Pernikahan merupakan ikatan
diantara dua insan yang mempunyai banyak perbedaan, baik dari segi fisik,
asuhan keluarga, pergaulan, cara berfikir (mental), pendidikan dan lain hal.
Dalam pandangan Islam, pernikahan merupakan ikatan yang amat suci dimana dua insan yang berlainan jenis dapat hidup bersama dengan direstui agama, kerabat, dan masyarakat.
Aqad nikah dalam Islam berlangsung sangat sederhana, terdiri dari dua kalimat “ijab dan qabul”. Tapi dengan dua kalimat ini telah dapat menaikkan hubungan dua makhluk Allah dari bumi yang rendah ke langit yang tinggi. Dengan dua kalimat ini berubahlah kekotoran menjadi kesucian, maksiat menjadi ibadah, maupun dosa menjadi amal sholeh. Aqad nikah bukan hanya perjanjian antara dua insan. Aqad nikah juga merupakan perjanjian antara makhluk Allah dengan Al-Khaliq. Ketika dua tangan diulurkan (antara wali nikah dengan mempelai pria), untuk mengucapkan kalimat baik itu, diatasnya ada tangan Allah SWT, “Yadullahi fawqa aydihim”.
1.Pendahuluan
Salah satu ajaran yang penting dalam Islam adalah pernikahan (perkawinan). Begitu pentingnya ajaran tentang pernikahan tersebut sehingga dalam Alquran terdapat sejumlah ayat baik secara langsung maupun tidak langsung berbicara mengenai masalah pernikahan dimaksud ( al – Baqi, 1987: 332-333 dan 718). Nikah artinya menghimpun atau mengumpulkan. Salah satu upaya untuk menyalurkan naluri seksual suami istri dalam rumah tangga sekaligus sarana untuk menghasilkan keturunan yang dapat menjamin kelangsungan eksistensi manusia di atas bumi. Keberadaan nikah itu sejalan dengan lahirnya manusia di atas bumi dan merupakan fitrah manusia yang diberikan Allah SWT terhadap hamba-Nya.
Dalam pandangan Islam, pernikahan merupakan ikatan yang amat suci dimana dua insan yang berlainan jenis dapat hidup bersama dengan direstui agama, kerabat, dan masyarakat.
Aqad nikah dalam Islam berlangsung sangat sederhana, terdiri dari dua kalimat “ijab dan qabul”. Tapi dengan dua kalimat ini telah dapat menaikkan hubungan dua makhluk Allah dari bumi yang rendah ke langit yang tinggi. Dengan dua kalimat ini berubahlah kekotoran menjadi kesucian, maksiat menjadi ibadah, maupun dosa menjadi amal sholeh. Aqad nikah bukan hanya perjanjian antara dua insan. Aqad nikah juga merupakan perjanjian antara makhluk Allah dengan Al-Khaliq. Ketika dua tangan diulurkan (antara wali nikah dengan mempelai pria), untuk mengucapkan kalimat baik itu, diatasnya ada tangan Allah SWT, “Yadullahi fawqa aydihim”.
1.Pendahuluan
Salah satu ajaran yang penting dalam Islam adalah pernikahan (perkawinan). Begitu pentingnya ajaran tentang pernikahan tersebut sehingga dalam Alquran terdapat sejumlah ayat baik secara langsung maupun tidak langsung berbicara mengenai masalah pernikahan dimaksud ( al – Baqi, 1987: 332-333 dan 718). Nikah artinya menghimpun atau mengumpulkan. Salah satu upaya untuk menyalurkan naluri seksual suami istri dalam rumah tangga sekaligus sarana untuk menghasilkan keturunan yang dapat menjamin kelangsungan eksistensi manusia di atas bumi. Keberadaan nikah itu sejalan dengan lahirnya manusia di atas bumi dan merupakan fitrah manusia yang diberikan Allah SWT terhadap hamba-Nya.
Oleh
karena itu, dalam pembahasan singkat berikut akan
dijelaskan secara global tentang (1) konsep pernikahan dalam Al-quran dan (2)
bagaimana kaum muslimin mengembangkan konsep untuk menjaga dan melanggengkan
pernikahan tersebut yang tertuang dalam perundang-undangan mereka dewasa ini.
2.Pengertian
Dalam
Al-Quran ada dua kata kunci yang menunjukkan konsep
pernikahan, yaitu zawwaja dan kata derivasinya berjumlah lebih kurang dalam 20
ayat dan nakaha dan kata derivasinya sebanyak lebih kurang dalam 17 ayat
(Al-Baqi 1987: 332-333 dan 718).Yang dimaksud dengan nikah dalam konteks
pembicaraan ini adalah ikatan (aqad )perkawinan ( al – Asfihani, Tanpa Tahun :
220 dan 526). Perlu pula dikemukakan bahwa Ibnu Jini pernah bertanya kepada Ali
mengenai arti ucapan mereka nakaha al-mar ah, Dia menjawab : “orang-orang Arab
menggunakan kata nakaha dalam konteks yang berbeda, sehingga maknanya dapat
dipisahkan secara halus, agar tidak menyebabkan kesimpangsiuran. Kalau mereka
mengatakan nakaha fulan fulanah,yang dimaksud adalah ia menjalin ikatan
perkawinan dengan seorang wanita. Akan tetapi apabila mereka mengatakan nakaha
imraatahu, yang mereka maksudkan tidak lain adalah persetubuhan (Razi, Juz VI :
59). Lebih jauh lagi al – Karkhi berkata bahwa yang dimaksud dengan nikah
adalah ikatan perkawinan, bukan persetubuhan. Dengan demikian bahwa sama sekali
tidak pernah disebutkan dalam Al-Quran kata nikah dengan arti wati’, karena Al
– Quran menggunakan kinayah. Penggunaan kinayah tersebut termasuk gaya bahasa
yang halus ( al-Sabuni, Tanpa Tahun, I : 285).
Ada
beberapa definisi nikah yang dikemukakan ulama fiqh, tetapi seluruh definisi
tersebut mengandung esensi yang sama meskipun redaksionalnya berbeda. Ulama
Mazhab Syafi’i mendefinisikannya dengan “akad yang mengandung kebolehan
melakukan hubungan suami istri dengan lafal nikah/kawin atau yang semakna
dengan itu”. Sedangkan ulama Mazhab Hanafi mendefinisikannya dengan “akad yang
mempaedahkan halalnya melakukan hubungan suami istri antara seorang lelaki dan
seorang wanita selama tidak ada halangan syara’.
Definisi
jumhur ulama menekankan pentingnya menyebutkan lafal yang dipergunakan dalam
akad nikah tersebut, yaitu harus lafal nikah, kawin atau yang semakna dengan
itu. Dalam definisi ulama Mazhab Hanafi, hal ini tidak diungkapkan secara
jelas, sehingga segala lafal yang mengandung makna halalnya seorang laki-laki
dan seorang wanita melakukan hubungan seksual boleh dipergunakan, seperti lafal
hibah.Yang dapat perhatian khusus bagi ulama Mazhab Hanafi, disamping masalah
kehalalan hubungan seksual, adalah tidak adanya halangan syara’ untuk menikahi
wanita tersebut. Misalnya. Wanita itu bukan mahram dan bukan pula penyembah
berhala. Menurut jumhur ulama, hal-hal seperti itu tidak dikemukakan dalam
definisi mereka karena hal tersebut cukup dibicarakan dalam persyaratan nikah.
Imam
Muhammad Abu Zahrah (w. 1394 H/1974 M), ahli hukum Islam dari Universitas
al-Azhar, berpendapat bahwa perbedaan kedua definisi di atas tidaklah bersifat
prinsip. Yang menjadi prinsip dalam definisi tersebut adalah nikah itu membuat
seorang lelaki dan seorang wanita halal melakukan hubungan seksual. Untuk mengkompromikan
kedua definisi, Abu Zahrah mengemukakan definisi nikah, yaitu “akad yang
menjadikan halalnya hubungan seksual antara seorang lelaki dan seorang wanita,
saling tolong menolong di antara keduanya serta menimbulkan hak dan kewajiban
di antara keduanya”. Hak dan kewajibanyang dimaksudkan Abu Zahrah adalah hak
dan kewajiban yang datangnya dari asy-Syar’I-Allah SWT dan Rasul-Nya (
Tim,1996, 4: 1329).
3.Tujuan Pernikahan
Salah
satu ayat yang biasanya dikutip dan dijadikan sebagai dasar untuk menjelaskan
tujuan pernikahan dalam Al-Quran adalah “Dan di antara tanda-tanda
kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri,
supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di
antaramu rasa kasih sayang …” (Q.S.30:21 ).
Berdasarkan
ayat di atas jelas bahwa Islam menginginkan pasangan suami istri yang telah
membina suatu rumah tangga melalui akad nikah tersebut bersifat langgeng.
Terjalin keharmonisan di antara suami istri yang saling mengasihi dan menyayangi
itu sehingga masing-masing pihak merasa damai dalam rumah tangganya.
Rumah
tangga seperti inilah yang diinginkan Islam, yakni rumah tangga sakinah,
sebagaimana disyaratkan Allah SWT dalam surat ar-Rum (30) ayat 21 di atas. Ada
tiga kata kunci yang disampaikan oleh Allah dala ayat tersebut, dikaitkan
dengan kehidupan rumah tangga yang ideal menurut Islam , yaitu sakinah
(as-sakinah), mawadah (al-mawaddah), dan rahmat (ar-rahmah). Ulama tafsir
menyatakan bahwa as-sakinah adalah suasana damaiyang melingkupi rumah tangga
yang bersangkutan; masing-masing pihak menjalankan perintah Allah SWT dengan
tekun, saling menghormati, dan saling toleransi.
Dari
suasana as-sakinah tersebut akan muncul rasa saling mengasihi dan menyayangi
(al-mawadah), sehingga rasa tanggung jawab kedua belah pihak semakin tinggi.
Selanjutnya, para mufasir mengatakan bahwa dari as-sakinah dan al-mawadah
inilah nanti muncul ar-rahmah, yaitu keturunanyang sehat dan penuh berkat dari
Allah SWT, sekaligus sebagai pencurahan rasa cinta dan kasih suami istri dan
anak-anak mereka ( Al-Qurtubi,1387, XIV: 16-17 dan Al-Qasimi, Tanpa Tahun, XIII
: 171-172).
4.Hikmah Nikah
Ulama fiqh mengemukakan beberapa hikmah
perkawinan, yang terpenting di antaranya adalah sebagai berikut.
1. Menyalurkan naluri seksual secara sah dan
benar. Secara alami, naluri yang sulit dibendung oleh setiap manusia dewasa
adalah naluri seksual. Islam ingin menunjukkan bahwa yang membedakan manusia
dengan hewan dalam menyalurkan naluri seksual adalah melalui perkawinan, sehingga
segala akibat negatif yang ditimbulkan oleh penyaluran seksual secara tidak
benar dapat dihindari sedini mungkin. Oleh karena itu, ulama fiqh menyatakan
bahwa pernikahan merupakansatu-satunya cara yang benar dan sah dalam
menyalurkan naluri seksual, sehingga masing-masing pihak tidak merasa khawatir
akan akibatnya. Inilah yang dimaksudkan Allah SWT dalam firman-Nya: “Dan di
antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciftakan untukmu istri-istri dari
jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan
dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih sayang …” (QS.30:21). Berkaitan dengan hal
itu, Rasulullah SAW bersabda : “Wanita itu (dilihat) dari depan seperti setan
(menggoda), dari belakang juga demikian. Apabila seorang lelaki tergoda oleh
seorang wanita, maka datangilah (salurkanlah kepada) istrinya, karena hal
ituakan dapat menentramkan jiwanya” (HR. Muslim, Abu Dawud, dan at-Tirmizi).
2. Cara paling baik untuk mendapatkan anak dan
mengembangkan keturunan secara sah. Dalam kaitan ini, Rasulullah SAW bersabda:
“Nikahilah wanitayang bisa memberikan keturunan yang banyak, karena saya akan
bangga sebagai nabi yang memiliki umat yang banyak dibanding nabi-nabi lain di
akhirat kelak” (HR. Ahmad bin Hanbal).
3. Menyalurkan naluri kebapakan atau keibuan .
Naluri ini berkembang secara bertahap, sejak masa anak-anak sampai masa dewasa.
Seorang manusia tidakakan merasa sempurna bila tidak menyalurkan naluri
tersebut.
4. Memupuk rasa tanggung jawab dalam rangka
memelihara dan mendidik anak, sehingga memberikan motivasi yang kuat bagi
seseorang untuk membahagiakan orang-orang yang menjadi tanggung jawab.
5. Membagi rasa tanggung jawab antara suami dan
istri yang selama ini dipikul masing-masing pihak.
6. Menyatukan keluarga masing-masing pihak, sehingga
hubungan silaturrahmi semakin kuat dan terbentuk keluarga baru yang lebih
banyak.
7. Memperpanjang usia. Hasil penelitian
masalah-masalah kependudukan yang dilakukan Perserikatan Bangsa-Bangsa pada
tahun 1958 menunjukkan bahwa pasangan suami istri mempunyai kemungkinan lebih
panjang umurnya dari pada orang-orang yang tidak menikah selama hidupnya.
Oleh karena itu, ulama fiqh sepakat menyatakan
bahwa untuk memulai suatu perkawinan ada beberapa langkah yang perlu dilalui
dalam upaya mencapai cita-cita rumah tangga sakinah. Langkah-langkah itu
dimulai dari peminangan (khitbah) calon istri oleh pihak laki-laki dan melihat
calon istri; sebaliknya, pihak wanita juga berhak melihat dan menilai calon
suaminya itu dari segi keserasiannya (kafaah). Masih dalam pendahuluan
perkawinan ini, menurut ulama fiqh, Islam juga mengingatkan agar wanita yang
dipilih bukan orang yang haram dinikahi (mahram). Dari berbagai rangkaian
pendahuluan perkawinan ini, menurut Muhammad Zaid al-Ibyani (tokoh fiqh dari
Bagdad), Islam mengharapkan dalam perkawinan nanti tidak muncul kendala yang
akan menggoyahkan suasana as-sakinah, al-mawadah, dan ar-rahmah.
6.Hukum Perkawinan Negara Muslim
Jika
undang-undang hukum keluarga di dunia muslim yang diberlakukan pada abad ke-20
dicermati, ternyata masalah pokok yang mendapat perhatian dalam rangka
mendukung kelanggengan kehidupan perkawinan dengan suasana sakinah, mawaddah,
dan rahmah tersebut di atas, yaitu masalah batas umur untuk kawin, masalah
peranan wali dalam nikah, masalah pendaftaran dan pencatatan perkawinan,
masalah maskawin dan biaya perkawinan, masalah poligami dan hak-hak isteri
dalam poligami, masalah nafkah isteri dan keluarga serta rumah tempat tinggal,
masalah talak dan cerai di muka pengadilan, masalah hak-hak wanita yang dicerai
suaminya, masalah masa hamil dan akibat hukumnya, masalah hak dan tanggung
jawab pemeliharaan anak setelah terjadi perceraian (Mahmood,1987:12).
1.Masalah batas umur untuk kawin.
Pasal
7 ayat (1) Undang-undang perkawinan No. 1 tahun 1974 menyatakan bahwa
perkawinan hanya diizinkan jika pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak
wanita sudah mencapai umur 16 tahun. Sedangkan Hukum Keluarga di Mesir
menjelaskan bahwa perkawinan hanya dapat diizinkan jika laki-laki berumur 18
tahun dan wanita berumur 16 tahun, demikian juga dalam Hukum Keluarga di
Pakistan dinyatakan bahwa perkawinan dapat dilakukan jika laki-laki sudah
berumur 18 tahun dan wanita berumur 16 tahun (Mahmood, 1987 :270). Batas umur
kawin untuk Indonesia di atas, jika dibandingkan dengan batas umur kawin baik
di Mesir maupun Pakistan sebenarnya sama, kecuali untuk laki-laki relatif
tinggi.
Dalam
tingkat pelaksanaan, batas umur kawin bagi wanita yang sudah rendah itu masih
belum tentu dipatuhi sepenuhnya. Untuk mendorong agar orang kawin di atas batas
umur terendahnya, sebenarnya pasal 6 ayat (2) UU No. 1 tahun 1974 telah
melakukannya dengan memberikan ketentuan bahwa untuk melaksanakan perkawinan
bagi seorang yang belum berumur 21 tahun harus mendapat izin dari orang tua.
Akan tetapi dalam kenyataan justru sering pihak orang tua sendiri yang
cenderung menggunakan batas umur terendah itu atau bahwa lebih rendah lagi. Di
Mesir, meskipun perkawinan yang dilakukan oleh orang yang belum mencapai batas
umur terendah itu sah juga, tetapi tidak boleh didaftarkan(Mudzhar,1998: 179).
Di
anak benua India, pada tahun 1929 diterbitkan suatu undang-undang untuk
mencegah perkawinan anak di bawah umur (Child Marriage Restraint Act, 1929).
Undang-undang ini menetapkan larangan mengawinkan anak perempuan sebelum
menmcapai usia 14 tahun dan anak lelaki sebelum mencapai usia 16 tahun.
Undang-undang ini juga menetapkan sanksi hukuman atas pelanggaran
ketentuan-ketentuannya. Pencegahan perkawinan anak di bawah umur yang belum
mencapai usia tersebut di anak benua India dipertegas dengan memberikan khiyar
fasakh setelah dewasa kepada anak di bawah umur itu baik yang lelaki maupun
perempuan apabila mereka dikawinkan oleh wali mereka sebelum mencapai usia
tersebut di atas (Siraj,1993:107).
Tidak
diragukan bahwa pemerataan pendidikan, kondisi sosial ekonomi dan bentuk-bentuk
pengarahan masyarakat memberi andil dalam mengurangi keinginan untuk melakukan
perkawinan di bawah umur di Mesir dan Pakistan. Akan tetapi beberapa lingkungan
sosial tertentu masih melakukan perkawinan seperti itu karena
pertimbangan-pertimbangan dan kepentingan-kepentingan yang mereka asumsikan.
Untuk memenuhi ketentuan-ketentuan guna mendapatkan perlindungan hukum mereka
cukup pergi ke dokter untuk memperoleh surat keterangan bahwa anak-anak tersebut
telah mencapai usia yang dikehendaki oleh hukum (Siraj,1993:107).
2.Masalah pencatatan perkawinan.
Masalah
pencatatan nikah ini menempati terdepan dalam pemikiran fiqh modern, mengingat
banyaknya masalah praktis yang timbul dari tidak dicatatnya perkawinan yang
berhubungan dengan soal-soal penting deperti asal-usul anak, kewarisan dan
nafkah. Timbulnya penertiban administrasi modern dalam kaitan ini telah membawa
kemudahan pencatatan akad dan transaksi –tarnsaksi yang berkaitan dengan
barang-barang tak bergerak dan perusahaan. Tidak ada kemuskilan bagi seseorang
untuk memahami sisi kemaslahatan dalam pencatatan nikah, akad dan
transaksi-transaksi ini ( Siraj,1993:105).
Pasal
2 ayat (2) UU Perkawinan No.1 tahun 1974 menyatakan bahwa tiap-tiap perkawinan
dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Meskipun Ulama
Indonesia umumnya setuju atas ayat tersebut dan tidak ada reaksi terbuka
tasanya, tetapi karena persyaratan pencatatan di atas tidak disebut dalam
kitab-kitab fiqh, dalam pelaksanaannya masyarakat muslim Indonesia masih
mendua. Misalnya, masih ada orang yang mempertanyakan apakah perkawinan yang
tidak dicatatkan itu dari segi agama lalu tidak menjadi tidak sah.
Kecenderungan
jawabannya ialah bahwa kalau semua rukun dan syarat perkawinan sebagaimana
dikehendaki dalam kitab fiqh sudah terpenuhi, suatu perkawinan itu tetap sah.
Sebagai akibatnya ialah banyak orang yang melakukan kawin di bawah tangan di
Indonesia. Apalagi jika perkawinan itu merupakan perkawinan kedua dan ketiga,
kecenderungan untuk kawin di bawah tangan semakin kuat lagi. Pada waktunya
keadaan ini dapat mengacaukan proses-proses hukum yang akan terjadi berikutnya
atau mengacaukan hak-hak hukum anak yang dihasilkannya. Seharunsnya dipahami
bahwa keharusan pencatatan perkawinan adalah benmtuk baru dan resmi dari
perintah Nabi Muhammad SAW agar mengumumkan atau mengiklankan nikah meskipun
dengan memotong seekor kambing (Mudzhar,1998 : 180-181).
Usaha
untuk menetapkan pencatatan perkawinan di Mesir dimulai dengan terbitnya Ordonansi
Tahun 1880 yang berisi ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan
pegawai-pegawai pencatat nikah dan dasar-dasar pemilihan dan pengangkatan
mereka serta menyerahkan pelaksanaan pencatatan nikah itu kepada kemauan para
pihak yang berakad dan pertimbangan kepentingan mereka. Ordonansi Tahun 1880
itu didikuti dengan lahirnya Ordonansi Tahun 1897 yang pasal 31-nya menyatakan
bahwa gugatan perkara nikah atau pengakuan adanya hubungan perkawinan tidak
akan didengar oleh pengadilan setelah meninggalnya salah satu pihak apabila
tidak dibuktikan dengan suatu dokumen yang bebas dari dugaan pemalsuan.
Sedangkan di Pakistan telah timbul pemikiran tentang kewajiban mencatatkan
perkawinan dengan ditetapkannya suatu ketentuan yang termuat dalam pasal 5
Ordonansi Hukum Keluarga Islam Tahun 1961 (Muslim Family Laws Ordinance,1961).
Dalam pasal ini ditegaskan bahwa yang berwenang mengangkat pejabat-pejabat
pencatat nikah dan mengizinkan mereka untuk melakukan pencatatan akad nikah
adalah Majelis Keluarga(Union Council) dan bahwa majelis ini memberi izin untuk
melakukan pekerjaan tersebut hanya kepada satu orang pada setiap daerah
tertentu. Sesuai dengan pasal tersebut, perkawinan yang tidak dicatat tidaklah
dianggap batal. Hanya saja para pihak berakad dan saksi yang melanggar
ketentuan ordonansi itu dapat dihukum karena tidak mencatatkan nikah itu,
dengan hukuman penjara selama-lamanya tiga bulan dan hukuman denda
setinggi-tingginya seribu rupiah. Ketentuan hukuman ini sama sekali tidaklah
bertentangan dengan dengan asas-asas pemikiran hukum pidana Islam, yang justru
memberi hak kepada penguasa untuk memberikan hukuman ta’zir bila diperlukan
guna mempertahankan kepentingan-kepentingan yang dikehendaki oleh syara’
(Siraj,1993:106).
Dari
tiga negara tersebut terdapat kesamaan pandangan tentang perlunya akad nikah
diaktakan. Pentingnya diaktakan akad perkawinan di atas karena menyangkut
persoalan asal-usul anak, kewarisan dan nafkah. Akan tetapi tiga negara di atas
belum sampai kepada sikap dan pandangan bahwa pencatatan nikah termasuk rukun
baru dari akad nikah. Hal ini dapat dilihat dari masih dianggap sah suatu
pernikahan yang tidak dicatat.
Keharusan
pencatatan perkawinan di atas seharusnya dipahami sebagai bentuk baru dan resmi
dari perintah Nabi Muhammad SAW agar mengumumkan atau menmgiklankan nikah
meskipun dengan memotong seekor kambing. Dalam masyarakat kesukuan yang kecil
dan tertutup seperti di Hijaz dahulu, dengan pesta memotong hewan memang sudah
cukup sebagai pengumuan resmi. Akan tetapi dalam masyarakat yang kompleks dan
penuh dengan formalitas seperti zaman sekarang ini, pesta dengan memotong
seekor kambing saja tidak cukup melainkan harus didokumentasikan secara resmi
pada kantor yang bertugas mengurusi hal itu. Karena itu mungkin kewajiban
pencatatan ini dapat dipikirkan untuk menjadi tambahan rukun nikah dalam kitab
fiqh baru nanti (Mudzhar,1998 :180-181).
Di
samping itu, ada pula argumen lain yang mendukung pentingnya pencatatan
perkawinan itu dilakukan dengan berpedoman pada ayat Alquran yang menyatakan
bahwa dalam melakukan transaksi penting seperti hutang-piutang hendaknya selalu
dicatatkan (Q.S. 2 : 282). Tidak syak lagi bahwa perkawinan adalah suatu
transaksi penting (Mudzhar,1999 : 112).
3. Masalah cerai di depan pengadilan
Pasal 39 ayat (1) UU Perkawinan No. 1 tahun 1974
menyatakan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan
setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan
kedua belah pihak. Aturan ini berbeda dengan kitab-kitab fiqh klasik yang
menyatakan bahwa talak dapat terjadi dengan pernyataan sepihak dari suami, baik
secara lisan maupun tertulis, secara bersungguh-sungguh atau bersenda gurau
(Mudzhar,1999:116).
Di
Pakistan, menurut UU tahun 1961 dinyatakan bahwa seorang suami masih dapat
menjatuhkan talak secara sepihak di luar pengadilan, tetapi segera setelah itu
ia diwajibkan melaporkannya kepada pejabat pencatat perceraian yang kemudian
akan membentuk Dewan Hakam (Arbitrasi) untuk menengahi dan mendamaikan kembali
pasangan suami isteri itu. Jika setelah 90 hari usaha perdamaian itu gagal,
talak itu berlaku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
dunia ini memang indah,, tergantung bagaimana kita menjaga keindahan itu,,. untuk itu mari kita bersatu, satu pikiran satu tujuan untuk Indonesia merdeka,.. berpisah kita berjuang bersatu kita memukul..