Seperti air hujan, air laut, air sumur, air sungai, air es yang telah mencair, air embun, dan air yang keluar dari mata air.
2.      Air yang suci, tetapi tidak menyucikan. Artinya bahwa zat air tersebut adalah suci, namun tidak dapat untuk menyucikan sesuatu. Di antara air yang termasuk dalam kategori ini adalah:
a.       Air yang telah berubah salah satu sifatnya karena bercampur dengan benda suci yang lain, seperti air kopi, air teh, dan sebagainya.
b.      Air sedikit, yakni yang kurang dari dua kulah (yang ukurannya jika tempatnya empat persegi panjang maka panjang, lebar dan kedalamannya masing-masing sekitar satu setengah meter, dan jika tempatnya bundar maka garis tengahnya 1 hasta, kedalamannya 2 ¼ hasta, dan kelilingnya 3 1/7 hasta). Air sedikit ini telah digunakan untuk bersuci terlebih dahulu (baik dari hadas maupun najis, disebut juga dengan air musta’mal), namun tidak mengalami perubahan dari sifat-sifat air, dan
c.       Air yang berasal dari pohon dan buah-buahan, seperti air nira, air kelapa, dan sebagainya.
3.      Air bernajis. Yaitu air yang tidak dapat digunakan untuk bersuci, karena terkena atau tercampur dengan najis. Di antara air yang termasuk dalam kategori ini adalah:
a.       Air yang sudah berubah salah satu sifatnya disebabkan terkena najis.
b.      Air yang kurang dari dua kulah dan telah bernajis walau tidak berubah dari salah satu sifatnya.
4.      Air makruh. Yaitu air yang terjemur di bawah terik matahari dan berada dalam suatu bejana (bukan terjemur di atas tanah), disebut juga dengan air musyammas. Jenis air musyammas ini termasuk juga air yang panas dengan menggunakan alat yang beraliran listrik dan alat pemanas yang lain (seperti air yang direbus atau sekedar dipanaskan saja) zat air ini adalah suci dan dapat menyucikan: namun makruh hukumnya jika digunakan untuk menyucikan badan, tetapi tidak dimakruhkan jika menyucikan pakaian.
Bersuci dari najis. Najis terbagi menjadi tiga macam, yaitu: 1) najis mugalladzah (najis berat), 2) najis mukhaffafah (najis ringan), dan 3) najis mutawassitah (najis pertengahan). Untuk menghilangkan ketiga macam najis ini dibutuhkan lima macam cara, yaitu:
1.      Membasuh benda yang terkena najis dengan air sebanyak tujuh kali dan satu kali di antaranya membasuh dengan air yang dicampur dengan tanah. Cara yang pertama ini digunakan untuk menghilangkan janis najis yang berat. (najis mugalladzah), seperti: najis yang disebabkan air liur anjing dan terutama babi.
2.      Mengguyurkan air ke tempat yang terkena najis. Cara kedua ini biasa digunakan: 1) untuk menyucikan tempat yang diyakini terkena najis, namun tidak tampak zat, bau, rasa, dan warnanya (najis mutawassit hukmiy). 2) untuk menyucikan dari air kencing anak perempuan yang belum memakan apa pun selain Air Susu Ibu (najis mukhaffafah) sampai dapat menghilangkan zat najis dan sifat-sifatnya.
3.      Cukup dengan memercikkan air ke tempat yang terkena najis. Cara ketiga adalah untuk menyucikan sesuatu dari air kencing anak laki-laki yang belum memakan apa pun selain Air Susu Ibu (najis Mukhaffafah).
4.      Menghilangkan zat, rasa, warna, dan bau najis. Cara yang keempat ini digunakan untuk menyucikan dari najis yang masih nampak zat, rasa, warna, dan baunya pada suatu tempat (najis mutawassit ‘aini).
5.      Istinja, yakni membersihkan atau menyucikan diri dari caoiran dan kotoran yang keluar dari lobang (alat kelamin dan dubur). Alat yang dapat digunakan dalam beristinja’ adalah air; jika tidak ada air maka dapat dilakukan dengan benda-benda suci lainnya, dalam hal ini benda-benda keras atau kesat. Seperti batu, tembikar, tissu dan sebagainya. Dalam beristinja’ diperlukan beberapa adab (kesopanan), yaitu:
a.       Tidak berada di tempat yang dapat mengganggu orang lain, seperti jalan raya, di bawah pohon yang berbuah: di tempat yang anginnya bertiup ke arah orang lain, di tempat air yang menggenang dan sebagainya.
b.      Tidak berkata-kata kecuali dalam keadaan terpaksa.
c.       Tidak di tempat yang terbuka.
d.      Jika masuk ke ruangan pembuangan hendaknya mendahulukan kaki yang kiri sambil membaca: Allahumma inni a’uzu bika min al-khubusi wa al-khabais (Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari godaan syetan laki dan syetan perempuan), sedang jika keluar hendaknya mendahulukan kaki yang kanan sambil berdoa: gurranaka alhamdulillah allazi azhaba ‘anni al-aza wa ‘afani (atas ampunan dari-Mu aku mengucapkan segala puji bagi Allah yang telah menghilangkan siksaan bagiku dan telah memafkanku).
e.       Sekiranya benar-benar terpaksa membuang air di tempat terbuka maka hendaknya tidak menghadap atau membelakangi kiblat (arah ka’bah), dan
f.       Dalam membasuh hendaknya menggunakan tangan kiri.
Bersuci dari hadas. Hadas terbagi menjadi dua, yaitu: 1) hadas besar dan 2) hadas keci. Hal-hal yang dilarang saat berhadas besar junub (baik lkarena mengeluarkan air mani maupun katena berhubungan kelamin bagi suami-isteri) yaitu: 1) salat (wajib dan sunat), 2) tawaf (wajib dan sunat), 3) membawa al-Qur’an, 4) membaca al-Qur’an, dan 5) diam di dalam masjid. Hal-hal yang dilarang saat berhadas besar haid dan nifas yaitu: 1) salat (wajib dan sunat), 2) puasa (wajib dan sunat), 3) tawaf (wajib dan sunat), 4) membaca al-Qur’an, 5) menyentuh dan membawa al-Qur’an, 6) diam di masjid, 7) berhubungan kelamin bagi suami-isteri, dan 8) bagi suami diharamkan mentalak isteri yang dalam keadaan haid dan nifas. Hal-hal yang dilarang saat berhadas kecil yaitu: 1) salat (wajib dan sunat), 2) tawaf (wajib dan sunat) dan 3) membawa dan membaca al-Qur’an, menurut sebagian ulama.
Bagi mereka yang berhadas kecil wajib melakukan wudu, sedang mereka yang sedang berhadas besar (baik karena junub, haid, maupun nifas) maka wajib melakukan mandi wajib. Jika wudu dan mandi tidak bisa dilakukan lantaran ada halangan yang dibenarkan oleh syari’at, maka wajib melakukan tayammum.
1.      Wudu
Wudu wajib dilakukan saat sedang dalam keadaan hadas kecil. Perintah wajib wudu untuk pertama kali adalah bersamaan dengan perintah wajibnya sala, yaitu sekedar satu setengah tahun sebelum Hijriah, atau tepatnya ketika Nabi SAW melakukan Isra’ dan Mi’raj. Allah SWT berfirman: Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan salat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan usaplah kepalamu, dan (basuhlah) kakimu sampai dengan kedua mata kaki (QS. al-Maidah/5:6). Wudu dianggap syah apabila: 1) Islam, 2) mumayyiz (telah akil dan balig), 3) menggunakan air suci, dan 4) tidak ada penghalang antara air dan kulit tubuh.
Rukun wudu, meliputi: 1) niat, 2) membasuh muka, 3) membasuh kedua tangan sampai siku, 4) mengusap sebagian rambut kepala, 5) membasuh kedua kaki sampai mata kaki, dan 6) melakukannya dengan tertib dan berturut-turut.
Sunat wudu. Sebelum membasuh muka disunatkan untuk melakukan: 1) membaca bismillah al-rahman al-rahim, 2) membasuh kedua telapak tangan sampai pergelangan, 3) berkumur-kumur, 4) memasukkan air ke dalam hidung, 5) setelah membasuh muka disunatkan menyela-nyela jenggot, 6) setelah membasuh kedua tangan disunatkan mengusap seluruh rambut kepala, 7) setelah mengusap rambut kepala disunatkan mengusap kedua telinga, 8) saat membasuh telapak dan kedua tangan serta telapak dan kedua kaki disunatkan menyela-nyela jari tangan dan jari kaki, 9) selama wudu disunatkan mendahulukan organ tubuh yang kanan dari yang kiri, 10) membasuh setiap anggota badan sebanyak tiga kali.
Yang membatalkan wudu, yaitu: 1) keluar sesuatu (termasuk angin) dari kedua lobang kotoran (alat kelamin dan dubur), 2) hilang akal (gila), 3) bersentuhnya kulit lelaki dan perempuan dewasa yang bukan muhrim (baik yang disentuh maupun yang menyentuh), bersentuhnya kulit dengan alat kelamin (hanya untuk yang menyentuh saja), 5) tertidur yang bukan keadaan duduk.
2.      Mandi
Yang dimaksud dengan mandi adalah mengalirkan air ke seluruh bagian anggota badan. Mereka yang wajib melakukan mandi adalah: 1) berhubungan badan bagi suami-isteri (baik keluar air mani maupun tidak), 2) keluar air mani (baik karena mimpi, disengaja maupun tidak), 3) mati, 4) haid, 5) nifas, dan 6) melahirkan.
Rukun mandi yaitu: 1) niat, yakni berniat untuk menghilangkan hadas besar, dan 2) mengalirkan air ke seluruh anggota tubuh. Sunat-sunat mandi meliputi: 1) membaca bismillah al-rahman al-rahim (lafal basmalah) 2) berwudu sebelum mandi, 3) menggosok seluruh anggota badan, 4) mendahulukan bagian yang kanan dari yang kiri, 5) melakukannya secara tertib dan berturut-turut.
Mandi sunat. Diantara mandi yang sunat untuk dilakukan adalah: 1) saat akan melakukan salat jum’at, 2) saat akan melaksanakan Ied (Fitri dan Kurban), salat Gerhana, dan salat Istisqa’, 3) setelah memandikan mayat, 4) saat baru memeluk agama Islam, 5) setelah sembuh dari gila, 6) saat akan melakukan Ihram dan Umrah, 7) saat memasuki kota Makkah, 8) saat wukuf di Arafah, dan 9) saat akan melakukan tawaf mengelilingi ka’bah.
3.      Tayammum
Yang dimaksud dengan tayammum menurut kebanyakan ahli fiqih adalah mengusapkan debu ke bagian muka dan kedua tangan sampai siku-siku. Syarat boleh tayammum adalah: 1) sakit yang tidak boleh terkena air, dan 2) tidak mendapatkan air yang cukup, baik untuk wudu maupun mandi, baik dalam perjalanan maupun dalam keadaan mukim. Syarat syah tayammum adalah: 1) ada uzur yang membolehkan tayammum, 2) telah masuk waktu salat, 3) setelah berusaha mencari air, namun tidak mendapatkannya, sedang waktu salat telah masuk, 4) menggunakan tanah yang suci dan berdebu, dan 5) membersihkan diri dari najis.
Rukun tayammum, meliputi: 1) niat saat hendak melakukan salat, 2) mengusap muka, 3) mengusap kedua tangan sampai siku-siku, dan 4) melakukannya dengan tertib dan berturut-turut. Sunat tayammum di antaranya: 1) membaca basmalah sebelum memulai tayammum, 2) mendahulukan anggota tubuh yang kanan dari yang kiri saat melakukan tayammum, 3) menipiskan debu di telapak tangan. Yang membatalkan tayammum yaitu: 1) semua yang membatalkan wudu, 2) melihat air sebelum melakukan salat bagi mereka yang tayammum karena ketiadaan air yang cukup, 3) murtad, dan 4) kafir.
4.      Mengusap Sepatu (khuffain)
Mengusap sepatu dapat dilakukan sebagai ganti membasuh kedua kaki saat wudu, karena tidak melepas sepatu. Syarat dibolehkan mengusap sepatu jika: 1) sepatu dalam keadaan suci, 2) sepatu menutup bagian wudu (sampai mata kaki), 3) sepatu cukup kuat untuk perjalanan jauh dan terbuat dari bahan yang suci, dan 4) waktu pemakaiannya berlaku selama satu hari satu malam bagi yang mukim dan tiga hari tiga malam bagi mereka yang dalam perjalanan. Yang membatalkan mengusap sepatu adalah: 1) terbuka atau tanggalnya sepatu, baik salah satunya maupun keduanya, baik dengan sengaja maupun tidak disengaja, 2) habis masa berlaku dan boleh memakai sepatu, dan 3) dalam keadaan hadas besar yang mewajiban mandi.  

DAFTAR PUSTAKA

Ibnu Qudamah, Abu Muhammad Abdullah bin Ahmad bin Muhammad, al-Mugni ‘ala Mukhtasari al-kharqi, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1994, cet. Ke-1, juz 1
Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtasid, Kairo: Maktabah Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Tanpa Tahun, jilid 1
Al-Juzairi, Abdurrahman, Fiqh Empat Mazhab, terj. Chotibul Umam dan Abu Hurairah, t.t.: Dar al-Ulum Press, 1990, Cet. Ke-2, jilid 1
Al-Ma’luf, Abu Luwis, al-Munjid fi al-Lugah, Beirut: ‘Alim al-Kutub, 1985, juz 1, Cet. Ke-4
Al-Sabiq, Sayyid, Fiqh Sunnah, Beirut: Dar al-Fikr, 1983, Cet. ke-4, jilid 1

 Ditulis oleh:
  
                                                                                                                                                                        Pangidoan Nasution
                                                                                                         

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

dunia ini memang indah,, tergantung bagaimana kita menjaga keindahan itu,,. untuk itu mari kita bersatu, satu pikiran satu tujuan untuk Indonesia merdeka,.. berpisah kita berjuang bersatu kita memukul..