BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Hukum Pidana atau Fiqh Jinayah merupakan bagian dari syari’at
islam yang berlaku semenjak diutusnya Rasulullah saw. Oleh karenanya pada zaman
Rasulullah dan Khulafaur Rasyidin, hukum pidana islam berlaku sebagai hukum
publik. Yaitu hukum yang diatur dan diterapkan oleh pemerintah selaku penguasa
yang sah atau ulil amri.
Walaupun
dalam kenyataannya,
masih banyak umat islam yang belum tahu dan paham tentang apa dan bagaimana
hukum pidana islam itu, serta bagaimana ketentuan-ketentuan hukum tersebut
seharusnya disikapi dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Maka pada
kesempatan ini pemakalah akan mencoba menjelaskan tentang hadits-hadits
yang berkaitan dengan hukum
ta’zir, berikut dengan pengertian, dasar hukum serta jarimah-jarimah yang
meliputinya.
Ada tiga
bagian jarimah yang digolongkan menurut berat ringannya hukuman, yaitu Hudud,
Qishas-Diyat dan Ta’zir. Hudud dapat dikategorikan sebagai sebuah hukuman yang
telah ditetapkan oleh nash. Qishas-Diyat adalah hukuman yang apabila dimaafkan
maka qishas dapat diganti dengan diyat. Dan Ta’zir, adalah jarimah
yang belum ada ketentuan nasnya dalam Al-Qur’an. Belum ditentukan
seberapa kadar hukuman yang akan diterima oleh si tersangka/si pelaku
kejahatan. Jarimah ta’zir lebih di tekankan pada hukuman yang diberikan oleh
pemerintah/kekuasaan mutlak berada di tangan pemerintah tapi masih dalam
koridor agama yang tidak boleh bertentangan dengan hukum Allah swt.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa saja hadits-hadits yang berkaitan dengan hukum
ta’zir?
2.
Apa yang dimaksud dengan jarimah ta’zir?
3.
Apa dasar hukum disyari’atkan jarimah ta’zir?
4.
Apa saja sanksi terhadap jarimah ta’zir?
BAB
II
PEMBAHASAN
1.
MATAN :
a.) Hadits
Nabi yang diriwayatkan oleh Burdah :
عن ابي بردة
الانصاري انه سمع رسول الله صلى الله عليه و سلم يقول : لا يجلد احد فوق عشرة اسواط الا فى حد من حدود
الله. (رواه مسلم )
b.) Hadits
Nabi yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah :
عن عا عشة ان
النبي قال اقيلوا ذوى هيئا ت عسراتهم الا الحدود. (رواه احمد ابو داوود و النسائي
و البيها قي)
c.) Hadits
Nabi yang diriwayatkan oleh Bahz ibn
Hakim :
عن
بهز ابن حكيم عن ابي عن جدّه, أنّ النّبيّ صلى الله عليه وسلّم حبس فى
التهمة (رواه ابو داود و التّرمذي و النسا ئى والبيهقى و صّحيحه الحاكم)
2.
TERJEMAH
a.)
Dari Abu Burdah Al Anshari r.a., katanya dia mendengar Rasulullah
saw bersabda : “Sesorang tidak boleh didera lebih dari sepuluh kali, melainkan
hukuman yang telah nyata ditetapkan Allah, seperti hukuman bagi orang berzina
dan sebagainya.” (Riwayat Muslim)[1]
b.)
Dari ‘Aisyah bahwasanya Nabi saw bersabda : ”Ampunkanlah
gelinciran orang-orang yang baik-baik kecuali had-had.” (Riwayat Ahmad, Abu
Daud, An-Nasai, dan Baihakki)[2]
c.) Dari Bahz ibn Hakim
dari ayahnya dari kakeknya, bahwa Nabi saw menahan seseorang karena disangka
melakukan kejahatan. (Hadits diriwayatkan oleh Abu Daud, Turmudzi, Nasa’i, dan Baihaqi, serta dishahihkan oleh Hakim).[3]
3.
ASBABUL WURUD
Dalam ketiga hadits
diatas, kami tidak menemukan asbabul wurudnya.
4.
KATA-KATA YANG SULIT DIJELASKAN
Ø HADIS KE-1 :
·
Sepuluh kali cambuk = عشرة اسواط
Ø HADIS KE-2 :
·
Ampunkanlah = اقيلوا
Iqalah (Aqi-lu) menurut pengertian
asalnya adalah kesepakatan penjual atas pembatalan penjualan. Dan dimaksudkan
disini adalah kesepakatan orang baik-baik itu untuk meninggalkan hukuman
atasnya atau peringanan hukumannya.
·
Orang-orang yang baik = ذوى هيئا ت
Ditafsirkan Imam Syafi’i dengan
orang-orang yang tidak diketahui berbuat jelek yang pada suatu ketika dia
berbuat salah.
·
Kegelinciran = عسراتهم
Atsarat
adalah jamak dari kata “Atsarah” (tergelincir), tetapi yang dimaksud disini adalah
kesalahan. Al-Mawardi meriwayatkan tentang hal itu dengan 2 pengertian, yaitu :
1.) Mereka itu hanya
melakukan dosa-dosa kecil saja
2.) Baru pertama kali
berbuat ma’siat yang menjadikan tergelincirnya orang yang biasa patuh.
5.
URAIAN
PENGERTIAN TA’ZIR
Menurut
bahasa, lafaz ta’zir berasal dari kata “azzara” yang berarti menolak dan
mencegah, juga berarti mendidik, mengagungkan dan menghormati, membantunya,
menguatkan, dan menolong.[4]
Dari pengertian tersebut yang paling relevan adalah pengertian pertama yaitu mencegah dan menolak, dan
pengertian kedua yaitu
mendidik. Karena ia dapat mencegah pelaku agar tidak mengulangi lagi
perbuatannya. Ta’zir
diartikan mendidik, karena ta’zir dimaksudkan untuk mendidik dan memperbaiki pelaku agar ia menyadari
perbuatan jarimahnya kemudian meninggalkan dan menghentikannya. Pengertian ini
sesuai dengan apa yang di kemukakan oleh Abdul Qadir Audah[5]
dan Wahbah Zuhaili.[6]
Menurut istilah, ta’zir didefinisikan oleh Al-Mawardi
sebagai berikut :
والّتعزير تأ د ب على ذنوب لم
تشرع فيها الحدود
“Ta’zir adalah hukuman yang bersifat pendidikan atas perbuatan
dosa yang hukumannya belum ditetapkan oleh syara’.[7]
Dari definisi yang dikemukakan diatas, jelaslah
bahwa ta’zir adalah suatu istilah untuk hukuman atas jarimah-jarimah yang
hukumannya belum ditetapkan oleh syara’. Dikalangan Fuqaha, jarimah-jarimah yang hukumannya belum ditetapkan oleh syara’
dinamakan jarimah ta’zir. Jadi, istilah ta’zir bisa digunakan untuk hukuman dan
bisa juga untuk jarimah (tindak pidana)
Ta’zir
sering juga dapat dipahami bahwa jarimah ta’zir terdiri atas
perbuatan-perbuatan maksiat yang tidak dikenakan hukuman had atau kaffarat.
Hukumannya diserahkan sepenuhnya kepada penguasa atau hakim. Hukuman dalam
jarimah ta'zir tidak ditentukan ukurannya atau kadarnya, artinya untuk menentukan
batas terendah dan tertinggi diserahkan sepenuhnya kepada hakim (penguasa).
Dengan demikian, syari'ah mendelegasikan kepada hakim untuk menentukan
bentuk-bentuk dan hukuman kepada pelaku jarimah.
HUKUMAN BAGI KESALAHAN TA’ZIR
1.
Ta`zir adalah
hukuman yang bersifat mendidik atas perbuatan dosa yang belum ditetapkan oleh
syara` atau hukuman yang diserahkan kepada keputusan Hakim. Dasar hukum ta`zir
adalah pertimbangan kemaslahatan dengan mengacu pada prinsip keadilan.
Pelaksanaannya pun bisa berbeda, tergantung pada tiap keadaan. Karena sifatnya
yang mendidik, maka bisa dikenakan pada anak kecil.
2.
Dalam menetapkan
jarimah ta'zir, prinsip utama yang menjadi acuan penguasa adalah menjaga
kepentingan umum dan melindungi setiap anggota masyarakat dari kemudharatan
(bahaya). Di samping itu, penegakkan jarimah ta'zir harus sesuai dengan prinsip
syar'i.
3.
Bentuk sanksi
ta`zir bisa beragam, sesuai keputusan Hakim. Namun secara garis besar dapat dibedakan
menjadi beberapa macam,
diantaranya yaitu hukuman
mati bisa dikenakan pada pelaku hukuman berat yang berulang-ulang. Hukuman
cambuk, hukuman penjara, hukuman pengasingan, menyita harta pelaku, mengubah
bentuk barang, hukuman denda, peringatan keras, hukuman nasihat, hukuman
celaan, ancaman, pengucilan, pemecatan, dan publikasi.
4.
Lihat QS.
Al-Maidah: 12, al-A’raf: 157.
Disamping itu dilihat dari segi dasar
hukum (penetapannya), ta’zir juga dapat dibagi kepada tiga bagian, yaitu
sebagai berikut.
1.
Jarimah ta’zir
yang berasal dari jarimah-jarimah hudud atau qishash, tetapi syarat-syaratnya
tidak terpenuhi, atau ada syubhat, seperti pencurian yang tidak mencapai nisab,
atau oleh keluarga sendiri.
2.
Jarimah ta’zir
yang jenisnya disebutkan dalam nash
syara’ tetapi hukumannya belum ditetapkan, seperti riba, suap dan mengurangi
takaran dan timbangan.
3.
Jarimah ta’zir
yang baik jenis maupun sanksinya belum ditentukan oleh syara’ jenis ketiga ini
sepenuhnya diserahkan kepada ulil amri, seperti pelanggaran disiplin pegawai
pemerintah, pelanggaran terhadap lingkungan hidup dan lalu lintas.[8]
Ø HADIS KE-1
1.
Untuk selain dosa-dosa yang sudah ditentukan pukulan 40,
80 dan 100, tidak boleh dihukum pukul lebih dari 10 dera (ta’zir).
2.
Ini berarti hukuman yang tidak lebih dari 10 dera itu di
serahkan kepada pertimbangan hakim.
3.
Orang yang dikenakan hukum oleh hakim muslim sebanyak 10
kali cambuk berdasarkan hadis di atas dapat dimasukkan dalam hukuman ringan
yang disebut dengan hukum ta’zir. Hukuman ta’zir ini dapat dilakukan menurut
keputusan hakim muslim misalnya karena mengejek orang lain, menghina orang,
menipu dan sebagainya. Dengan demikian hukuman ta’zir ini keadaannya lebih
ringan dari 40 kali dera yang memang sudah ada dasarnya dari Nabi terhadap
mereka yang minum minuman keras. Berarti dibawah 40 kali cambuk itu dinyatakan
sebagai hukuman ta’zir (yaitu dipukul yang keras). Jadi orang yang melakukan
peerbuatan-perbuatan yang melanggar hukum syariat yang telah jelas hukumannya
misalnya gadis yang berzina dengan lelaki (yaitu dicambuk 100 kali), peminum
minuman keras (sebanyak 40 kali) dan lainnya adalah termasuk melakukan
pelanggaran syariat yang disebut dengan hudud (Hukum Allah). Adapun yang
lebih ringan disebut ta’zir yang dilakukan menurut pertimbangan hakim muslim.[9]
4.
Yang dimaksud had disini adalah had atas perbuatan
maksiat, bukan hukum yang telah ditetapkan dalam syariah. Akan tetapi, yang
dimaksud disini adalah semua bentuk perbuatan yang diharamkan. Semua hudud
Allah adalah haram, maka pelakunya harus dita’zir sesuai dengan kadar
pertimbangan maslahat dan kemaksiatan yang dilakukannya.[10]
Ø HADIS KE-2
Maksudnya, bahwa
orang-orang baik, orang-orang besar, orang-orang ternama kalau tergelincir di
dalam sesuatu hal, ampunkanlah, karena biasanya mereka tidak sengaja kecuali
jika mereka telah berbuat sesuatu yang mesti didera maka janganlah di ampunkan
mereka.
Mengatur tentang
teknis pelaksanaan hukuman ta’zir yang bisa berbeda antara satu pelaku dengan
pelaku lainnya, tergantung kepada status mereka dan kondisi-kondisi lain yang
menyertainya. Perintah “Aqi-lu” itu ditunjukan kepada para pemimpin/para tokoh,
karena kepada mereka itulah diserahi pelaksanaan ta’zir, sesuai dengan luasnya
kekuasaan mereka. Mereka wajib berijtihad dalam usaha memilih yang terbaik,
mengingat hal itu akan berbeda hukuman ta’zir itu sesuai dengan perbedaan
tingkatan pelakunya dan perbedaan pelanggarannya. Tidak
boleh pemimpin menyerahkan wewenang pada petugas dan tidak boleh kepada
selainnya.[11]
Adapun tindakan
sahabat yang dapat dijadikan dasar hukum untuk jarimah dan hukuman ta’zir
antara lain tindakan Sayyidina Umar ibn Khattab ketika ia melihat seseorang
yang menelentangkan seekor kambing untuk disembelih, kemudian ia tidak mengasah
pisaunya. Khalifah Umar memukul orang tersebut dengan cemeti
dan ia berkata: ”Asah dulu pisau itu”[12]
Ø HADIS KE-3
Hadits
ini
menjelaskan tentang tindakan Nabi yang menahan seseorang yang diduga melakukan
tindak pidana dengan tujuan untuk memudahkan penyelidikan. Perkataan “karena
suatu tuduhan” itu menunjukkan
bahwa penahanan itu disamping ada yang berstatus sebagai hukuman, juga sebagai
membersihkan diri.[13]
6.
PENDAPAT IMAM
MAZHAB
A.
Tersebut di
dalam suatu riwayat bahwa Umar bin Khathab radhiyallahu ‘anhu menta’zir dan
memberi pelajaran terhadap seseorang dengan mencukur rambut, mengasingkan dan
memukul pelakunya, pernah pula beliau radhiyallahu ‘anhu membakar kedai-kedai
penjual khamr dan membakar suatu desa yang menjadi tenpat penjualan khamr. Ta’zir dalam perkara yang
disyariatkan adalah ta’zir yang wajib menurut pendapat Imam Abu Hanifah, Imam
Malik dan Imam Ahmad rahimahumullah.[14]
B.
Adapun Imam
Syafi’i mengatakan bahwa Hukum Ta’zir itu tidak wajib.
7.
PENDAPAT PEMAKALAH
Hukum
Ta’zir di dalam Islam harus dilaksanakan pada setiap perbuatan maksiat yang
tidak ada hukuman had ataupun ketentuan membayar kafaratnya. Karena, perbuatan tersebut
termasuk kategori perbuatan yang terlarang dalam syariat. Pelaksanaan hukuman
ta’zir berbeda-beda sesuai dengan kejahatan yang diperbuat, sebab kejahatan
sendiri ada bermacam-macam, dari yang ringan sampai yang berat. Bentuk hukuman
ta’zir tidak boleh dengan cara memotong janggut seseorang. Sebab, hukuman ini
bisa masuk kedalam kategori pelecehan dan penghinaan. Tidak boleh juga
menjatuhkan ta’zir dengan cara yang dilarang agama seperti menyiram pelaku
dengan khamr dan minuman keras. Dikarenakan hukuman ta’zir harus dilakukan
dengan cara yang tidak bertentangan dengan syariat demi menciptakan
kemaslahatan.
BAB
III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dari
uraian singkat tentang jinayat ta’zir di atas, terdapat hal-hal yang menarik
perhatian kita untuk dikaji lebih jauh, baik yang berkaitan tentang pengertian
atau definisi hingga pendapat para fuqaha tentang hal-hal yang berkaitan, yaitu :
1. Kita dapat menyimpulkan bahwa ta’zir
adalah sebuah jarimah dengan kebijakan hukuman paling ringan dibanding jarimah
yang lain. Jarimah ini pun memiliki tingkat kemungkinan paling luas, karena
keputusan hukuman sangat bergantung pada hakim.
2. Rasulullah melarang para hakim untuk
memberikan hukuman pada terdakwa pelaku jarimah ta’zir melebihi hukuman had
atau untuk jarimah yang telah ditetapkan hukumannya oleh Allah. Karena sesungguhnya hukuman jarimah
ta’zir di tujukan untuk mendidik agar pelaku tidak melanggar itu kembali.
B.
SARAN
Menurut pemakalah, Hukum Ta’zir di dalam Islam harus dilaksanakan pada setiap perbuatan maksiat
yang tidak ada hukuman had ataupun ketentuan membayar kafaratnya. Karena,
perbuatan tersebut termasuk kategori perbuatan yang terlarang dalam syariat.
Pelaksanaan hukuman ta’zir berbeda-beda sesuai dengan kejahatan yang diperbuat,
sebab kejahatan sendiri ada bermacam-macam, dari yang ringan sampai yang berat.
Hukum Ta’zir
dan semua hukum islam yang diperintahkan oleh Allah adalah hukuman yang paling
efektif. Kerena
memenuhi semua aspek dari sebuah hukuman yaitu preventive, edukatif dan repressive. Sehingga
dapat mewujudkan kehidupan yang aman, damai dan tentram.
DAFTAR
PUSTAKA
Shan’Ani ASH, Subulus Salam, jilid 4,
Surabaya: Al-Ikhlas. 1996
Bahreisj, Hussein, Terjemah Hadits Shahih Muslim 3,
Jakarta : Widjaya, 1983
Al-Asqalany,
Ibnu Hajar, Terjemah Bulughul Maram, Bandung : CV. Penerbit
Diponegoro, 2002, Cet. 26
Muslich,
Ahmad Wardi, Hukum Pidana Islam, Jakarta: Sinar Grafika Offset. 2005,
Cet.II.
Al Albani, Muhammad Nashiruddin, Mukhtashar
Shahih Muslim, Jilid 1, Terjemahan
Imron Rosadi, Jakarta
Sealatan: Pustaka Azzam Anggota IKAPIDKI. 2003
Al Mubarok, Faisal bin Abdul Aziz, Nailul
Authar, Jilid 6, Terjemahan Mu’ammal Hamidy
dkk, Surabaya: PT Bina
Ilmu. 2005,Cet IV
Ash-Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi, Koleksi
Hadis-Hadis Hukum, jilid 9,
Semarang:
PT. Pustaka Rizki Putra. 2001, Cet III
Bahreisj, Hussein Khallid, Himpunan Hadits Shahih
Muslim, Surabaya : Al-Ikhlas, 1987
Al-fauzan, Saleh, Terjemah Al-mulakhkhasul fiqh. Terj.
Ahmad Ikhwani,dkk, Jakarta : Gema Insani, 2005
[1] Hussein Bahreisj, Terjemah Hadits
Shahih Muslim 3, Jakarta : Widjaya 1983, Hal. 255
[2] Al-Asqalany Ibnu Hajar, Terjemah
Bulughul Maram, Bandung : CV. Penerbit Diponegoro 2002, Cet. 26, Hal.
576-577
[3] Teuku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Koleksi Hadis-Hadis Hukum, Juz IX,
PT.Pustaka Rizki Putra, Semarang, 2001,
hlm. 202.
[4] Ibrahim Unais, et.
al., Al-Mu’jam Al-Wasith, Juz II, Dar Ihya’ At-Turats Al-‘Arabi, tanpa
tahun, hlm. 598.
[5] Abd Al-Qadir Audah, At-Tasyri’ Al-Jinaiy Al-Islamiy, Juz I, Dar Al-Kitab Al-A’rabi,
Beirut, tanpa tahun, hlm. 81.
[6] Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh
Al-Islami wa Adillatuhu, Juz VI, Dar Al-Fikr, Damaskus, 1989, hlm. 197.
[7]
Abu
Al-Hasan Ali Al-Mawardi, Kitab Al-Ahkam
As-Sulthaniyah, Dar Al-Fikr, Beirut, 1996, hlm. 236.
[8] Drs. H. Ahmag Wardi Muslich. Hukum Pidana Islam. Jakarta : Sinar
Grafika, 2005. Hlm. 255
[9] Hussein Khallid Bahreisj, Himpunan
Hadits Shahih Muslim, Surabaya : Al-Ikhlas, 1987, Hal. 241-242
[10] Saleh al-fauzan, Terjemah
Al-mulakhkhasul fiqh. Terj. Ahmad Ikhwani,dkk, Jakarta : Gema Insani, 2005,
Hal. 847
[13] Mu’ammal Hamdy dkk, Nailul Authar, Juz VI, PT Bina Ilmu, Surabaya, 2005, hlm. 2662-2663
[14] Sa’id Abdul ‘Adhim, Kafarah
Penghapus Dosa, Terj. Abu Najiyah Muhaimin bin Subaidi, Malang : Cahaya
Tauhid Press, Hal. 76
lumayaan
BalasHapus