PENDAHULUAN
Hukum
kewarisan islam mengatur peralihan harta dari seorang yang telah meninggal
kepada yang masih hidup. Aturan tentang peralihan harta ini disebut dengan
berbagai nama. Dalam literatur hukum islam ditemui beberapa istilah untuk
menamakan hukam kewarisan islam seperti: Faraidh,
fiqh mawaris dan hukum Al-Waris. Perbedaan dalam penamaan ini terjadi
karena perbedaan dalam arah yang dijadikan titik utama dalam pembahasan.
A.
Kewarisan Anak dalam Kandungan
Para ulama Ushul Fiqh dalam membicarakan orang-orang yang pantas menjadi
subjek hukum atau mahkum fih, membaginya kepada dua katagori yaitu
pantas menerima hukum dan pantas menjalankan hukum. Mereka kemudian membagi
yang pantas menerima hukum itu menjadi dua, pertama pantas menerima
hukum secara tidak sempurna, kedua orang yang pantas menerima hukum
secara sempurna. Orang yang pantas menerima hukum secara tidak sempurna itu
ialah bila ia hanya pantas menerima hak-hak saja tetapi tidak pantas memikul
kewajiban atau sebaliknya; sedangkan yang sempurna itu adalah bila ia pantas
menerima keduanya. Dalam mencontohkan orang yang pantas menerima hukum yang
tidak sempurna itu yang biasa dikemukakan ialah anak dalam kandungan. Ia pantas
menerima hak-hak namun ia belum mampu menerima kewajiban.
Oleh karna bayi yang dalam kandungan itu
dinyatakan sebagai orang yang pantas menerima hak, maka ia ditetapkan sebagai
ahli waris yang berhak menerima harta warisan dari pewaris bila telah terdapat
sebab dan syarat kewarisan pada dirinya. Disamping itu, para ulama menetapkan
pula syarat-syarat seseorang dapat menguasai atau mengendalikan harta yang
dimilikinya itu, yaitu setelah ia mencapai taraf yang disebut “rasydu”
dalam arti cerdas, yang pada umumya dicapai seseorang dinyatakan dewasa. Oleh
karna masalah kewarisan itu hanya berkaitan dengan mendapatkan hak dan
bukan menguasai atau mengendalikan hak, maka ditetapkan bahwa bayi dalam
kandungan adalah ahli waris yang berhak.[1]
apabila ada
seorang laki-laki meninggal pada saat istrinya sedang hamil, maka kalau
memungkinkan diperoleh kejelasan tentang bayi yang ada dalam kandungan itu,
diberikanlah untuk bayi dalam kandungannya itu bagian warisnya sesuai dengan
hasil pembuktian yang dilakukan. Tetapi apabila tidak mungkin melakukan
pembuktian maka disisakanlah bagian tertentu untuk bayi yang masih dalam
kandungan tersebut. Para ulama mazhab berbeda pendapat tentang berapa besarnya
bagian yang dipisahkan untuknya itu.
Imam Hanafi mangatakan: Disisakanlah
untuknya satu bagian sebesar bagian seorang anak laki-laki, sebab lazimnya
seorang anaklah yang dilahirkan, sedangkan lebih dari seorang masih praduga.
Imam Malik dan Imam Syafi’i mengatakan:
Disisakan untuk bayi yang ada dalam kandungan itu sebesar empat orang anak
laki-laki dan empat orang anak perempuan.
Imamiyah mengatakan:
Disisakan untuk bayi dalam kandungan itu bagian untuk dua orang laki-laki
semata-mata untuk berhati-hati saja, lalu kepada setiap ahli waris yang
menerima fardh, seperti suami istri,
bagian minimalnya dari dua kemungkinan bagiannya (seperempat untuk suami dan
seperdelapan untuk istri).
Selanjutnya,
anak dalam kandungan itu bisa menerima waris dengan syarat dia dilahirkan dalam
keadaan hidup dan kelahiran itu terjadi kurang dari enam bulan sesudah wafat,
bahkan boleh pula dalam waktu persis enam bulan, yaitu manakala suami wanita
hamil tersebut langsung meninggal dunia sesudah ia mencampuri istrinya. Selain
itu, hendaknya kelahiran bayi tersebut tidak melampaui batas maksimal kehamilan
sesudah kematian suami, tapi dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat di
kalangan mazhab fiqih, kalau bayi tersebut dilahirkan lewat batas maksimal
kehamilan sesudah kematian suami, maka ia tidak berhak menerima waris.
Demikianlah kesepakatan para ulama mazhab. [2]
B.
Kewarisan Anak Zina
Anak zina ialah
anak yang dikandung oleh ibunya dari seorang lelaki yang menggaulinya tanpa
nikah yang dibenarkan oleh syara’. Dalam ‘urf moderen dinamakan wa’ad ghairu
syar’i(anak tidak diakui agama) sebagaimana ayahnya dinamakan ayah gharu syar’i
oleh karena itu anak zina baik laki-laki maupun perempuan, tidak diakui
hubungan darah dengan ayahnya, sebagaimana ayahnya tidak mewarisinya, lantaran
tidak ada sebab untuk mempusakai antara keduanya, yaitu hubungan darah. oleh
karena anak zina itu diakui hubungan darahnya dengan ibunya, maka dia mewarisi
ibunya sebagaimana dia mewarisi kerabat- kerabat ibunya, demikian pula
sebaliknya. maka apabila meninggal seorang anak yang diakui agama dengan
meninggalkan: ibunya dan ayahnya yang tidak diakui agama, maka semua harta
peninggalan untuk ibunya dengan jalan fardlu dan dengan jalan radd.
Dan jikalau dia meninggal dengan meninggalkan seorang ibu, saudara
laki- laki seibu dan saudra laki- laki dari ayahnya yang tidak diakui agama,
maka semua harta peninggalan adalah untuk ibunya meninggal, atau meninggal
salah seorang kerabat ibu, maka anak yang ghairu syar’i menerima pusaka dari
ibunya.
Dalam hal ini dipegang kaidah- kaidah yang umum terhadap pusaka dan apabila ayah yang bukan syar’i
meninggal atau salah seorang kerabatnya, maka anak yang bukan syar’i tidak
menerima pusaka darinya.
Sekiranya anak zina itu kembar, maka kedua-duanya saling memandang
sebagai saudara seibu saja, mengenai pelaksanaan pembagannya, ulama-ulama berbeda pendapat
Menurut Zaid bin tsabit dan ahli-ahli hukum aliran madinah
berpendapat, bahwa harta warisan anak zina itu, sama seperti tentuan harta
warisan yang bukan anak zina. Dan apabila
ibunya masih ada, maka ibunya mendapat
(1\3) bagian dan selebihnya diserahkan ke perbendaharaan umum ( baitumal ) . juga apabila dia
mempunyai saudara- saudara seibu, maka mereka ini pun mendapat (1\3) bagian.
C. Kewarisan Anak Li’an
Anak li’an ialah anak yang dilahirkan oleh seorang istri di atas
tempat tidur suaminya sedang diapun masih dalam ‘ishmah suaminya yang diakui
syara’, tetapi si suami mengatakan bahwa anak itu bukan anaknya.
Apabila seorang suami mengingkari hubungan darah dengan anak yang
dilahirkan oleh istrinya di masa itu terikat pernikhan dengannya, sedang si
suami tidak mempunyai bukti yang
membenarkan tuduhannya bahwa istrinya berzina dan cukup pula syarat-syarat
li’an yang sudah dijelaskan dalam kiatb fiqih, maka suami istri itu berli’an
dihadapan hakim untuk menghindari hukuman qadzaf,dari suami dan hukuman zina
dari istri,dengan cara yang tersebut
dibawah ini:
Suami mula-mula bersaksi di hadapan hakim dengan empat pensaksian,
yaitu dengan mengucapkan asyhadu billahi inni laminash shadiqin (saya
bersaksi dengan allah, sesungguhnya saya adalah orang-orang yang benar tentang
apa yang saya tuduhkan kepada istri saya, yaitu zina)
Dan pada kali yang kelima dia mengatakan la’natullahi ‘alaiya
inkuntu minal kadzibin (kutukan tuhan atasku jika aku seorang yang dusta
tentang tuduhanku)
Kemudian istrinya bersaksi dengan empat pensaksian pula dengan
mengucapkan asyhadu billahi innahu la minal kadzibin (saya bersaksi
dengan allah, sesungguhnya dia adalah dari orang-orang yang berdusta terhadap
tuduhannya atas diriku), dan pada kali yang kelima dia mengatakan ghaddlabullahi
alaiya in kana minash shadiqin (kemarahan allah atas diriku, jika dia
(suami) dari orang yang benar dalam tuduhannya.
Apabila telah sempurna ucapan li’an berli’an antara suami istri
dihadapan pengadilan,maka hakim pun menetapkan mereka berpisah dan
menghubungkan anak itu kapada ibunya serta menetapakan, bahwa tidak ada
hubungan darah antara anak itu dengan ayahnya.
Hukum anak li’an dalam pusaka, sama dengan hukum anak zina, karena
itu, dia menerima pusaka dari ibunya dan dari kerabat-karabat ibunya, demikian
pula sebaliknya. Tak ada pusaka antara anak li’an dengan ayahnya dan
kerabat-kerabatnya, karena hakim telah menetapkan bahwa anak itu tidak
mempunyai hubungan darah dengan ayahnya dan menghubungkannya dengan ibunya.
Disyaratkan pada pusaka anak zina dan li’an dari kerabat ibu ialah
mereka dilahirkan dalam tempo sembilan bulan (270hari) paling lama, dari
tanggal muwaris kerabat ibunya wafat supaya dapat dipastikan bahwa anak itu
telah ada di waktu muwarisnya meninggal. Dan jika ia dilahirkan sudah lewat 9
bulan sesudah muwaris meninggal, maka dia tidak menerima pusaka dari muwarisnya.[3]
KESIMPULAN
Ø bayi yang
dalam kandungan itu dinyatakan sebagai orang yang pantas menerima hak, maka ia
ditetapkan sebagai ahli waris yang berhak menerima harta warisan dari pewaris
bila telah terdapat sebab dan syarat kewarisan pada dirinya.
Ø anak dalam kandungan itu bisa menerima waris
dengan syarat dia dilahirkan dalam keadaan hidup dan kelahiran itu terjadi
kurang dari enam bulan sesudah wafat, bahkan boleh pula dalam waktu persis enam
bulan.
Ø Anak zina ialah
anak yang dikandung oleh ibunya dari seorang lelaki yang menggaulinya tanpa
nikah yang dibenarkan oleh syara’.
Ø anak zina itu diakui hubungan darahnya dengan
ibunya, maka dia mewarisi ibunya sebagaimana dia mewarisi kerabat- kerabat
ibunya, demikian pula sebaliknya.
Ø Anak li’an
ialah anak yang dilahirkan oleh seorang istri di atas tempat tidur suaminya
sedang diapun masih dalam ‘ishmah suaminya yang diakui syara’, tetapi si suami
mengatakan bahwa anak itu bukan anaknya.
Ø Hukum anak
li’an dalam pusaka, sama dengan hukum anak zina.
PENUTUP
Alhamdulillah ahkirnya kami dapat menyelesaikan makalah Fiqh
Mawaris,walaupun jauh dari kata sempurna namun kami sangat berusaha untuk
menjadi yang sempurna dan baik dalm membuat makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Ash Shiddieq, Tengku Muhammad Hasbi,
Fifqh Mawaris, Semarang: Pt Pustaka Rizki Putra, 2001
Mugniyah, Muhammad Jawad, Fiqih
Lima Mazhab
Syarifuddin, Amir, Hukum Kewarisan Islam,
Jakarta: Prenada Media,2004
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
dunia ini memang indah,, tergantung bagaimana kita menjaga keindahan itu,,. untuk itu mari kita bersatu, satu pikiran satu tujuan untuk Indonesia merdeka,.. berpisah kita berjuang bersatu kita memukul..