Selasa, 08 Mei 2012

makalah hadist ahkam tentang syariqah


PENDAHULUAN
Dalam Islam, terdapat berbagai macam hukum, diantaranya adalah hukum yang telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul didalam Al-Qur’an dan Sunnah (Hukum Hudud) dan Hukum Ta’zir. Didalam hukum Hukum Hudud, juga dibagi menjadi beberapa macam hukuman, diantaranya adalah Hukum zina, Hukum Meminum Khamr, dan Hukum Pencurian. Hukum-hukum tersebut telah disyariatkan sejak zaman Rasulullah.
Walaupun demikian, dalam kenyataannya masih banyak umat Islam yang belum mengetahui tentang hukum-hukum syariat Islam tersebut serta bagaimana hukum-hukum tersebut harusnya diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Berkenaan dengan hal itu, dalam makalah ini pemakalah akan membahas tentang masalah Hukum Pencurian.

PEMBAHASAN
A.     Matan Hadits
عن عائشة رضي الله عنها أن قريشا أهمتهم شأن المرأة المخزومية التي سرقت فقالوا: من يكلم فيها رسول اللهصلىاللهعليهوسلم ، فقالوا : ومن يجتريء عليه إلا أسامة بن زيد حب رسول اللهصلىاللهعليهوسلم ، فكلمه أسامة، فقال: رسول الله صلى الله عليه وسلم: أتشفع في حد من حدود الله ثم قام فاختطب، فقال: أيها الناس: إنما أهلك الذين قبلكم أنهم كانوا إذا سرق فيهم الشريف تركوه، وإذا سرق فيهم الضعيف أقاموا عليه الحد. وايم الله لو أن فاطمة بنت محمد سرقت لقطعت يدها. رواه البخاري[1]
B.     Terjemahan
“Dari Aisyah RA bahwa orang2 Quraisy dibuat susah oleh urusan seorang wanita Makhzumiyah yang mencuri. Mereka berkata:”Siapa yang mau berbicara dengan Rasulullah Saw untuk memintakan keringanan baginya?, Mereka berkata, siapa lagi yang berani melakukannya selain dari Usamah bin Zaid, kesayangan Rasulullah? Maka Usamah berbicara dengan beliau, lalu beliau bersabda, Adakah engkau memintakan syafa’at dalam salah satu hukum-hukum Allah?kemudian beliau berdiri dan menyampaikan pidato, seraya bersabda: “Sesungguhnya telah binasalah orang-orang sebelum kalian,karena jika orang yang terpandang di antara mereka mencuri, mereka membiarkannya, dan sekiranya yang mencuri itu orang lemah di antara mereka, maka mereka menegakkan hukuman atas dirinya. Demi Allah, sekiranya Fatimah binti Muhammad mencuri, niscaya kupotong tangannya.” HR Bukhari.


C. Kosakata Hadits
أهمهم : أفزعهم(mendatangkan kesusahan)
المرأة المخزومية: Fatimah binti al-Aswad bin Abdul Asad, putri saudara Abu Salamah
Bani Makhzum adalah salah satu induk kaum Quraiys dan mereka merupakan bangsawan kabilah yang terhormat itu dan mereka mendapat sebutan Raihanah Quraiys.
من يجترئ: من الجراءة وهي الإقدام على الشيء
اتشفع: المخاطب اسامة بن زيد , كما قدمنا
وأيم الله: قسم، كوالله وبالله.
الشريف: وجهاء الناس(orang terpandang)
الضعيف: أراذل القوم(orang yang rendahan/rakyat jelata)
D. Asbabul wurud
Menurut atsar yang diriwayatkan oleh Aisyah bahwa dia menceritakan seorang perempuan yang sering mengingkari barang yang dia pinjam dari orang lain, maka nabi menyuruh untuk dipotong tangannya, maka usamah bin zaid sebagai saudara atau kerabatnya meminta Rasulullah untuk mengampuni kesalahannya.
Menurut atsar yang diriwayatkan oleh Jabir RA bahwa diceritakan ada seorang wanita dari Bani Makhzum yang mencuri , maka Nabi Saw mendatangkannya, akhrinya ia meminta perlindungan kepada Ummi Salamah, namun Nabi Saw bersabda: Demi Allah, seandainya Fatimah binti Muhammad mencuri maka akan aku potong tangannya. [2]
Menurut riwayat yang lain ada seorang wanita dari bani makhzum yang meminjam barang dari orang lain sekedar sebagai alasan kemudian dia mengingkarinya. Suatu kali dia meminjam lagi sebuah perhiasan lalu dia mengingkarinya. Ketika digeledah, perhiasan itu ada padanya. Kasus ini didengar Rasulullah Saw lalu beliau hendak melaksanakan hukuman yang sudah ditetapkan Allah dengan memotong tangannya. Sementara wanita itu termasuk wanita bangsawan dan berasal dari keluarga yang terpandang dikalangan Quraisy.[3]
E. Penjelasan Matan Hadits
Pencurian adalah termasuk kejahatan yang berhubungan dengan harta. Pencurian di dalam islam digolongkan ke dalam bentuk hukuman yang dimana hak Allah lebih besar dan utama, karena harta sangat berkaitan dengan kemaslahatan umat manusia secara keseluruhan dan harta adalah termasuk bagian terpenting dalam hidup manusia secara keseluruhan, maka Islam mewajibkan dan menetapkan hukuman bagi tindak pidana pencurian demi keamanan dan terjaganya stabilitas kehidupan umat manusia.
Termasuk keistimewaan hukuman had adalah tidak dapat diberikan keringanan bagi pelakunya, karena hak ini berkaitan dengan Allah, dan setiap sesuatu yang menyangkut kehidupan orang banyak, dan merupakan bagian terpenting dalam kehidupan tanpa hal itu bisa mengakibatkan kerusakan tatanan sistem kehidupan manusia baik itu secara duniawi dan ukhrawi. Berbeda halnya dengan qisash atau diyat yang dimana hak manusia lebih dominan bagiannya dibanding dengan hak Allah.
Hadits ini juga memberi hikmah kepada kita bahwa keadilan dalam islam itu memang mutlak ditegakkan demi tercapainya masyarakat Islam yang memiliki persamaan hak dan kewajiban dihadapan hukum Allah. Tidak ada perbedaan hukum antara si kaya dengan si miskin, antara si bangsawan dengan rakyat jelata, seluruh manusia sama dihadapan Allah sang pemilik hukum, yang membedakan derajat hanya ketakwaan. Adapun derajat atau perbedaan status, atau stratifikasi sosial di dalam masyarakat yang bermacam-macam seperti golongan orang kaya, terhormat, miskin, sederhana, rakyat jelata memang ada. Intinya hukum Islam adalah hukum yang penuh dengan keadilan. [4]
F. Khilaf ulama terhadap suatu masalah
Definisi mencuri:
السرقة: أخذ المال خفية ظلما من حرز مثله بشروط.
Mencuri adalah mengambil secara dzalim dan sembunyi-sembunyi dari suatu tempat yang terjaga dengan syarat-syarat.
Masalah pertama: Berkaitan dengan persoalan harta yang terjaga yaitu harta yang diletakkan di tempat yang pantas dan aman oleh pemiliknya. Apakah disyaratkan al-hirz (tempat yang terjaga dan pantas) atas suatu harta, dengan kata lain apakah harta dicuri itu berasal dari harta yang diletakkan di tempat yang pantas itu merupakan syarat didirikan hukuman potong tangan?
            Pendapat pertama: menurut Imam Ahmad bahwa tidak disyaratkan harta itu adalah harta yang terjaga, atau diletakkan di tempat yang pantas, hukuman tetap didirikan meskipun harta itu diletakkan di sembarang tempat. Hal ini karena berdasarkan keumuman al-Quran yang menyatakan bahwa pencuri laki-laki dan perempuan wajib dipotong tangan mereka, disamping itu bahwa tidak ada sunnah Nabi yang menyatakan bahwa syarat dilaksanakan hukuman pencurian harus dari harta yang dicuri berasal dari tempat yang aman. Dengan demikian keumuman dalalah al-Quran tetap menjadi hujjah.
            Pendapat kedua: menurut jumhur Fuqoha bahwa disyaratkan harta yang dicuri itu adalah harta yang terjaga, sebab petanda-petanda mencuri adalah mengambil harta bukan miliknya dengan sembunyi, jadi ada niat jahat, serta harta yang diletakkan ditempat yang pantas agar dibedakan antara luqatah (penemuan barang) dan mencuri. Dan pada itu pelaksanaan hukuman pencurian harus dengan bukti yang jelas, sebab hadits nabi yang menyatakan bahwa hukuman had itu dihentikan jika terdapat pada kasus akan keraguan atau ketidakjelasan
قال النبي صلى الله عليه وسلم: تدرأ الحدود بالشبهات.
Masalah kedua: bagaimana hukum meminta syafaat (dispensasi) untuk orang yang telah tertangkap oleh penegak hukum akan suatu kejahatan pencurian?
            Pendapat pertama: Jumhur Fuqoha berpendapat bahwa haram hukumnya memberikan syafaat untuk terpidana pencurian jika kasusnya sudah sampai kepada penegak hukum atau jika sudah tertangkap oleh penegak hukum. Dalil mereka adalah hadits Rasulullah di atas:
أتشفع في حد من حدود الله
                Dan menurut dalil logika, bahwa seandainya hukuman yang berkaitan dengan hak Allah seperti hudud, dapat diminta keringanan setelah hukuman itu akan dilaksanakan maka hukuman Allah akan menjadi tidak berwibawa, dan ketidakwibawaan hukum Allah itu suatu hal yang mustahil. Dan disamping itu, akan tersebar problem pencurian massal, dan berakibat kepada kerusakan tatanan masyarakat secara total.
            Pendapat kedua: Imam Malik berpendapat sama dengan jumhur, namun beliau mengkhususkan bagi orang yang menjadikan mencuri itu sebagai tabiatnya bahwa dia tidak boleh mendapatkan keringanan sama sekali, dan tetap dilaksanakan hukuman atasnya.
            Pendapat ketiga: Sebagian Ulama berpendapat bahwa tidak ada pemberian dispensasi bagi orang yang jelas melakukan pelanggaran hukuman had, dalam hal ini mencuri, meskipun hal itu belum sampai kepada penegak hukum. Justru yang boleh mendapatkan dispensasi bagi orang yang terkena hukuman ta’zir.[5]
A.      Matan dan Terjemah
عن عائشة رضي الله عنها قالت: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: لا تقتطع يد سارق إلا في ربع دينار فصاعدا. متفق عليه. وفي رواية لأحمد : اقطعوا في ربع دينار، ولا تقطعوا فيما هو أدنى من ذلك[6]
                Artinya: “Dari Aisyah RA berkata, Rasulullah Saw bersabda: tangan pencuri tidak dipotong kecuali karena pencurian yang nilainya mencapai seperempat dinar dan selebihnya. HR Muttafaq Alaih. Dalam riwayat Imam Ahmad: potonglah tangan karena pencurian yang mencapai seperempat dinar, dan jangan dipotong karena pencurian yang lebih rendah dari nilai tersebut.
عن عبد الله بن عمر رضي الله عنهما أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قطع في مجن ثمنه ثلاثة دارهم. رواه البخاري
Dari Abdullah bin Umar RA berkata: bahwa Nabi Saw memotong tangan karena kasus pencurian tameng yang nilainya tiga dirham. HR Bukhari
B.       Kosakata Hadits
Al-Qath’u: yang dimaksudkan disini ialah perintah memotong tangan
Qimatuhu: nilai atau harganya
Al-Mijannu: temeng yang digunakan sebagai alat pelindungan dari tebasan pedang. Seorang penunggang kuda biasa menggunakannya[7]
C.       Asbabul wurud
            Diriwayatkan bahwa dalam masa awal perkembangan Islam Nabi memotong tangan dari golongan laki-laki pertama kali, Khiyar bin ‘Adi’ bin Nofal bin Abdi Manaf, dan dari perempuan Murrah binti Sufyan.
            Dalam atsar yang diriwayatkan oleh Aisyah bahwa Nabi Saw pernah memotong tangan seorang pria yang mencuri tameng (hajfah), di dalam riwayat yang lain Nabi Saw juga berulang kali memotong tangan karena mencuri tameng, dalam hal ini Abu Bakar sebagai khalifah mengikuti tindakan Nabi Saw yang memotong tangan pencuri yang mencuri seharga tameng hajfah yaitu seperempat dinar. Pada masa Abu Bakar beliau memotong seorang pencuri karena perhiasan.[8]
D.      Penjelasan Matan Hadits
Sesungguhnya hukum potong tangan sebelum dijelaskan kadar dan mekanismenya oleh Sunnah, terlebih dahulu ditetapkan berdasarkan dalil al-Quran:
والسارق والسارقة فاقطعوا أيدهما جزاء بما كسبا نكالا من الله والله عزيز حكيم. المائدة 38
Dari ayat ini terdapat isyarat yang tersembunyi, yaitu didahulukan dhomir muzakkar pada pelaku pencurian dari pada dhomir muannats, karena pada umumnya yang mencuri itu kebanyakan dari golongan laki-laki, dibanding perempuan.
            Sunnah menjelaskan kadar atau ukuran berapa banyak harta yang dicuri sehingga dilaksanakan hukuman potong tangan. Dengan demikian sunnah mentakhsis keumuman dalalah al-Quran, sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak semua pencurian itu dihukum dengan potong tangan, maka harta yang tidak memenuhi nishab mencuri yang ditetapkan oleh sunnah yaitu seperempat dinar tidak dikenakan hukuman potong, tetapi hanya dikenakan hukuman ta’zir, yaitu bisa dimasukkan ke dalam penjara, didenda, dipukul. Dan semua hukuman baik itu had, ta’zir, maupun qishash adalah wewenang penegak hukum, dalam hal ini adalah pemerintah. Dengan demikian tidak ada konsep sanksi dalam hukum main hakim sendiri. Sehingga hukum Islam memiliki sifat keteraturan, ketertiban dan keadilan bagi seluruh masyarakat Islam.
            Adapun hikmah dari penetapan kadar atau nishab pencurian agar hukum Islam yang diterapkan ke dalam masyarakat itu memiliki keadilan dalam kenyataannya, adil dalam menetapkan hukum, adil dalam mempertimbangkan keadaan si pencuri, seandainya ada orang yang mencuri satu buah mangga tentu tidak dikenakan hukum potong tangan. Tentunya harta yang dikenakan hukuman tersebut adalah ukuran harta yang dianggap banyak, sehingga harta yang sedikit tidak termasuk hal tersebut.
            Begitu pula bagi orang yang mencuri dalam keadaan terpaksa, atau darurat, yang tidak memiliki makanan apapun yang dimakan sehingga mencuri beras, gandum dan sebagainya, maka tidak dilaksanakan hukuman potong tangan, sebagiamana yang dilakukan oleh Khalifah Umar bin Khottob RA.
E.       Pendapat Imam Madzhab tentang Kadar Nishab
Sepakat ulama jumhur baik salaf maupun khalaf akan pemberian syarat nishab pada pencurian, namun mereka berbeda pendapat mengenai ukuran nishab tersebut :
1.      Mazhab Syafi’i
Imam as-Syafi’i berpendapagt bahwa nishabnya adalah ¼ dinar emas, atau yang senilai dengannya, seperti bisa 3 dirham atau lebih bahkan kurang. Dan tidak di sanksi potong tangan orang yangmencuri dibawah ¼ dinar emas.
Berkata Imam an-Nawawi, inilah pendapat banyak faqih atau mayoritas.  Yaitu perkataan A’isyah Ra, Umar bin Abd aziz, al-Awza’i, al-laits bin Sa’id, Ishaq bin rahwaih, dan begitu juga riwayat Daud al-Zhahiri. Dalam seuatu riwayat yaitu riwayat Ja’far bin Muhammad disebutkan bahwa Imam Ali kwh. Memberikan sanksi potong tangan kepada pencuri yang mencuri ¼ dinar dimana nilainya sama dengan 2 ½ dirham.
2.      Mazhab Maliki dan Ahmad serta selain mereka
Berkata malik, Ahmad, serta ishaq- dalam satu riwayat- dipotong tangan pencuri pada ¼ dinar atau 3 dirham. Atau yang nilainya salah satu dari keduanya. Dan tiak dipotong yang kurang dari hal tersebut. Mereka berargumen dengan hadits-hadits yang ada diatas. Dimana dalam hadits riwayat bukhori dan muslim bahwa Rasulullah memotong tangan pencuri barang seharga 3 dirham. Pendapat ini juga ditopang oleh perkataan A’isyah bahwa ¼ dinar itu adalah 3 dirham.
3.      Mazhab Hanafi dan selainnya
Abu hanifah serta ulama yang sepemahaman dengannya berpendapat bahwa nishab harta pencurian adalah 10 dirham. Maka tidak boleh potong tangan dibawah dari 10 dirham. Mereka beristidlal ( mengambil dalil ) hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Abbas berkata bahwa Rasulullah memotong tangan seorang yang mencuri senjata senilai 10 dirham. Hadits ini juga diriwayatkan oleh Abu daud, an-Nasa’i, Ahmad serta al-Hakim.
Problema selanjutnya adalah adakah batasan tangan yang disebutkan dalam Al-Quran atau apa-apa saja anggota tubuh pencuri yang harus dipotong. Dalam hal ini Ulama sepakat bahwa kata tangan dalam Al-quran itu juga menunjukkan kepada kaki.
Ulama sepakat apabila seorang pencuri mencuri untuk pertama kalinya bahwa maka tangan kanannya dipotong – ini sebagaiman qiroat Ibnu Mas’ud, dan apabila ia masih mencuri untuk keda kalinya maka kaki kirinya yang dipotong, lagi-lagi jika ia masih mencuri maka tangan kirinya yang dipotong, jika untuk ke-empat kalinya ia mencuri maka kaki kanannya yang dipotong. Ini dinukilkan sebagai ijma’  oleh Imam Qadhi ‘Iyadh.
Dalam sebuah hadits dari Abu Hurairah
مِنْ حَدِيثِ أَبِي هُرَيْرَةَ { أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : فِي السَّارِقِ إنْ سَرَقَ : فَاقْطَعُوا يَدَهُ ثُمَّ إنْ سَرَقَ فَاقْطَعُوا رِجْلَهُ ثُمَّ إنْ سَرَقَ فَاقْطَعُوا يَدَهُ ثُمَّ إنْ سَرَقَ فَاقْطَعُوا رِجْلَهُ
Namun dalam hadits ini tidak dicantumkan adanya kewajiban penyilangan dalam sanksi ini. Dan jika ia masih mencuri untuk yang kelima kali maka sebagian sarjana hukum Islam Fuqaha’ berpendapat bahwa ia tidak dikenakan sanksi potng lagi, tetapi ia diberikan hukum ta’zir (artinya tergantung ketetapan hakim) atau dipenjara.
Bahkan tidak sedikit Fuqaha’ yang berpendapat sanksi bunuh kepada pencuri yang mencuri untuk kelima kalinya. Pendapat ini dapat kita temukan, diantar mereka yang memilki pemahaman seperti ini ialah Abu Mas’ab az-Zuhri al-Madini yaitu sahabat Imam Malik dan pendapat ini dinisbahkan kepada Imam Malik.
Dimana mereka berargumen dengan hadits dari jabir berkata “ didatangkan seorang pencuri kepada Nabi kemudian nabi bersabda “ bunuhlah dia ” ya rasulullah dia hanya mencuri nabi bersabda” potonglah tangannya ”, kemudia didatangkan orang yang kedua nabi bersabda “ bunuhla dia ” lantas nabi bersabda seperti diatas, hingga didatangkan orang yang kelima, lalu Nabi bersabda “ bunuhlah ia ” . berkata Jabir lalu kami berangkat dan kami bunuh dia kemudia kami lempaarkan ia kedalam sumur. [9]
An-nasa’i menilai bahwa hadits ini adalah munkardimana didalamnya ada rawi Mus’ab bin Tsabit yang tidak kuat ( bisa dipercaya ). Dan oleh karna itu tidak sah menggunakan dalil / berhujjah hukum melalui hadits ini.  Sedangkan Imam As-Syafi’i menilai hadits ini telah di nasakh dan sebagian ulama lain menilai bahwa hadits ini khusus untuk orang yang disebut dalam hadits tersebut.
A.    Pengampunan bagi pencuri
Sepakat Ulama bahwa si korban / pemiliki harta yang dicuri memiliki hak untuk memaafkan pencuri selama masalah pencurian itu belum diserahkan kepada hakim/ qadhi. Karena penyerahan permasalahan kepada hakim maka disana ada peralihan hak, yang hak sebelumnya masih dimiliki oleh si korban namun jika sudah diserahkan maka itu menjadi hak dan ketentuan Allah atau dengan kata lain hak bagi masyarakat. dalam sebuah hadits Rasulullah dari Amru bin Syua’ib
تعافوا الحدود فيما بينكم فما بلغني من حد فقد وجب
Artinya bermaaf-maaflah pada masalah hudud diantara kamu, maka sesuatu yang telah kepada ku berupa had atau sanksi sungguh dia menjadi wajib.
Dari sini jelaslah bahwa system kekeluargaan dalam masalah hudud merupakan cara bijak bagi manusia untuk mewujudkan ketentraman bagi system sosial yang berlaku dimanapun. 

B.     Pendapat
Had yang ditetapkan syariat terhadap pelaku pencuri, adalah potong tangan yang sampai nisabnya / qadar harganya senilai ¼ dinar dan begitu juga debatable yang terjadi dikalanga fuqaha’. Dalam perdebatan yang terjadi dikalangan ulama adalah masalah kriteria ukuran harta yang dicuri, dan sanksi yang diberikan jika pencuri tersebut masih mencuri untuk yang kelima kalinya, Apakah ia dibunuh, atau di penjara. Pendapat Jumhur ulama fiqh memiliki dalil yang akuntablesehingga berpegang kepada pendapat jumhur merupakan cara yang efektif untuk memahami had dalam pencurian. Apalagi ada kaedah ra’yu al-Jama’ah aqrabu ila al-haq min ro’yi al-fard artinya analisa (pendapat mayoritas/ jama’ah lebih mendekati kepada kebenaran ketimbang pendapat pribadi/ minoritas).  


DAFTAR PUSTAKA
Abd Al-Rahman, kitab Al-fiqh ala Mazhab al-Arba’ah.
Abdullah bin Abdurrahman bin Shalih Ali Bassam,Taisirul-Allam Umdatul-Ahkam, Maktabah As-Sawady Lit-Tauzi, Jeddah, cet V11, 1412/1992.

Ibnu Rusydi, Bidayat al-Mujtahid, semarang:Toha putra, Juz 2,
Muhammad bin Muhammad Abu Syihab, al hudud fi al Islam wa muqaranatuha bi al qawanin al wadhi’iyah ,Kairo, 1974

Musthafa Muhammad Abu Umaroh, Qutuf Min Al-hadyi An-nabawi, Mesir,Maktabah Rosywan 2008.

Muhammad bin Ismail As-San’ani, Subulus Salam Syarah Bulughul Maram, Mesir : Daar Al-Hadits, 2007.

Abdullah Bin Abdurahman Bin Shalih Ali Bassam,  Taisurul Allam Umdatul Ahkam, Maktabah As-sawady lit Tauzi, Jeddah. Cet VII 1412/1992

Syeikh Abi Abdullah Abdus salam Al-Lusiy,   ibanatul Ahkam, Beirut Daar el Fikr. Juz 4

Syeikh imam muhammah bin ismail Amirul yamani As-shofani  Subulus Salam  Mesir: Daar Al-hadis, Juz 4

Syarah hadis bukhari dan muslim




[1]Abdullah bin Abdurrahman bin Shalih Ali Bassam, Taisirul-Allam Syarh Umdatul-Ahkam, Maktabah As-Sawady Lit-Tauzi’,Jeddah, cet. V11,  1412/1992
[2]Abdullah bin abdurrahman in Shalih Ali Bassam, Taisirul-Allam Syarh Umdatul- Ahkam, Maktabah As-Sawady Lit-Tuazi, Jeddah, cet. V11, 1412/1992, hlm 899
[3]Musthafa Muhammad Abu Umaroh, Qutuf min Al-hadyi An-nabawi, Mesir: Maktabah Rosywan 2008, hlm 102
[4]Musthafa Muhammad Abu Umaroh, Qutuf min Al-hadyi An-nabawi, Mesir: Maktabah Rosywan 2008,hlm 109
[5]Musthafa Muhammad Abu Umaroh, Qutuf min Al-hadyi An-nabawi, Mesir,Maktabah Rosywan 2008, hlm 115-116
[6]Syeikh Imam Muhammad bin Ismail As-San’ani, Subulus Salam Syarah Bulughul Maram, Mesir Daar Al-Hadits, 2007, hlm 25-26, vol 4
[7]Abdullah bin Abdurrahman bin Shalih Ali Bassam,Taisirul-Allam Umdatul-Ahkam, Maktabah As-Sawady Lit-Tauzi, Jeddah, cet V11, 1412/1992, hlm 892-983
[8] Musthafa Muhammad Abu Umaroh, Qutuf Min Al-hadyi An-nabawi, Mesir,Maktabah Rosywan 2008, hlm 118
[9] Abd Al-Rahman, kitab Al-fiqh ala Mazhab al-Arba’ah hal 121

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

dunia ini memang indah,, tergantung bagaimana kita menjaga keindahan itu,,. untuk itu mari kita bersatu, satu pikiran satu tujuan untuk Indonesia merdeka,.. berpisah kita berjuang bersatu kita memukul..