SUNNATULLAH.
Sunnatullah berasal dari bahasa arab; Sunnah dan Allah. Sunnah adalah cara,
tradisi, tabiat, syariat. Hadis Nabi menyebutkan: “Barang siapa membuat sunnah
yang baik maka baginya pahala dirinya sendiri dan pahala orang yang
mengikutnya”. Sunnah Nabi artinya kebiasaan atau tradisi atau aturan-aturan
yang berasal dari Nabi. Sunnatullah, menurut al-Qurthubi adalah cara dan
kebiasaan Allah yang sudah lalu untuk menolong wali-wali-Nya dalam menghadapi
musuh. Secara terminologis, sunnatullah memiliki tiga pengertian: 1.
Hukum-hukum Allah yang disampaikan untuk umat manusia melalui para rasul; 2.
Undang-undang keagamaan yang ditetapkan oleh Allah yang termaktub dalam
al-Qur’an; 3. Hukum (kejadian dan sebagainya) alam yang berjalan secara tetap dan
otomatis. Pengertian yang terakhir ini yang dipegang oleh Muhammad Abduh.
Menurutnya sunnatullah adalah hukum alam. Muhammad Abduh benar-benar percaya
pada pendapat bahwa alam ini diatur oleh hukum alam yang tidak berubah-ubah
yang diciptakan Tuhan. Sunnatullah menurutnya mencakup semua makhluk. Segala
yang di ala mini diciptakan sesuai dengan hukum alam atau sifat dasarnya.
Manusia tidak terkecuali dari ketentuan universal ini. Manusia diciptakan
sesuai dengan sifat-sifat dasar yang khusus baginya dan dua diantaranya adalah
berfikir dan memilih perbuatan sesuai dengan pemikirannya.
Sebagai
missal, ada sunnatullah untuk memperoleh kemenangan. Sunnatullah tentang kemenangan itu jika
diikuti orang, maka ia akan mencapai kemenangan, tetapi jika ditinggalkannya ia
akan menghadapi kehancuran. Sebagian dari sunnatullah itu membawa kepada
kebahagiaan dan sebagian lain membawa kepada ketidakbahagiaan. Iman dan kufur
tidak mempunyai pengaruh terhadap akibat sunnatullah itu. Yang dimaksud
Muhammad Abduh adalah bahwa keadaan seseorang menjadi mukmin atau kafir tidak
merubah sunnatullah tentang kemenangan ia akan menghadapi kekalahan, dan
sebaliknya kalau orang kafir mengikuti sunnatullah tersebut ia akan memperoleh
kemenangan. Sunnatullah itu, kata Muhammad Abduh, bahkan tidak mengecualikan
nabi-nabi. Alam juga mengikuti sunnatullah. Ia menyebut sunnatullah untuk
turunnya hujan dan sunnatullah mengenai daya tarik bumi.
Dari
uraian di atas jelas bahwa sunnatullah bagi Muhammad Abduh adalah hukum alam
yang mengatur perjalanan alam, hukum alam dengan sebab akibatnya. Hukum alam
ini adalah tetap dan tidak berubah. Di dalam Risalah, Muhammad Abduh
menulis; Tuhan dalam menyebut kejadian-kejadian masa lampau mengatakan bahwa
alam ciptaan-Nya ini mempunyai peraturan dan hukum yang tidak berubah-ubah.
Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa hukum alam ini, yang ditentukan Tuhan dalam
pengetahuan azali-Nya, tidak berubah oleh kekhususan (juz’iah).
Kelihatannya ia berpendapat bahwa hukum itu tidak diubah oleh kehendak Tuhan
sendiri. Kehendak Tuhan, demikian Muhammad Abduh, tidak pernah berkaitan dengan
pembatalan sunnatullah atau kebijaksanaan-kebijaksanaan-Nya dalam mengatur
ciptaan-Nya. Oleh karena itu, orang yang berdo’a agar Tuhan menurunkan
kepadanya seribu poun adalah orang jahil. Orang sakit yang berdo’a kepada Tuhan
supaya kesehatannya dipulihkan kembali, pada hakikatnya meminta; Ya Allah
batalkanlah untuk kepentinganku hukum alam-Mu yang Engkau katakana tidak dapat
diubah itu. Sejalan dengan pendapat Rasyid Rida yang menjelaskan bahwa arti
dari “semuanya berlaku sesuai dengan kehendak Tuhan” ialah bahwa segalanya
terjadi menurut peraturan dan hukum yang tertentu dan bukan sembarangan saja.
Itu tidak berarti bahwa Tuhan menjadikan sesuatu tanpa sebab dan tanpa
mengikuti sunnatullah. Jadi arti “Tuhan menganugrahkan kerajaan-Nya kepada
siapa yang ia kehendaki” berarti bahwa Tuhan berbuat sesuai dengan sunnatullah;
Ia beri sebab-sebab yang membuat orang yang dipilih-Nya mempunyai sifat-sifat
raja dan berhasil dalam membentuk kerajaan.
Yang
penting untuk disimpulkan dari uraian di atas ialah bahwa Tuhan konsisten
terhadap sunnah yang dibuat-Nya dan tidak akan menyimpang darinya. Di dalamnya
terkandung arti bahwa Tuhan dengan kemauan-Nya sendiri telah membatasi
kehendak-Nya dengan sunnatullah atau hukum alam yang diciptakan-Nya untuk
mengatur alam ini. Sebagai kata Rasyid Rida, Tuhan tidak bertindak sebagai raja
absolut yang memberi upah kepada siapa yang Ia sukai dan member hukuman kepada
siapa Ia kehendaki. Alquran menjelaskan bahwa kehendak Tuhan terhadap
makhluk-Nya berjalan sesuai dengan hukum-Nya.
Kata
Sunnatullah dalam banyak ayat Alquran dikaitkan dengan peristiwa-peristiwa masa
lalu dan anjuran untuk mengadakan pengamatan dalam perjalanan. Misalnya,
“sebagai sunnatullah yang berlaku atas orang-orang sebelum (mu), dan kamu
sekali-kali tiada akan mendapat perubahan pada sunnatullah” (Q.S 33:62),
“karena kesombongan (mereka) di muka bumi dan karena rencana (mereka) yang
jahat itu tidak akan menimpa selain rencananya sendiri. Tiadalah yang mereka
nanti-nantikan melainkan (berlakunya) Sunnah (Allah yang telah berlaku) pada
orang-orang yang terdahulu. Maka sekali-kali kamu tidak akan menemui perubahan
bagi sunnatullah, dan sekali-kali tidak (pula) akan menemui penyimpangan dari
sunnatullah itu” (Q.S 35:43). “Sebagai sunnatullah yang telah berlaku sejak
dahulu, kami sekali-kali tiada akan menemukan perubahan bagi sunnatullah itu”
(Q.S 48:23), tidak ada suatu keberatanpun atas Nabi tentang apa yang telah ditetapkan
Allah baginya. (Allah telah menetapkan yang demikian) sebagai sunnah-Nya pada
nabi-nabi yang telah berlalu dahulu. Dan ketetapan Allah itu suatu ketetapan
yang pasti berlaku” (Q.S 33:38), dan “Maka iman mereka tiada berguna lagi bagi
mereka tatkala mereka melihat siksa Kami. Itulah sunnatullah yang telah berlaku
terhadap hamba-hamba-Nya. Dan waktu itu merugilah orang-orang kafir” (Q.S
40:85).
Dalam
pelaksanaan ibadah haji dan umrah, disamping aspek ibadah ritual, terdapat
aspek perjalanan dan ziarah. Orang-orang yang melaksanakan haji dan umrah sudah
tentu menziarahi kota kelahiran Nabi, Mekah dan kota hijrahnya, Madinah, dan
lain-lain. Di saat ziarah itu dapat direnungkan, misalnya, sunnatullah yang
berlaku pada ka’bah. Meskipun disebut rumah Allah, sunnatullah tetap saja
berlaku padanya seperti kerusakan yang dialaminya ketika dilanda banjir. Ia
juga bisa menjadi tempat pemujaan berhala dan praktik mesum jika orang-orang
beriman tidak menjaganya seperti terjadi di masa jahiliah pra-Islam. Demikian
juga ketika mengunjungi Jabal Uhud. Dalam sejarahnya gunung itu pernah
mempersaksikan sunnatullah yaitu kalahnya orang-orang mukmin yang lalai melawan
orang musyrik yang sungguh-sungguh dalam berperang. Bahkan, Nabi Muhammad pun
mengalami patah gigi akibat serangan orang-orang musyrik, dan seterusnya.
Yang
paling mutakhir, sunatullah yang terjadi di padang Arafah tempat jutaan orang
melakukan wukuf setiap tahun. Berabad-abad manusia menerima saja bahwa di
padang pasir tumbuh-tumbuhan tidak bisa hidup. Kenyataannya, beberapa tahun
belakangan ini Arafah tampak hijau oleh rimbunnya dedaunan. Di sini ada
sunnatullah untuk tumbuh tanaman.
DAFTAR PUSTAKA
Ma’luf, Lois. Al-Munjid, Beirut,
Dar al-Masyriq, 1973.
Al-Misriy, Abu al-Fadl Jamaluddin
Muhammad ibn Mukram ibn Manzur al-Afriqiy, Lisan al-Arab, Beirut, Dar
Sadir, 1990.
Nasution, Harun, Muhammad Abduh dan
Teologi Rasional Mu’tazilah, Jakarta, UI Press, 1987.
-------------------, Teologi Islam,
Aliran-aliran, Sejarah, Analisa Perbandingan, Jakarta, UI Press, 1986.
Al-Qurthubiy, Abu Abdillah Muhammad ibn
Ahmad al-Ansariy, al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, T.t.p,. T.p., t.t.
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta,
Balai Pustaka, 1998.
ABDUL HAFIS
Ciputat
15 Juni 2012
Ditulis
kembali oleh:
Pangidoan Nasution
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
dunia ini memang indah,, tergantung bagaimana kita menjaga keindahan itu,,. untuk itu mari kita bersatu, satu pikiran satu tujuan untuk Indonesia merdeka,.. berpisah kita berjuang bersatu kita memukul..