FITRAH.
Kata fitrah secara bahasa berasal dari Fatara-yaftur
dengan makna awal “membelah” kemudian mengalami perkembangan arti menjadi
“mencipta” atau “memulai”. Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan kata fitrah
dengan “sifat asal, kesucian, bakat” atau “pembawaan”. Secara istilah fitrah
adalah bentuk dan sistem yang diwujudkan oleh Allah pada setiap makhluk hidup
di muka bumi ini.
Manusia
dengan fitrah yang Allah anugerahkan kepadanya berupa
kecenderungan-kecenderungan dan kebutuhan-kebutuhan fisik, sehingga
mendorongnya kepada pencarian dan penyelidikan terhadap proses dan alur yang
digunakan manusia untuk menghadirkan dan memenuhi berbagai kecenderungan dan
kebutuhan tersebut. Kebutuhan fisik berupa makan, minum, haus, dan lapar.
Sedangkan kecenderungan terbagi menjadi tiga bagian : a). kecenderungan parsial
berupa kerinduan, kelembutan dan cinta, b). kecenderungan beragama berupa
pensucian sesuatu, khusyu’ dan pendekatan kepada hal yang lebih tinggi. C).
kecenderungan akan eksistensi berupa keinginan untuk memiliki, kepuasan,
cita-cita dan kerakusan.
Dalam
al-Qur’an kata ini terulang sebanyak dua puluh delapan kali dengan berbagai
bentuknya, empat belas kali diantaranya berbicara dalam konteks penciptaan bumi
dan langit. Selebihnya menginformasikan proses penciptaan manusia baik dari
sisi pengakuan bahwa penciptanya adalah Allah maupun dari segi uraian tentang
fitrah manusia.
Di
antaranya terdapat dalam surat ar-Rum (30:30) yang artinya: “Maka hadapkanlah
wajahmu kepada agama (pilihan) Allah yang telah menciptakan manusia atas fitrah
itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. Itulah agama yang lurus, tetapi
kebanyakan manusia tidak mengetahuinya”.
Berkaitan
dengan kata “fitrah” dalam ayat ini ulama berbeda pendapat. Pertama, Abu al-Haisam mengartikan kata
fitrah dengan bentuk yang diciptakan Allah atas anak manusia ketika masih dalam
kandungan ibunya, berupa kebahagiaan, kemulyaan dan kesaksian bahwa tidak ada
Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah. Seperti dijelaskan dalam
firman Allah surat al-A’raf (7:172) yang artinya: “Dan (ingatlah), ketika
Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah
mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka seraya berfirman: “Bukankah Aku ini
Tuhanmu”? Mereka menjawab: “Benar” (Engkau Tuhan Kami), kami menjadi saksi”.
(kami lakukan yang demikian ini) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan
“Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)”.
Apabila
kedua orang tuanya Yahudi, Nasrani atau Majusi, tentu akan mengarahkannya
kepada Yahudi, Nasrani dan Majusi pula sebagaimana halnya agama yang dianut
kedua orang tuanya. Bila anak itu meninggal dalam keadaan belum baligh, maka ia
masih dalam keadaan fitrah yang Allah berikan.
Kedua,
Pendapat Abu Hurairah dan Ibn Syihab, keduanya mengartikan kata fitrah dengan
Islam (penyerahan diri) berdasarkan hadis dari ‘Iyad bin Himar al-Mujasyi’I
bahwasanya Rasulullah SAW suatu hari berkhutbah di hadapan manusia:
“Ketauhilah, Allah telah memberitahukan dalam kitab-Nya bahwa Ia telah menciptakan
Adam dan keturunannya dalam keadaan cenderung pada kebenaran dan penyerahan,
memberikan harta yang halal bukan haram dan menghalalkan segala apa yang Allah
berikan.
Ketiga,
sekelompok ulama yang mengartikan kata fitrah dengan asal sesuatu yang Allah
berikan kepadanya berupa kehidupan, kematian, kebahagiaan, dan kesenangan.
Sesuai dengan ucapan Arab bahwa al-Fitrah adalah al-Ibtida’ (asal). Berdasarkan riwayat Ibnu Abbas yang mengatakan:
“Saya belum mengetahui ma’na “apa yang diciptakan” Allah di langit dan di bumi
sehingga datanglah dua orang Arab yang sedang bertikai tentang sebuah sumur,
satu diantaranya mengatakan Ana Fatartuha yang berarti Ibtada’ tuha (saya yang pertama kali menemukan sumur ini).
Merujuk
kepada fitrah yang dikemukakan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa manusia
sejak asal kejadiannya, membawa potensi beragama yang lurus dan dipahami oleh
para ulama sebagai tauhid.
Kalau
kita memahami kata “La” pada ayat tersebut dalam arti “tidak”, berarti bahwa
seseorang tidak dapat menghindar dari fitrah itu. Dalam konteks ayat ini bahwa
fitrah keagamaan akan melekat pada diri manusia selama-lamanya, walaupun boleh
jadi tidak diakui bahkan diabaikannya.
Firman
Allabh dalam surat al-An’am (6:79) menguatkan kesimpulan di atas yang artinya:
“Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Tuhan yang menciptakan langit dan
bumi kecenderungan kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk
orang-orang yang mempersekutukan Tuhan”.
Kata
fitrah dalam ayat ini dikaitkan dengan hanif
dengan terjemahan bebasnya “Kecenderungan kepada agama yang benar”. Istilah ini
digunakan ketika melukiskan sikap kepercayaan Nabi Ibrahim AS, menolak menyembah berhala, bintang,
bulan, ataupun matahari, karena semua itu tidak patut disembah dan yang patut
disembah hanya Allah, zat Pencipta langit dan bumi, inilah agama yang benar.
Dengan demikian bahwa agama yang paling asli adalah menyembah Allah SWT
berdasarkan keterangan al-Qur’an bahwa manusia setelah diciptakan membuat suatu
perjanjian dengan Tuhan.
Hal
senada juga dijelaskan Hadis riwayat Imam al-Bukhari, Rasulullah SAW bersabda:
“setiap anak Adam dilahirkan dalam keadaan Fitrah, dan orang tua merekalah yang
akan membentuk apakah ia Yahudi, Nasrani atau Majusi.
Tetapi
apakah fitrah manusia itu hanya terbatas pada fitrah keagamaan? Jelas tidak.
Bukan saja karena redaksi ayat ini tidak dalam bentuk pembatasan tetapi juga
karena masih ada ayat-ayat lain yang membicarakan penciptaan potensi
manusia-walaupun tidak menggunakan kata fitrah. Seperti dalam surat Ali-Imron
(3:14) yang artinya: “Telah dihiaskan kepada manusia kecenderungan hati kepada
perempuan (atau laki-laki), anak laki-laki (dan perempuan), serta harta yang
banyak berupa emas, perak, kuda, pilihan, binatang ternak dan sawah ladang”.
Manusia
berjalan dengan kakinya adalah fitrah jasadiahnya, sementara menarik kesimpulan
melalui bukti-bukti yang Nampak adalah fitrah akalnya, sedang menerima nikmat
dan sedih ditimpa musibah juga adalah fitrahnya.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qurthubiy, al-Jami’ Li Ahkam
al-Qur’an, Jilid ketujuh, Juz ketiga belas, tt.
Al-Husaini, al-Tirazi, al-Islam al-Din
al-Fitri al-Abady, Bairut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1984, Cet. Ke-1
Al-Zuhaily, Wahbah, al-Tafsir al-Munir
Fi al-Aqidah wa al-Syari’ah wa al-Minhaj, Bairut Dar al-Fikr al-Muassir, 1991
Cet. Ke-1
DepDikBud, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Jakarta: Balai Pustaka, 1991, Edisi Kedua
Munzir, Ibnu, Lisan al-Arab
Shihab, Quraish, wawasan al-Qur’an,
Bandung: MIzan, 1998, Cet. Ke-8
Zain, Sih ‘Atif, al-Islam wa Saqafah
al-Insan, Bairut: Dar al-Kutub al-Libnani, 1992, Cet. Ke-8
Ciputat,
Sabtu 10 Juli 1999
(Zaenal Masduqi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
dunia ini memang indah,, tergantung bagaimana kita menjaga keindahan itu,,. untuk itu mari kita bersatu, satu pikiran satu tujuan untuk Indonesia merdeka,.. berpisah kita berjuang bersatu kita memukul..