Hadis-Hadis
tentang Murtad
I.
PEMBAGIAN ORANG MURTAD DAN HUKUMANNYA.
Orang yang murtad tidak lepas dari tiga
keadaan ;
Pertama: Mereka berada dibawah kekuasaan Islam dan
tidak memiliki kekuatan untuk mempertahankan diri.
Para ulama dari keempat madzhab telah sepakat
bahwa orang-orang murtad yang berada di bawah kekuasaan Islam dan tidak
memiliki kekuatan : diberi tenggang waktu untuk bertaubat. Bila dalam jangka
waktu yang diberikan ia tetap tidak mau
masuk Islam, maka ia dihukum bunuh.
عَنْ عِكْرَمَةَ قَال:أُتِىَ علَىٌ رَضِىَ
اْللهُ عَنْهُ بِزَنَادِقَةٍ,فَأَحْرَقَهُمْ, فَبَلَغَ ذَلِكَ اِبْنُ عَبَّا سٍ,
فَقَالَ: لَوْ كُنْتُ اَناَ لَمْ أُحَرِّقْهُمْ,لَنَهَى رَسُولُ للهِ صَلى اللهُ
عَلَيْهِ وَالِهِ وَسَلَّمْ, قَالَ:(لَا تُعَذِّبُوْا بِعَذَاْ بِ اللهِ) وَلَقَتَلْتُهُمْ,لِقَوْلِ
رَسُوْلِ اللهِ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَأَلِهِ وَسَلَّمَ,(مَنْ بَدَّل دِيْنَهُ
فَاقْتُلُوْهُ) رواه الجما عة الا مسلما
Kepada ali
dibawa beberapa orang zindiq*. Dan ali membakar mereka. Kabar itu sampai
ketelinga ibnu abbas, dan dia berkata: sekiranya aku yang harus menghukum, aku
tidak akan membakar mereka, karena rasulullah melarangnya. Dia berkata:
janganlah memaksa dengan siksaan Allah. Aku hanya akan membunuh mereka,
menginggat sabda rasulullah saw.: “ mereka yang menukar agamanya,bunuhlah
mereka”. (H.R. AL-Jamaah, selain muslim; Al-muntaqa II:745).[1]
Para ulama mengatakan, bahwa zhahir hadist
ini menyatakan, bahwa mereka yang keluar dari agama Islam dibunuh. Dikecualikan
jika mereka menukar agamanya tanpa diketahui orang (menukar agama secara
batin). Terhadap mereka diterapkan syariat yang berlaku terhadap pemeluk islam.
Pengecualian juga berlaku terhadap mereka yang harus menukar agamanya karena di
paksa.
Namun para ulama
berbeda pendapat mengenai tenggang waktu yang diberikan :
- Madzhab Maliki. Pendapat yang masyhur di kalangan ulama Malikiyah
menyatakan wajib hukumnya memberi tenggang waktu untuk bertaubat bagi orang
yang murtad baik ia laki-laki maupun perempuan, budak maupun merdeka selama
tiga hari berturut-turut. Imam
Ibnu Qasim berpendapat diberi tenggang waktu tiga kali (kesempatan) meskipun
dalam satu hari. Sementara sebuah riwayat dari Imam Malik menyatakan diberi
satu kali (kesempatan), jika menolak untuk bertaubat maka langsung dibunuh
tanpa ditunda-tunda.
- Madzhab Syafi’i. Imam
Syafi’i dan para shahabatnya mengatakan orang yang murtad dibunuh langsung saat
ia menolak untuk bertaubat. Namun bila diambil kebijakan memberi tenggang waktu
tiga hari kemudian ia menampakkan keimanan, maka ia tidak dibunuh.
- Madzhab Hanafi. Imam Abu Hanifah sependapat
dengan imam Syafi’i, namun beliau menambahkan bahwa jika orang yang murtad
meminta tenggang waktu, maka ia diberi kesempatan selama tiga hari.
- Madzhab Hanbali. Para ulama Hanabilah
menyatakan orang yang murtad tidak dibunuh kecuali setelah diberi tenggang
waktu tiga hari.
-
Syaikh Abdul Majid Al
Masy’abi mengatakan,” Orang murtad dihukum bunuh berdasar nash Rasulullah
Shalallahu ‘alaihi wa Salam dan ijma’ para shahabat. Ia dibunuh dengan cara dipenggal kepalanya
dengan pedang karena pedang merupakan alat untuk membunuh, dan orang yang
murtad tidak boleh dibakar dengan api.”[2]
-
Dari ‘Ikrimah beliau
berkata,” Dihadapkan kepada amirul mukminin Ali rhodhiyallahu ‘anhu orang-orang
zindiq lalu beliau membakar mereka.
Lalu berita itu sampai kepada Ibnu ‘Abbas maka beliau berkata,” Kalau aku, maka
aku tidak akan membakar mereka karena Rasulullah melarang hal itu dengan bersabda:
-
لاَ تُعَذِّبُوا بِعَذَابِ اللهِ
-
“Janganlah kalian
mengadzab dengan adzab Allah (api)!”.[3]
-
Namun aku pasti akan membunuh mereka karena Rasulullah bersabda :
-
مَنْ
بَدَّلَ دِيْنَهُ فَاقْتُلُوه
-
“Barang siapa berganti
agama, maka bunuhlah ia!”. [4]
-
Dan dalam hadits dari Abu Musa, bahwasanya Rasulullah bersabda
kepadanya: ”Pergilah ke Yaman!” Kemudian diikuti oleh Mu’adz bin Jabal. Ketika
berjumpa dengannya ia diberi bantal dan berkata: ”Turunlah!” Dan ternyata disampingnya ada seseorang yang
terikat. Ia bertanya: ”Siapa ini?” ia menjawab: ”orang ini dahulu Yahudi lalu
masuk Islam kemudian ia masuk Yahudi.”Aku
tidak akan duduk sampai ia dibunuh sebagai keputusan Allah dan Rasul-Nya”.
(Muttafaq ‘alaih).[5]
Imam
Ar-Rafi’i dan An-Nawawi
berkata,” Murtad adalah bentuk kekafiran yang paling keji dan yang paling keras
hukumnya.”[6]
Imam
An-Nawawi berkata,” Apabila
seseorang murtad, maka wajib untuk
dibunuh, baik ia berpindah ke agama ahlul kitab atau tidak, baik ia orang
merdeka atau budak, atau perempuan berdasarkan hadits Utsman di atas dan hadits
Ibnu ‘Abbas bahwasanya Rosululloh shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Barang siapa berganti agama, maka bunuhlah ia!” Dan ini adalah hadits shohih.
Dan sama juga apakah kemurtadannya kepada kekafiran, sama saja apakah ia lahir
dalam keadaan Islam atau dia dulunya kafir lalu masuk Islam atau ia menjadi
Islam karena keislaman kedua orang tuanya atau salah satu dari keduanya.[7]
Kedua: Mereka mempunyai kekuatan untuk
mempertahankan diri.
Mereka ini wajib untuk diperangi, yang
melarikan diri diburu dan yang terluka dibunuh. Jika mereka ada yang tertawan,
maka ia disuruh bertaubat. Jika ia tidak mau maka ia dibunuh, karena tidak
boleh membiarkannya tetap berada dalam kekafiran.
Imam
Asy-Syairozi berkata,” Dan
jika sebuah kelompok murtad dan mempertahankan diri dengan kekuatan, maka imam
wajib untuk memeranginya karena Abu Bakar rhodhiyallahu ‘anhu telah memerangi
kelompok yang murtad. Yang kabur diburu, dan yang terluka dibunuh. Karena
memerangi ahlul harbi saja hukumnya wajib, maka terlebih lagi memerangi
kelompok yang telah murtad sedangkan kekafiran orang yang murtad lebih besar
(dari kafir harbi). Jika mereka ada yang tertawan, maka ia disuruh bertaubat.
Kalau tidak mau bertaubat maka ia dibunuh, karena tidak boleh membiarkannya
tetap berada dalam kekafiran.[8]
Imam
Al-Mawardi berkata,” Kondisi
kedua. Mereka memiliki daerah sendiri yang terpisah dari wilayah kaum muslimin
sehingga mereka bisa mempertahankan diri di sana. Jika kondisi mereka seperti
itu maka mereka wajib diperangi disebabkan kemurtadan mereka, setelah
sebelumnya mereka diberi penjelasan tentang Islam dan dalil-dalil dipaparkan
kepada mereka.[9]
Ketiga
: Bila yang murtad adalah penguasa.
Mereka ini yang menjadi
pokok pembahasan kita dalam kajian ini. Bila penguasa murtad, maka wajib bagi
kaum muslimin untuk menggulingkannya. Dan keadaan penguasa yang murtad itu ada
dua, yaitu;
Pertama; pemerintah yang
murtad tersebut tidak mempunyai kekuatan untuk mempertahankan diri. Dalam
keadaan seperi ini maka ia harus segera dipecat dan dihadapkan kepada qodli
(hakim). Jika ia tidak mau bertaubat maka ia dibunuh dan jika ia bertaubat ia
tidak dijadikan penguasa lagi. Hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh Abu
Bakar dan Umar ra. Dan rosul telah bersabda:
فعليكم بسنتي وسنة الخلفاء الراشدين المهديين
من بعدي عضوا عليها بالنواجد
“Hendaknya kalian berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah
Khulafa’
Rosyidin yang mendapat petuinjuk setelahku, gigitlah dengan gigi
gerahangmu.”[10]
الحرب.
فإنهم كانوا أمراء أكابر مثل طليحة الأسدي، والأقرع بن حابس، وعيينة بن حصن،
والأشعث بن قيس الكِنْدي وأمثالهم فهؤلاء لما تخوف أبو بكر وعمر منهم نوع نفاق لم
يولهم على المسلمين
“Umar tidak memberinya kekuasaan sama sekali untuk memerintah kaum
muslimin, begitu pula Abu Bakar terhadap orang munafiq dan para kerabat beliau
berdua. Dan keduanya tidak terpengaruh dengan celaan orang. Bahkan ketika
beliau berdua memerangi orang murtad dan mengembalikan mereka kepada Islam,
mereka dilarang untuk menaiki kuda dan membawa senjata samapai terlihat
bahwasanya mereka memang bnar-benar bertaubat. Dan Umar mengatakan kepada SA’ad
bin Abi Waqosh ketika menjadi penguasa Isra;’Jangan kau berikan kedudukan
kepada seorangpun diantara mereka. Dan jangan pula kau ajak mereka
bermusyawaroh pada masalah perang.’ Diantara mereka adalah para pemimpin dan
pembesar seperti Thulaihah Al-Asadi, Al-Aqro’ bin Habis, ‘Uyainah bin Hishn,
Al-Asy’ats bin Qois Al-Kindi dan orang-orang semacam mereka, ketika Abu Bakar
dan Umar khawatir mereka berbuat munafik, mereka tidak diangkat menjadi
pemimpin.” [11]
Kedua; jika penguasa tersebut mempunyai kekuatan atau pasukan untuk
membela dan mempertahankan diri. Dalam keadaan semacam ini maka hukumnya wajib
memerangi mereka semua dan mereka berperang membelanya adalah kafir juga.
II.
DALIL-DALIL
ATAS WAJIBNYA MEMERANGI PENGUASA YANG MURTAD
A.Dalil
dari Al-Qur’an.
Allah telah memerintahkan dalam banyak ayat dalam Al Qur’an untuk
memerangi orang kafir:
Di antaranya adalah firman Allah Ta’ala :
وَقَاتِلُوهُمْ
حَتَّى لاَتَكُونَ فِتْنَةٌ وَيَكُونَ الدِّينُ كُلُّهُ للهِ
“ Dan perangilah mereka sehingga tidak ada
lagi fitnah (kesyirikan dan kekafiran) dan supaya dien semata-mata menjadi
milik Allah...” [QS. Al Anfal :39].
Dan firman-Nya :
فَاقْتُلُوا
الْمُشْرِكِيْنَ حَيْثُ وَجَدْتُمُوْهُمْ وَخُذُوْهُمْ
” Maka perangilah orang-orang musyrik di
manapun kalian menemukan mereka.” [QS. At Taubah :5].
Dan firman-Nya :
فَقَاتِلُوا
أَئِمَّةَ الْكُفْرِ إِنَّهُمْ لاَأَيْمَانَ لَهُمْ لَعَلَّهُمْ يَنْتَهُونَ
” Maka
perangilah pemimpin-pemimpin kekafiran karena sesungguhnya mereka tidak ada
perjanjian lagi (dengan kalian) supaya mereka mau berhenti.” [Qs. At
Taubah :12].
Jika ayat-ayat ini dan ayat lainnya
memerintahkan untuk memerangi orang-orang kafir, sedangkan para penguasa adalah
kafir, maka memerangi para penguasa yang telah muertad wajib hukumnya.
B. Dalil dari Sunnah.
Sedangkan hadits-hadits yang menashkan untuk
memerangi para penguasa jika mereka telah kafir :
III.
Sebagaimana
dalam hadits Ubadah bin Shamit,
دعانا
رسول الله صلى الله عليه وسلم فبايعناه، فكان فيما أخذ علينا أن بايعنا على السمع
والطاعة في مَنْشَطِنا ومَكْرَهِنا وعُسْرِنا ويُسْرِنا وأَثَرَةٍ علينا، وأن لا
ننازع الأمر أهله، قال: إلا أن تروا كفرا بواحا عندكم من الله فيه برهان
” Nabi mendakwahi kami, maka kami membaiat beliau. Di antara
baiat yang beliau ambil dari kami, adalah kami membaiat beliau untuk mendengar
dan ta’at baik dalam keadaan sukarela
maupun terpaksa, saat senang maupun susah dan atas penguasa yang mendahulukan
kepentingannya atas kami (rakyat) dan janganlah kalian merebut urusan
(kepemimpinan) dari orang yang memegangnya kecuali jika kalian melihat kufur
yang jelas-jelas, di mana kalian mempunyai dalilnya dari sisi Allah.” [HR.
Bukhari 7055,7056, Muslim 170 kitabul Iman hadits ke 22].
- Hadits Ummu Salamah
secara marfu’,
ستكون أمراء فتعرفون وتنكرون فمن عرف
بريء ومن أنكر سلم ولكن من رضي وتابع
قالوا : أفلا نقاتلهم ؟ قال : لا ما صلوا
” Akan ada para
umara’ yang kalian ketahui lalu kalian
ingkari. Maka barang siapa mengetahui maka ia telah berlepas diri, barang siapa
mengingkari maka ia telah selamat, akan tetapi (yang tidak selamat adalah)
orang yang ridha dan mengikuti.“ Mereka bertanya,” Apakah tidak kami
perangi saja mereka itu ?” Beliau menjawab,”Tidak, selama mereka masih
sholat.” [Muslim 1853, abu Daud 4760, Tirmidzi 2665, Ahmad
VI/302,305,321].
- Hadits Auf bin Malik,
.. قيل يا رسول الله أفلا ننابذهم بالسيف ؟ فقال : لا ما أقاموا
فيكم الصلاة ...
- ” Rosululloh
ditanyakan,” Wahai Rasulullah, bolehkah kami melawan mereka
dengan pedang ?” Beliau menjawab,” Jangan, selama mereka masih
menegakkan sholat di antara kalian.” [Muslim 1855. Ahmad VI/24, Darimi
II/324].
Bukankah hadits-hadits ini merupakan
nash-nash qah’i disyariatkannya keluar dengan pedang dari para penguasa jika
mereka kafir dan keluar dari hukum syar’I yang hanif ? Bukankah kondisi yang
disyariatkan oleh Rasulullah kepada kita untuk keluar dari para penguasa adalah
kondisi yang dikatakan oleh syaikh sebagai keluar dari para penguasa sama
sekali tidak disyariatkan ? Bukankah kafirnya seorang penguasa merupakan sebuah kemungkaran?”
Kami tak ragu lagi bahwa jawabannya adalah
ya, sebuah kemungkaran. Bahkan merupakan kemungkaran terbesar. Kalau memang
demikian, maka kami katakan Rasul kita
telah memerintahkan kita untuk menghapus kemungkaran. Beliau bersabda:
من
رأى منكم منكرا فليغيره بيده فإن لم يستطع فبلسانه فإن لم يستطع فبقلبه وذلك أضعف
الإيمان
“ Barang siapa di antara kalian
melihat kemungkaran ; jika ia sanggup hendaklah ia merubahnya dengan tangannya,
kalau tidak sanggup hendaklah ia merubahnya dengan lisannya, kalau masih tetap
tidak sanggup maka hendaklah ia merubahnya
dengan hatinya dan itulah iman yang paling lemah.” [Muslim 49, Abu Daud
1140,4340, Tirmidzi 2172, Ibnu Majah 1275, 4013, Nasai VIII/111-112, Ahmad III/54 dari
hadits Abu Sa’id al Khudriy].
Imam Al Qarafi dalam Al
Dzakhirah III/387 ketika membahas sebab-sebab jihad, mengatakan
:
“ Sebab pertama : dan ini
dijadikan patokan dasar wajibnya jihad, yaitu untuk mengilangkan kemungkaran
kekafiran. Karena kekafiran merupakan kemungkaran yang paling besar. Barang
siapa mengetahui kemungkaran dan mampu untuk menghilangkannya, wajib baginya
untuk menghilangkannya.”
C. Dalil ijma’ ulama.
Para ulama sepakat menyatakan
bahwa memerangi orang-orang murtad secara syar’i termasuk kategori jihad fi
sabilillah, karena orang murtad adalah orang kafir bahkan kekafiran mereka
lebih besar dan parah dari orang kafir biasa (kafir asli), sedang memerangi
mereka berarti meninggikan kalimat Allah Ta’ala.[12]
Di bawah ini perkataan mereka yang
menunjukkan hal ini :
(a). Al Hafidz dalam Fathul Bari XIII/124
telah menukil perkataan Ibnu Tien,
وقد
أجمعوا أنه- أي الخليفة -إذا دعا إلىكفر أو بدعة أنه يقام عليه واختلفوا إذا غصب
الأموال وسفك الدماء وانتهك هل يقام عليه أولا
” Para ulama telah ijma’ (bersepakat) bahwasanya jika khalifah
mengajak kepada kekafiran atau bid’ah maka ia dilawan. Para ulama berbeda
pendapat kalau khalifah merampas harta, menumpahkan darah dan melanggar
kehormatan ; apakah dilawan atau tidak
” Kesimpulannya seorang khalifah dipecat berdasar ijma’ kalau ia
telah kafir. Maka wajib bagi setiap muslim melakukannya. Siapa kuat
melaksanakannya maka baginya pahala, siapa yang berkompromi baginya dosa,
sedang yang tidak mampu (lemah) wajib hijrah dari bumi tersebut.”
[b]. Juga dalam Fathul Bari XIII/11 disebutkan,
” Sebagian ulama menyatakan
sejak awal tidak boleh mengangkat seorang fasik sebagai khalifah. Jika ternyata
kemudian ia berbuat dzalim setelah sebelumnya memerintah dengan adil, para
ulama berbeda pendapat tentang hukum keluar darinya. Pendapat yang benar adalah
tidak boleh kecuali jika ia telah kafir, maka wajib keluar darinya.”
”Jika terjadi kekafiran atau merubah
syariat atau bid’ah, ia telah keluar dari kedudukannya sebagai penguasa maka
gugurlah kewajiban taat kepadanya dan wajib atas umat Islam untuk melawan dan
menjatuhkannya serta mengangkat imam yang adil kalau hal itu memungkinkan. JIka
tidak mampu melaksanakannya kecuali sekelompok orang maka wajib atas kelompok
tersebut melawan dan menjatuhkan imam tersebut. Adapun imam yang mubtadi’
(berbuat bid’ah) tidak wajib menjatuhkannya kecuali jika mereka memperkirakan
mampu melakukan hal itu…”
Sebagaimana orang yang memperhatikan soal
yang diajukan kepada Imam Malik mendapati bahwa si penanya tidak menanyakan
bolehnya memerangi orang yang berhukum dengan selain hukum Allah, akan tetapi
bertanya tentang bolehnya tidak terlibat dalam memerangi mereka. Jika kita
telah mengetahui bahwa penanya adalah Abdullah bin Abdul Azizi Al Umari,
seorang ulama yang zuhud, tsiqah, seorang yang menegakkan amar makruf nahi
mungkar, sebagaimana disebutkan dalam Tahdzibu
Tahdzib III/196-197. Saya katakan kalau kita telah mengetahui hal ini, kita
akan memahami jawaban karena memang bentuk soalnya seperti ini. Al Umari al
‘abid telah memahami betul bahwa memerangi orang yang tidak berhukum dengan
hukum Allah adalah disyariatkan bahkan wajib. Tapi ia menanyakan apakah ada
rukhshah (keringanan) yang membolehkan tidak memerangi mereka ? Ternyata
jawaban Imam Malik jeli juga, beliau mengembalikan masalah ini kepada banyak
dan sedikitnya jumlah, artinya kepada kemampuan. Maksudnya, siapa mempunyai
kemampuan maka ia harus memerangi mereka, sedang yang tidak mempunyai kemampuan
tidak mengapa jika ia tidak memerangi mereka.
Dalam penjelasan imam Ibnu
Abdil Barr terhadap perkataan imam Malik, imam darul hijrah, juga terkandung
sebuah kupasan yang sangat baik yaitu perkataan beliau,”…maka ia boleh
meninggalkan…” Beliau tidak mengatakan ,”… Wajib baginya meninggalkan…” ini
menunjukkan bahwa kemampuan bukanlah syarat sahnya perang, melainkan sekedar
syarat wajibnya perang. Siapa tidak mempunyai kemampuan maka tidak ada dosa
atasnya jika ia memaksakan dirinya berjihad, bahkan sekalipun ia mengetahui ia
tidak mampu meraih kemenangan atas musuh, selama hal itu masih mengandung
maslahat syar’iyah seperti menanamkan ketakutan di hati musuh dan membangkitkan
keberanian dalam diri kaum muslimin atau maslahat lain.Syaikh Abdulloh bin Umar bin Sulaiman Ad-Dumaiji berkata tentang
memberontak kepada pemerintah kafir dan murtad,” Juga sudah merupakan suatu
kesepakatan (para ulama –ed) wajibnya memberontak dan menggulingkannya dengan
pedang bagi siapa saja yang mampu melakukannya. Jika mereka tidak mempunyai
kemampuan untuk menggulingkannya dengan pedang, maka mereka harus mencari jalan
yang paling dekat untuk menggulingkannya dan membebaskan kaum muslimin dari
kekuasaan pemerintah tersebut walaupun untuk hal itu harus bersusah payah. Hal
ini sebagaimana yang disebutkan dalam hadits Ubadah yang telah disebutkan tadi
yaitu:
وَ
أَلَّا نُنَازِعَ الْأَمْرَ أَهْلَهُ إِلَّا أَنْ تَرَوْا كُفْرًا بَوَاحًا عِنْدَكُمْ
مِنَ اللهِ فِيْهِ بُرْهَانٌ
“…dan
agar kami tidak memberontak kecuali jika melihat kekafiran nyata yang menjadi
alasan di sisi Alloh.”[13]
JIHAD MELAWAN
PENGUASA MURTAD INI DIDAHULUKAN DARI PADA JIHAD MELAWAN ORANG-ORANG KAFIR ASLI
YANG BERADA DI NEGERI MEREKA
a.
Penguasa murtad merupakan musuh yang paling dekat dengan kita
daripada orang-orang kafir lainnya.
Musuh yang lebih dekat harus didahulukan atas musuh yang lebih
jauh, berdasar firman Allah Ta’ala :
قَاتِلُوا الَّذِيْنَ يَلُونَكُمْ مِنَ الْكُفَّارِ وَلْيَجِدُوا فِيْكُمْ غِلْظَةٌ
“ Wahai orang-orang yang beriman, perangilah
orang-orang kafir yang dekat dengan kalian dan hendaklah mereka menemui sikap
keras (tegas) dari kalian.” (QS. At Taubah ;123).
Tentang ayat ini,
Ibnu Katsir berkata:
“ Allah Ta’ala
memerintahkan orang-orang mukmin untuk memerangi orang-orang murtad terlebih
dahulu, lalu yang lebih dekat, kemudian yang lebih dekat dengan kekuasaan
Islam. Oleh karena itu Rosulullah shollallahu ‘alaihi wasallam memulai
memerangi orang-orang musyrik di Jaziroh Arab. Tatkala selesai memerangi
mereka, Allah membukakan kepada (nabi dan para shahabat) Makkah, Madinah,
Thoif, Yaman, Yamamah, Hajr, Khoibar, Hadlromaut dan daerah-daerah lainnya di
jazirah arab, maka masuklah manusia dari seluruh penjuru arab ke dalam Dien
Allah dengan berbondong-bondong. (Kemudian Allah) mensyari’atkan perang untuk
memerangi Rum, karena merekalah yang paling dekat dengan jazirah arab.”[14]
Ibnu Qudamah berkata :
مسألة:
"ويقاتل كل قوم من يليهم من العدو لأن الأقرب أكثر حرزاً، وفي قتاله دفع ضرره
عن المقابل له وعمّن وراءه، والإشتغال بالبعيد عنه يمكّنه من انتهاز الفرصة في
المسلمين لإشتغالهم عنه".
“ Setiap kaum (hendaknya) memerangi musuh yang terdekat
dengan mereka, karena musuh yang terdekat itu paling banyak dijadikan persembunyian
(bahayanya). Memerangi musuh yang paling dekat berarti menolak bahayanya dari
depan dan dari orang yang ada dibelakangnya. Adapun menyibukkan diri memerangi
musuh yang jauh (terlebih dahulu) akan memberi kesempatan kepada mush terdekat
untuk menyerang kaum muslimin, karena kaum muslimin dalam kondisi sibuk
(menghadapi musuh yang lebih jauh).”[15]
b. Orang murtad lebih utama diperangi daripada orang
kafir asli.
Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyyah
berkata :
“ Telah ditetapkan dalam
As Sunnah bahwa sangsi hukuman kepada orang murtad itu lebih keras daripada
orang kafir asli, ditinjau dari beberapa segi. Antara lain : (pertama)
bahwasanya orang murtad itu diperangi di segala keadaan, tidak boleh diambil
jizyah darinya dan tidak dijadikan ahlu dzimmah, berbeda dengan orang kafir
asli. (Kedua) orang murtad itu dibunuh walaupun ia tidak mampu untuk berperang,
berbeda dengan orang kafir asli.”[16]
Beliau berkata lagi :
وكفر الردّة أغلظ بالإجماع من الكفر الأصلي
“ Menurut ijma’ ulama, kekafiran orang murtad itu lebih besar
(parah) dibandingkan orang kafir asli”[17].
Dan beliau berkata lagi :
والصدّيق
رضي الله عنه وسائر الصحابة بدأوا بجهاد المرتدين قبل جهاد الكفار من أهل الكتاب،
فإن جهاد هؤلاء حفظ لما فتح من بلاد المسلمين ... وحفظ رأس المال مقدم على
الربح".
“
Abu Bakar As Shiddiq dan seluruh para shahabat memulai terlebih dahulu
memerangi orang-orang murtad sebelum memerangi orang-orang kafir dari ahli
kitab, dikarenakan memerangi orang-orang murtad itu berarti menjaga negeri yang
teah dikuasai kaum muslimin... Sementara menjaga modal itu lebih didahulukan
dari menjaga laba.”[18]
c. Memerangi penguasa murtad termasuk jenis perang
defensif.
Imam Al Mawardi berkata:
” Karena peperangan semacam itu adalah peperangan
defensif bukan ofensif, maka setiap orang yang mampu wajib melakukannya.”
Imam
Al Baghowi berkata:
” Ketika orang-orang kafir masuk ke negeri Islam, maka
jihad menjadi fardhu ‘ain bagi orang yang dekat dan fardhu kifayah bagi yang
jauh”.[19]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata:
” Adapun perang defensif, maka merupakan bentuk perang paling
penting dalam membela kehormatan dan dien yang diserang. Hukumnya wajib menurut
ijma’. Musuh agresor yang merusak dien dan dunia, tidak ada kewajiban yang
lebih wajib (penting) setelah iman selain melawan mereka. Untuk itu tidak
disyaratkan sebuah syaratpun, mereka harus dilawan sesuai kemampuan.”[20]
DAFTAR PUSTAKA:
*Sunan
Abu Daud Kitabul Hudud bab Al Hukmu fii man Irtadda, no 4351 hal 657. Dishohihkan oleh Al Alban dalam
Shohih al Jama’ Ash Shoghir II/1229 no 7367.
*Sunan Nasa’I Kitabu Ad Dzam bab Al hukmu fi Al Murtad no 4068 /
4069 hal :566-567. Sunan Ibnu Majah Kitabul Hudud bab Al Murtad ‘an Diinihi no
2535 hal 364. Jami’ At Tirmidzi , Kitabul Hudud no 1458 hal 354. dan
dishohihkan oleh al Albani dalam shohih al Jami’ Ash Shoghir II/1055 no 6125.
[1]
- Al-‘Aziz XI/97 dan Al-Majmu’ XX/369
-
Al-Majmu’ XX/38
- Al Majmu’ Syarhul Muhadzab,
An-Nawawi: XX/391
-
Lihat Al-Ahkam As-Sulthoniyah, Al Mawardi hal: 104 (ed. Tarjamah ). Al-Qaulul
Qoti’ fiiman Imtana’aAnisy Syaroi’, ‘Ishom Darbalah dan ‘Ashim Abdul Majid hal:
23.
-
H.R. At-Tirmidzi dan beliau menshohihkannya.
- Majmu’ Fatawa XXXV/65
- Al Jihaadu wal Qitaalu Fi
Siyasah Syar’iyah I/58-59.
-
HR. Bukhari Kitabul Fitan no. 7056,
Muslim Kitabul Imarah no. 4771.
Lihat Al-Imamatul ‘Udzma hal.500-501.
-
Tafsir Ibnu Katsir II/422-423.
- Al Mughni Ma’a Syarhi Al Kabir : X/372-373.
- Majmu’ Fatawa : XXVIII/534.
- Idem : XXVIII/47.
- Idem : XXXV/158-159.
- Al Fatawa Al Kubra V/538, Daarul Kutub Al
Ilmiyah, 1408 H.
-KOLEKSI
HADIS-HADIS HUKUM 9,Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, PT. PUSTAKA RIZKI PUTERA SEMARANG, 2001, Hal 244-248.
[1] KOLEKSI HADIS-HADIS HUKUM 9,Teungku Muhammad
Hasbi Ash Shiddieqy, PT. PUSTAKA RIZKI
PUTERA SEMARANG, 2001, Hal 244-248.
[2]
- Manhaju Ibni Taimiyah Fi Mas-alati Takfir hal.25.
* zindiq, berasal dari
kata Persia yang di serap kedalam bahasa arab, pada awalnya mereka pengikut
daishan, kemudian beralih mengikuti many, dan akhirnya menjadi pengikut mazdak,
mereka berpendapat bahwa cahaya dan gelap,adalah dua hal yang qadim, keduanya
bercampur menjadi satu dan dari percampuran ini, terciitalah alam. Mereka yang
jahat berasal dari gelap, sedangkan mereka yang baik berasal dari cahaya. Dan
orang yang beritikad demikian, dinamakan zindiq. Sebagian mereka ini, sebagian
mereka ini, memperlihatkan keislamannya,
dalam upaya menghindari pembunuhan.
[3] Sunan Abu Daud Kitabul Hudud bab Al Hukmu fii man Irtadda, no 4351 hal 657. Dishohihkan oleh Al Albani
dalam Shohih al Jama’ Ash Shoghir II/1229 no 7367.
[4] Sunan
Nasa’I Kitabu Ad Dzam bab Al hukmu fi Al Murtad no 4068 / 4069 hal :566-567.
Sunan Ibnu Majah Kitabul Hudud bab Al Murtad ‘an Diinihi no 2535 hal 364. Jami’
At Tirmidzi , Kitabul Hudud no 1458 hal 354. dan dishohihkan oleh al Albani dalam
shohih al Jami’ Ash Shoghir II/1055 no 6125.
[6]
Al-‘Aziz XI/97 dan Al-Majmu’ XX/369
[7]
Al-Majmu’ XX/380
[8]
Al Majmu’ Syarhul Muhadzab, An-Nawawi:
XX/391
[9]
. Lihat Al-Ahkam As-Sulthoniyah, Al Mawardi hal: 104 (ed. Tarjamah )
[10] H.R. At-Tirmidzi dan beliau menshohihkannya.
[11] Majmu’ Fatawa XXXV/65
[12]
- Al Jihaadu wal Qitaalu Fi Siyasah Syar’iyah I/58-59.
[13]
. HR. Bukhari Kitabul Fitan no. 7056,
Muslim Kitabul Imarah no. 4771.
Lihat Al-Imamatul ‘Udzma hal.500-501.
[14]
- Tafsir Ibnu Katsir II/422-423.
[15]
. Al Mughni Ma’a Syarhi Al Kabir : X/372-373.
[16]
. Majmu’ Fatawa : XXVIII/534.
[17]
. Idem : XXVIII/47.
[18]
. Idem : XXXV/158-159.
[19] . Syarhus Sunnah : X/374
[20]
- Al Fatawa Al Kubra V/538, Daarul Kutub Al Ilmiyah, 1408 H.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
dunia ini memang indah,, tergantung bagaimana kita menjaga keindahan itu,,. untuk itu mari kita bersatu, satu pikiran satu tujuan untuk Indonesia merdeka,.. berpisah kita berjuang bersatu kita memukul..