Pendahuluan
Kajian tentang pengetahuan had zina pada dasarnya membicarakan
hal-hal yang menunjukan dalil-dalil yang jelas sehingga dapat ditentukan
hukuman bagi orang yang melakukan zina. Dalil-dalil tersebut diambil dari dua
sumber yang mana telah menjadi landasan bagi umat islam seluruhnya yaitu Qur’an
dan Sunnah.
Pengertian zina
Zina memiliki satu arti dalam segi etimologi dan terminologi yaitu adalah hubungan badan yang dilakukan antara
lak-laki dan perempuan tanpa melalui pernikahan yang sah, baik melalui alat kelamin
maupun dubur.
Pembahasan
(أ)
عن أبي هريرة,
و زيد بن خالد, أنّهما قالا: إن رجلاً من الأعراب أتى رسول الله صلى الله عليه و
اله و سلم, فقال : يا رسول الله, أنشدك الله إلاّ قضيت لى بكتاب الله, و ائذن لى.
فقال رسول الله صلى الله و اله و سلم (( قل )) قال : إن ابنى كان عسيفا على هذا,
فزنى بامرأته, وإنّى أخبرت أن على ابنى الرجم, و افتدَيْتُ منه بمائة شاة و وليدة,
فسألت أهل العلم, فأخبرنى أن على ابنى جلد مائة و تغريب عام, و أنّ على امرأة هذا
الرجم. فقال الرسول الله صلى الله عليه و اله و سلم (( و الذى نفسى بيده لأقضينّ
بينكما بكتاب الله : الوليدة و الغنم ردٌّ, و على ابنك جلد مائة و تغريب عام, و
اغد يا أنيس - لرجل مِن أسلم - إلى امرأة هذا, فإن اعترفت فارجُمها )) قال: فغدا عليها, فاعترفت, فأمر بها رسول الله صلى الله عليه و
اله و سلم فرُجمت. –متفق عليه-
Artinya : Dari
Abu Hurairah dan Zaid bin Khalid r.a : sesungguhnya seorang lelaki arab badwi
datang menghadap Rasulullah SAW. Seraya berkata, “Ya Rasulullah, aku bermohon
kepada engkau dengan nama Allah, agar engkau memutuskan hukum terhadapku
berdasarkan ketetapan Allah. Seorang lawannya yang lebih lancar bicaranya,
berkata: Benar, putuskanlah perkara di antara kami dengan ketetapan Allah, dan
izinkanlah saya berbicara. Maka Rasulullah berkata: Bicaralah,dia berkata:
sesungguhnya anakku bekerja sebagai orang upahan pada orang ini. Dia berzina
dengan istri orang ini, dan mengabarkan bahwa anakku harus dirajam, namun aku
tebus hukuman itu dengan seratus ekor bir-biridan membebaskan seorang budak.
Saya menanyakan kepada orang alim, dan mereka mengatakan bahwa hukuman terhadap
anakku adalah 100 kali cambukan, dan mengusirnya dari kampung selama satu
tahun, dan terhadap istri orang ini, hukuman rajam, Rasullullah bersabda: Demi
Allah, yang diriku di tanganNya, aku akan memutuskan perkara ini dengan
ketetapan Allah. Budak dan kambing dikembalikan kepadamu, dan anakmu dicambuk
100 kali dan diusir dari kampung selama satu tahun. Pergilah hai Unais (seorang
lelaki dari bani Aslam) kepada istri orang ini. Jika dia mengaku, rajamlah dia.
Unais menjumpai perempuan itu, dan dia mengaku. Rasulullah memerintahkan agar
perempuan itu dirajam, dan dilaksakanlah perintah itu”. ( H.R Muttafaqun Alaih
).
(ب)
و عن عُبّادةَ ابن الصامت قال: قال
رسول الله صلى الله عليه و سلم (( خذوا عنى, خذوا عنى, قد جعل الله لهنّ سبيلا. البكر بالبكر جلد مائة و
نفى سنة. و الثيب بالثيب جلد مائة و الرجْمُ)). -رواه الجماعة-
Artinya :
“Rasulullah SAW bersabda: ambillah dariku, ambillah dariku, sesungguhnya Allah
telah membuka jalan bagi perempuan perempuan itu. Perawan dengan perawan,
dicambuk 100 kali dan diusir dari kampung selama satu tahun. Dan mereka yang
sudah menikah dengan yang sudah menikah, dicambuk 100 kali dan dirajam”. ( H.R
Al-Jama’ah ).
Hadis pertama :
Kata penyusun kitab “Al-Fathu”, dalam kalimat “Ansyuduka” itu dengan pengertian
“Ansyudu bika” lalu membuang huruf ba’
itu. Jadi, maksudnya adalah saya memohon kepadamu lewat engkau dengan
mengeraskan suaraku. Kata “Ansyudu” dengan fathah di huruf hamzah lau dengan
huruf nun sukun dan dengan dhummah huruf syin titik tiga, yang artinya : saya
meminta pertolongan kepada Allah lewat engkau untuk memutuskan bagiku
berdasarkan Kitabullah. Ini termasuk pengecualian dengan pengertian pembatasan,
karena pengertiannya : saya tidak meminta kepada engkau selain putusanmu
berdasarkan Kitabullah (maksudnya : saya hanya memohon putusanmu berdasarkan
Al-Qur’an).
Kata yang lain
(temannya) yang nampaknya dia lebih mengerti daripada lelaki itu (yang
seakan-akan perawinya mengetahui bahwa temannya lebih mengerti dari lelaki itu
atau dia sudah menanyakan ahli fiqh) Ya, putuskanlah antara kami berdasarkan
Kitabullah, dan izinkanlah saya. Lalu Rasulullah SAW bersabda : jelaskanlah
dahulu permasalahannya. Dia menjelaskannya, bahwa anakku menjadi buruh pada
orang ini, lalu dia berzina dengan istrinya, kata “Asifan” (buruh) itu dengan
huruf ‘ain dan sin lalu ya’, kemudian fa’, seperti kata “Ajir”, baik wazannya
maupun artinya.[1]
Sesungguhnya
saya diberitahu, bahwa hukuman atas anak saya adalah rajam. Lalu saya
menebusnya dengan 100 ekor kambing dan seorang hamba wanita. Setelah saya
tanyakan orang yang berilmu (ulama), lalu mereka memberitahukan saya bahwa
hukuman atas anak saya, cambuk 100 kali dan pengasingan (pembuangan) setahun. Dan
sesungguhnya hukuman atas istri lelaki ini adalah rajam. Lalu Rasulullah SAW
bersabda : Demi Allah dengan jiwaku ditangan-Nya : Sungguh saya akan memutuskan
perkara antara kamu berdua berdasarkan Kitabullah hamba sahaya dan kambing 100
ekor itu kembali kepada engkau (ambil kembali) hukuman atas anakmu, cambuk 100
kali dan hukuman buangan setahun.
Seakan-akan
beliau sudah mengetahui bahwa lelaki yang berzina itu bukan pezina muhshan[2]
dan seakan-akan beliau sudah mengetahui pula bahwa anak itu sudah mengakui
perzinaannya. Sabda beliau “pergilah Unais. Unais itu adalah isim tashghir[3]
yaitu Anas bin Dlahaq Al Aslami. Dia seorang sahabat yang tidak disebutkan
namanya kecuali dalam hadis ini. Sabda beliau kepadanya: pergilah engkau kepada
istri lelaki ini. Jika dia mengakui perbuatannya, maka rajamlah dia. Hadis
tersebut diriwayatkan oleh : Al Bukhari dan Muslim (muttafaq ‘alaih), tetapi
susunan matan hadis tersebut menurut riwayat muslim.
Hadis tersebut
menjadi dalil kewajiban hukuman atas pezina muhshan (pezina yang sudah menikah)
dan cukup pengakuan pezinaan sekali saja, sebagaimana hukum-hukum yang lainnya.
Demikian menurut pendapat : Al Hasan, Imam Malik, Imam Syafi’I, Daud dan
beberapa ulama lain. Menurut pendapat ulama Al Hadawiyyah,[4]
ulama Hanafiyah, ulama Hambali dan beberapa ulama lain, pengakuan perzinaan itu
harus 4 kali mereka berdasarkan dalil hadis yang akan datang yang akan
menjelaskan tentang kisah Ma’iz. Penjelasan bantahannya dalam syarah hadis
tersebut.
Perintah
Rasulullah SAW kepada unais untuk merajam istri majikannya itu setelah dia
mengakui perbuatannya, menjadi dalil bagi orang yang mengatakan boleh putusan
hakim dalam masalah hudud dan selainnya berdasarkan apa yang diakui oleh pihak
yang bersangkutan, di hadapan hakim itu. Itu adalah salah satu dari dua
pendapat imam Syafi’i, dan berdasarkan itulah pula pendapat Abu Tsaur sebagai
mana yang dikutib oleh Al Qadli ‘Iyadl.
Kata mayoritas
ulama, tidak benar demikian itu. Alasan mereka bahwa Unais itu mengandung
beberapa kemungkinan. Dan sesungguhnya sabda beliau : “Rajamlah istri
majikannya itu” adalah setelah (Unais) memberitahukan kepada Rasulullah SAW.
Atau setelah beliau menyerahkan urusan itu kepada Unais. Maksudnya : apabila
wanita itu sudah mengetahui perbuatannya di hadapan hakim yang memutuskan
perkaranya dengan ucapan : Saya putuskan. Menurut As Shan’ani : jelas ini
hanyalah alasan yang dibuat-buat.
Ketahuilah
bahwa Rasulullah SAW tidak mengutus Unais kepada istri majikannya itu untuk
tujuan penetapan hukuman atasnya, karena sesungguhnya beliau sudah
memerintahkan kita untuk menutupi rahasia orang yang melakukan perbuatan keji
itu dan kita merahasiakannya. Beliau juga telah melarang kita untuk
mencari-cari kesalahan orang lain. Jadi sebenarnya, tatkala istri itu dituduh
berzina, lalu beliau mengutus Unais kepadanya, adalah agar dia mengingkarinya,
jika tidak benar, lalu dia menuntut hukuman karena tuduhan atas orang yang
mengaku berzina dengannya. Atau dia mengakui perzinaannya sehingga gugurlah hukuman
tuduhan dari lelaki yang mengaku berzina dengannya. Setelah itu mengakui
perzinaanya itu berarti dia mewajibkan hukuman rajam atas dirinya sendiri.
Adapun yang
menguatkan pendapat ini adalah apa yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan Nasa’I
dari Ibnu Abbas : bahwa seorang lelaki mengaku bahwa dia berzina dengan seorang
wanita, lalu Nabi SAW mencambuknya 100 kali. Kemudian beliau menanyakan wanita
itu lalu dia menjawab : dia bohong. Lalu dia mencambuk lagi lelaki itu sebagai
hukuman tuduhan delapan puluh kali. Abu Daud tidak memberi komentar tentang
derajat hadis itu, sedangkan Al Hakim menilainya hadis shahih, dan An Nasa’i
menilainya hadis munkar.[5]
Hadis kedua, ini
suatu isyarat kepada firman Allah
Q.S. 4 : An Nisa : 15 [6]
Artinya : dan (terhadap) Para wanita yang mengerjakan perbuatan
keji,[7]
hendaklah ada empat orang saksi diantara kamu (yang menyaksikannya). kemudian
apabila mereka telah memberi persaksian, Maka kurunglah mereka (wanita-wanita itu)
dalam rumah sampai mereka menemui ajalnya, atau sampai Allah memberi jalan lain
kepadanya.[8]
Berdasarkan hadis di atas Rasulullah SAW menjelaskan bahwa Allah
tetap menetapkan jalan hukuman keluar bagi mereka (para istri) yang berzina itu
dengan hukuman yang disebutkan dalam hadis tersebut.
Dalam hadis tersebut tekandung dua masalah, yaitu sebagai berikut :
1.
Putusan hukuman
bagi jejaka apabila berzina. Adapun yang dimaksudkan jejaka itu menurut Fuqaha’
ialah lelaki yang merdeka yang belum pernah bersetubuh dalam pernikahan yang
sah. Sabdanya “Bil Bikri” (dengan gadis) itu menyimpang dari kebiasaan (maksudnya
: tidak selamanya pasangan jejaka itu adalah gadis) oleh karena itu tidak boleh
mengambil pengertian sebaliknya (mafhum mukhalafahnya), karena sesungguhnya
tetap hukuman cambuk itu atas jejaka, baik yang menjadi pasangan perzinaannya
itu dengan gadis atau wanita yang sudah menikah. Sebagaimana dalam kisah buruh
(dengan istri majikannya dalam hadis no. 1).
Sabdanya :
“pembuangan setahun”. Menjadi dalil kewajiban pengasingan/pembuangan setahun
itu bagi lelaki pezina dan sesunggunya itu termasuk kesempurnaan hukuman.
Demikian menurut pendapat Khulafa yang empat (Abu Bakar, Umar, Ustman, dan Ali
r.a) imam Malik, imam Syafi’i, Ahmad, Ishak dan selain mereka, serta diakui
sebagai ijma’ ulama.
Menurut
pendapat ulama Al Hadawiyah dan ulama Hanafiyah, bahwa hukuman pembuangan itu
tidak wajib. Ulama Hanafiyah mengemukakan argumentasi bahwa hukuman pembuangan
itu tidak disebutkan dalam ayat 2 surat An Nur.
èpuÏR#¨9$# ÎT#¨9$#ur (#rà$Î#ô_$$sù ¨@ä. 7Ïnºur $yJåk÷]ÏiB sps($ÏB ;ot$ù#y_ (
wur /ä.õè{ù's? $yJÍkÍ5 ×psùù&u Îû ÈûïÏ «!$# bÎ) ÷LäêZä. tbqãZÏB÷sè? «!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ÌÅzFy$# (
ôpkô¶uø9ur $yJåku5#xtã ×pxÿͬ!$sÛ z`ÏiB tûüÏZÏB÷sßJø9$# ÇËÈ
perempuan yang
berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap-tiap seorang dari
keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya
mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah,
dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh
sekumpulan orang-orang yang beriman.
Pembuangan itu
adalah tambahan dari ketetapan nas Al Qur’an, dan itu hanya berdasarkan hadis
ahad, oleh karena itu tidak dapat diamalkan (tidak dapat dijadikan landasan)
karena kalau hadis dijadikan landasan berarti hadis tersebut menjadi pembatal
hukum dalam ayat 2 surat An Nur.
Bantahan
pendapat ulama Hanafiyah tersebut ialah bahwa hadis itu adalah hadis masyhur,
karena banyak sanadnya dan banyak kalangan sahabat yang mengamalkannya
(menjadikannya sebagai landasan hukum). Padahal ulama Hanafiyah mengamalkan
hadis seperti itu dan bahkan hadis yang lebih rendah dari itu. Seperti batal
wudhu karena tertawa terbahak-bahak, boleh berwudhu karena meminum nabidz[9]
dan selain itu yang termasuk tambahan dari apa yang terdapat dalam Al Qur’an.
Sedangkan hukuman buangan itu adalah termasuk dari penafsiran dari Al Qur’an
itu. Menurut kat Ibnul Mu’adzir : Nabi SAW. Bersumpah dalam kisah buruh yang
berzina, sesungguhnya beliau akan memutuskan perkaranya berdasarkan Kitabullah,
kemudian Rasulullah bersabda : Sesungguhnya hukuman atasnya adalah cambuk
seratus kali dan pengansingan setahun. Sabdanya itu menjelaskan ayat Kitabullah
(surat An Nur ayat 2) tersebut. Berdasarkan hadis itu pula Umar bin Khathab
berpidato diatas beberapa mimbar.
2.
Mengenai
sabdanya : Lelaki yang sudah menikah dengan wanita yang menikah (ats tsayyibu
bits tsayyibi). Adapun yang dimaksudkan tsayyibi itu adalah lelaki yang sudah
bersetubuh dalam pernikahan yang sah dan dia orang yang sudah baligh dan
berakal, wanita seperti itu juga (pengertian asal kata tsayyib itu ialah duda
dan janda) ketentuan hukum ini sama bagi orang muslim dan kafir. Hukuman yang
dimaksudkan itu sebagai ditunjukkan dalam sabdanya : “Cambuk seratus kali dan
rajam”. Sesungguhnya sabda itu menggabungkan dua macam hukuman yang yang sudah
menikah, antara cambuk dan rajam.itu sebagaimana ucapan Ali r.a. yang
diriwayatkan oleh Al Bukhari : “Bahwa Ali r.a. mencambuk Syurahah pada hari
kamis dan merajamnya pada hari jum’at seraya mengatakan : Saya mencambuknya
berdasarkan Kitabullah dan merajamnya berdasarkan sunnah Rasulullah”. Kata Asy
Sya’bi : Ali r.a. ditanya orang apakah kamu menggabungkan dua macam hukuman ?
lalu beliau menjawabnya dengan jawaban tersebut di atas.
Kata Imam
Syafi’i : Sunnah tekah menunjukan bahwa hukuman cambuk sudah jelas bagi jejaka
dan gadis tetapi gugur baig duda dan janda. Kata mereka bahwa hadis dari
Ubbadah terdahulu pendapat itu dibantah dengan alasan : Sesungguhnya dalam
kisah Ma’iz dan mereka yang disebutkan bersamanya itu dengan perkiraan
belakangan, kemudian disabdakan tidak ada penjelasan gugurnya hukuman cambuk
dari orang yang dirajam itu, karena boleh jadi tidak diriwayatkan itu
disebabkan sudah pasti karena hukuman cambuk itulah hukuman asal (pokok). Imam
Syafi’i sudah mengemukakan hujjah sebagai bandingan masalah ini, yaitu mengenai
kewajiban umrah bahwa Nabi SAW memerintahkan orang yang bertanya kepada beliau
untuk menghajikan ayah dan beliau tidak menyebutkan umrah. Lalu beliau
(Syafi’i) menjawab bahwa Nabi SAW tidak menyebutkan umrah dalam perintahnya
itu, tidak menunjukan gugurnya kewajiban umrah itu.
Untuk lebih rincinya, demi pemahaman
hadis, berikut ini dijelaskan secara ringkat makna atau maksud dari beberapa
kata kunci dalam hadis terkait:
خذوا
عني
Kata ini mengisyaratkan kepada al-Nisa’ (4) : 15. Pada ayat
terdapat ungkapan au yaj’alallahu lahunna sabila. Maka, hadis ini adalah
penjelasan dari ungkapan tersebut. Ayat ini merupakan penjelasan had zina
sebelum turunnya surat al-Nur—al-zaniyatu wa al-zani fajlidu kulla wahidin
minhuma miata jildatin. Artinya, hukum pada ayat ini berlaku hingga
turunnya surat al-Nur dan hadis ini. Penjelasan lebih rinci mengenai hal ini
akan dibahas pada aspek historis.
(الثيب atau ,المحصن يحصن pada hadis kedua)
Kata ini berasosiasi kepada perempuan yang
telah menikah, dan dengan pasti ia telah disentuh suaminya. Sementara Ibnu Manzhur menambahkan keterang faraqat
zaujaha bi ayi wajhin kana. Artinya, berdasarkan pemaknaan ini, saib adalah
perempuan yang telah menikah, telah bersetubuh dengan suaminya, dan telah bercerai.
Kata ini, dalam kasus zina, juga diungkapkan dengan ‘muhsan. Kata muhsan
berasal dari hasana. Dari beberapa kemungkinan makna yang tersedia, yang berkaitan dengan pembahasan ini adalah
kawin seperti pada ahsana al-rajulu atau suci dari perbuatan tercela,
atau kokoh. Begitu juga dengan beberapa penjelasan dari kamus-kamus lainnya
seperti al-‘Ain dan Lisan al-‘Arab. Makna-makna tersebut terlihat relevan,
ketika seorang wanita atau suami yang telah menikah dengan sah (ahsana)
atau seseorang yang semestinya mampu dan memiliki penjagaan yang kokoh terhadap
harga dirinya karena telah menikah, ternyata justru berzina, sehingga perzinaan
oleh orang-orang semacam ini dikelompokkan kepada zina muhsan. Dan
perzinaan oleh orang-orang selain mereka disebut gair muhsan, yang
disebut bikr dalam hadis di atas.
Akan tetapi, terdapat permasalahan dengan
pemaknaan dari Ibnu Manzur di atas, dimana ia memberikan salah satu kriteria saib
adalah telah bercerai atau ditalak suaminya. Artinya, ketika seorang suami
atau istri berzina dengan pasangan yang tidak sah, dan mereka masih dalam
ikatan pernikahan, maka mereka bukanlah saib. Akan tetapi, sepertinya
kriteria ini bukanlah sebuah kemestian, dalam artian seseorang baik telah
bercerai atau belum jika telah menikah dan berhubungan intim, dalam konteks ini
disebut saib atau muhsan. Hal ini sepertinya telah diisyaratkan oleh al-Nisa’
(4) : 15 yang menyebutkan wallati ya’tina al-fahisyata min nisa’ikum. Kalimat
tersebut menjelaskan bahwasanya yang ditunjuk oleh ayat tersebut adalah
‘perempuan kamu’ atau ‘istri kamu’. Hal ini tentunya menandakan tiadanya
perceraian, karena kalau telah bercerai tentu tidak disebut istri lagi, dan
kalaupun tetap ingin menyebut istri atau suami, tentunya harus dibarengi kata
‘mantan’. Oleh sebab itu, tepatlah ketika Nawawi memaknai saib dengan
seorang yang telah berhubungan intim dengan nikah yang sah.
البكر
Kata al-bikr ketika berkaitan dengan
unta (ibil) bermakna ma lam yabzul (yang belum tumbuh gigi taringnya).
Apabila taring tersebut telah tumbuh, maka ia disebut jamal atau naqah.
Ketika berbicara tentang manusia, al-bikr bersinonim dengan ‘azriyyu
(plural: ‘uzara’). Keduanya bermakna perawan. Jika dalam bahasa
Indonesia, perawan lebih identik kepada perempuan, akan tetapi al-bikr menunjuk
kepada keduanya, laki-laki dan perempuan. Berangkat dari pemaknaan di atas,
artinya al-bikr pada hadis ini menunjuk kepada makna pelaku zina yang
masih perawan, yang belum menikah.
جلد
Dalam bahasa Indonesia, jild berarti
mencambuk atau mendera. Kitab Shahah fi al-Lugah menyebutkan bahwa jaladahu
al-hadda jaldan bermakna dharabahu wa ashaba jildahu (memukul dengan
mengenai kulitnya). Sementara dalam taj al-urus dimaknai dengan dharbun
alimun bisabtin yal’aj al-jilda (pukulan keras dengan cambuk yang
menyakitkan kulit). Artinya, penerjemahan jild dalam bahasa Arab kepada
bahasa Indonesia sebagai mencambuk bukanlah suatu permasalahan.
رجم
Disebutkan dalam beberapa referensi bahasa, rajm
sepadan dengan qatl, hanya saja rajm memiliki cara yang khas.
Rajm dilakukan dengan melempar batu hingga korban lemparan meninggal.
Akan tetapi, tidak jarang pembunuhan disebut dengan rajm. Sementara,
dalam bahasa Indonesia sendiri, kata ini diterjemahkan menjadi melempar dengan
batu atau melaknati, disamping makna-makna lainnya. Penerjemahan seperti ini
tidak berbeda dengan istilah rajm itu sendiri yang digunakan oleh fiqh.
نفي
atau تغريب
Dalam Tuhfat al-Ahwazi disebutkan makna
dari tagrib ini adalah mengeluarkannya dari kampung halaman. Dari beberapa
referensi syarah lainnya, tidak ada perbedaan pendapat seputar pemaknaan
kata ini. Semuanya memaknainya seragam yaitu sebagai pengusiran dari kampung
halaman.
Syarat-syarat pemberlakuan had zina
Had zina
menjadi tidak berlaku kecuali terdapat syarat-syarat yang menimbulkan had zina,
terdapat beberapa syarat menurut Muttafaq ‘Alaihi dan Mukhtalif Fih.
1.
Orang yang
berzina telah baligh, kesepakatannya tidak sah jika anak kecil yang belum
baligh.
2.
Berakal, dengan
kesepakatan tidak ada had bagi orang yang gila. Jika lelaki yang berakal
berzina dengan wanita yang gila atau lelaki yang gila berzina dengan wanita
yang berakal maka yang mendapatkan had zina adalah bagi orang yang berakal.
3.
Beragama islam,
menurut Maliki tidak ada had zina bagi orang kafir. Dan menurut jumhur Ulama,
berlaku had zina bagi orang kafir akan tetapi tidak dirajam zina muhshan,
menurut Hanafiyah, tetap didera. Menurut Imam Syafi’i dan Hambali bahwa tidak
ada had bagi pezina dan pemabuk; karena Allah SWT yang memiliki hak.
4.
Orang yang
taat, dan terdapat pertentangan dari kalangan Fuqaha bahwa apakah orang
yang taat itu mendapat had jika ia berzina? Jumhur Ulama berkata bukan termasuk
had, dan menurut Hambali termasuk had.
5.
Mengetahui
dengan haramnya berzina
6.
Wanita yang
berzina hidup. Menurut jumhur tidak ada had apabila wanita telah meninggal
Jadi, kesimpulan yang bisa diambil dari pembahasan diatas bahwa :
1.
Arti zina: adalah hubungan badan yang dilakukan
antara laki-laki dan perempuan tanpa melalui pernikahan yang sah, baik melalui
alat kelamin maupun dubur.
2.
Hukum zina: 100 kali dera (QS. An-Nuur:2)
3.
Syarat-syarat pemberlakuan had zina: pelaku
zina adalah muslim dan berakal, melakukan dengan senang hati perbuatan zina dan
tidak ada perasaan benci, mengakui perbuatan sedang ia dalam keadaan stabil
(jika tidak mengakui setidaknya harus ada 4 saksi), tidak ada pencabutan
pengakuan pelaki zina.
4.
Cara memberlakukan had zina kepada wanita yang
berzina: Perawan (didera 100 kali dan diasingkan 1 tahun), janda/ bersuami
(didera 100 kali kemudian dirajam/dilempari batu).
5.
Hukum perempuan yang diperkosa, jika ada saksi
maka lepas dari hukuman had.
6.
Rajam bagi wanita muhshan yang hamil karena
zina: dirajam setelah melahirkan.
7.
Batalnya kesaksian dan gugurnya hukuman had
jika wanita itu masih gadis atau kemaluannya sangat sempit sehingga kemaluan
laki-laki akat terputus karenanya.
8.
Mendera dengan tandan kurma ketika yang didera
dalam keadaan sakit.
Daftar pustaka
·
Dr. Wahbah
Al-Zuhayly, Fiqh Al Islami wa Adillatuh juz 6, Daar Al-Fikr.
·
Teungku
Muhammad Habsi Ash-Shiddieqy, PT. Pustaka Rizki Putera, Semarang cet: 3
Semarang edisi 2.
·
Abu Al-Walid
Muhammad Bin Ahmad Bin Rusydi Al-Qorthoby Al-Andalus, Bidayatul Mujtahid Wa
Nihayatul Muqtashid, Daar Al-Fikr.
·
Al-Asqallany, Subul
al-Salam.
·
Imam
al-Bukhary, Kitab Shahih Bukhary.
·
Imam Muslim, Kitab
Shahih Muslim.
[1] Maksudnya
bahwa kata “Ajir” itu muradif/padanan kata “Asif” yang artinya sama yaitu buruh
[2] Pezina
yang sudah menikah
[3] Pengecilan
dari nama anas yang berarti anas kecil
[4]
Syi’ah
[5]
Hadis yang pada sanadnya terdapat perawi yang banyak salahnya
[6]
Q.S. 4 : An Nisa : 15
[7] Perbuatan
keji: menurut jumhur mufassirin yang dimaksud perbuatan keji ialah perbuatan
zina, sedang menurut Pendapat yang lain ialah segala perbuatan mesum seperti :
zina, homo sek dan yang sejenisnya. menurut Pendapat Muslim dan Mujahid yang dimaksud
dengan perbuatan keji ialah musahaqah (homosek antara wanita dengan wanita).
[8]
Menurut jumhur mufassirin jalan yang lain itu itu ialah dengan turunnya ayat 2
surat An Nuur.
[9]
Minuman keras dari selain anggur
Assalamualaikum.... subhanallah
BalasHapusluthfi blog’s