HARAM
(Ar. Al-Haram). Secara bahasa berarti sesuatu yang dilarang mengerjakannya.
Adapun secara istilah, mayoritas ulama Usul Fiqh mengemukakan sesuatu yang
dituntut syari’ (pembuat hukum, yaitu
Allah SWT) untuk ditinggalkan melalui tuntutan secara pasti dan mengikat dari
dalil (petunjuk) yang pasti penetapannya (Qat’i
al-Wurud) maupun yang masih dugaan keras penetapannya (Danni al-Wurud). Pelaku haram diberi hukuman dan yang meninggalkannya
diberi pahala. Akan tetapi ulama Kalangan Hanafi memberi pengertian bahwa haram
adalah tuntutan yang pasti yang didapat dari dalil (petunjuk) yang pasti
penetapannya (Qat’i al-Wurud) saja.
Tetapi apabila penetapannya didapat dari dalil (petunjuk) yang hanya dalam
dugaan keras (Danni al-Wurud), maka
disebut dengan Makruh Tahrim. Menurut
ulama kalangan Hanafi dalil hadis Rasulullah (selain yang mutawatir) hanya
sampai pada dugaan keras saja. Namun Makruh
Tahrim ini menurut kalangan Hanafi sama dengan hukum haram dalam istilah
mayoritas ulama, sehingga pelakunya diancam dengan siksa, meskipun orang yang
mengingkarinya tidak dianggap kafir. Misalnya, larangan meminang wanita yang
sedang dalam pinangan orang lain, dannlarangan membeli sesuatu yang sedang
dalam tawaran orang laibn, sebagaima hadis diriwayatkan oleh al-Bukhari dan
Muslim. Hadis tersebut adalah hadis ahad (hadis yang diriwayatkan perorangan
atau beberapa orang yang tidak sampai batas mutawatir). Untuk itu, menurut
mayoritas ulama hal itu dihukumi haram, sedang menurut kalangan Hanafi dihukumi
Makruh Tahrim.
Ungkapan-Ungkapan yang
menunjukkan Haram. Ungkapan yang digunakan al-Qur’an
dan al-Sunnah untuk menunjukkan haram, antara lain:
1) Tuntutan
yang langsung menggunakan lafal tahrim
dan yang seakar dengannya. Misalnya firman Allah dalam surat al-Nisa’ (4) ayat
23: Hurrimat ‘Alaikum Ummahatukum, artinya: “Diharamkan bagimu
(menikahi) ibu-ibu kamu”.
2) Tuntutan
yang menggunakan lafal Nahyi
(larangan) dan seakar dengannya. Misalnya firman Allah dalam surat al-An’am (6)
ayat 151: Wa la taqrabu
al-Fawahisya ma Zahara wa ma batan, artinya: “Dan janganlah kamu mendekati
perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang tampak di antaranya maupun yang tersembunyi.
3) Tuntutan
untuk menjauhi suatu perbuatan. Misalnya firman Allah dalam surat al-Maidah (5)
ayat 90: Ya Ayyuhallazina Amanu Innamal
khamru walmaisir walansab walazlam
Rijsun min ‘Amalisysyaitan fajtanibuhu, artinya: “Hai orang-orang
yang beriman sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi (berkorban untuk) berhala,
mengundi nasib dengan anak panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan
setan, maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu”.
4) Lafal la tahillu
(tidak dihalalkian), seperti firman Allah dalam surat al-Baqarah (2) ayat 230: Fain Tallaqaha fala tahillu lahu
minba’du hatta tankiha zaujan gairahu, artinya: “Kemudian jika si suami
mentalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak halal baginya,
hingga dia kawin dengan suami yang lain”.
5) Suatu
perbuatan yang dibarengi dengan ancaman hukuman, baik di dunia, di akhirat,
maupun dunia dan akhirat sekaligus. Misalnya firman Allah dalam surat al-Nur
(24) ayat 4: Wallazina yarmunal muhsanat
Summa lam ya’tu biarba’ati syuhada’ fajliduhum samanina jaldatan wa la
taqbalu lahum syahadatan abadan wa ulaika humul fasiqun, artinya: “Dan
orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka
tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu)
delapan p0uluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat
selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasik”.
6) Setiap
lafal yang menunjukkan pengingkaran terhadap suatu pekerjaan dengan
pengingkaran yang amat ditekankan, seperti ungkapan ghadaballah (Allah marah), la’natullah
(Allah melaknat), dan Haraballah
(Allah memerangi). Seperti firman Allah dalam surat al-Anfal (8) ayat 16, yang
artinya “Barangsiapa yang membelakangi mereka (mundur) di waktu itu, kecuali
berbelok untuk (siasat) perang atau hendak menggabungkan diri dengan pasukan
yang lain, maka sesungguhnya orang itu kembali dengan membawa kemurkaan dari
Allah, dan tempatnya ialah neraka Jahannam. Dan amat buruklah tempat
kembalinya”.
Pembagian Haram.
Haram dapat dibagi menjadi haram pada esensinya (li Zatihi) dan haram karena terkait dengan sesuatu diluar esensi
yang diharamkan, tetapi berbentuk kemafsadatan (haram li gairihi). Haram pada esensinya (Haram li Zatihi), yaitu suatu keharaman langsung dari sejak semula
ditentukan syari’ (Allah SWT) bahwa hal itu haram. Misalnya memakan bangkai,
babi, berjudi, meminum-minuman keras, berzina, membunuh dan memakan harta anak
yatim. Keharaman dalam contoh-contoh ini merupakan keharaman pada zat (esensi)
pekerjaan itu sendiri. Akibatnya adalah melakukan suatu transaksi dengan
sesuatu yang haram li Zatihi hukumnya
batal dan tidak ada akibat hukumnya. Misalnya, seseorang berzina dengan seorang
wanita, lalu lahir anak dari hubungan tersebut. Anak tersebut tidak bisa
dinasabkan kepada lelaki yang menghamili wanita tersebut. Demikian juga halnya
memperjualbelikan benda-benda yang haram li
Zatihi,transaksinya tidak sah dan tidak ada akibat hukumnya.
Haram
karena terkait dengan sesuatu yang diluar esensinya (Haram li gairihi) adalah sesuatu yang dilarang bukan disebabkan
esensinya, karena secara esnsial tidak mengandung kemudaratan (kerusakan),
namun dalam kondisi tertentu, sesuatu itu dilarang karena ada pertimbangan
eksternal yang akan membawa kepada sesuatu yang dilarang secara esensial.
Misalnya, melaksanakan jual-beli pada waktu azan salat jum’at, sebagaimana
firman Allah SWT dalam surat al-Jumu’ah (62) ayat 9. Jual-beli apabila dilihat
dari esensinya adalah dibolehkan, tetapi ada larangan melakukannya pada waktu
azan salat jum’at, karena melalaikan seseorang dari memenuhi panggilan Allah
(salat Jum’at). Meskipun demikian, menurut Abu Zahrah, mayoritas ulama
berpendapat bahwa larangan seperti itu apabila dilanggar dan dilaksanakan juga,
maka perbuatan itu sah. Oleh karenanya, jual-beli pada waktu azan jum’at dipandang
sah sebagai sebab perpindahan milik dari penjual kepada pembeli, namun
pelakunya berdosa di sisi Allah SWT. Berbeda dengan pendapat Abu Zahrah, ulama
mazham hambali dan dahiri tidak membedakan akibat hukum antara haram pada
esensinya (Haram li Zatihi) dan haram
yang terkait di luar esensinya (Haram li
gairihi), yaitu sama-sama haram dan perbuatannya dianggap batal.
Kreteria
lain dari perbedaan antara Haram li
Zatihi dan Haram li gairihi
adalah kebolehan Haram li Zatihi
apabila dalam keadaan darurat (dalam rangka memelihara lima hal, yaitu: Agama,
jiwa, akal, kehormatan dan harta) saja. Sedang pada Haram li gairihi tidak hanya dalam keadaan darurat saja, tetapi
juga menghilangkan kesulitan.
Di
sisi lain perbedaan itu muncul mayoritas ulama bahwa Haram li gairihi akan menjurus ke arah Haram li Zatihi. Misalnya, melihat aurat (bagian tubuh yang tidak
boleh kelihatan) orang lain tidak diperbolehkan, karena dikhawatirkan akan
terjerumus kepada perzinahan yang termasuk dalam Haram li Zatihi. Begitu juga mengawini dua wanita bersaudara
diharamkan, karena dikhawatirkan akan membuat dampak pemutusan ikatan
silaturrahmi (Qat’ularham) yang juga
termasuk Haram li Zatihi.
Referensi:
Ali
Hasaballah, Usul al-Tasyri al-Islamy (T.tp.: Dar al-Ma’arif, t.t)
Mohammad
Hasyim Kamali, Principles of Islamic Jurisprudence (Selangor: Pelanduk
Publications, 1989).
Muhammad
Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh (Kairo: Dar al-Fikr al-‘Araby, 1958).
Muhammad
Jawad Mughniyah, ‘Ilm Ushul al-Fiqh fi Saubihi al-Jadid (Beirut: Dar al-Ilm
lilmalayin, 1975).
Wahbah
al-Zuhaily, Ushul al-Fiqh al-Islamy, juz. 1 (Beirut: Dar al-Fikr al-Mu’asir,
1986).
Penulis:
Drs. Abdullah Alhamid, M.Ag.
Ditulis
kembali oleh: Pangidoan Nasution
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
dunia ini memang indah,, tergantung bagaimana kita menjaga keindahan itu,,. untuk itu mari kita bersatu, satu pikiran satu tujuan untuk Indonesia merdeka,.. berpisah kita berjuang bersatu kita memukul..