Selasa, 08 Mei 2012

Sejarah perkembangan hukum waris

BAB I
PENDAHULUAN
            Syari’at diturunkan kepada para nabi ke muka bumi ini yang kebenarannya bersifat mutlak, tidak berubah, dan ruang lingkupnya luas. Fiqih merupakan hasil pemikiran dari paara ulama yang kebenarannya bersifat relatif, beragam (memiliki aliran-aliran yang disebut dengan istilah mazhab) dan mengalami perubahan seiring dengan tunututan ruang dan waktu yang kita sebut dengan istilah fiqih kontemporer.
            Pembicaraan dalam kitab Faraidh berkenaan dengan seseorang itu mewaris dan tidak. Kemudian jika seseorang itu mewaris, apakah selamanya ia mewaris atau ia mewaris bersama pewaris tertentu, bukan pewaris lain? Dan jika bersama pewaris lain, lalu berapakah besarnya ia mewaris? Begitu pula jika ia mewaris sendirian, berapakah ia besarnya ia mewaris? Jika ia mewaris bersama pewaris-pewaris lainnya, apakah baginya akan berbeda-beda menurut satu persatunya pewaris atau tidak?.
            Sistem waris merupakan salah satu sebab atau alasan adanya perpindahan kepemilikan, yaitu berpindahnya harta dan hak-hak material dari pihak yang mewariskan (muwarrits), setelah yang bersangkutan wafat, kepada para penerima warisan (waratsah) dengan jalan pergantian yang didasarkan pada hukuum syara’. Terjadinya proses pewarisan ini, tentu setelah memenuhi hak-hak yang terkait dengan harta peninggalan si mayyit.
           

            Terkait dengan hal di atas, timbul beberapa pertanyaan: Apa itu waris? Bagaimana definisinya? Apa dasar hukum waris tersebut? Bagaimana system waris bangsa arab sebelum islam? Oleh karena itu pemakalah berusaha menjelaskannya dalam makalah ini dengan merujuk kepada beberapa sumber yang pemakalah susun dengan metode pustaka.
BAB II
PENGERTIAN         
            Faraidh adalaah masalah-masalah pembagian harta warisan. Kata faraidh adalah bentuk jamak dari al-faridhah yang bermakna al-mafrudhah atau sesuatu yang diwajibkan. Artinya, pembagian yang telah ditentukan kadarnya.
            Menurut bahasa, lafal faridhah diambila dari kata al-fard atau kewajiban yang memiliki makna etimologis dan terminologis. Secara etimologis, kata al-fard memiliki beberapa arti, di antaranya sebagai berikut.
1)      Al-qath’ yang berarti ketetapan atau kepastian. Dalam firman Allah swt. Disebutkan, ......” Sebagai suatu bagian yang telah ditetapkan.”  (an-Nisa’ : 7)
2)      At-taqdir  yang berarti suatu ketentuan. Seperti dalam firman Allah swt., “.....Karena itu, bayarlah separuh dari (jumlah) yang telah kau tentukan itu....” (al-Baqarah : 237)
3)      Al-Inzal  yang berarti menurunkan. Firman Allah swt, “Sesunmgguhnya yang mewajibkan atasmu (melaksanakan hukum-hukum) Al-Qur’an, benar-benar akan mengembalikan kamu ke tempat kembali.....” (al-Qhasash : 85)
4)      At-tabyin yang berarti penjelasan, seperti firman Allah swt, “ Sesungguhnya Allah telah mewajibkan kepadamu sekalian membebaskan diri dari sumpahmu... “ (at-Tahrim : 2)
5)      Al-ihlal yang berarti menghalalkan. Seperti firman Allah swt , ...“Tidak ada suatu keberatan pun atas Nabi tentang apa yang telah ditetapkan  Allah baginya.” (al-Ahzab : 38)
6)      Al-atha’ yang berarti pemberian, seperti dalam pepatah bangsa Arab yang artinya “ Aku tidak mendapatkan pemberian ataupun pinjaman darinya “,
Sedangkan secara terminologis, ilmu faraidh memiliki beberapa definisi, yakni sebagai berikut.
1)      Penetapan kadar warisan bagi ahli waris berdasarkan ketentuan syara’ yang tidak bertambah, kecuali dengan radd (mengembalikan sisa lebih kepada para penerima warisan-pem) dan tidak berkurang, kecuali dengan ‘aul (pembagian harta waris, dimana jumlah bagian para ahli waris lebih besar daripada asal masalahnya, sehingga harus dinaikkan menjadi sebesar jumlah bagian-bagian itu).
2)      Pengetahuan tentang pembagian warisan dan tata cara menghitung yang terkait dengan pembagian harta waris dan pengetahuan tentang bagian yang wajib dari harta peninggalan untuk setiap pemilik hak waris.
3)      Disebut juga dengan fiqih mawaris “fiqih tentang warisan” dan tata cara menghitung harta waris yang ditinggalkan.[1]
4)      Disebut juga dengan ilmu yang digunakan untuk mengetahui ahli waris yang dapat mewarisi dan yang tidak dapat mewarisi serta mengetahui kadar bagian setiap ahli waris[2]
5)   Ilmu untuk mengetahui cara membagi harta peninggalan seseorang yang meninggal kepada yang berhak menerimanya.[3]
Dengan demikian, ilmu faraidh mencakup tiga unsur penting di dalamnya:
1)      Pengetahuan tentang kerabat-kerabat yang menjadi ahli waris;
2)      Pengetahuan tentang bagian setiap ahli waris; dan
3)       Pengetahuan tentang cara menghitung yang dapat berhubungan dengan pembagian harta waris.
BAB III
DASAR HUKUM
Dalil dari Al-Qur’an:
SURAT AN-NISA’ : 7-13, 19, 33, 127, 176,
SURAT AL-ANFAL: 72, 75
SURAT AL-FAJR   : 19
SURAT AL-AHZAB: 4-6
Dari hadits:
Ibnu Abbas r.a meriwayatkan bahwa nabi s.a.w bersabda, “berikanlah harta waris kepada oang-orang yang berhak. Sesudah itu, sisanya yang lebih utama adalah orang laki-laki[4]”(H.R Bukhari & Muslim)
Dari Ijma’:
Para sahabat, tabi’in ‘generasi pasca sahabat’, dan tabi’it tabi’in ‘generasi pasca tabi’in’ telah berijma’ atau bersepakat tentang legalitas ilmu faraidh & tiada seorangpun yang menyalahi ijma’ tersebut.

BAB IV
SEJARAH PERKEMBANGAN HUKUM WARIS
            Hukum waris sebelum islam
            Orang-orang arab jahiliah telah mengenal system waris sebagai sebab berpindahnya kepemilkan, yang dapat dilakukannya berdasarkan dua sebab atau alasan, yakni garis keturunan atau nasab, dan sebab atau alasan tertentu.
            Sebab yang pertama, berdasarkan garis keturunan atau kekerabatan, adalah warisan yang diturunkan pada anak lelaki dewasa yang ditandai dengan kemampuan menunggang kuda, bertempur, dan meraih harta rampasan perang. Apabila anak lelaki tidak ditemukan, mereka memberikan kepada ahli waris ashabahyang memiliki hubungan kekerabatan terdekat, seperti saudara laki-laki, paman, dan lainnya. Dengan demikian, mereka bangsa arab jahiliah tidak memberikan warisan kepada kaum perempuan dan anak-anak baik laki-laki maupun perempuan.
            Sedangkan sebab yang kedua, berdasarkan sebab atau alasan tertentu, adalah warisan yang diberikan kepada ahli waris melalui jalur adopsi. Kedudukan anak angkat sama dengan anak kandung yang mewarisi dari ayahnya. Adopsi merupakan salah-satu adat bangsa arab yang sudah dikenal di masa jahiliah. Mereka menetapkan jalur adopsi melalui dua cara. Pertama mereka menjadikan adopsi sebagai salah satu penghalang dibolehkannya menikah dengan perempuan (istri) dari orang tua yang mengadopsinya. Haramnya anak laki-laki yang diadopsi menikahi istri orang yang mengadopsinya, sama dengan keharamannya menikahi anak perempuan dari orang yang mengadopsinya, apabila keduanya garis penghubung-istri orang yang mengadopsi dan putrinya-dicerai atau ditinggal mati. Kedua mereka menjadikan adopsi sebagai salah satu alasan pelaksanaan hukum waris.
            Selain itu dalam masyarakat arab jahiliah sebab atau alasan tertentu yang dapat menyebabkan saling mewarisi adalah perjanjian. Adapun yang dimaksud dengan perjanjian adalah dua pihak saling berjanji, misalnya dengan mengatakan, “darahku adalah darahmu. Penyeranganku adalah penyeranganmu. Kamu menolongku berarti aku menolongmu, dan kamu mewarisi hartaku berarti aku mewarisi hartamu.” Sebagai akibat dari ikatan perjanjian ini, bila salah seorang dari mereka, pihak satunya yang masih hidup berhak mewarisi harta peninggalan rekannya yang telah meninggal dunia.
            Dengan demikian , orang-orang arab sebelum islam tidak memberikan warisan kepada anak-anak yang belum dewasa dan kaum perempuan. Alasan mereka, kaum perempuan dan anak kecil tidak dapat bergulat melawan musuh-musuh di medan perang dan tidak dapat memiliki harta rampasan perang.
Keterangan tersebut di jelaskan dalam riwayat ibnu abbas r.a berikut ini.
            “Ketika masalah faraidh (warisan) diturunkan, yang di dalamnya Allah wajibkan bagian untuk anak laki-laki dan perempuan, serta ayah dan ibu, seluruh atau sebagian masyarakat membencinya. Mereka berkata, ‘istri diberikan bagian warisan sebesar seperempat dan seperdelapan, anak perempuan mendapat bagian seperdua dan anak kecil juga mendapatkan bagian, padahal tidak seorangpun dari golongan mereka itu yang berperan demi membela suatu kaum dan memiliki harta rampasan perang. Acuhkanlah pembicaraan ini semoga saj rasulullah s.a.w. menjadi lupa atau bila kita mengatakannya p[astilah beliau akan  mengubahnya’
            Lalu sebagian dari mereka bertanya’wahai rasulullah apakah kami harus memberikan seorang budak wanita setengah bagian harta waris yang ditinggalkan ayahnya, sedang dia tidak bisa memacu kuda dan tidak bisa membela kaumnya dalam peperangan? Kemudian kami memberikan anak kecil harta waris pula, padahal harta itu tak berarti apa-apa baginya? Orang-orang arab di masa jahiliah melakukan hal seperti itu, dan tidak memberikan warisan kecuali kepada orang yang berperang. Tentunya mereka akan memberikannya kepada yang lebih besar dan seterusnya.’”[5]
            Itulah logika orang-orang arab jahiliah yang masih memberi pengaruh, yaitu menghadapkan kewajiban Allah dan pembagian-Nya  yang adil serta bijaksana, dan logika jahiliah masa kini yang memberikan pengaruh kepada sebagian jiwa manusia. Logika orang-orang arab itu kurang lebih sama dengan logika jahiliah masa kini yakni “bagaimana harta waris diberikan kepada orang yang tidak termasuk dalam kelompok anak dan cucu?” sesungguhnya,  logika tersebut menunjukkan orang-orang arab jahiliah tidak memahami hikmah dan tidak patuh kepada etika. Pada keduanya berkumpul kebodohan dan etika buruk.[6]
            Hukum waris setelah islam datang
            Ketika islam datang, orang-orang arab dengan cepat meninggalkan kebiasaan mereka tentang warisan. Kemudian islam membatalkan hukum waris melalui jalur adopsi, seperti dalam firman Allah dalam surat Al-Ahzab: 4-5. Pada masa awal-awal islam (awal masa hijrah -pem), persaudaraan, seperti yang dilakukan oleh rasulullah s.a.w. terhadap kaum muhajirin dan anshar, juga menjadi sebab atau alasan terjadinya warisan. Kemudian menghapus hijrah dan persaudaraan sebagai sebab-sebab terjadinya pewarisan, seperti yang termaktub dalam firman Allah s.w.t  dalam surat Al-Ahzab: 6.
            Dengan demikian, persoalan warisan menurut syari’at islam didasarkan atas “kekerabatan”, sesuai keterangan yang terperinci dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Serta penjelasan pembagiannya yang telah ditetapkan oleh hukum islam. Golongan yang masuk dalam kategori bisa menerima warisan adalah kaum perempuan dan anak kecil. Dengan demikian, islam telah menghapus tradisi atau system waris orang-orang arab jahiliah yang mengharamkan penerimaan waris kepada kaum perempuan dan anak-anak. Di samping karena alasan kekerabatan, islam juga menetapkan “perkawinan” sebagai salah satu sebab terjadinya pewarisan. Dengan demikian, suami istri dapat saling mewarisi.
            Islam juga memandang wala’ al-‘ataqah (hubungan kekerabatan yang terjadi karena membebaskan atau memerdekakan hamba sahaya –pem.) sebagai sebab terjadinya warisan. Karena itu, al-mu’taq ‘orang atau hamba sahaya yang dimerdekakan’ dapat mewarisi harta peninggala al-‘atiq ‘tuan yang memerdekakannya’ dengan cara wala’ al-‘ataqah. Dengan demikian, sesungguhnya, islam telah membatalkan system waris yang dibangun bangsa arab jahiliah baik secara umum maupun terperinci.
            Hukum waris di Indonesia
            Pemerintah hindia-belanda mengeluarka aturan baru dalam stbl.No.116-610 tahun 1937. Dalam  stbl. ini ditetapkan urusan kewarisan tidak lagi menjadi wewenang Raad agama. Kebijakan seperti ini berlaku pula pada pembentukan peradilan agama di Kalimantan sel;atan dan timur melalui stbl. no. 638-639 tahun 1937 tentang pembentukan lembaga kerapatan Qadhi dan Qadhi besar di Kalimantan selatan dan timur. Dalam stbl. ini ditetapkan kewarisan bukan mejadi wewenang peradilan. 
            Setelah Indonesia merdeka Pemerintah Indonesia mengeluarkan Peraturan Pemerintah No.45 tahun 1957, tentang pembentukan Mahkamah Syari’ah (peradilan agama) dan mahkamah Syari’ah Provinsi untuk seluruh Indonesia, di luar pulau jawa, Madura, dan Kalimantan selatan-timur. Dalam peraturan pemerintah itu ditetapkan salah satu wewenang peradilan agama adalah kewarisan.
            Keragaman nama dan wewenang peradilan agama itu telah berakhir semenjak tahun 1989 dengan keluarnya UU No.7 tahun1989 tentang peradilan agama. Pasal 49 dari UU ini menetapkan:
            Peradilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama islam dibidang:
a.       Perkawinan;
b.      Kewarisan, Wasiat dan Hibah, yang dilakukan berdasarkan hukum islam;
c.       Wakaf dan Shadaqah.
            Dalam pasal 49 UU ini ditegaskan bahwa kewarisan bagi umat islam di seluruh Indonesia, penyelesaiannya menjadi wewenang Peradilan Agama. Tentang hukum yang digunakan dalam menyelesaikan urusan kewarisan itu adalah hukum islam tentang kewarisan atau yang disebut hukum kewarisan islam atau faraidh. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Hukum Kewarisan Islam merupakan hukum positif di Indonesia, khususnya bagi umat islam.

BAB V
ISTILAH-ISTILAH YANG TERKAIT DENGAN KEWARISAN
Muwarrits: Orang yang mewariskan (mayit)
Waratsah : Orang yang menerima harta warisan
Tirkah     : Harta yang ditinggalkan muwarrits
Ash-habul Furudh: Ahli waris yang bagian-bagiannya sudah ada ketentuannya.
Furudh muqaddarah: Jumlah bagia-bagian yang sudah ditentukan.
Ashabah : Sedang yang dimaksud dalam kajian faraidh di sini ialah orang-orang yang mendapat alokasi sisa dari harta warisan setelah ashabul furudh (orang-orang yang berhak mendapat bagian) mengambil bagiannya masing-masing. Jika ternyata harta warisan itu tidak tersisa sedikitpun, maka orang-orang yang terkategori ’ashabah itu tidak mendapat bagian sedikitpun, kecuali yang menjadi ’ashabah itu adalah anak laki-laki, maka sama sekali ia tidak pernah terhalang. (Pengertian ini dikutip dari Fiqhus Sunnah III: 437).
Segenap orang yang termasuk ’ashabah berhak juga mendapatkan harta warisan seluruhnya, bila tidak didapati seorangpun dari ashabul furudh.
Hijab: Sesuatu yang menyebabkan seseorang dihalangi oleh seseorang yang lebih kuat jalur nasabnya.
Al-hajb  : Dalam bahasa arab berarti al-man’u (terhalang), dalam istilah ilmu fikih al-hajb didevinisikan “menghalangi orang yang mempunyai sebab mendapatkan warisan, baik secara menyeluruh maupun sebagian.”[7]
Mahjub   :  Orang yang terhalangi untuk mendapatkan warisan oleh Al-hajb baik menyeluruh maupun sebagian.
‘Aul        : ‘Aul berarti bertambahnya jumlah ashhabul furudh, tetapi bagian yang didapatkan para ahli waris berkurang.
Radd      : Radd timbul karena adanya sisa harta sesudah dibagikan kepada zawul furudh sedangkan ahli waris yang berhak atas sisa harta tidak ada.
Zawil arham: Seluruh kerabat yang bukan ash-habul furudh dan bukan ashabah.
BAB VI
PENUTUP
Kesimpulan
            Al-Qur’an mengatur segala segi kehidupan manusia termasuk urusan harta yang mana jika tidak diatur dapat menimbulkan pertumpahan darah, oleh karena itu Al-Qur’an memuat hukum perpindahan harta dari muwarrits kepada waratsah yang disebut hukum waris dengan sangat detail, bahkan merupakan hukum yang memiliki dalil yang paling rinci dan jelas dari Al-Qur’an.
            Islam juga membela hak perempuan dan anak kecil dalam hal kewarisan yang mana pada zaman jahiliah perempuan dan anak kecil tidak memiliki hak kewarisan.
           
Daftar Pustaka
·         Muhammad, Abul Wahid. Bidayatul Mujtahid. Jilid 2. Terjemahan Imam Ghazali Said dkk. Jakarta. Pustaka Amani. Cet. III. 2007
·         Syarifuddin, Amir. Hukum Kewarisan Islam. Jakarta. Kencana. 2004.
·         Parman, Ali. Kewarisan Dalam Al-Qur’an. Jakarta. PT Raja Grafindo Persada.Cet. I.1995
·         Komite Fakultas Syari’ah Universitas Al-Azhar, Mesir. Hukum Waris. Terjemahan Addys Aldizar dkk. Jakarta. Senayan Abadi Publishing. Cet.I. 2004


[1] Al-Adzb al-Fa’idh, juz I, hlm.12.
[2] Al-Adzb al-Fa’idh, juz l, hlm.12.
[3]Ibnu Ruyd. Bidayatul Mujtahid. Jilid 3. Terjemahan Imam Ghazali Said dkk. Jakarta. Pustaka Amani. Cet. III. 2007. hlm 379
[4] Yang dimaksud dengan “yang lebih utama” adalah “yang lebih dekat”.
[5] Tafsir ibnu jarir, juz VIII, hlm.32.
[6] Sayyid quthb, fi zhilailil Qu’an, juz I, hlm. 590 dalam tulisan editorial tulisan saleh al-fauzan, at-Tahqiqat al-mardhiyyah fi al-mabahits al-fadhiyyah (hlm.18).
[7] Syarh ar-Rahbiyyah, hlm. 45, al-‘adzb al-fa’idh, juz I, hlm. 93; Syarh as-Sirajiyyah, hlm. 84

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

dunia ini memang indah,, tergantung bagaimana kita menjaga keindahan itu,,. untuk itu mari kita bersatu, satu pikiran satu tujuan untuk Indonesia merdeka,.. berpisah kita berjuang bersatu kita memukul..