BAB I
PENDAHULUAN
Syari’at
diturunkan kepada para nabi ke muka bumi ini yang kebenarannya bersifat mutlak,
tidak berubah, dan ruang lingkupnya luas. Fiqih merupakan hasil pemikiran dari
paara ulama yang kebenarannya bersifat relatif, beragam (memiliki aliran-aliran
yang disebut dengan istilah mazhab) dan mengalami perubahan seiring dengan
tunututan ruang dan waktu yang kita sebut dengan istilah fiqih kontemporer.
Pembicaraan dalam
kitab Faraidh berkenaan dengan seseorang itu mewaris dan tidak. Kemudian jika
seseorang itu mewaris, apakah selamanya ia mewaris atau ia mewaris bersama
pewaris tertentu, bukan pewaris lain? Dan jika bersama pewaris lain, lalu
berapakah besarnya ia mewaris? Begitu pula jika ia mewaris sendirian, berapakah
ia besarnya ia mewaris? Jika ia mewaris bersama pewaris-pewaris lainnya, apakah
baginya akan berbeda-beda menurut satu persatunya pewaris atau tidak?.
Sistem waris
merupakan salah satu sebab atau alasan adanya perpindahan kepemilikan, yaitu
berpindahnya harta dan hak-hak material dari pihak yang mewariskan (muwarrits),
setelah yang bersangkutan wafat, kepada para penerima warisan (waratsah) dengan
jalan pergantian yang didasarkan pada hukuum syara’. Terjadinya proses
pewarisan ini, tentu setelah memenuhi hak-hak yang terkait dengan harta
peninggalan si mayyit.
Terkait dengan hal
di atas, timbul beberapa pertanyaan: Apa itu waris? Bagaimana definisinya? Apa
dasar hukum waris tersebut? Bagaimana system waris bangsa arab sebelum islam?
Oleh karena itu pemakalah berusaha menjelaskannya dalam makalah ini dengan
merujuk kepada beberapa sumber yang pemakalah susun dengan metode pustaka.
BAB II
PENGERTIAN
Faraidh adalaah
masalah-masalah pembagian harta warisan. Kata faraidh adalah bentuk jamak dari al-faridhah yang bermakna al-mafrudhah
atau sesuatu yang diwajibkan. Artinya, pembagian yang telah ditentukan
kadarnya.
Menurut bahasa,
lafal faridhah diambila dari kata al-fard atau kewajiban yang memiliki
makna etimologis dan terminologis. Secara etimologis, kata al-fard memiliki beberapa arti, di antaranya sebagai berikut.
1)
Al-qath’ yang berarti
ketetapan atau kepastian. Dalam firman Allah swt. Disebutkan, ......” Sebagai suatu bagian yang telah
ditetapkan.” (an-Nisa’ : 7)
2)
At-taqdir yang berarti suatu ketentuan. Seperti dalam
firman Allah swt., “.....Karena itu,
bayarlah separuh dari (jumlah) yang telah kau tentukan itu....” (al-Baqarah : 237)
3)
Al-Inzal yang berarti menurunkan. Firman Allah swt, “Sesunmgguhnya yang mewajibkan atasmu (melaksanakan
hukum-hukum) Al-Qur’an, benar-benar akan mengembalikan kamu ke tempat
kembali.....” (al-Qhasash : 85)
4)
At-tabyin yang berarti
penjelasan, seperti firman Allah swt, “
Sesungguhnya Allah telah mewajibkan kepadamu sekalian membebaskan diri dari
sumpahmu... “ (at-Tahrim : 2)
5)
Al-ihlal yang berarti
menghalalkan. Seperti firman Allah swt , ...“Tidak ada suatu keberatan pun atas Nabi tentang apa yang telah
ditetapkan Allah baginya.” (al-Ahzab : 38)
6)
Al-atha’ yang berarti
pemberian, seperti dalam pepatah bangsa Arab yang artinya “ Aku tidak mendapatkan pemberian ataupun pinjaman darinya “,
Sedangkan secara terminologis, ilmu faraidh memiliki
beberapa definisi, yakni sebagai berikut.
1)
Penetapan
kadar warisan bagi ahli waris berdasarkan ketentuan syara’ yang tidak
bertambah, kecuali dengan radd (mengembalikan sisa lebih kepada para penerima
warisan-pem) dan tidak berkurang, kecuali dengan ‘aul (pembagian harta waris, dimana
jumlah bagian para ahli waris lebih besar daripada asal masalahnya, sehingga
harus dinaikkan menjadi sebesar jumlah bagian-bagian itu).
2)
Pengetahuan
tentang pembagian warisan dan tata cara menghitung yang terkait dengan
pembagian harta waris dan pengetahuan tentang bagian yang wajib dari harta
peninggalan untuk setiap pemilik hak waris.
3)
Disebut
juga dengan fiqih mawaris “fiqih tentang warisan” dan tata cara menghitung
harta waris yang ditinggalkan.[1]
4)
Disebut
juga dengan ilmu yang digunakan untuk mengetahui ahli waris yang dapat mewarisi
dan yang tidak dapat mewarisi serta mengetahui kadar bagian setiap ahli waris[2]
5)
Ilmu
untuk mengetahui cara membagi harta peninggalan seseorang yang meninggal kepada
yang berhak menerimanya.[3]
Dengan demikian, ilmu faraidh mencakup tiga unsur penting di
dalamnya:
1)
Pengetahuan
tentang kerabat-kerabat yang menjadi ahli waris;
2)
Pengetahuan
tentang bagian setiap ahli waris; dan
3)
Pengetahuan tentang cara menghitung yang dapat
berhubungan dengan pembagian harta waris.
BAB III
DASAR HUKUM
Dalil dari Al-Qur’an:
SURAT AN-NISA’ : 7-13, 19, 33, 127,
176,
SURAT AL-ANFAL: 72, 75
SURAT AL-FAJR : 19
SURAT AL-AHZAB: 4-6
Dari hadits:
Ibnu Abbas r.a meriwayatkan bahwa
nabi s.a.w bersabda, “berikanlah harta waris kepada oang-orang yang berhak.
Sesudah itu, sisanya yang lebih utama adalah orang laki-laki[4]”(H.R
Bukhari & Muslim)
Dari Ijma’:
Para sahabat, tabi’in ‘generasi
pasca sahabat’, dan tabi’it tabi’in ‘generasi pasca tabi’in’ telah berijma’
atau bersepakat tentang legalitas ilmu faraidh & tiada seorangpun yang
menyalahi ijma’ tersebut.
BAB IV
SEJARAH PERKEMBANGAN HUKUM WARIS
Hukum waris sebelum islam
Orang-orang
arab jahiliah telah mengenal system waris sebagai sebab berpindahnya
kepemilkan, yang dapat dilakukannya berdasarkan dua sebab atau alasan, yakni
garis keturunan atau nasab, dan sebab atau alasan tertentu.
Sebab
yang pertama, berdasarkan garis keturunan atau kekerabatan, adalah warisan yang
diturunkan pada anak lelaki dewasa yang ditandai dengan kemampuan menunggang
kuda, bertempur, dan meraih harta rampasan perang. Apabila anak lelaki tidak
ditemukan, mereka memberikan kepada ahli waris ashabahyang memiliki hubungan
kekerabatan terdekat, seperti saudara laki-laki, paman, dan lainnya. Dengan
demikian, mereka bangsa arab jahiliah tidak memberikan warisan kepada kaum
perempuan dan anak-anak baik laki-laki maupun perempuan.
Sedangkan
sebab yang kedua, berdasarkan sebab atau alasan tertentu, adalah warisan yang
diberikan kepada ahli waris melalui jalur adopsi. Kedudukan anak angkat sama
dengan anak kandung yang mewarisi dari ayahnya. Adopsi merupakan salah-satu
adat bangsa arab yang sudah dikenal di masa jahiliah. Mereka menetapkan jalur
adopsi melalui dua cara. Pertama mereka menjadikan adopsi sebagai salah satu
penghalang dibolehkannya menikah dengan perempuan (istri) dari orang tua yang
mengadopsinya. Haramnya anak laki-laki yang diadopsi menikahi istri orang yang
mengadopsinya, sama dengan keharamannya menikahi anak perempuan dari orang yang
mengadopsinya, apabila keduanya garis penghubung-istri orang yang mengadopsi
dan putrinya-dicerai atau ditinggal mati. Kedua mereka menjadikan adopsi
sebagai salah satu alasan pelaksanaan hukum waris.
Selain
itu dalam masyarakat arab jahiliah sebab atau alasan tertentu yang dapat
menyebabkan saling mewarisi adalah perjanjian. Adapun yang dimaksud dengan
perjanjian adalah dua pihak saling berjanji, misalnya dengan mengatakan,
“darahku adalah darahmu. Penyeranganku adalah penyeranganmu. Kamu menolongku
berarti aku menolongmu, dan kamu mewarisi hartaku berarti aku mewarisi
hartamu.” Sebagai akibat dari ikatan perjanjian ini, bila salah seorang dari
mereka, pihak satunya yang masih hidup berhak mewarisi harta peninggalan
rekannya yang telah meninggal dunia.
Dengan
demikian , orang-orang arab sebelum islam tidak memberikan warisan kepada
anak-anak yang belum dewasa dan kaum perempuan. Alasan mereka, kaum perempuan
dan anak kecil tidak dapat bergulat melawan musuh-musuh di medan perang dan
tidak dapat memiliki harta rampasan perang.
Keterangan tersebut di jelaskan
dalam riwayat ibnu abbas r.a berikut ini.
“Ketika
masalah faraidh (warisan) diturunkan, yang di dalamnya Allah wajibkan bagian
untuk anak laki-laki dan perempuan, serta ayah dan ibu, seluruh atau sebagian
masyarakat membencinya. Mereka berkata, ‘istri diberikan bagian warisan sebesar
seperempat dan seperdelapan, anak perempuan mendapat bagian seperdua dan anak
kecil juga mendapatkan bagian, padahal tidak seorangpun dari golongan mereka
itu yang berperan demi membela suatu kaum dan memiliki harta rampasan perang.
Acuhkanlah pembicaraan ini semoga saj rasulullah s.a.w. menjadi lupa atau bila
kita mengatakannya p[astilah beliau akan
mengubahnya’
Lalu
sebagian dari mereka bertanya’wahai rasulullah apakah kami harus memberikan
seorang budak wanita setengah bagian harta waris yang ditinggalkan ayahnya,
sedang dia tidak bisa memacu kuda dan tidak bisa membela kaumnya dalam
peperangan? Kemudian kami memberikan anak kecil harta waris pula, padahal harta
itu tak berarti apa-apa baginya? Orang-orang arab di masa jahiliah melakukan
hal seperti itu, dan tidak memberikan warisan kecuali kepada orang yang
berperang. Tentunya mereka akan memberikannya kepada yang lebih besar dan
seterusnya.’”[5]
Itulah
logika orang-orang arab jahiliah yang masih memberi pengaruh, yaitu
menghadapkan kewajiban Allah dan pembagian-Nya
yang adil serta bijaksana, dan logika jahiliah masa kini yang memberikan
pengaruh kepada sebagian jiwa manusia. Logika orang-orang arab itu kurang lebih
sama dengan logika jahiliah masa kini yakni “bagaimana harta waris diberikan
kepada orang yang tidak termasuk dalam kelompok anak dan cucu?”
sesungguhnya, logika tersebut
menunjukkan orang-orang arab jahiliah tidak memahami hikmah dan tidak patuh
kepada etika. Pada keduanya berkumpul kebodohan dan etika buruk.[6]
Hukum waris setelah islam datang
Ketika
islam datang, orang-orang arab dengan cepat meninggalkan kebiasaan mereka
tentang warisan. Kemudian islam membatalkan hukum waris melalui jalur adopsi,
seperti dalam firman Allah dalam surat Al-Ahzab: 4-5. Pada masa awal-awal islam
(awal masa hijrah -pem), persaudaraan, seperti yang dilakukan oleh rasulullah
s.a.w. terhadap kaum muhajirin dan anshar, juga menjadi sebab atau alasan
terjadinya warisan. Kemudian menghapus hijrah dan persaudaraan sebagai
sebab-sebab terjadinya pewarisan, seperti yang termaktub dalam firman Allah
s.w.t dalam surat Al-Ahzab: 6.
Dengan
demikian, persoalan warisan menurut syari’at islam didasarkan atas
“kekerabatan”, sesuai keterangan yang terperinci dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Serta penjelasan pembagiannya yang telah ditetapkan oleh hukum islam. Golongan
yang masuk dalam kategori bisa menerima warisan adalah kaum perempuan dan anak
kecil. Dengan demikian, islam telah menghapus tradisi atau system waris
orang-orang arab jahiliah yang mengharamkan penerimaan waris kepada kaum
perempuan dan anak-anak. Di samping karena alasan kekerabatan, islam juga
menetapkan “perkawinan” sebagai salah satu sebab terjadinya pewarisan. Dengan
demikian, suami istri dapat saling mewarisi.
Islam
juga memandang wala’ al-‘ataqah (hubungan
kekerabatan yang terjadi karena membebaskan atau memerdekakan hamba sahaya
–pem.) sebagai sebab terjadinya warisan. Karena itu, al-mu’taq ‘orang atau
hamba sahaya yang dimerdekakan’ dapat mewarisi harta peninggala al-‘atiq ‘tuan
yang memerdekakannya’ dengan cara wala’ al-‘ataqah. Dengan demikian,
sesungguhnya, islam telah membatalkan system waris yang dibangun bangsa arab
jahiliah baik secara umum maupun terperinci.
Hukum waris di Indonesia
Pemerintah
hindia-belanda mengeluarka aturan baru dalam stbl.No.116-610 tahun 1937.
Dalam stbl. ini ditetapkan urusan
kewarisan tidak lagi menjadi wewenang Raad agama. Kebijakan seperti ini berlaku
pula pada pembentukan peradilan agama di Kalimantan sel;atan dan timur melalui
stbl. no. 638-639 tahun 1937 tentang pembentukan lembaga kerapatan Qadhi dan
Qadhi besar di Kalimantan selatan dan timur. Dalam stbl. ini ditetapkan
kewarisan bukan mejadi wewenang peradilan.
Setelah
Indonesia merdeka Pemerintah Indonesia mengeluarkan Peraturan Pemerintah No.45
tahun 1957, tentang pembentukan Mahkamah Syari’ah (peradilan agama) dan
mahkamah Syari’ah Provinsi untuk seluruh Indonesia, di luar pulau jawa, Madura,
dan Kalimantan selatan-timur. Dalam peraturan pemerintah itu ditetapkan salah
satu wewenang peradilan agama adalah kewarisan.
Keragaman
nama dan wewenang peradilan agama itu telah berakhir semenjak tahun 1989 dengan
keluarnya UU No.7 tahun1989 tentang peradilan agama. Pasal 49 dari UU ini
menetapkan:
Peradilan
Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan
perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama islam
dibidang:
a.
Perkawinan;
b.
Kewarisan,
Wasiat dan Hibah, yang dilakukan berdasarkan hukum islam;
c.
Wakaf
dan Shadaqah.
Dalam
pasal 49 UU ini ditegaskan bahwa kewarisan bagi umat islam di seluruh
Indonesia, penyelesaiannya menjadi wewenang Peradilan Agama. Tentang hukum yang
digunakan dalam menyelesaikan urusan kewarisan itu adalah hukum islam tentang
kewarisan atau yang disebut hukum kewarisan islam atau faraidh. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Hukum Kewarisan
Islam merupakan hukum positif di Indonesia, khususnya bagi umat islam.
BAB V
ISTILAH-ISTILAH YANG TERKAIT DENGAN
KEWARISAN
Muwarrits: Orang yang
mewariskan (mayit)
Waratsah : Orang yang
menerima harta warisan
Tirkah : Harta yang ditinggalkan muwarrits
Ash-habul
Furudh: Ahli waris yang bagian-bagiannya sudah ada
ketentuannya.
Furudh
muqaddarah: Jumlah bagia-bagian yang sudah ditentukan.
Ashabah : Sedang
yang dimaksud dalam kajian faraidh di sini ialah orang-orang yang mendapat
alokasi sisa dari harta warisan setelah ashabul furudh (orang-orang yang
berhak mendapat bagian) mengambil bagiannya masing-masing. Jika ternyata harta
warisan itu tidak tersisa sedikitpun, maka orang-orang yang terkategori ’ashabah
itu tidak mendapat bagian sedikitpun, kecuali yang menjadi ’ashabah
itu adalah anak laki-laki, maka sama sekali ia tidak pernah
terhalang. (Pengertian ini dikutip dari Fiqhus Sunnah III: 437).
Segenap orang yang termasuk ’ashabah
berhak juga mendapatkan harta warisan seluruhnya, bila tidak
didapati seorangpun dari ashabul furudh.
Hijab: Sesuatu yang menyebabkan seseorang dihalangi
oleh seseorang yang lebih kuat jalur nasabnya.
Al-hajb
: Dalam bahasa arab berarti al-man’u (terhalang), dalam istilah ilmu fikih al-hajb
didevinisikan “menghalangi orang yang mempunyai sebab mendapatkan warisan, baik
secara menyeluruh maupun sebagian.”[7]
Mahjub
: Orang
yang terhalangi untuk mendapatkan warisan oleh Al-hajb baik menyeluruh maupun
sebagian.
‘Aul : ‘Aul berarti
bertambahnya jumlah ashhabul furudh, tetapi bagian yang didapatkan para ahli
waris berkurang.
Radd : Radd timbul karena adanya sisa harta sesudah
dibagikan kepada zawul furudh sedangkan ahli waris yang berhak atas sisa harta
tidak ada.
Zawil arham: Seluruh kerabat
yang bukan ash-habul furudh dan bukan ashabah.
BAB VI
PENUTUP
Kesimpulan
Al-Qur’an
mengatur segala segi kehidupan manusia termasuk urusan harta yang mana jika
tidak diatur dapat menimbulkan pertumpahan darah, oleh karena itu Al-Qur’an
memuat hukum perpindahan harta dari muwarrits kepada waratsah yang disebut hukum waris dengan sangat detail, bahkan
merupakan hukum yang memiliki dalil yang paling rinci dan jelas dari Al-Qur’an.
Islam
juga membela hak perempuan dan anak kecil dalam hal kewarisan yang mana pada
zaman jahiliah perempuan dan anak kecil tidak memiliki hak kewarisan.
Daftar Pustaka
·
Muhammad,
Abul Wahid. Bidayatul Mujtahid. Jilid 2. Terjemahan Imam Ghazali Said dkk.
Jakarta. Pustaka Amani. Cet. III. 2007
·
Syarifuddin,
Amir. Hukum Kewarisan Islam. Jakarta. Kencana. 2004.
·
Parman,
Ali. Kewarisan Dalam Al-Qur’an. Jakarta. PT Raja Grafindo Persada.Cet. I.1995
·
Komite
Fakultas Syari’ah Universitas Al-Azhar, Mesir. Hukum Waris. Terjemahan Addys
Aldizar dkk. Jakarta. Senayan Abadi Publishing. Cet.I. 2004
[1]
Al-Adzb al-Fa’idh, juz I, hlm.12.
[2]
Al-Adzb al-Fa’idh, juz l, hlm.12.
[3]Ibnu Ruyd.
Bidayatul Mujtahid. Jilid 3. Terjemahan Imam Ghazali Said dkk. Jakarta. Pustaka
Amani. Cet. III. 2007. hlm 379
[4]
Yang dimaksud dengan “yang lebih utama” adalah “yang lebih dekat”.
[5] Tafsir
ibnu jarir, juz VIII, hlm.32.
[6]
Sayyid quthb, fi zhilailil Qu’an, juz I, hlm. 590 dalam tulisan editorial
tulisan saleh al-fauzan, at-Tahqiqat al-mardhiyyah fi al-mabahits al-fadhiyyah
(hlm.18).
[7]
Syarh ar-Rahbiyyah, hlm. 45, al-‘adzb al-fa’idh, juz I, hlm. 93; Syarh
as-Sirajiyyah, hlm. 84
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
dunia ini memang indah,, tergantung bagaimana kita menjaga keindahan itu,,. untuk itu mari kita bersatu, satu pikiran satu tujuan untuk Indonesia merdeka,.. berpisah kita berjuang bersatu kita memukul..