Jumat, 22 Juni 2012

Pengertian Dosa (dosa kecil vs dosa besar)


Dosa. Dalam al-Qur’an disebut zanbun atau ismun. Dalam kamus kata ismun diartikan dengan kata perbuatan yang menimbulkan ‘uqubah (hukuman atau siksaan), sedangkan kata zanbun diartikan dengan mengerjakan sesuatu yang tidak disyari’tkan.
Dalam pandangan agama islam, dosa dibedakan ke dalam dua bagian, (1) dosa besar dan (2) dosa kecil. Allah berfirman dalam al-Qur’an surat Ali Imran (4) ayat 31 yang artinya: “Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang kamu mengerjakannya, niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahanmu (dosa-dosamu yang kecil), dan Kmai masukkan kami ke tempat yang mulia (syurga).”
Dosa Besar. Para ulama berbeda pendapat mengenai defenisi dosa besar. Sebagian ulama mendefenisikan dosa besar dengan “setiap sesuatu yang dilarang Allah; segala sesuatu yang diharamkan melalui nash al-Qur’an; seluruh nash-nash yang mengancam pelaku perbuatan dengan ancaman hukuman di akhirat, nmendapat laknat Allah atau mendapat ancaman keras, dan pelakunya diberi predikat fasik, atau pelakunya harus dikenai hukuman had”
Menurut ‘izzuddin bin ‘Abd al-Salam (w. 660 H), seorang tokoh fuqaha mazhab syafi’iyyah, apabila ingin mengetahui perbedaan antara dosa-dosa besar dan dosa-dosa kecil, maka bandingkanlah kerusakan yang diakibatkan oleh dosa-dosa tersebut dengan dosa-dosa besar yang telah ada nash-nya. Apabila pada kenyataannya kerusakan yang ditimbulkan itu hanya sedikit, maka yang demikian adalah dosa kecil. Akan tetapi, apabila kerusakan yang diakibatkannya itu sebanding atau lebih besar, yang demikian itu adalah dosa besar.
Sebagian ulama berpendapat, bahwa tidak ada dosa besar dengan membaca istigfar (minta ampun), dan tidak ada istilah dosa kecil bila dilakukan terus-menerus. Dengan kata lain, dosa besar dapat diampuni dengan memohon ampun (istigfar), dan dosa kecil dapat menjadi dosa besar bila dilakukan terus-menerus.
Berdasarkan hadis, ada tujuh macam dosa besar, disamping ada beberapa hadis sahih yang membicarakan dosa-dosa besar lebih dari tujuh macam. Rasulullah saw pada setiap kesempatan hanya menyebut dosa yang dianggap relevan waktu itu, tidak pernah merinci berbagai macam doisa dengan rincian yang terbatas (pasti).
Menurut al-Shan’ani (w. 1182 H), seorang pakar hadis Mazhab Syi’ah Zaidiyyah, perbedaan dosa besar dan dosa kecil adalah nisbi (relatif), tidak dapat diapastikan bahwa sesuatu itu dosa kecil atau dosa besar, kecuali dengan merujuk kepada nash Syari’ (ketentuan al-Qur’an dan Hadis). Dosa yang telah ditetapkan sebagai dosa besar, maka tetap menjadi dosa besar, dan dosa selainnya tetap berada dalam kesamaran dan kemungkinan (apakah dosa besar atau dosa kecil).
Al-Alai (w. 761 H) dalam kitabnya al-Qawaid, sebagaimana dikutip Shan’ani, menetapkan dosa besar yang telah dinashkan itu sebanyak dua puluh lima. Yaitu syirik (menyekutukan Allah), membunuh, berzina; yang paling keji adalah berzina dengan halilah (isteri) tetangga, melarikan diri dari medan perang, memakan riba, memakan harta anak yatim, menuduh berzina kepada perempuan baik-baik, sihir, mencemarkan kehormatan (orang lain) tanpa ada hak, saksi palsu, sumpah palsu, namimah (mengadu domba), sariqah (mencuri), meminum khamar*, menghalalkan Bait Allah yang haram, tidak menepati janji, meninggalkan sunnah*, ta’aruf (menjadi orang arab badui) setelah hijrah, putus asa dari rahmat Allah, merasa aman dari makar (tipu daya) Allah, tidak memberikan kelebihan air kepada ibnu sabil, tidak tanazzuh (membersihkan diri) dari air kencing, menyakiti kedua orang tua, menyebabkan dia berdua dicaci maki, dan tidak menjalankan wasiat.
‘Izzuddin bin Abd al-Salam menguraikan defenisinya di atas secara gamblang dalam kitabnya Qawaid al-Ahkam fi Mashalih al-Anam. Menurutnya, siapa yang mencaci maki Tuhan atau Rasulullah saw, menghina para rasul atau berdusta kepada salah satu dari mereka, mengotori ka’bah dengan kotoran, dan membuang mushab (al-Qur’an) ke dalam qazurat (tempat atau keranjang sampah), termasuk dosa paling besar dari dosa-dosa besar (akbar al-kabair), meskipun syara’ tidak menjelaskannya bahwa itu semua dosa besar. Seseorang yang menahan perempuan muhsan untuk orang yang akan berzina dengannya, atau menahan orang muslim untuk orang yang akan membunuhnya, maka tidak diragukan lagi bahwa mafsadatnya lebih besar bila dibandingkan dengan mafsadat memakan harta anak yatim meskipun memakan harta anak yatim itu sendiri juga tergolong ke dalam dosa besar. Begitu pula bila seseorang menunjukkan ‘aurat (kelemahan-kelemahan) kaum muslimin kepada orang-orang kafir, padahal ia mengetahui bahwa mereka (orang-orang kafir) akan menyerang, menawan mereka, merampas harta mereka, memperkosa perempuan-perempuan mereka, dan menghancurkan bangunan-banguna mereka. Menurutnya mafsadat perbuatan ini lebih besar bila dibandingkan dengan mafsadat lari dari medan perang tanpa ada uzur, meskipun lari dari medan perang juga sama termasuk dosa besar.
Selanjutnya ‘Izzuddin berpendapat, termasuk dosa besar adalah orang yang berdusta kepada oorang lain, yang dapat menyebabkan kematiannya. Seandainya ia berdusta kepada seseorang yang dengan dustanya tersebut menyebabkan sebutir kormanya akan dirampas, maka itu tidak termasuk dosa besar. Syara’ telah menetapkan bahwa saksi palsu dan memakan harta anak yatim termasuk dosa besar. Ketentuan ini tidak ada permasalahan bila berkaitan dengan harta yang penting. Akan tetapi, ada kemusykilan (kesulitan dalam menetapkan status hukumnya apakah termasuk dosa besar atau bukan), bila berkaitan dengan harta yang tidak penting (seberapa), seperti sebutir zabib (anggur kering) dan tamar (korma)*. Menurutnya, dalam kasus ini boleh perbuatan tersebut dimasukkan ke dalam dosa besar, demi untuk menjaga kemafsadatan yang ditimbulkannya. Ia menganalogikan kasus tersebut dengan setetes khamar yang tidak secara jelas menimbulkan kemafsadatan. Atau, katanya, boleh diperkirakan (besar kecilnya) batasan hartanya tersebut dengan nishab pencurian.
Dosa kecil. Dosa-dosa atau kesalahan-kesalahan kecil juga ditemukan di dalam al-Qur’an, seperti terdapat dalam surat al-Najm (53) ayat 32 yang artinya: “(yaitu) ora.ng yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan keji yang selain dari kesalahan-kesalahan kecil. Sesungguhnya Tuhanmu Maha Luas ampunannya.”
Tidak ada seorangpun yang dapat lolos dari dosa-dosa atau kesalahan-kesalahan kecil ini, kecuali orang yang makshum (dijaga) oleh Allah seperti Nabi dan Rasul. Rasulullah saw bersabda yang artinya: “sesungguhnya Allah telah menetapkan bagian-bagian anak adam (manusia) dalam masalah zina, yang tidak dapat dielakkan lagi olehnya. Zina mata adalah melihat (perempuan lain), zina lidah adalah berbicara (tentang sesuatu yang menjurus ke arah zina), dan zina hati adalah menginginkan faraj (perempuan lain) baik ia merasa atau tidak.” (H.R Bukhari Muslim).
Sebagian ulama berpendapat bahwa dosa kecil adalah setiap perbuatan yang tidak ada aturan hukaman hadnya di dunia, dan tidak ada siksaan dihari pembalasan kelak. ‘Izzuddin bin ‘Abd al-Salam berpendapat, dosa kecil adalah setiap perbuatan yang mafsadatnya lebih kecil dari maslahatnya setelah dibandingkan dengan dosa-dosa besar yang telah ditetapkan nash.
Terdapat sebuah hadis yang menerangkan bahwa diantara perbuatan yang dapat mengahapus dosa-dosa kecil adalah salat lima waktu. Dengan ketentuan bahwa dosa-dosa kecil itu belum sampai kepada tingkat perbuatan dosa besar atau perbuatan yang keji. Rasulullah saw bersabda yang artinya: “salat lima waktu, antara salat jum’at sampai kepada salat jum’at yang lainnya, dan antara bulan Ramadhan sampai bulan Ramadhan yang lainnya, dapat menjadi kifarat (penghapus) dosa selama dosa-dosa besar dijauhi” (H.R Muslim).
Dosa kecil bila dikerjakan secara terus menerus dapat menjadi dosa besar. Menurut ‘Izzuddin, masalah pengulangan terkait dengan perasaan seseorang yang menganggap kecil dosanya, sehingga ia tidak begitu mengkhawatirkan masalah agamanya. Perbuatan menganggap kecil terhadap dosa meskipun dosa itu memang kecil, bila dilakukan secara terus-menerus, dua kali atau lebih termasuk dalam kelompok dosa-dosa besar. Begitu pula bila bertumpuknya dosa-dosa kecil yang berbeda-beda, inipun tergolong dalam dosa besar meskipun yang paling kecil.
Rasulullah saw bersabda yang artinya: “hindarilah dosa-dosa yang kecil, karna dosa kecil itu dapat bertumpuk pada seseorang, sehingga akan membinasakannya (dapat menjadi dosa besar)” (H.R Imam Ahmad).
Dosa lahir dan batin. Al-Qur’an memerintahkan kepada seluruh umat manusia agar meninggalkan dosa-dosa batin, yaitu dosa-dosa yang berkaitan dengan hati, dimana dosa ini sangat berat sekali untuk dihindari, seperti sifat munafik dan ria, disamping dosa-dosa yang lahir (tampak). Dosa-dosa yang tampak secara kongkrit, kemungkinan besar akan banyak ditinggalkan setiap orang karena merasa malu kepada orang lain. Atau bisa jadi karena takut mendapatkan celaan, atau merasa takut terhadap ancaman hukuman di dunia. Akan tetapi, bagi dosa-dosa batin atau yang tidak tampak secara jelas, karena berkaitan dengan hati, tentu orang lain tidak dapat melihatnya. Namun, menjauhi dosa-dosa batin justru akan lebih dapat mengantarkan seseorang kepada derajat yang luhur, sempurna, dan akhlak yang mulia.
Allah berfirman dalam surat al-An’am (6) ayat 120 yang artinya: “dan tinggalkanlah dosa yang nampak dan yang tersembunyi. Sesungguhnya orang-orang yang mengerjakan dosa, kelak akan diberi pembalasan (pada hari kiamat), disebabkan apa yang mereka telah kerjakan.”
Ayat ini mengingatkan agar setiap manusia menjauhi segala macam perbuatan dosa, baik dosa yang nampak maupun yang tidak tampak. Seorang muslim harus menjadi pengontrol bagi dirinya sendiri, baik dalam keadaan sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain. Seorang muslim harus mempunyai keyakinan bahwa terdapat kekuasaan Allah yang selalu mengawasi segala perbuatannya, dan akan meminta pertanggung jawabannya dihari kemudian kelak. Allah berfirman dalam surat al-Baqarah (2) ayat 284 yang artinya: “kepunyaan Allah-lah segala apa yang ada di langit dan di bumi. Dan jika kamu melahirkan apa yang ada dalam hatimu atau menyembunyikannya niscaya Allah akan membuat perhitungan dengan kamu tentang perbuatanmu.”
Ajaran islam menghubungkan pengawasan terhadap diri sendiri (self-control) ini dengan pemikiran rasional dan perasaan seorang mukmin. Oleh karena itu, Islam mengaggap setiap amal kebajikan dan amal saleh sebagai perbuatan yang dapat menenangkan hati dan jiwa. Sebaliknya, perbuatan dosa justru akan menggelisahkan hati dan jiwa. Rasulullah saw bersabda yang artinya: “perbuatan baik adalah suatu perbuatan yang dapat mententramkan jiwa dan menenangkan hati. Perbuatan dosa adalah perbuatan yang tidak mententramkan jiwa dan tidak menengkan hati, meskipun kamu mendapatkan fatwa dari para mufti (ahli fatwa)”(H.R Imam Ahmad).
Dalam hadis lain Rasulullah saw bersabda yang artinya: “Yang dinamakan dosa adalah perbuatan yang menggelisahkan jiwa, dan tidak mau diketahui orang lain” (HR. Imam Ahmad). Begitu juga rasulullah saw bersabda yang artinya: “Tinggalkanlah apa yang meragukanmu dan kerjakanlah apa yang tidak meragukanmu” (HR. Al-Nasai)
Keyakinan bahwa Allah swt selalu mengawasi kaum muslimin merupakan satu keistimewaan mereka, yang dapat membedakan mereka dari masyarakat yang berasaskan materi. Dalam masyarakat yang hanya berpegang kepada kekuatan materi, sangat memungkinkan seseorang melakukan perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang secara sembunyi-sembunyi. Ia akan merasa aman dari kejaran hukum.
Ampunan dosa khusus milik Allah. Ada sebagian agama yang berpendapat bahwa hak pengampunan terhadap dosa diberian kepada Tuhan dan selain-Nya, seperti kepada para Nabi dan hamba-hamba-Nya yang saleh, atau kepada para pemuka agama. Menurut agama Islam, hak pengampunan dosa hanya berada di tangan Allah, dan tidak ada seorangpun yang berhak melakukannya. Allah swt berfirman dalam Surat al-Imran (3) ayat 135 yang artinya: “..Mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka, dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain daripada Allah ?” Jawaban atas pertanyaan ini dijelaskan oleh firman Allah Surat al-Mu’min (40) ayat 3 yang artinya: “(Allah) yang mengampuni dosa dan menerima taubat..”.
Nabi Muhammad saw sendiri tidak mempunyai hak untuk mengampuni dosa. Sebaliknya, beliau masih memerlukan maghfirah (ampunan) dari Allah. Beliau bersabda yang artinya: “sesungguhnya aku beristighfar (meminta ampunan) kepada Allah dan bertaubat kepada-Nya setiap hari sebanyak tujuh puluh kali” (HR. Al-Bukhari). Pada kesempatan lain beliau bersabda yang artinya: “Beramal salehlah wahai Fatimah, karena aku tidak dapat berbuat apa-apa terhadap dirimu di hadapan Allah.”
Menurut pandangan Islam, memberikan hak pengampunan dosa kepada selain Allah termasuk dalam kategori musyrik (menyekutukan Allah). Memang, dalam ajaran Islam ampunan terhadap beberapa dosa ada yang terkait dengan orang lain, yang lazim disebut dengan hak adami. Tetapi, Allah akan mengampuni dosa seseorang yang berkaitan dengan sesamanya bila sesamanya itu telah mengampuni dia. Akan tetapi, itu bukan berarti bahwa seseorang punya hak untuk mengampuni dosa orang lain, karena hak itu sepenuhnya milik Allah. Hal ini karena bila seseorang meminta maaf kepada orang lain, kemudian orang itu tidak mau memaafkannya, maka ia telah bebas dari kesalahan dan sepenuhnya Allahlah yang akan menentukan apakah dosanya itu diampuni atau tidak. Bahkan sebaliknya, orang yang tidak mau memaafkan kesalahan orang lain itu justru yang akan mendapat murka dari Allah swt.
Dalam pandangan islam sesuatu yang berkaitan dengan hak orang lain tidak sah bertobat darinya kecuali dengan menyerahkan keputusannya kepada orang tersebut, seperti masalah qisas, barang-rampasan, dan berbagai macam denda serta hukuman atas tuduhan bohong.
Menurut Sayyid Sabiq, memohonkan ampunan dan menyebut-nyebut kebaikan seseorang akan dapat menghapus dosa bergunjing, dan tidak perlu memberitahukan atau meminta maaf kepada pihak yang bersangkutan.
Dampak dosa terhadap manusia. Perbuatan dosa akan menggelapkan hati. Apabila hati telah gelap karena noda dan dosa, maka hati akan semakin keras dan semakin jauh dari Allah swt. Dengan demikian, timbullah berbagai macam kejahatan dalam masyarakat. Rasulullah saw bersabda yang artinya: “Sesungguhnya apabila seorang mu’min mengerjakan dosa, maka hatinya akan ternoda oleh titik hitam. Apabila ia bertobat dan tidak mengulangi perbuatan dosa lagi, serta mengucapkan istigfar, maka hatinya akan menjadi bersih kembali. Titik hitam itulah yang dimaksud oleh firman Allah (Q.S.83:14) yang artinya:sekali-kali tidak (demikian) sebenarnyayang mereka lakukan membuat noda hitam dalam hatinya” (HR. Ibnu Majjah dan Imam Ahmad).
Perbuatan dosa juga dapat menghalangi pelakunya untuk mendapatkan rezeki, sebagaimana sabda Rasulullah saw yang artinya: “Umur tidak akan bertambah kecuali dengan perbuatan baik; tidak ada yang dapat menolak takdir kecuali do’a; dan seseorang dapat terhalang rezekinya karena mengerjakan dosa” (HR. Ibnu Majjah).
Menurut para ahli ilmu jiwa, banyak problema kejiwaan yang menimpa ternyata berpangkal dari perasaan berdosa terhadap perbuatan yang pernah dikerjakan meskipun tanpa disengaja. Perasaan bersalah akan selalu membuat pelaku dosa merasa cemas dan khawatir, serta menjadi sumber segala macam ketidaktenangan.
Pada dasarnya, seluruh jenis penyakit jiwa adalah penyakit yang mengidap di dalam perasaan sebagai suatu media untuk melarikan diri dari kenyataan dengan cara menyiksa diri. Mereka dikejar-kejar oleh dosa, sehingga menimbulkan komplikasi sebagai berikut:
1.        Selalu merasa khawatir, was-was dan histeri;
2.        Merasa seolah-olah diri penderita terserang penyakit jasmani, padahal kenyataanya, penyakit tersebut tidalah jelas dan sangat sulit untuk dicarikan terapi;
3.        Keguncangan jiwa yang menimbulkan sikap frustasi bagi penderita di dalam pergaulan. Terkadang keguncangan jiwa ini mendorong penderita untuk lebih berani melakukan kejahatan atau bermain judi, menghisap morphin, dan menyenangi minuman keras. Terkadang penderita menjadi malas, tak ada semangat bekerja, dan mempunyai sikap membandel.
4.        Penderita akan terserang penyakit phobi (ketakutan). Dalam hal ini, penderita akan merasa dikejar-kejar oleh rasa takut, sulit menguasai dirinya dan sensitif terhadap berbagai persoalan.
Agama Islam memerintahkan umatnya yang telah mengerjakan dosa agar bertaubat, yaitu meninggalkan dosa-dosa seketika dan bertekad tidak akan melakukannya lagi. Taubat* adalah proses kejiwaan yang mempunyai banyak manfaat dan dapat membantu seseorang yang pernah melakukan kejahatan atau kesalahan untuk bisa membangun kembali dirinya melalui taubat.
Dengan pensyari’atan atau taubat, maka dapat dimengerti bahwa hal tersebut merupakan rahmat Allah yang tidak terhingga. Al-Quran telah menetapkan masalah taubat pada beberapa ayat, yang intinya adalah bahwa taubat selalu terbuka bagi siapa saja yang bermaksud membersihkan dirinya dari noda dan dosa. Atau siapa saja yang menginginkan kepada jalan kebenaran serta kembali menghormati norma-norma ruhaninya.

DAFTAR PUSTAKA:
Depag RI. Al-Quran dan Terjemahnya. Edisi Baru. Jakarta: CV. Toha Putra Semarang. 1989.
Al-Ghazali. Mukhtasar Ihya “ulum al-Din. Cetakan I. Terjemahan Zaid Husein al-Hamid. Jakarta: Pustaka Amani. 1995 M/1416 H.
Sabiq, Sayyid. Fiqh al-Sunnah. Jilid I. Cetakan IV. Bairut: Dar al-Fikr. 1983 M/1403 H.
Al-Shan’ani, Muhammad bin Ismail al-Kahlani. Subul al-Salam. Juz IV Bandung: Dahlan. Tanpa Tahun
Unais. Ibrahim, dkk. Al-mu’jam al Wasith. Juz I. Cetakan II. Kairo. Tanpa Tahun.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

dunia ini memang indah,, tergantung bagaimana kita menjaga keindahan itu,,. untuk itu mari kita bersatu, satu pikiran satu tujuan untuk Indonesia merdeka,.. berpisah kita berjuang bersatu kita memukul..