Dosa. Dalam al-Qur’an disebut zanbun atau ismun.
Dalam kamus kata ismun diartikan dengan kata perbuatan yang menimbulkan ‘uqubah
(hukuman atau siksaan), sedangkan kata zanbun diartikan dengan
mengerjakan sesuatu yang tidak disyari’tkan.
Dalam pandangan agama islam, dosa dibedakan ke dalam dua bagian,
(1) dosa besar dan (2) dosa kecil. Allah berfirman dalam al-Qur’an surat Ali
Imran (4) ayat 31 yang artinya: “Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar di
antara dosa-dosa yang dilarang kamu mengerjakannya, niscaya Kami hapus
kesalahan-kesalahanmu (dosa-dosamu yang kecil), dan Kmai masukkan kami ke
tempat yang mulia (syurga).”
Dosa Besar. Para ulama berbeda pendapat mengenai defenisi dosa
besar. Sebagian ulama mendefenisikan dosa besar dengan “setiap sesuatu yang
dilarang Allah; segala sesuatu yang diharamkan melalui nash al-Qur’an; seluruh
nash-nash yang mengancam pelaku perbuatan dengan ancaman hukuman di akhirat,
nmendapat laknat Allah atau mendapat ancaman keras, dan pelakunya diberi
predikat fasik, atau pelakunya harus dikenai hukuman had”
Menurut ‘izzuddin bin ‘Abd al-Salam (w. 660 H), seorang tokoh
fuqaha mazhab syafi’iyyah, apabila ingin mengetahui perbedaan antara dosa-dosa
besar dan dosa-dosa kecil, maka bandingkanlah kerusakan yang diakibatkan oleh
dosa-dosa tersebut dengan dosa-dosa besar yang telah ada nash-nya. Apabila pada
kenyataannya kerusakan yang ditimbulkan itu hanya sedikit, maka yang demikian
adalah dosa kecil. Akan tetapi, apabila kerusakan yang diakibatkannya itu
sebanding atau lebih besar, yang demikian itu adalah dosa besar.
Sebagian ulama berpendapat, bahwa tidak ada dosa besar dengan
membaca istigfar (minta ampun), dan tidak ada istilah dosa kecil bila
dilakukan terus-menerus. Dengan kata lain, dosa besar dapat diampuni dengan
memohon ampun (istigfar), dan dosa kecil dapat menjadi dosa besar bila
dilakukan terus-menerus.
Berdasarkan hadis, ada tujuh macam dosa besar, disamping ada
beberapa hadis sahih yang membicarakan dosa-dosa besar lebih dari tujuh macam.
Rasulullah saw pada setiap kesempatan hanya menyebut dosa yang dianggap relevan
waktu itu, tidak pernah merinci berbagai macam doisa dengan rincian yang
terbatas (pasti).
Menurut al-Shan’ani (w. 1182 H), seorang pakar hadis Mazhab Syi’ah
Zaidiyyah, perbedaan dosa besar dan dosa kecil adalah nisbi (relatif), tidak
dapat diapastikan bahwa sesuatu itu dosa kecil atau dosa besar, kecuali dengan
merujuk kepada nash Syari’ (ketentuan al-Qur’an dan Hadis). Dosa yang
telah ditetapkan sebagai dosa besar, maka tetap menjadi dosa besar, dan dosa
selainnya tetap berada dalam kesamaran dan kemungkinan (apakah dosa besar atau
dosa kecil).
Al-Alai (w. 761 H) dalam kitabnya al-Qawaid, sebagaimana
dikutip Shan’ani, menetapkan dosa besar yang telah dinashkan itu sebanyak dua
puluh lima. Yaitu syirik (menyekutukan Allah), membunuh, berzina; yang paling
keji adalah berzina dengan halilah (isteri) tetangga, melarikan diri
dari medan perang, memakan riba, memakan harta anak yatim, menuduh berzina
kepada perempuan baik-baik, sihir, mencemarkan kehormatan (orang lain) tanpa
ada hak, saksi palsu, sumpah palsu, namimah (mengadu domba), sariqah (mencuri),
meminum khamar*, menghalalkan Bait Allah yang haram, tidak menepati janji,
meninggalkan sunnah*, ta’aruf (menjadi orang arab badui) setelah hijrah, putus
asa dari rahmat Allah, merasa aman dari makar (tipu daya) Allah, tidak
memberikan kelebihan air kepada ibnu sabil, tidak tanazzuh (membersihkan diri)
dari air kencing, menyakiti kedua orang tua, menyebabkan dia berdua dicaci maki,
dan tidak menjalankan wasiat.
‘Izzuddin bin Abd al-Salam menguraikan defenisinya di atas secara
gamblang dalam kitabnya Qawaid al-Ahkam fi Mashalih al-Anam. Menurutnya, siapa
yang mencaci maki Tuhan atau Rasulullah saw, menghina para rasul atau berdusta
kepada salah satu dari mereka, mengotori ka’bah dengan kotoran, dan membuang
mushab (al-Qur’an) ke dalam qazurat (tempat atau keranjang sampah), termasuk
dosa paling besar dari dosa-dosa besar (akbar al-kabair), meskipun syara’ tidak
menjelaskannya bahwa itu semua dosa besar. Seseorang yang menahan perempuan
muhsan untuk orang yang akan berzina dengannya, atau menahan orang muslim untuk
orang yang akan membunuhnya, maka tidak diragukan lagi bahwa mafsadatnya lebih
besar bila dibandingkan dengan mafsadat memakan harta anak yatim meskipun
memakan harta anak yatim itu sendiri juga tergolong ke dalam dosa besar. Begitu
pula bila seseorang menunjukkan ‘aurat (kelemahan-kelemahan) kaum muslimin
kepada orang-orang kafir, padahal ia mengetahui bahwa mereka (orang-orang
kafir) akan menyerang, menawan mereka, merampas harta mereka, memperkosa
perempuan-perempuan mereka, dan menghancurkan bangunan-banguna mereka.
Menurutnya mafsadat perbuatan ini lebih besar bila dibandingkan dengan mafsadat
lari dari medan perang tanpa ada uzur, meskipun lari dari medan perang juga
sama termasuk dosa besar.
Selanjutnya ‘Izzuddin berpendapat, termasuk dosa besar adalah orang
yang berdusta kepada oorang lain, yang dapat menyebabkan kematiannya.
Seandainya ia berdusta kepada seseorang yang dengan dustanya tersebut
menyebabkan sebutir kormanya akan dirampas, maka itu tidak termasuk dosa besar.
Syara’ telah menetapkan bahwa saksi palsu dan memakan harta anak yatim termasuk
dosa besar. Ketentuan ini tidak ada permasalahan bila berkaitan dengan harta
yang penting. Akan tetapi, ada kemusykilan (kesulitan dalam menetapkan status
hukumnya apakah termasuk dosa besar atau bukan), bila berkaitan dengan harta
yang tidak penting (seberapa), seperti sebutir zabib (anggur kering) dan tamar
(korma)*. Menurutnya, dalam kasus ini boleh perbuatan tersebut dimasukkan ke
dalam dosa besar, demi untuk menjaga kemafsadatan yang ditimbulkannya. Ia
menganalogikan kasus tersebut dengan setetes khamar yang tidak secara jelas
menimbulkan kemafsadatan. Atau, katanya, boleh diperkirakan (besar kecilnya)
batasan hartanya tersebut dengan nishab pencurian.
Dosa kecil. Dosa-dosa atau kesalahan-kesalahan kecil juga ditemukan
di dalam al-Qur’an, seperti terdapat dalam surat al-Najm (53) ayat 32 yang
artinya: “(yaitu) ora.ng yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan keji yang
selain dari kesalahan-kesalahan kecil. Sesungguhnya Tuhanmu Maha Luas
ampunannya.”
Tidak ada seorangpun yang dapat lolos dari dosa-dosa atau
kesalahan-kesalahan kecil ini, kecuali orang yang makshum (dijaga) oleh Allah
seperti Nabi dan Rasul. Rasulullah saw bersabda yang artinya: “sesungguhnya
Allah telah menetapkan bagian-bagian anak adam (manusia) dalam masalah zina,
yang tidak dapat dielakkan lagi olehnya. Zina mata adalah melihat (perempuan
lain), zina lidah adalah berbicara (tentang sesuatu yang menjurus ke arah
zina), dan zina hati adalah menginginkan faraj (perempuan lain) baik ia merasa
atau tidak.” (H.R Bukhari Muslim).
Sebagian ulama berpendapat bahwa dosa kecil adalah setiap perbuatan
yang tidak ada aturan hukaman hadnya di dunia, dan tidak ada siksaan dihari
pembalasan kelak. ‘Izzuddin bin ‘Abd al-Salam berpendapat, dosa kecil adalah
setiap perbuatan yang mafsadatnya lebih kecil dari maslahatnya setelah
dibandingkan dengan dosa-dosa besar yang telah ditetapkan nash.
Terdapat sebuah hadis yang menerangkan bahwa diantara perbuatan
yang dapat mengahapus dosa-dosa kecil adalah salat lima waktu. Dengan ketentuan
bahwa dosa-dosa kecil itu belum sampai kepada tingkat perbuatan dosa besar atau
perbuatan yang keji. Rasulullah saw bersabda yang artinya: “salat lima waktu,
antara salat jum’at sampai kepada salat jum’at yang lainnya, dan antara bulan
Ramadhan sampai bulan Ramadhan yang lainnya, dapat menjadi kifarat (penghapus)
dosa selama dosa-dosa besar dijauhi” (H.R Muslim).
Dosa kecil bila dikerjakan secara terus menerus dapat menjadi dosa
besar. Menurut ‘Izzuddin, masalah pengulangan terkait dengan perasaan seseorang
yang menganggap kecil dosanya, sehingga ia tidak begitu mengkhawatirkan masalah
agamanya. Perbuatan menganggap kecil terhadap dosa meskipun dosa itu memang
kecil, bila dilakukan secara terus-menerus, dua kali atau lebih termasuk dalam
kelompok dosa-dosa besar. Begitu pula bila bertumpuknya dosa-dosa kecil yang
berbeda-beda, inipun tergolong dalam dosa besar meskipun yang paling kecil.
Rasulullah saw bersabda yang artinya: “hindarilah dosa-dosa yang
kecil, karna dosa kecil itu dapat bertumpuk pada seseorang, sehingga akan
membinasakannya (dapat menjadi dosa besar)” (H.R Imam Ahmad).
Dosa lahir dan batin. Al-Qur’an memerintahkan kepada seluruh umat
manusia agar meninggalkan dosa-dosa batin, yaitu dosa-dosa yang berkaitan
dengan hati, dimana dosa ini sangat berat sekali untuk dihindari, seperti sifat
munafik dan ria, disamping dosa-dosa yang lahir (tampak). Dosa-dosa yang tampak
secara kongkrit, kemungkinan besar akan banyak ditinggalkan setiap orang karena
merasa malu kepada orang lain. Atau bisa jadi karena takut mendapatkan celaan,
atau merasa takut terhadap ancaman hukuman di dunia. Akan tetapi, bagi
dosa-dosa batin atau yang tidak tampak secara jelas, karena berkaitan dengan
hati, tentu orang lain tidak dapat melihatnya. Namun, menjauhi dosa-dosa batin
justru akan lebih dapat mengantarkan seseorang kepada derajat yang luhur,
sempurna, dan akhlak yang mulia.
Allah berfirman dalam surat al-An’am (6) ayat 120 yang artinya:
“dan tinggalkanlah dosa yang nampak dan yang tersembunyi. Sesungguhnya
orang-orang yang mengerjakan dosa, kelak akan diberi pembalasan (pada hari
kiamat), disebabkan apa yang mereka telah kerjakan.”
Ayat ini mengingatkan agar setiap manusia menjauhi segala macam
perbuatan dosa, baik dosa yang nampak maupun yang tidak tampak. Seorang muslim
harus menjadi pengontrol bagi dirinya sendiri, baik dalam keadaan sendiri
maupun bersama-sama dengan orang lain. Seorang muslim harus mempunyai keyakinan
bahwa terdapat kekuasaan Allah yang selalu mengawasi segala perbuatannya, dan
akan meminta pertanggung jawabannya dihari kemudian kelak. Allah berfirman
dalam surat al-Baqarah (2) ayat 284 yang artinya: “kepunyaan Allah-lah segala
apa yang ada di langit dan di bumi. Dan jika kamu melahirkan apa yang ada dalam
hatimu atau menyembunyikannya niscaya Allah akan membuat perhitungan dengan
kamu tentang perbuatanmu.”
Ajaran islam menghubungkan pengawasan terhadap diri sendiri
(self-control) ini dengan pemikiran rasional dan perasaan seorang mukmin. Oleh
karena itu, Islam mengaggap setiap amal kebajikan dan amal saleh sebagai
perbuatan yang dapat menenangkan hati dan jiwa. Sebaliknya, perbuatan dosa
justru akan menggelisahkan hati dan jiwa. Rasulullah saw bersabda yang artinya:
“perbuatan baik adalah suatu perbuatan yang dapat mententramkan jiwa dan
menenangkan hati. Perbuatan dosa adalah perbuatan yang tidak mententramkan jiwa
dan tidak menengkan hati, meskipun kamu mendapatkan fatwa dari para mufti (ahli
fatwa)”(H.R Imam Ahmad).
Dalam hadis lain Rasulullah saw bersabda yang artinya: “Yang
dinamakan dosa adalah perbuatan yang menggelisahkan jiwa, dan tidak mau
diketahui orang lain” (HR. Imam Ahmad). Begitu juga rasulullah saw bersabda
yang artinya: “Tinggalkanlah apa yang meragukanmu dan kerjakanlah apa yang
tidak meragukanmu” (HR. Al-Nasai)
Keyakinan bahwa Allah swt selalu mengawasi kaum muslimin merupakan
satu keistimewaan mereka, yang dapat membedakan mereka dari masyarakat yang
berasaskan materi. Dalam masyarakat yang hanya berpegang kepada kekuatan
materi, sangat memungkinkan seseorang melakukan perbuatan yang bertentangan
dengan undang-undang secara sembunyi-sembunyi. Ia akan merasa aman dari kejaran
hukum.
Ampunan dosa khusus milik Allah. Ada sebagian agama yang
berpendapat bahwa hak pengampunan terhadap dosa diberian kepada Tuhan dan
selain-Nya, seperti kepada para Nabi dan hamba-hamba-Nya yang saleh, atau
kepada para pemuka agama. Menurut agama Islam, hak pengampunan dosa hanya
berada di tangan Allah, dan tidak ada seorangpun yang berhak melakukannya.
Allah swt berfirman dalam Surat al-Imran (3) ayat 135 yang artinya: “..Mereka
ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka, dan siapa lagi
yang dapat mengampuni dosa selain daripada Allah ?” Jawaban atas pertanyaan ini
dijelaskan oleh firman Allah Surat al-Mu’min (40) ayat 3 yang artinya: “(Allah)
yang mengampuni dosa dan menerima taubat..”.
Nabi Muhammad saw sendiri tidak mempunyai hak untuk mengampuni
dosa. Sebaliknya, beliau masih memerlukan maghfirah (ampunan) dari Allah.
Beliau bersabda yang artinya: “sesungguhnya aku beristighfar (meminta ampunan)
kepada Allah dan bertaubat kepada-Nya setiap hari sebanyak tujuh puluh kali”
(HR. Al-Bukhari). Pada kesempatan lain beliau bersabda yang artinya: “Beramal
salehlah wahai Fatimah, karena aku tidak dapat berbuat apa-apa terhadap dirimu
di hadapan Allah.”
Menurut pandangan Islam, memberikan hak pengampunan dosa kepada
selain Allah termasuk dalam kategori musyrik (menyekutukan Allah). Memang,
dalam ajaran Islam ampunan terhadap beberapa dosa ada yang terkait dengan orang
lain, yang lazim disebut dengan hak adami. Tetapi, Allah akan mengampuni dosa
seseorang yang berkaitan dengan sesamanya bila sesamanya itu telah mengampuni
dia. Akan tetapi, itu bukan berarti bahwa seseorang punya hak untuk mengampuni
dosa orang lain, karena hak itu sepenuhnya milik Allah. Hal ini karena bila
seseorang meminta maaf kepada orang lain, kemudian orang itu tidak mau
memaafkannya, maka ia telah bebas dari kesalahan dan sepenuhnya Allahlah yang
akan menentukan apakah dosanya itu diampuni atau tidak. Bahkan sebaliknya,
orang yang tidak mau memaafkan kesalahan orang lain itu justru yang akan
mendapat murka dari Allah swt.
Dalam pandangan islam sesuatu yang berkaitan dengan hak orang lain
tidak sah bertobat darinya kecuali dengan menyerahkan keputusannya kepada orang
tersebut, seperti masalah qisas, barang-rampasan, dan berbagai macam denda
serta hukuman atas tuduhan bohong.
Menurut Sayyid Sabiq, memohonkan ampunan dan menyebut-nyebut
kebaikan seseorang akan dapat menghapus dosa bergunjing, dan tidak perlu
memberitahukan atau meminta maaf kepada pihak yang bersangkutan.
Dampak dosa terhadap manusia. Perbuatan dosa akan menggelapkan
hati. Apabila hati telah gelap karena noda dan dosa, maka hati akan semakin
keras dan semakin jauh dari Allah swt. Dengan demikian, timbullah berbagai
macam kejahatan dalam masyarakat. Rasulullah saw bersabda yang artinya:
“Sesungguhnya apabila seorang mu’min mengerjakan dosa, maka hatinya akan
ternoda oleh titik hitam. Apabila ia bertobat dan tidak mengulangi perbuatan
dosa lagi, serta mengucapkan istigfar, maka hatinya akan menjadi bersih
kembali. Titik hitam itulah yang dimaksud oleh firman Allah (Q.S.83:14) yang
artinya:sekali-kali tidak (demikian) sebenarnyayang mereka lakukan membuat noda
hitam dalam hatinya” (HR. Ibnu Majjah dan Imam Ahmad).
Perbuatan dosa juga dapat menghalangi pelakunya untuk mendapatkan
rezeki, sebagaimana sabda Rasulullah saw yang artinya: “Umur tidak akan
bertambah kecuali dengan perbuatan baik; tidak ada yang dapat menolak takdir
kecuali do’a; dan seseorang dapat terhalang rezekinya karena mengerjakan dosa”
(HR. Ibnu Majjah).
Menurut para ahli ilmu jiwa, banyak problema kejiwaan yang menimpa
ternyata berpangkal dari perasaan berdosa terhadap perbuatan yang pernah
dikerjakan meskipun tanpa disengaja. Perasaan bersalah akan selalu membuat
pelaku dosa merasa cemas dan khawatir, serta menjadi sumber segala macam
ketidaktenangan.
Pada dasarnya, seluruh jenis penyakit jiwa adalah penyakit yang
mengidap di dalam perasaan sebagai suatu media untuk melarikan diri dari
kenyataan dengan cara menyiksa diri. Mereka dikejar-kejar oleh dosa, sehingga
menimbulkan komplikasi sebagai berikut:
1.
Selalu
merasa khawatir, was-was dan histeri;
2.
Merasa
seolah-olah diri penderita terserang penyakit jasmani, padahal kenyataanya, penyakit
tersebut tidalah jelas dan sangat sulit untuk dicarikan terapi;
3.
Keguncangan
jiwa yang menimbulkan sikap frustasi bagi penderita di dalam pergaulan.
Terkadang keguncangan jiwa ini mendorong penderita untuk lebih berani melakukan
kejahatan atau bermain judi, menghisap morphin, dan menyenangi minuman keras.
Terkadang penderita menjadi malas, tak ada semangat bekerja, dan mempunyai
sikap membandel.
4.
Penderita
akan terserang penyakit phobi (ketakutan). Dalam hal ini, penderita akan merasa
dikejar-kejar oleh rasa takut, sulit menguasai dirinya dan sensitif terhadap
berbagai persoalan.
Agama Islam memerintahkan umatnya yang telah mengerjakan dosa agar
bertaubat, yaitu meninggalkan dosa-dosa seketika dan bertekad tidak akan
melakukannya lagi. Taubat* adalah proses kejiwaan yang mempunyai banyak manfaat
dan dapat membantu seseorang yang pernah melakukan kejahatan atau kesalahan
untuk bisa membangun kembali dirinya melalui taubat.
Dengan pensyari’atan atau taubat, maka dapat dimengerti bahwa hal
tersebut merupakan rahmat Allah yang tidak terhingga. Al-Quran telah menetapkan
masalah taubat pada beberapa ayat, yang intinya adalah bahwa taubat selalu
terbuka bagi siapa saja yang bermaksud membersihkan dirinya dari noda dan dosa.
Atau siapa saja yang menginginkan kepada jalan kebenaran serta kembali
menghormati norma-norma ruhaninya.
DAFTAR
PUSTAKA:
Depag RI.
Al-Quran dan Terjemahnya. Edisi Baru. Jakarta: CV. Toha Putra Semarang. 1989.
Al-Ghazali.
Mukhtasar Ihya “ulum al-Din. Cetakan I. Terjemahan Zaid Husein al-Hamid.
Jakarta: Pustaka Amani. 1995 M/1416 H.
Sabiq, Sayyid.
Fiqh al-Sunnah. Jilid I. Cetakan IV. Bairut: Dar al-Fikr. 1983 M/1403 H.
Al-Shan’ani,
Muhammad bin Ismail al-Kahlani. Subul al-Salam. Juz IV Bandung: Dahlan. Tanpa
Tahun
Unais. Ibrahim,
dkk. Al-mu’jam al Wasith. Juz I. Cetakan II. Kairo. Tanpa Tahun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
dunia ini memang indah,, tergantung bagaimana kita menjaga keindahan itu,,. untuk itu mari kita bersatu, satu pikiran satu tujuan untuk Indonesia merdeka,.. berpisah kita berjuang bersatu kita memukul..