Jumat, 22 Juni 2012

Fitrah Manusia


FITRAH. Kata fitrah secara bahasa berasal dari Fatara-yaftur dengan makna awal “membelah” kemudian mengalami perkembangan arti menjadi “mencipta” atau “memulai”. Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan kata fitrah dengan “sifat asal, kesucian, bakat” atau “pembawaan”. Secara istilah fitrah adalah bentuk dan sistem yang diwujudkan oleh Allah pada setiap makhluk hidup di muka bumi ini.

Manusia dengan fitrah yang Allah anugerahkan kepadanya berupa kecenderungan-kecenderungan dan kebutuhan-kebutuhan fisik, sehingga mendorongnya kepada pencarian dan penyelidikan terhadap proses dan alur yang digunakan manusia untuk menghadirkan dan memenuhi berbagai kecenderungan dan kebutuhan tersebut. Kebutuhan fisik berupa makan, minum, haus, dan lapar. Sedangkan kecenderungan terbagi menjadi tiga bagian : a). kecenderungan parsial berupa kerinduan, kelembutan dan cinta, b). kecenderungan beragama berupa pensucian sesuatu, khusyu’ dan pendekatan kepada hal yang lebih tinggi. C). kecenderungan akan eksistensi berupa keinginan untuk memiliki, kepuasan, cita-cita dan kerakusan.
Dalam al-Qur’an kata ini terulang sebanyak dua puluh delapan kali dengan berbagai bentuknya, empat belas kali diantaranya berbicara dalam konteks penciptaan bumi dan langit. Selebihnya menginformasikan proses penciptaan manusia baik dari sisi pengakuan bahwa penciptanya adalah Allah maupun dari segi uraian tentang fitrah manusia.
Di antaranya terdapat dalam surat ar-Rum (30:30) yang artinya: “Maka hadapkanlah wajahmu kepada agama (pilihan) Allah yang telah menciptakan manusia atas fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya”.
Berkaitan dengan kata “fitrah” dalam ayat ini ulama berbeda pendapat. Pertama, Abu al-Haisam mengartikan kata fitrah dengan bentuk yang diciptakan Allah atas anak manusia ketika masih dalam kandungan ibunya, berupa kebahagiaan, kemulyaan dan kesaksian bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah. Seperti dijelaskan dalam firman Allah surat al-A’raf (7:172) yang artinya: “Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka seraya berfirman: “Bukankah Aku ini Tuhanmu”? Mereka menjawab: “Benar” (Engkau Tuhan Kami), kami menjadi saksi”. (kami lakukan yang demikian ini) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan “Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)”.
Apabila kedua orang tuanya Yahudi, Nasrani atau Majusi, tentu akan mengarahkannya kepada Yahudi, Nasrani dan Majusi pula sebagaimana halnya agama yang dianut kedua orang tuanya. Bila anak itu meninggal dalam keadaan belum baligh, maka ia masih dalam keadaan fitrah yang Allah berikan.
Kedua, Pendapat Abu Hurairah dan Ibn Syihab, keduanya mengartikan kata fitrah dengan Islam (penyerahan diri) berdasarkan hadis dari ‘Iyad bin Himar al-Mujasyi’I bahwasanya Rasulullah SAW suatu hari berkhutbah di hadapan manusia: “Ketauhilah, Allah telah memberitahukan dalam kitab-Nya bahwa Ia telah menciptakan Adam dan keturunannya dalam keadaan cenderung pada kebenaran dan penyerahan, memberikan harta yang halal bukan haram dan menghalalkan segala apa yang Allah berikan.
Ketiga, sekelompok ulama yang mengartikan kata fitrah dengan asal sesuatu yang Allah berikan kepadanya berupa kehidupan, kematian, kebahagiaan, dan kesenangan. Sesuai dengan ucapan Arab bahwa al-Fitrah adalah al-Ibtida’ (asal). Berdasarkan riwayat Ibnu Abbas yang mengatakan: “Saya belum mengetahui ma’na “apa yang diciptakan” Allah di langit dan di bumi sehingga datanglah dua orang Arab yang sedang bertikai tentang sebuah sumur, satu diantaranya mengatakan Ana Fatartuha yang berarti Ibtada’ tuha (saya yang pertama kali menemukan sumur ini).
Merujuk kepada fitrah yang dikemukakan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa manusia sejak asal kejadiannya, membawa potensi beragama yang lurus dan dipahami oleh para ulama sebagai tauhid.
Kalau kita memahami kata “La” pada ayat tersebut dalam arti “tidak”, berarti bahwa seseorang tidak dapat menghindar dari fitrah itu. Dalam konteks ayat ini bahwa fitrah keagamaan akan melekat pada diri manusia selama-lamanya, walaupun boleh jadi tidak diakui bahkan diabaikannya.
Firman Allabh dalam surat al-An’am (6:79) menguatkan kesimpulan di atas yang artinya: “Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Tuhan yang menciptakan langit dan bumi kecenderungan kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan”.
Kata fitrah dalam ayat ini dikaitkan dengan hanif dengan terjemahan bebasnya “Kecenderungan kepada agama yang benar”. Istilah ini digunakan ketika melukiskan sikap kepercayaan Nabi Ibrahim  AS, menolak menyembah berhala, bintang, bulan, ataupun matahari, karena semua itu tidak patut disembah dan yang patut disembah hanya Allah, zat Pencipta langit dan bumi, inilah agama yang benar. Dengan demikian bahwa agama yang paling asli adalah menyembah Allah SWT berdasarkan keterangan al-Qur’an bahwa manusia setelah diciptakan membuat suatu perjanjian dengan Tuhan.
Hal senada juga dijelaskan Hadis riwayat Imam al-Bukhari, Rasulullah SAW bersabda: “setiap anak Adam dilahirkan dalam keadaan Fitrah, dan orang tua merekalah yang akan membentuk apakah ia Yahudi, Nasrani atau Majusi.
Tetapi apakah fitrah manusia itu hanya terbatas pada fitrah keagamaan? Jelas tidak. Bukan saja karena redaksi ayat ini tidak dalam bentuk pembatasan tetapi juga karena masih ada ayat-ayat lain yang membicarakan penciptaan potensi manusia-walaupun tidak menggunakan kata fitrah. Seperti dalam surat Ali-Imron (3:14) yang artinya: “Telah dihiaskan kepada manusia kecenderungan hati kepada perempuan (atau laki-laki), anak laki-laki (dan perempuan), serta harta yang banyak berupa emas, perak, kuda, pilihan, binatang ternak dan sawah ladang”.
Manusia berjalan dengan kakinya adalah fitrah jasadiahnya, sementara menarik kesimpulan melalui bukti-bukti yang Nampak adalah fitrah akalnya, sedang menerima nikmat dan sedih ditimpa musibah juga adalah fitrahnya.

DAFTAR PUSTAKA
Al-Qurthubiy, al-Jami’ Li Ahkam al-Qur’an, Jilid ketujuh, Juz ketiga belas, tt.
Al-Husaini, al-Tirazi, al-Islam al-Din al-Fitri al-Abady, Bairut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1984, Cet. Ke-1
Al-Zuhaily, Wahbah, al-Tafsir al-Munir Fi al-Aqidah wa al-Syari’ah wa al-Minhaj, Bairut Dar al-Fikr al-Muassir, 1991 Cet. Ke-1
DepDikBud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1991, Edisi Kedua
Munzir, Ibnu, Lisan al-Arab
Shihab, Quraish, wawasan al-Qur’an, Bandung: MIzan, 1998, Cet. Ke-8
Zain, Sih ‘Atif, al-Islam wa Saqafah al-Insan, Bairut: Dar al-Kutub al-Libnani, 1992, Cet. Ke-8

Ciputat, Sabtu 10 Juli 1999
(Zaenal Masduqi)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

dunia ini memang indah,, tergantung bagaimana kita menjaga keindahan itu,,. untuk itu mari kita bersatu, satu pikiran satu tujuan untuk Indonesia merdeka,.. berpisah kita berjuang bersatu kita memukul..