TAHARAH
adalah istilah yang berasal dari kata Arab. Berakar pada kata Tahara-yathuru-tahur (tuhr, tahur, taharah)
yang berarti suci, bersih: lawan dari kata najis. Kata ini berbentuk ism masdar (kata dasar), sehingga dalam
konteks bahasa dapat diartikan dengan kesucian dan kebersihan.
Secara
istilahi, kata taharah --biasa
dikenal dikalangan para fuqaha (ahli
fikih)-- diartikan dengan membersihkan diri dari hadas dan najis. Melihat pada
pengertian tersebut maka taharah terbagi menjadi dua macam. Yaitu: 1) bersuci
dari hadas, seperti mandi, wudu, dan tayammum --sebagai pengganti wudu dan
mandi-- dan 2) bersuci dari najis, baik untuk badan dan pakaian, maupun tempat
dan lain-lain.
Alat Bersuci.
Dalam bersuci, alat utama yang digunakan adalah air. Kemudian tanah, batu dan
sebagainya bila tidak ada air. Khusus untuk air, dia dinyatakan tetap dalam
keadaan suci selama belum berubah dari bau, warna, dan rasanya. Di antara
macam-macam air yang dapat digunakan untuk bersuci adalah:
1. Air yang suci dan
menyucikan. Yang termasuk dalam kategori ini
adalah segala air yang turun dari langit dan berasal dari bumi. Seperti air
hujan, air laut, air sumur, air sungai, air es yang telah mencair, air embun,
dan air yang keluar dari mata air.
2. Air yang suci, tetapi
tidak menyucikan. Artinya bahwa zat air tersebut
adalah suci, namun tidak dapat untuk menyucikan sesuatu. Di antara air yang
termasuk dalam kategori ini adalah:
a. Air
yang telah berubah salah satu sifatnya karena bercampur dengan benda suci yang
lain, seperti air kopi, air teh, dan sebagainya.
b. Air
sedikit, yakni yang kurang dari dua kulah
(yang ukurannya jika tempatnya empat persegi panjang maka panjang, lebar dan
kedalamannya masing-masing sekitar satu setengah meter, dan jika tempatnya
bundar maka garis tengahnya 1 hasta, kedalamannya 2 ¼ hasta, dan kelilingnya 3
1/7 hasta). Air sedikit ini telah digunakan untuk bersuci terlebih dahulu (baik
dari hadas maupun najis, disebut juga dengan air musta’mal), namun tidak mengalami perubahan dari sifat-sifat
air, dan
c. Air
yang berasal dari pohon dan buah-buahan, seperti air nira, air kelapa, dan
sebagainya.
3. Air bernajis.
Yaitu air yang tidak dapat digunakan untuk bersuci, karena terkena atau
tercampur dengan najis. Di antara air yang termasuk dalam kategori ini adalah:
a. Air
yang sudah berubah salah satu sifatnya disebabkan terkena najis.
b. Air
yang kurang dari dua kulah dan telah
bernajis walau tidak berubah dari salah satu sifatnya.
4. Air makruh.
Yaitu air yang terjemur di bawah terik matahari dan berada dalam suatu bejana
(bukan terjemur di atas tanah), disebut juga dengan air musyammas. Jenis air musyammas
ini termasuk juga air yang panas dengan menggunakan alat yang beraliran listrik
dan alat pemanas yang lain (seperti air yang direbus atau sekedar dipanaskan
saja) zat air ini adalah suci dan dapat menyucikan: namun makruh hukumnya jika
digunakan untuk menyucikan badan, tetapi tidak dimakruhkan jika menyucikan
pakaian.
Bersuci dari
najis. Najis terbagi menjadi tiga macam,
yaitu: 1) najis mugalladzah (najis berat), 2) najis mukhaffafah (najis ringan), dan 3) najis mutawassitah (najis pertengahan). Untuk menghilangkan ketiga macam
najis ini dibutuhkan lima macam cara, yaitu:
1. Membasuh
benda yang terkena najis dengan air sebanyak tujuh kali dan satu kali di
antaranya membasuh dengan air yang dicampur dengan tanah. Cara yang pertama ini
digunakan untuk menghilangkan janis najis yang berat. (najis mugalladzah), seperti: najis yang
disebabkan air liur anjing dan terutama babi.
2. Mengguyurkan
air ke tempat yang terkena najis. Cara kedua ini biasa digunakan: 1) untuk
menyucikan tempat yang diyakini terkena najis, namun tidak tampak zat, bau,
rasa, dan warnanya (najis mutawassit
hukmiy). 2) untuk menyucikan dari air kencing anak perempuan yang belum
memakan apa pun selain Air Susu Ibu (najis mukhaffafah)
sampai dapat menghilangkan zat najis dan sifat-sifatnya.
3. Cukup
dengan memercikkan air ke tempat yang terkena najis. Cara ketiga adalah untuk
menyucikan sesuatu dari air kencing anak laki-laki yang belum memakan apa pun
selain Air Susu Ibu (najis Mukhaffafah).
4. Menghilangkan
zat, rasa, warna, dan bau najis. Cara yang keempat ini digunakan untuk
menyucikan dari najis yang masih nampak zat, rasa, warna, dan baunya pada suatu
tempat (najis mutawassit ‘aini).
5. Istinja,
yakni membersihkan atau menyucikan diri dari caoiran dan kotoran yang keluar
dari lobang (alat kelamin dan dubur). Alat yang dapat digunakan dalam
beristinja’ adalah air; jika tidak ada air maka dapat dilakukan dengan
benda-benda suci lainnya, dalam hal ini benda-benda keras atau kesat. Seperti
batu, tembikar, tissu dan sebagainya. Dalam beristinja’ diperlukan beberapa
adab (kesopanan), yaitu:
a. Tidak
berada di tempat yang dapat mengganggu orang lain, seperti jalan raya, di bawah
pohon yang berbuah: di tempat yang anginnya bertiup ke arah orang lain, di
tempat air yang menggenang dan sebagainya.
b. Tidak
berkata-kata kecuali dalam keadaan terpaksa.
c. Tidak
di tempat yang terbuka.
d. Jika
masuk ke ruangan pembuangan hendaknya mendahulukan kaki yang kiri sambil
membaca: Allahumma inni a’uzu bika min
al-khubusi wa al-khabais (Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari godaan
syetan laki dan syetan perempuan), sedang jika keluar hendaknya mendahulukan
kaki yang kanan sambil berdoa: gurranaka
alhamdulillah allazi azhaba ‘anni al-aza wa ‘afani (atas ampunan dari-Mu
aku mengucapkan segala puji bagi Allah yang telah menghilangkan siksaan bagiku
dan telah memafkanku).
e. Sekiranya
benar-benar terpaksa membuang air di tempat terbuka maka hendaknya tidak
menghadap atau membelakangi kiblat (arah ka’bah), dan
f. Dalam
membasuh hendaknya menggunakan tangan kiri.
Bersuci dari
hadas. Hadas terbagi menjadi dua, yaitu: 1)
hadas besar dan 2) hadas keci. Hal-hal yang
dilarang saat berhadas besar junub (baik lkarena mengeluarkan air mani
maupun katena berhubungan kelamin bagi suami-isteri) yaitu: 1) salat (wajib dan
sunat), 2) tawaf (wajib dan sunat), 3) membawa al-Qur’an, 4) membaca al-Qur’an,
dan 5) diam di dalam masjid. Hal-hal yang
dilarang saat berhadas besar haid dan nifas yaitu: 1) salat (wajib dan
sunat), 2) puasa (wajib dan sunat), 3) tawaf (wajib dan sunat), 4) membaca
al-Qur’an, 5) menyentuh dan membawa al-Qur’an, 6) diam di masjid, 7)
berhubungan kelamin bagi suami-isteri, dan 8) bagi suami diharamkan mentalak
isteri yang dalam keadaan haid dan nifas. Hal-hal
yang dilarang saat berhadas kecil yaitu: 1) salat (wajib dan sunat), 2)
tawaf (wajib dan sunat) dan 3) membawa dan membaca al-Qur’an, menurut sebagian
ulama.
Bagi
mereka yang berhadas kecil wajib melakukan wudu, sedang mereka yang sedang
berhadas besar (baik karena junub, haid, maupun nifas) maka wajib melakukan
mandi wajib. Jika wudu dan mandi tidak bisa dilakukan lantaran ada halangan
yang dibenarkan oleh syari’at, maka wajib melakukan tayammum.
1.
Wudu
Wudu
wajib dilakukan saat sedang dalam keadaan hadas kecil. Perintah wajib wudu
untuk pertama kali adalah bersamaan dengan perintah wajibnya sala, yaitu
sekedar satu setengah tahun sebelum Hijriah, atau tepatnya ketika Nabi SAW
melakukan Isra’ dan Mi’raj. Allah SWT berfirman: Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan salat,
maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan usaplah kepalamu, dan
(basuhlah) kakimu sampai dengan kedua mata kaki (QS. al-Maidah/5:6). Wudu
dianggap syah apabila: 1) Islam, 2) mumayyiz
(telah akil dan balig), 3) menggunakan air suci, dan 4) tidak ada penghalang
antara air dan kulit tubuh.
Rukun wudu,
meliputi: 1) niat, 2) membasuh muka, 3) membasuh kedua tangan sampai siku, 4)
mengusap sebagian rambut kepala, 5) membasuh kedua kaki sampai mata kaki, dan
6) melakukannya dengan tertib dan berturut-turut.
Sunat wudu.
Sebelum membasuh muka disunatkan untuk melakukan: 1) membaca bismillah al-rahman al-rahim, 2)
membasuh kedua telapak tangan sampai pergelangan, 3) berkumur-kumur, 4)
memasukkan air ke dalam hidung, 5) setelah membasuh muka disunatkan
menyela-nyela jenggot, 6) setelah membasuh kedua tangan disunatkan mengusap
seluruh rambut kepala, 7) setelah mengusap rambut kepala disunatkan mengusap
kedua telinga, 8) saat membasuh telapak dan kedua tangan serta telapak dan
kedua kaki disunatkan menyela-nyela jari tangan dan jari kaki, 9) selama wudu
disunatkan mendahulukan organ tubuh yang kanan dari yang kiri, 10) membasuh
setiap anggota badan sebanyak tiga kali.
Yang membatalkan
wudu, yaitu: 1) keluar sesuatu (termasuk
angin) dari kedua lobang kotoran (alat kelamin dan dubur), 2) hilang akal
(gila), 3) bersentuhnya kulit lelaki dan perempuan dewasa yang bukan muhrim
(baik yang disentuh maupun yang menyentuh), bersentuhnya kulit dengan alat
kelamin (hanya untuk yang menyentuh saja), 5) tertidur yang bukan keadaan
duduk.
2.
Mandi
Yang
dimaksud dengan mandi adalah mengalirkan air ke seluruh bagian anggota badan. Mereka
yang wajib melakukan mandi adalah: 1) berhubungan badan bagi suami-isteri (baik
keluar air mani maupun tidak), 2) keluar air mani (baik karena mimpi, disengaja
maupun tidak), 3) mati, 4) haid, 5) nifas, dan 6) melahirkan.
Rukun mandi
yaitu: 1) niat, yakni berniat untuk menghilangkan hadas besar, dan 2)
mengalirkan air ke seluruh anggota tubuh. Sunat-sunat
mandi meliputi: 1) membaca bismillah
al-rahman al-rahim (lafal basmalah) 2) berwudu sebelum mandi, 3) menggosok
seluruh anggota badan, 4) mendahulukan bagian yang kanan dari yang kiri, 5)
melakukannya secara tertib dan berturut-turut.
Mandi sunat.
Diantara mandi yang sunat untuk dilakukan adalah: 1) saat akan melakukan salat
jum’at, 2) saat akan melaksanakan Ied (Fitri dan Kurban), salat Gerhana, dan
salat Istisqa’, 3) setelah memandikan mayat, 4) saat baru memeluk agama Islam,
5) setelah sembuh dari gila, 6) saat akan melakukan Ihram dan Umrah, 7) saat
memasuki kota Makkah, 8) saat wukuf di Arafah, dan 9) saat akan melakukan tawaf
mengelilingi ka’bah.
3.
Tayammum
Yang
dimaksud dengan tayammum menurut
kebanyakan ahli fiqih adalah mengusapkan debu ke bagian muka dan kedua tangan
sampai siku-siku. Syarat boleh tayammum
adalah: 1) sakit yang tidak boleh terkena air, dan 2) tidak mendapatkan air
yang cukup, baik untuk wudu maupun mandi, baik dalam perjalanan maupun dalam
keadaan mukim. Syarat syah tayammum
adalah: 1) ada uzur yang membolehkan tayammum, 2) telah masuk waktu salat, 3)
setelah berusaha mencari air, namun tidak mendapatkannya, sedang waktu salat telah
masuk, 4) menggunakan tanah yang suci dan berdebu, dan 5) membersihkan diri
dari najis.
Rukun tayammum,
meliputi: 1) niat saat hendak melakukan salat, 2) mengusap muka, 3) mengusap
kedua tangan sampai siku-siku, dan 4) melakukannya dengan tertib dan berturut-turut.
Sunat tayammum di antaranya: 1)
membaca basmalah sebelum memulai
tayammum, 2) mendahulukan anggota tubuh yang kanan dari yang kiri saat
melakukan tayammum, 3) menipiskan debu di telapak tangan. Yang membatalkan tayammum yaitu: 1) semua yang membatalkan wudu, 2)
melihat air sebelum melakukan salat bagi mereka yang tayammum karena ketiadaan
air yang cukup, 3) murtad, dan 4) kafir.
4.
Mengusap
Sepatu (khuffain)
Mengusap
sepatu dapat dilakukan sebagai ganti membasuh kedua kaki saat wudu, karena
tidak melepas sepatu. Syarat dibolehkan
mengusap sepatu jika: 1) sepatu dalam keadaan suci, 2) sepatu menutup
bagian wudu (sampai mata kaki), 3) sepatu cukup kuat untuk perjalanan jauh dan
terbuat dari bahan yang suci, dan 4) waktu pemakaiannya berlaku selama satu
hari satu malam bagi yang mukim dan tiga hari tiga malam bagi mereka yang dalam
perjalanan. Yang membatalkan mengusap
sepatu adalah: 1) terbuka atau tanggalnya sepatu, baik salah satunya maupun
keduanya, baik dengan sengaja maupun tidak disengaja, 2) habis masa berlaku dan
boleh memakai sepatu, dan 3) dalam keadaan hadas besar yang mewajiban mandi.
DAFTAR PUSTAKA
Ibnu Qudamah, Abu Muhammad Abdullah
bin Ahmad bin Muhammad, al-Mugni ‘ala Mukhtasari al-kharqi, Beirut: Dar al-Kutub
al-Ilmiyah, 1994, cet. Ke-1, juz 1
Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa
Nihayah al-Muqtasid, Kairo: Maktabah Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Tanpa
Tahun, jilid 1
Al-Juzairi, Abdurrahman, Fiqh Empat
Mazhab, terj. Chotibul Umam dan Abu Hurairah, t.t.: Dar al-Ulum Press, 1990,
Cet. Ke-2, jilid 1
Al-Ma’luf, Abu Luwis, al-Munjid fi
al-Lugah, Beirut: ‘Alim al-Kutub, 1985, juz 1, Cet. Ke-4
Al-Sabiq, Sayyid, Fiqh Sunnah,
Beirut: Dar al-Fikr, 1983, Cet. ke-4, jilid 1
Ditulis oleh:
Pangidoan
Nasution
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
dunia ini memang indah,, tergantung bagaimana kita menjaga keindahan itu,,. untuk itu mari kita bersatu, satu pikiran satu tujuan untuk Indonesia merdeka,.. berpisah kita berjuang bersatu kita memukul..