(copas dari abou fateh)I. Bukti (Kitab al fiqh al absath)
Aqidah Imam Abu Hanifah “ALLAH ADA TANPA TEMPAT DAN TANPA ARAH”, (Mewaspadai
Ajaran Sesat Wahabi)
Terjemah:
Lima: Apa yang beliau (Imam Abu Hanifah) tunjukan –dalam catatannya–: “Dalam Kitab al-Fiqh al-Absath bahwa ia (Imam Abu Hanifah) berkata: Allah ada tanpa permulaan dan tanpa tempat, Dia ada sebelum menciptakan segala makhluk, Dia ada sebelum ada tempat, sebelum segala ciptaan, sebelum segala sesuatu”. Dialah yang mengadakan/menciptakan segala sesuatu dari tidak ada, oleh karenanya maka tempat dan arah itu bukan sesuatu yang qadim (artinya keduanya adalah makhluk/ciptaan Allah). Dalam catatan Imam Abu Hanifah ini terdapat pemahaman2 penting:
Terjemah:
Lima: Apa yang beliau (Imam Abu Hanifah) tunjukan –dalam catatannya–: “Dalam Kitab al-Fiqh al-Absath bahwa ia (Imam Abu Hanifah) berkata: Allah ada tanpa permulaan dan tanpa tempat, Dia ada sebelum menciptakan segala makhluk, Dia ada sebelum ada tempat, sebelum segala ciptaan, sebelum segala sesuatu”. Dialah yang mengadakan/menciptakan segala sesuatu dari tidak ada, oleh karenanya maka tempat dan arah itu bukan sesuatu yang qadim (artinya keduanya adalah makhluk/ciptaan Allah). Dalam catatan Imam Abu Hanifah ini terdapat pemahaman2 penting:
1. Terdapat argumen bahwa seandainya Allah berada pada
tempat dan arah maka berarti tempat dan arah tersebut adalah sesuatu yang qadim
(tidak memiliki permulaan), juga berarti bahwa Allah adalah benda (memiliki
bentuk dan ukuran). Karena pengertian “tempat” adalah sesuatu/ruang kosong yang
diwadahi oleh benda, dan pengertian “arah” adalah puncak/akhir penghabisan dari
tujuan suatu isyarat dan tujuan dari sesuatu yang bergerak. Dengan demikian
maka arah dan tempat ini hanya berlaku bagi sesuatu yang merupakan benda dan
yang memiliki bentuk dan ukuran saja; dan ini adalah perkara mustahil atas
Allah (artinya Allah bukan benda) sebagaimana telah dijelaskan dalam penjelasan
yang lalu. Oleh karena itulah beliau (Imam Abu Hanifah berkata: “Allah ada tanpa
permulaan dan tanpa tempat, Dia ada sebelum menciptakan segala makhluk, Dia ada
sebelum ada tempat, sebelum segala ciptaan, sebelum segala sesuatu sesuatu”.
Sementara apa yang disangkakan oleh Ibn Taimiyah bahwa arsy adalah sesuatu yang qadim (tidak bermula) adalah pendapat SESAT, sebagaimana kesesatan ini telah dijelaskan dalam Kitab Syarh al-Aqa’id al-’Adludliyyah.
Sementara apa yang disangkakan oleh Ibn Taimiyah bahwa arsy adalah sesuatu yang qadim (tidak bermula) adalah pendapat SESAT, sebagaimana kesesatan ini telah dijelaskan dalam Kitab Syarh al-Aqa’id al-’Adludliyyah.
2. Sebagai jawaban bahwa Allah tidak dikatakan di dalam alam
adalah oleh karena mutahil Allah berada di dalam susuatu yang notabene
makhluk-Nya. Dan bahwa Allah tidak dikatakan di luar alam adalah oleh karena
Allah ada (tanpa permulaan) sebelum adanya segala makhluk, dan Dia ada sebelum
adanya segala tempat dan arah. Karena itulah beliau (Imam Abu Hanifah berkata:
“Dia (Allah) adalah Pencipta segala sesuatu”.
Keterangan:
Kitab ini berjudul Isyarat al-Maram Min ‘Ibarat al-Imam adalah karya Imam al-Bayyadli. Isinya adalah penjelasan aqidah yang diyakini oleh Imam Abu Hanifah sesuai risalah2 yang ditulis oleh Imam Abu Hanifah sendiri.
II. Hujjah Imam Hanafi dalam Kitab Alwasiat) Kalahkan Aqidah
sesat salafy / wahaby
NIH BACA YANG DIGARIS MERAH :
NIH BACA YANG DIGARIS MERAH :
( DIATAS ADALAH KENYATAAN IMAM ABU HANIFAH DALAM KITAB
WASIAT BELIAU PERIHAL ISTAWA )
Demikian dibawah ini teks terjemahan nas Imam Abu Hanifah
dalam hal tersebut ( Rujuk kitab wasiat yang ditulis imam hanifah, sepertimana
yang telah di scandiatas, baca yang di line merah):
“ Berkata Imam Abu Hanifah: Dan kami ( ulama Islam ) mengakui bahawa Allah ta’al ber istawa atas Arasy tanpa Dia memerlukan kepada Arasy dan Dia tidak bertetap di atas Arasy, Dialah menjaga Arasy dan selain Arasy tanpa memerlukan Arasy, sekiranya dikatakan Allah memerlukan kepada yang lain sudah pasti Dia tidak mampu mencipta Allah ini dan tidak mampu mentadbirnya sepeti jua makhluk-makhluk, kalaulah Allah memerlukan sifat duduk dan bertempat maka sebelum diciptaArasy dimanakah Dia? Maha suci Allah dari yang demikian”. Tamat terjemahan daripada kenyatan Imam Abu Hanifah dari kitab Wasiat beliau.
Amat jelas di atas bahawa akidah ulama Salaf sebenarnya yang telah dinyatakan oleh Imam Abu Hanifah adalah menafikan sifat bersemayam(duduk) Allah di atas Arasy.
“ Berkata Imam Abu Hanifah: Dan kami ( ulama Islam ) mengakui bahawa Allah ta’al ber istawa atas Arasy tanpa Dia memerlukan kepada Arasy dan Dia tidak bertetap di atas Arasy, Dialah menjaga Arasy dan selain Arasy tanpa memerlukan Arasy, sekiranya dikatakan Allah memerlukan kepada yang lain sudah pasti Dia tidak mampu mencipta Allah ini dan tidak mampu mentadbirnya sepeti jua makhluk-makhluk, kalaulah Allah memerlukan sifat duduk dan bertempat maka sebelum diciptaArasy dimanakah Dia? Maha suci Allah dari yang demikian”. Tamat terjemahan daripada kenyatan Imam Abu Hanifah dari kitab Wasiat beliau.
Amat jelas di atas bahawa akidah ulama Salaf sebenarnya yang telah dinyatakan oleh Imam Abu Hanifah adalah menafikan sifat bersemayam(duduk) Allah di atas Arasy.
kalaulah Allah memerlukan sifat duduk dan bertempat maka
sebelum diciptakan semua makhluq (sebelum diciptakan tempat, arah, arsy, langit
dan smua makhluq = zaman azali) dimanakah Dia? Maha suci Allah dari yang
demikian”
Al Imam Abu Hanifah dalam kitabnya al Fiqh al Absath
berkata:
“Allah ta’ala ada pada azal (keberadaan tanpa permulaan) dan
belum ada tempat, Dia ada sebelum menciptakan makhluk, Dia ada dan belum ada
tempat, makhluk dan sesuatu dan Dia pencipta segala sesuatu”. Al Imam
Fakhruddin ibn ‘Asakir (W. 620 H) dalam risalah aqidahnya mengatakan : “Allah
ada sebelum ciptaan, tidak ada bagi- Nya sebelum dan sesudah, atas dan bawah,
kanan dan kiri, depan dan belakang, keseluruhan dan bagian-bagian, tidak boleh
dikatakan”Kapan ada-Nya ?”, “Di mana Dia ?” atau “Bagaimana Dia ?”, Dia ada
tanpa tempat”.
III. Ibnu katsir membungkam wahhaby (2) : Tafsir ayat
“istiwa”
Ibnu katsir membungkam wahhaby (2) : Tafsir ayat “istiwa”
Bagaimana cara ulama ahli sunnah waljamaah dalam memahami masalah asma wa sifat atau yang sering di sebut dngan ayat-aya dan hadit-haditst sifat?ayat-ayat sifat disini adalah ayat Alquran atau Hadits Nabi yang menyebutkan tentang aggota tubuh seperti mata ,tangan,naik turun yang di sandarkan kepada Allah dll yang jika salah dalam memahamimya seseorang bisa masuk dalam kesesatan aqidah mujassimah(yang megatakan bahwa Allah SWT mempunyai aggota badan yang menyerupai dengan hambanya).Atau akan terjerumus dalam ta’thil (yang menolak sifat-sifat Allah SWT ).Begitu penting dan bahaya permasalahan ini maka ulama benar-benar telah membahasnya dengan detail dan rinci agar ummat ini tidak salah dalam memahami ayat –ayat dan hadits-hadits sifat. Ada dua catara yang di ambil oleh ulama ahli sunnah waljamaah dalam memahami ayat-ayat sifat ini :
Ibnu katsir membungkam wahhaby (2) : Tafsir ayat “istiwa”
Bagaimana cara ulama ahli sunnah waljamaah dalam memahami masalah asma wa sifat atau yang sering di sebut dngan ayat-aya dan hadit-haditst sifat?ayat-ayat sifat disini adalah ayat Alquran atau Hadits Nabi yang menyebutkan tentang aggota tubuh seperti mata ,tangan,naik turun yang di sandarkan kepada Allah dll yang jika salah dalam memahamimya seseorang bisa masuk dalam kesesatan aqidah mujassimah(yang megatakan bahwa Allah SWT mempunyai aggota badan yang menyerupai dengan hambanya).Atau akan terjerumus dalam ta’thil (yang menolak sifat-sifat Allah SWT ).Begitu penting dan bahaya permasalahan ini maka ulama benar-benar telah membahasnya dengan detail dan rinci agar ummat ini tidak salah dalam memahami ayat –ayat dan hadits-hadits sifat. Ada dua catara yang di ambil oleh ulama ahli sunnah waljamaah dalam memahami ayat-ayat sifat ini :
Pertama adalah tafwidh, maksudnuya menyerahkan pemahaman
makna tersebut kepada Allah SWT karena khawatir jika di fahami sesuai dhohir
lafatnya akan merusak aqidah. Misanya disaat Allah menyebut tangan yang di
nisbatkan kepada Allah, maka maknanya tidak di bahas akan tetapi dilalui dan
diserahkan kepada Allah SWT. Ibnu katsir adalah salah satu ulama yang
menggunkan methode ini.
Kedua adalah dengan cara mentakwili ayat tersebut dengan
makna yang ada melalaui dalil lain. Seperti tangan Allah di artikan dengan
kekuasaan Allah yang memang makna kekuasaa itu sendiri di tetapkan dengan dalil
yang pasti dari Alquran dan hadits.
1-Dua cara ini yakni attafwid dan attakwil adalah cara yang
di ambil oleh ulama salaf dan kholaf,sungguh tidak benar jika tafwid adalah
metode tyang di ambil oleh ulama salaf dan ta’wil adalah yang di ambil oleh
ulama kholaf saja.
2-Ada sekelompok orang di akhir zaman ini menfitnah para
ulama terdahulu(salaf) dan menyebut mereka sebagai ahli bidah dan sesat karena
telah mentakwili ayat-ayat sifat ini.maka kelompok yang membid’ahkan ulama
terdahulu karena takwil ,sungguh mereka adalah orang –orang yang tidak mengerti
bagaimana mentakwil dan mereka uga tidak kenal dengan benar dengan ulama
terdahulu karena banyak riwayat ta’wil yang dating dari para salaf..
3-ada sekelompok orang yang menyebut diri mereka sebagai
ahli tafwid akan tetapi telah terjerumus dam kesesatan takwil yang tidak mereka
sadari.misalnya disaat mereka mengatakan bahwa Allah berada di atas ‘ars
,mereka mengatakan tidak boleh ayat tentang keberadaan Allah di ars ini di
ta’wili.akan tetapi dengan tidak di sadari mereka menjelaskan keberadan Allah
di ars dengan penjelasan bahwa ars adlah makhluq terbesar(seperti bola dan
semua mkhluk yang lain di dalamnya.kemudian mereka mengatakkan dan Allah swt
berada di atas Arsy nag besar itu di tempat yang namany makan ‘adami(tempat
yang tidak ada).Lihat dari mana mereka mengatakan ini semua. Itu adalah takwil
fasid dan ba’id(takwil salah mereka yang jauh dari kebenaran.
Adapun ulama ahli kebenaran, ayat tentang Allah dan ars,para ahli tafwid menyerahkan pemahaman maknanya kepada Allah swt,adapu ahli ta’wil mengatakan Alah menguasai Ars dan tidaklah salah karena memang Allah dzat yang maha kuasa terhadap makhluk terbesar Ars, sebab memang Allah maha kuasa terhadap segala sesuatu.wallhu a’lam bishshowab
Adapun ulama ahli kebenaran, ayat tentang Allah dan ars,para ahli tafwid menyerahkan pemahaman maknanya kepada Allah swt,adapu ahli ta’wil mengatakan Alah menguasai Ars dan tidaklah salah karena memang Allah dzat yang maha kuasa terhadap makhluk terbesar Ars, sebab memang Allah maha kuasa terhadap segala sesuatu.wallhu a’lam bishshowab
A. Tafsir Ayat Mutasyabihat ISTIWA
I. Tafsir Makna istiwa Menurut Kitab Tafsir Mu’tabar
lihat dalam tafsir berikut :
lihat dalam tafsir berikut :
1. Tafsir Ibnu katsir menolak makna dhahir (lihat surat al
-a’raf ayat 54, jilid 2 halaman 295)
Tarjamahannya (lihat bagian yang di line merah) :
Tarjamahannya (lihat bagian yang di line merah) :
{kemudian beristawa kepada arsy} maka manusia pada bagian
ini banyak sekali perbedaan pendapat , tidak ada yang memerincikan makna
(membuka/menjelaskannya) (lafadz istiwa) dan sesungguhnya kami menempuh dalam
bagian ini seperti apa yang dilakukan salafushalih, imam malik, imam auza’I dan
imam atsuri, allaits bin sa’ad dan syafi’I dan ahmad dan ishaq bin rawahaih dan
selainnya dan ulama-ulama islam masa lalu dan masa sekarang. Dan lafadz
(istawa) tidak ada yang memerincikan maknanya seperti yang datang tanpa takyif
(memerincikan bagaimananya) dan tanpa tasybih (penyerupaan dgn makhluq) dan
tanpa ta’thil(menafikan) dan (memaknai lafadz istiwa dengan) makna dhahir yang
difahami (menjerumuskan) kepada pemahaman golongan musyabih yang menafikan dari
(sifat Allah) yaitu Allah tidak serupa dengan makhluqnya…”
Wahai saudara saudara dari kelompok wahhaby!!
lihatlah ibnu katsir melarang memaknai ayat mutasyabihat
dengan makana dhohir karena itu adalah pemahaman mujasimmah musyabihah!
bertaubatlah dari memaknai semua ayat mutasyabihat dengan
makna dhahir!!
Kemudian Ibnu katsir melanjutkan lagi :
Kemudian Ibnu katsir melanjutkan lagi :
““Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan-Nya, dan Dia Maha
Mendengar lagi Maha Melihat” [al-Syura: 11]. Bahkan perkaranya adalah
sebagaimana yang dikatakan oleh para imam, diantaranya Nu’aim bin Hammad
al-Khuza’i, guru al-Bukhari, ia berkata: “Siapa yang menyerupakan Allah dengan
makhluk-Nya, ia telah kafir, dan siapa yang mengingkari apa yang Allah
mensifati diri-Nya, maka ia kafir, dan bukanlah termasuk tasybih (penyerupaan)
orang yang menetapkan bagi Allah Ta’ala apa yang Dia mensifati diri-Nya dan
Rasul-Nya dari apa yang telah datang dengannya ayat-ayat yang sharih
(jelas/ayat muhkamat) dan berita-berita (hadits) yang shahih dengan
(pengertian) sesuai dengan keagungan Allah dan menafikan dari Allah sifat-sifat
yang kurang; berarti ia telah menempuh hidayah.”
Inilah selengkapnya dari penjelasan Ibnu Katsir.Berdasarkan
penjelasan ibnu katsir :
- Ayat mutasyabihat harus di tafsir dengan ayat syarif (ayat
muhkamat) atau ayat yang jelas maknanya/Bukan ayat mutasyabihat!! Tidak seperti
wahhaby yang menggunakan ayat mutasyabihat utk mentafsir ayat mutasyabihat yang
lain!!!! ini adalah kesesatan yang nyata!
- ibnu katsir mengakui ayat ‘istiwa’ adalah ayat mutasyabihat yang tidak boleh memegang makna dhahir dari ayat mutasyabihat tapi mengartikannya dengan ayat dan hadis yang – jadi ibnu katsir tidak memperincikan maknanya tapi juga tidak mengambil makna dhahir ayat tersebut.
- disitu imam ibnu katsir, imam Bukhari dan imam ahlsunnah lainnya tidak melarang ta’wil.
“…dan selain mereka dari para imam kaum muslimin yang terdahulu maupun kemudian, yakni membiarkan (lafadz)nya seperti apa yang telah datang (maksudnya tanpa memperincikan maknanya)tanpa takyif (bagaimana, gambaran), tanpa tasybih (penyerupaan), dan tanpa ta’thil (menafikan)….”
sedangkan wahaby melarang melakukan tanwil!
- ibnu katsir mengakui ayat ‘istiwa’ adalah ayat mutasyabihat yang tidak boleh memegang makna dhahir dari ayat mutasyabihat tapi mengartikannya dengan ayat dan hadis yang – jadi ibnu katsir tidak memperincikan maknanya tapi juga tidak mengambil makna dhahir ayat tersebut.
- disitu imam ibnu katsir, imam Bukhari dan imam ahlsunnah lainnya tidak melarang ta’wil.
“…dan selain mereka dari para imam kaum muslimin yang terdahulu maupun kemudian, yakni membiarkan (lafadz)nya seperti apa yang telah datang (maksudnya tanpa memperincikan maknanya)tanpa takyif (bagaimana, gambaran), tanpa tasybih (penyerupaan), dan tanpa ta’thil (menafikan)….”
sedangkan wahaby melarang melakukan tanwil!
2. Sekarang akan disebutkan sebahagian penafsiran lafaz
istawa dalam surah ar Ra’d:
1- Tafsir al Qurtubi
1- Tafsir al Qurtubi
(ثم استوى على العرش ) dengan makna penjagaan dan penguasaan
2- Tafsir al-Jalalain
2- Tafsir al-Jalalain
(ثم استوى على العرش ) istiwa yang layak bagi Nya
3- Tafsir an-Nasafi Maknanya:
makna ( ثم استوى على العرش) adalah menguasai Ini adalah sebahagian
dari tafsiran , tetapi banyak lagi tafsiran-tafsiran ulamak Ahlu Sunnah yang
lain…
4- Tafsir Ibnu Kathir , darussalam -riyadh, Jilid 2 , halaman 657, surat ara’ad ayat 2):
(ثم استوى على العرش ) telah dijelaskan maknanya sepertimana pada tafsirnya surah al Araf, sesungguhnya ia ditafsirkan sebagaimana lafadznya yang datang (tanpa memrincikan maknanya) tanpa kaifiat(bentuk) dan penyamaan, tanpa permisalan, maha tinggi
Disini Ibnu Katsir mengunakan ta’wil ijtimalliy iaitu ta’wilan yang dilakukan secara umum dengan menafikan makna zahir nas al-Mutasyabihat tanpa diperincikan maknanya.
II. Makna istiwa yang dikenal dalam bahasa arab dan dalam kitab-kitab Ulama salaf
Di dalam kamus-kamus arab yang ditulis oleh ulama’ Ahlu Sunnah telah menjelaskan istiwa datang dengan banyak makna, diantaranya:
4- Tafsir Ibnu Kathir , darussalam -riyadh, Jilid 2 , halaman 657, surat ara’ad ayat 2):
(ثم استوى على العرش ) telah dijelaskan maknanya sepertimana pada tafsirnya surah al Araf, sesungguhnya ia ditafsirkan sebagaimana lafadznya yang datang (tanpa memrincikan maknanya) tanpa kaifiat(bentuk) dan penyamaan, tanpa permisalan, maha tinggi
Disini Ibnu Katsir mengunakan ta’wil ijtimalliy iaitu ta’wilan yang dilakukan secara umum dengan menafikan makna zahir nas al-Mutasyabihat tanpa diperincikan maknanya.
II. Makna istiwa yang dikenal dalam bahasa arab dan dalam kitab-kitab Ulama salaf
Di dalam kamus-kamus arab yang ditulis oleh ulama’ Ahlu Sunnah telah menjelaskan istiwa datang dengan banyak makna, diantaranya:
1-masak (boleh di makan) contoh:
قد استوى الطعام—–قد استوى التفاح maknanya:
makanan telah masak—buah epal telah masak
2- التمام: sempurna, lengkap
2- التمام: sempurna, lengkap
3- الاعتدال : lurus
4- جلس: duduk / bersemayam,
contoh: – استوى الطالب على الكرسي : pelajar duduk atas kerusi -استوى الملك على السرير : raja bersemayam di atas katil
5- استولى : menguasai,
contoh: قد استوى بشر على العراق من
غير سيف ودم مهراق
Maknanya: Bisyr telah menguasai Iraq, tanpa menggunakan
pedang dan penumpahan darah.
Al Hafiz Abu Bakar bin Arabi telah menjelaskan istiwa mempunyai hampir 15 makna, diantaranya: tetap,sempurna lurus menguasai, tinggi dan lain-lain lagi, dan banyak lagi maknannya. Sila rujuk qamus misbahul munir, mukhtar al-Sihah, lisanul arab, mukjam al-Buldan, dan banyak lagi. Yang menjadi masalahnya, kenapa si penulis memilih makna bersemayam. Adakah makna bersemayam itu layak bagi Allah?, apakah dia tidak tahu bersemayam itu adalah sifat makhluk? Adakah si penulis ini tidak mengatahui bahawa siapa yang menyamakan Allah dengan salah satu sifat daripada sifat makhluk maka dia telah kafir?
sepertimana kata salah seorang ulama’ Salaf Imam at Tohawi (wafat 321 hijrah):
ومن وصف الله بمعنى من معانى البشر فقد كفر
Al Hafiz Abu Bakar bin Arabi telah menjelaskan istiwa mempunyai hampir 15 makna, diantaranya: tetap,sempurna lurus menguasai, tinggi dan lain-lain lagi, dan banyak lagi maknannya. Sila rujuk qamus misbahul munir, mukhtar al-Sihah, lisanul arab, mukjam al-Buldan, dan banyak lagi. Yang menjadi masalahnya, kenapa si penulis memilih makna bersemayam. Adakah makna bersemayam itu layak bagi Allah?, apakah dia tidak tahu bersemayam itu adalah sifat makhluk? Adakah si penulis ini tidak mengatahui bahawa siapa yang menyamakan Allah dengan salah satu sifat daripada sifat makhluk maka dia telah kafir?
sepertimana kata salah seorang ulama’ Salaf Imam at Tohawi (wafat 321 hijrah):
ومن وصف الله بمعنى من معانى البشر فقد كفر
Maknanya: barang siapa yang menyifatkan Allah dengan salah
satu sifat dari sifat-sifat manusia maka dia telah kafir. Kemudian
ulama’-ulama’ Ahlu Sunnah telah menafsirkan istiwa yang terkandung di dalam Al
quran dengan makna menguasai arasy kerana arasy adalah makhluk yang paling
besar, oleh itu ia disebutkan dalam al Quran untuk menunjukkan kekuasaan Allah
subhanahu wata’ala sepertimana kata-kata Saidina Ali yang telah diriwayatkan
oleh Imam Abu Mansur al-Tamimi dalam kitabnya At-Tabsiroh:
ان الله تعالى خلق العرش اظهارا
لقدرته ولم يتخذه مكان لذاته
Maknanya: Sesungguhnya Allah Ta’ala telah mencipta al-arasy
untuk menzohirkan kekuasaanya, bukannya untuk menjadikan ia tempat bagi Nya.
Allah ada tanpa tempat dan arah adalah aqidah salaf yang
lurus.
IV. Hujjah Imam Adzahaby Kalahkan Aqidah sesat salafy / wahaby
IV. Hujjah Imam Adzahaby Kalahkan Aqidah sesat salafy / wahaby
*Bersemayam yang bererti Duduk adalah sifat yang tidak layak
bagi Allah dan Allah tidak pernah menyatakan demikian, begitu juga NabiNya.
Az-Zahabi adalah Syamsuddin Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad bin Uthman bin
Qaymaz bin Abdullah ( 673-748H ). Pengarang kitab Siyar An-Nubala’ dan
kitab-kitab lain termasuk Al-Kabair.Az-Zahabi mengkafirkan akidah Allah Duduk
sepertimana yang telah dinyatakan olehnya sendiri di dalam kitabnya berjudul
Kitab Al-Kabair. Demikian teks Az-Zahabi kafirkan akidah “ Allah
Bersemayam/Duduk” :Nama kitab: Al-Kabair.
Pengarang: Al-Hafiz Az-Zahabi.
Cetakan: Muassasah Al-Kitab Athaqofah,cetakan pertama
1410h.Terjemahan.
Berkata Al-Hafiz Az-Zahabi:
Berkata Al-Hafiz Az-Zahabi:
“Faidah, perkataan manusia yang dihukum kufur jelas
terkeluar dari Islam oleh para ulama adalah: …sekiranya seseorang itu
menyatakan: Allah Duduk untuk menetap atau katanya Allah Berdiri untuk menetap
maka dia telah jatuh KAFIR”. Rujuk scan kitab tersebut di atas m/s 142.
Syekh Ibn Hajar al Haytami (W. 974 H) dalam al Minhaj al
Qawim h. 64, mengatakan: “Ketahuilah bahwasanya al Qarafi dan lainnya meriwayatkan perkataan asy-Syafi’i, Malik, Ahmad dan Abu Hanifah – semoga Allah meridlai mereka- mengenai pengkafiran mereka terhadap orangorang yang mengatakan bahwa Allah di suatu arah dan dia adalah benda, mereka pantas dengan predikat tersebut (kekufuran)”.
Syekh Ibn Hajar al Haytami (W. 974 H) dalam al Minhaj al
Qawim h. 64, mengatakan: “Ketahuilah bahwasanya al Qarafi dan lainnya meriwayatkan perkataan asy-Syafi’i, Malik, Ahmad dan Abu Hanifah – semoga Allah meridlai mereka- mengenai pengkafiran mereka terhadap orangorang yang mengatakan bahwa Allah di suatu arah dan dia adalah benda, mereka pantas dengan predikat tersebut (kekufuran)”.
Al Imam Ahmad ibn Hanbal –semoga Allah
meridlainyamengatakan:
“Barang siapa yang mengatakan Allah adalah benda, tidak seperti benda-benda maka ia telah kafir” (dinukil oleh Badr ad-Din az-Zarkasyi (W. 794 H), seorang ahli hadits dan fiqh bermadzhab Syafi’i dalam kitab Tasynif al Masami’ dari pengarang kitab al Khishal dari kalangan pengikut madzhab Hanbali dari al Imam Ahmad ibn Hanbal).
“Barang siapa yang mengatakan Allah adalah benda, tidak seperti benda-benda maka ia telah kafir” (dinukil oleh Badr ad-Din az-Zarkasyi (W. 794 H), seorang ahli hadits dan fiqh bermadzhab Syafi’i dalam kitab Tasynif al Masami’ dari pengarang kitab al Khishal dari kalangan pengikut madzhab Hanbali dari al Imam Ahmad ibn Hanbal).
Al Imam Abu al Hasan al Asy’ari dalam karyanya an-Nawadir
mengatakan : “Barang siapa yang berkeyakinan bahwa Allah adalah benda maka ia
telah kafir, tidak mengetahui Tuhannya”.
As-Salaf ash-Shalih Mensucikan Allah dari Hadd, Anggota badan, Tempat, Arah dan Semua Sifat-sifat Makhluk
As-Salaf ash-Shalih Mensucikan Allah dari Hadd, Anggota badan, Tempat, Arah dan Semua Sifat-sifat Makhluk
Al Imam Abu Ja’far ath-Thahawi -semoga Allah meridlainya-
(227-321 H) berkata:
“Maha suci Allah dari batas-batas (bentuk kecil maupun besar, jadi Allah tidak mempunyai ukuran sama sekali), batas akhir, sisi-sisi, anggota badan yang besar (seperti wajah, tangan dan lainnya) maupun anggota badan yang kecil (seperti mulut, lidah, anak lidah, hidung, telinga dan lainnya). Dia tidak diliputi oleh satu maupun enam arah penjuru (atas, bawah, kanan,
kiri, depan dan belakang) tidak seperti makhluk-Nya yang diliputi enam arah penjuru tersebut”.
Perkataan al Imam Abu Ja’far ath-Thahawi di atas merupakan Ijma’ (konsensus) para sahabat dan Salaf (orang-orang yang hidup pada tiga abad pertama hijriyah).
“Maha suci Allah dari batas-batas (bentuk kecil maupun besar, jadi Allah tidak mempunyai ukuran sama sekali), batas akhir, sisi-sisi, anggota badan yang besar (seperti wajah, tangan dan lainnya) maupun anggota badan yang kecil (seperti mulut, lidah, anak lidah, hidung, telinga dan lainnya). Dia tidak diliputi oleh satu maupun enam arah penjuru (atas, bawah, kanan,
kiri, depan dan belakang) tidak seperti makhluk-Nya yang diliputi enam arah penjuru tersebut”.
Perkataan al Imam Abu Ja’far ath-Thahawi di atas merupakan Ijma’ (konsensus) para sahabat dan Salaf (orang-orang yang hidup pada tiga abad pertama hijriyah).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
dunia ini memang indah,, tergantung bagaimana kita menjaga keindahan itu,,. untuk itu mari kita bersatu, satu pikiran satu tujuan untuk Indonesia merdeka,.. berpisah kita berjuang bersatu kita memukul..