Jumat, 22 Juni 2012

Pengertian Haram di kalangan ulama


HARAM (Ar. Al-Haram). Secara bahasa berarti sesuatu yang dilarang mengerjakannya. Adapun secara istilah, mayoritas ulama Usul Fiqh mengemukakan sesuatu yang dituntut syari’ (pembuat hukum, yaitu Allah SWT) untuk ditinggalkan melalui tuntutan secara pasti dan mengikat dari dalil (petunjuk) yang pasti penetapannya (Qat’i al-Wurud) maupun yang masih dugaan keras penetapannya (Danni al-Wurud). Pelaku haram diberi hukuman dan yang meninggalkannya diberi pahala. Akan tetapi ulama Kalangan Hanafi memberi pengertian bahwa haram adalah tuntutan yang pasti yang didapat dari dalil (petunjuk) yang pasti penetapannya (Qat’i al-Wurud) saja. Tetapi apabila penetapannya didapat dari dalil (petunjuk) yang hanya dalam dugaan keras (Danni al-Wurud), maka disebut dengan Makruh Tahrim. Menurut ulama kalangan Hanafi dalil hadis Rasulullah (selain yang mutawatir) hanya sampai pada dugaan keras saja. Namun Makruh Tahrim ini menurut kalangan Hanafi sama dengan hukum haram dalam istilah mayoritas ulama, sehingga pelakunya diancam dengan siksa, meskipun orang yang mengingkarinya tidak dianggap kafir. Misalnya, larangan meminang wanita yang sedang dalam pinangan orang lain, dannlarangan membeli sesuatu yang sedang dalam tawaran orang laibn, sebagaima hadis diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim. Hadis tersebut adalah hadis ahad (hadis yang diriwayatkan perorangan atau beberapa orang yang tidak sampai batas mutawatir). Untuk itu, menurut mayoritas ulama hal itu dihukumi haram, sedang menurut kalangan Hanafi dihukumi Makruh Tahrim.

Ungkapan-Ungkapan yang menunjukkan Haram. Ungkapan yang digunakan al-Qur’an dan al-Sunnah untuk menunjukkan haram, antara lain:
1)      Tuntutan yang langsung menggunakan lafal tahrim dan yang seakar dengannya. Misalnya firman Allah dalam surat al-Nisa’ (4) ayat 23: Hurrimat ‘Alaikum Ummahatukum, artinya: “Diharamkan bagimu (menikahi) ibu-ibu kamu”.
2)      Tuntutan yang menggunakan lafal Nahyi (larangan) dan seakar dengannya. Misalnya firman Allah dalam surat al-An’am (6) ayat 151: Wa la taqrabu al-Fawahisya ma Zahara wa ma batan, artinya: “Dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang tampak di antaranya maupun yang tersembunyi.
3)      Tuntutan untuk menjauhi suatu perbuatan. Misalnya firman Allah dalam surat al-Maidah (5) ayat 90: Ya Ayyuhallazina Amanu Innamal khamru  walmaisir walansab walazlam Rijsun min ‘Amalisysyaitan fajtanibuhu, artinya: “Hai orang-orang yang beriman sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan anak panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan setan, maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu”.
4)      Lafal la tahillu (tidak dihalalkian), seperti firman Allah dalam surat al-Baqarah (2) ayat 230: Fain Tallaqaha fala tahillu lahu minba’du hatta tankiha zaujan gairahu, artinya: “Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak halal baginya, hingga dia kawin dengan suami yang lain”.
5)      Suatu perbuatan yang dibarengi dengan ancaman hukuman, baik di dunia, di akhirat, maupun dunia dan akhirat sekaligus. Misalnya firman Allah dalam surat al-Nur (24) ayat 4: Wallazina yarmunal muhsanat Summa lam ya’tu biarba’ati syuhada’ fajliduhum samanina jaldatan wa la taqbalu lahum syahadatan abadan wa ulaika humul fasiqun, artinya: “Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan p0uluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasik”.
6)      Setiap lafal yang menunjukkan pengingkaran terhadap suatu pekerjaan dengan pengingkaran yang amat ditekankan, seperti ungkapan ghadaballah (Allah marah), la’natullah (Allah melaknat), dan Haraballah (Allah memerangi). Seperti firman Allah dalam surat al-Anfal (8) ayat 16, yang artinya “Barangsiapa yang membelakangi mereka (mundur) di waktu itu, kecuali berbelok untuk (siasat) perang atau hendak menggabungkan diri dengan pasukan yang lain, maka sesungguhnya orang itu kembali dengan membawa kemurkaan dari Allah, dan tempatnya ialah neraka Jahannam. Dan amat buruklah tempat kembalinya”.
Pembagian Haram. Haram dapat dibagi menjadi haram pada esensinya (li Zatihi) dan haram karena terkait dengan sesuatu diluar esensi yang diharamkan, tetapi berbentuk kemafsadatan (haram li gairihi). Haram pada esensinya (Haram li Zatihi), yaitu suatu keharaman langsung dari sejak semula ditentukan syari’ (Allah SWT) bahwa hal itu haram. Misalnya memakan bangkai, babi, berjudi, meminum-minuman keras, berzina, membunuh dan memakan harta anak yatim. Keharaman dalam contoh-contoh ini merupakan keharaman pada zat (esensi) pekerjaan itu sendiri. Akibatnya adalah melakukan suatu transaksi dengan sesuatu yang haram li Zatihi hukumnya batal dan tidak ada akibat hukumnya. Misalnya, seseorang berzina dengan seorang wanita, lalu lahir anak dari hubungan tersebut. Anak tersebut tidak bisa dinasabkan kepada lelaki yang menghamili wanita tersebut. Demikian juga halnya memperjualbelikan benda-benda yang haram li Zatihi,transaksinya tidak sah dan tidak ada akibat hukumnya.
Haram karena terkait dengan sesuatu yang diluar esensinya (Haram li gairihi) adalah sesuatu yang dilarang bukan disebabkan esensinya, karena secara esnsial tidak mengandung kemudaratan (kerusakan), namun dalam kondisi tertentu, sesuatu itu dilarang karena ada pertimbangan eksternal yang akan membawa kepada sesuatu yang dilarang secara esensial. Misalnya, melaksanakan jual-beli pada waktu azan salat jum’at, sebagaimana firman Allah SWT dalam surat al-Jumu’ah (62) ayat 9. Jual-beli apabila dilihat dari esensinya adalah dibolehkan, tetapi ada larangan melakukannya pada waktu azan salat jum’at, karena melalaikan seseorang dari memenuhi panggilan Allah (salat Jum’at). Meskipun demikian, menurut Abu Zahrah, mayoritas ulama berpendapat bahwa larangan seperti itu apabila dilanggar dan dilaksanakan juga, maka perbuatan itu sah. Oleh karenanya, jual-beli pada waktu azan jum’at dipandang sah sebagai sebab perpindahan milik dari penjual kepada pembeli, namun pelakunya berdosa di sisi Allah SWT. Berbeda dengan pendapat Abu Zahrah, ulama mazham hambali dan dahiri tidak membedakan akibat hukum antara haram pada esensinya (Haram li Zatihi) dan haram yang terkait di luar esensinya (Haram li gairihi), yaitu sama-sama haram dan perbuatannya dianggap batal.
Kreteria lain dari perbedaan antara Haram li Zatihi dan Haram li gairihi adalah kebolehan Haram li Zatihi apabila dalam keadaan darurat (dalam rangka memelihara lima hal, yaitu: Agama, jiwa, akal, kehormatan dan harta) saja. Sedang pada Haram li gairihi tidak hanya dalam keadaan darurat saja, tetapi juga menghilangkan kesulitan.
Di sisi lain perbedaan itu muncul mayoritas ulama bahwa Haram li gairihi akan menjurus ke arah Haram li Zatihi. Misalnya, melihat aurat (bagian tubuh yang tidak boleh kelihatan) orang lain tidak diperbolehkan, karena dikhawatirkan akan terjerumus kepada perzinahan yang termasuk dalam Haram li Zatihi. Begitu juga mengawini dua wanita bersaudara diharamkan, karena dikhawatirkan akan membuat dampak pemutusan ikatan silaturrahmi (Qat’ularham) yang juga termasuk Haram li Zatihi.

Referensi:
Ali Hasaballah, Usul al-Tasyri al-Islamy (T.tp.: Dar al-Ma’arif, t.t)
Mohammad Hasyim Kamali, Principles of Islamic Jurisprudence (Selangor: Pelanduk Publications, 1989).
Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh (Kairo: Dar al-Fikr al-‘Araby, 1958).
Muhammad Jawad Mughniyah, ‘Ilm Ushul al-Fiqh fi Saubihi al-Jadid (Beirut: Dar al-Ilm lilmalayin, 1975).
Wahbah al-Zuhaily, Ushul al-Fiqh al-Islamy, juz. 1 (Beirut: Dar al-Fikr al-Mu’asir, 1986).

Penulis: Drs. Abdullah Alhamid, M.Ag.
Ditulis kembali oleh: Pangidoan Nasution

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

dunia ini memang indah,, tergantung bagaimana kita menjaga keindahan itu,,. untuk itu mari kita bersatu, satu pikiran satu tujuan untuk Indonesia merdeka,.. berpisah kita berjuang bersatu kita memukul..