PENYEDIAAN TANAH GUNA PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM
A. Fungsi Tanah
1. Sebagai wadah (di kota)
Diperoleh berdasarkan :
a. Hak-hak primer, berupa :
a)
Hak Milik (untuk perumahan/ usaha) ;
b)
Hak Guna Bangunan (untuk kantor, tempat usaha,
pabrik atau industri
c)
Hak Pakai dan Hak Pengelolaan, khusus untuk instansi
Pemerintah
b. Hak-hak sekunder, berupa :
a)
Hak sewa ;
b)
Hak Pakai ;
c)
Hak Guna Bangunan
Diperoleh berdasarkan :
a. Hak-hak primer, berupa :
a)
Hak milik (untuk sawah atau kebun) ;
b)
Hak Guna Usaha (untuk perkebunan, peternakan dan
perikanan).
c)
Hak pakai ;
b. Hak-hak sekunder, berupa :
a)
Hak Sewa ;
b)
Hak Pakai ;
c)
Hak Usaha Bagi Hasil ;
d)
Hak Gadai ;
e)
Menumpang.
Semua hak-hak
tersebut di atas diperlukan guna memenuhi kebutuhan manusia yaitu :
1.
Wisma, yaitu tempat tinggal atau bangunan ;
2.
Karya, yaitu manusia wajib berusaha untuk hidupnya;
3.
Marga, yaitu sarana perhubungan (transportasi) ;
4.
Suka, yaitu tempat rekreasi ;
5.
Penyempurnaan kebutuhan manusia yang sesuai dari :
1). Jasmani (olah raga) ;
2). Rohani (agama) ;
3). Pendidikan ;
4). Kesehatan ;
5). Kesenian ;
6). Lembaga-lembaga Ilmu Pengetahuan ;
7). Kuburan ;
Dengan demikian,
semua hak atas tanah di bagi habis sesuai dengan fungsinya demi kemakmuran dan kesejahteraan
umat manusia/ rakyat. Hak-hak atas
tanah yang diatur dalam Hukum Tanah Nasional diperuntukkan bagi :
1. Keperluan perorangan ;
2. Keperluan perusahaan ;
3. Keprluan khusus.
1. Keperluan perorangan :
1) Hak-hak atas
tanah yang diberikan kepada perorangan adalah Hak Milik ;
2) Kalau tanah untuk
pertanian ada pembatasan luasnya menurut pasal 17 UUPA, yang pelaksanaannya
dalam UU No. 56/Prp/1960 tentang Landreform ,
bahwa sawah maksimum 5 Ha, dan tanah kering 6 Ha. Sedangkan untuk perumahan
belum ada pembatasannya pasal 12 UU No. 56/Prp/1960
2. Keperluan Perusahaan
Ditentukan hal sebaliknya, bahwa untuk keperluan
usaha itu idak diberikan Hak Milik, tetapi hak-hak lain yaitu :
1). Hak Guna
Usaha, dengan jangka waktu 35 tahun dapat diperpanjang 25 tahun
( untuk tanaman keras), sedangkan untuk tanaman muda
jangka waktu 20 tahun dapat diperpanjang 25 tahun.
2). Hak Guna
Bangunan, dengan jangka 30
tahun dapat diperpanjang 20 tahun
3. Keperluan Khusus
Hak-hak
atas tanah untuk keperluan khusus ada bermacam-macam :
1). Untuk Instansi Pemerintah, misalnya
Departemen, Jawatan dan lain-lain termasuk membangun Kantor Kepala Desa
(Kelurahan), diberikan dengan Hak Pakai. Hal ini dimaksudkan untuk keperluan
membangun kantor bagi kegiatan sehari-hari. Untuk proyek seperti Lapangan
Terbang diberikan Hak Pakai maupun Hak Pengelolaan dengan waktu tidak terbatas,
selama dipergunakan.
2). Untuk perusahaan-perusahaan yang didirikan
oleh Negara, misalnya Perum, Perjan, Pesero Perusahaan Daerah diberikan juga
Hak Pengelolaan Sedangkan untuk
Perusahaan Perkebunan Negara diberikan Hak Guna Usaha.
3). Untuk kegiatan keagamaan, hak yang disediakan
Hak Pakai (Pasal 49 ayat (2) UUPA) dan jangka waktunya tidak terbatas.
4). Untuk Perwakilan Negara Asing, misalnya untuk
kantor kedutaan dan/ atau rumah kediaman kepala perwakilan asing, diberikan Hak
Pakai secara Cuma-Cuma dan jangka waktunyapun tidak terbatas (selama
diperlukan).
Dalam kaitan
dengan hak-hak atas tanah untuk keperluan khusus ini, perlu ditambahkan disini
badan keagamaan atau badan-badan sosialpun boleh memiliki tanah untuk
keperluan-keperluan sosial sesuai (pasal 19 ayat (1) UUPA)
Dalam agama
Islam, boleh memperoleh tanah melalui Badan/ Yayasan yang bergerak di bidang perwakafan tanah dimana tanahnya
diperuntukan umum/ masyarakat seperti rumah ibadat , pesantren atau madrasah.
Tanah Hak Milik yang dapat diwakafkan adalah tanah milik yang bebas dari
cacat-cacatnya, artinya tidak dalam sengketa, tidak dibebani hak lain dan
sebagainya. Hak Milik yang duwakafkan dinamakan tanah wakaf (PP No. 28 Th. 1977).
B. Tata Cara Memperoleh Tanah yang diperlukan
1. Hal-hal yang perlu diperhatikan
a. Proyeknya
Yaitu apa yang direncanakan untuk dibangun atau
apa yang dibangun, misalnya rumah, pelabuhan udara dsb. Dengan demikian masalah
proyek ini erat sekali kaitannya dengan lokasi.
b. Lokasinya
Yang dimaksud dengan lokasi ialah tempat dimana
proyek akan dibangun. Instansi yang menentukan lokasi proyek ialah Pemerintah
Daerah setempat yaitu:
1). Pemerintah Daerah Tk. I
2). Pemerintah Tk. II )Kodya/Kab).
Dalam hal ini Pemda adalah mempunyai pedoman
untuk pembangunan di daerahnya berdasaran Rencana Kota yang telah dibuatnya..
Rencana Kota (Stadplan atau City planning) masih
perlu dilengkapi lagi dengan rencana yang
lain, yaitu apa yang disebut dengan Rencana Tata Guna Tanah (RTGT) yang
tidak dapat dipisahkan dari Rencana Kota.
2. Rencana Tata
Guna Tanah (RTGT)
a. Tujuan RTGT
Supaya di daerah itu dapat dilakukan sepenuhnya
daya guna sehingga tanah yang tersedia dapat memenuhi berbagai keperluan
bangunan, baik bangunan yang bersangkutan dengan Pemda maupun masyarakat pada
umumnya. Dengan kata lain, memberi pedoman bagi Pemda untuk melaksanakan
pembangunan di daerahnya dan pedoman ini sekaligus juga harus ditaati oleh
warga kotanya. Masalah ini dapat kita kaitkan kembali dengan kewajiban setiap
pemegang hak atas tanah, bahwa disamping mempunyai wewenang untuk menggunakan
tanahnya, juga berkewajiban agar orang lain dapat turut merasakan manfaatnya
(fungsi sosial). Sejauh mana orang telah melaksanakan kewajibannya, akan
terlihat apakah ia sudah memenuhi RTGT tersebut Di sini apabila kita hubungkan
dengan Hak Bangsa, maka pemegang hak atas tanah yang subyeknya perorangan
terdapat unsur kebersamaan.
b. Isi RTGT
meliputi
a)
Master plan (Rencana Induk), bersifat umum dan
biasanya untuk jangka waktu 20 tahun lamanya .
b)
Detail plan
(Rencana terperinci), bersifat khusus dan sudah terperinci, misalnya
unutk daerah tertentu (katakanlah “Pondok ndah”) sudah tertuang dalam gambar
dengan jelas dengan jalan-jalanny, saluran-saluran airnya, tamannya dll.
c)
Sifat RTGT
(a). Terbuka untuk umum, bahwa setiap orang/
warga kota dapat melihat dan mengetahui RTGT tersebut
(b). Konsisten, artinya kalau sudah ditetapkan
hari ini, tidak akanlah berubah lagi keesokannya. Jadi ada kepastian hukum.
Oleh karna itu dibuat untuk jangka waktu 20 tahun lamanya (Master Plan).
(c) Fleksibel, misalnya tiap 5 tahun akan
ditinjau oleh pemerintah daerah dan diadakan penyesuaian melalui Perda, karena
mungkin data yang dipakai sudah “out of date” dan tidak akurat lagi. Namun
Perda tidaklah segera berlaku. Untuk itu terlebih dahulu harus mendapat
persetujuan dari atasannya. Contoh pada Dati II harus mendapat persetujaun Dati
I dan seterusnya Dati I harus mendapat persetujuan dari Mendagri.
(d). Mengikat
Pemda dan para warganya wajib mentaati
RTGT, sebagai pedoman untuk melaksanakan pembangunan di daerah ybs.
c). Tanah yang tersedia :
1). Segi Fisik, terdiri dari :
(a). Letak
tanahnya yang menyangkut masalah yurisdiksi perubahan dasar ;
(b) Luas
tanahnya dalam hal ini perlu diteliti ukuran yang tepat ;
(c). Batas-batas
tanahnya untuk mencegah konflik dengan pemilik tanah yang bersebelahan.
2).Segi yuridis meliputi :
(a) Status tanahnya, apakah tanah itu tanah negara atau tanah hak
perorangan
(b). Status
subyeknya, siapakah pemilik atau pemegang hak atas tanah ;
(c) Hak-hak
pihak ketiga yang membebaninya ;
(d) Perbuatan hukum/ peristiwa hukum yang pernah
terjadi ;
(e) Apakah
ada penguasaan ilegal diatasnya
Untuk mengetahui keterangan mengenai segi
fisik dan yuridis dari tanah yang tersedia dapat digambarkan sebagai berikut :
a) Tanah
yang sudah didaftarkan :
1) Sertifikat tanah yang terdiri dari :
(a) Salinan buku tanah
(b) Surat ukur
2). Sertifikst sementara yang
terdiri dari :
(a) Salinan buku tanah
(b) Gambar situasi
b). Tanah
yang belum didaftarkan :
Bagian tanah-tanah bekas hak
Indonesia, antara lain bekas Hak Milik Adat, yang dianggap sebagai tanda buktinya
(sebelum UUPA) ialah Petuk Pajak, sekarang PBB.
1). Pajak hasil bumi/ “landrente”
(bagi hak milik adat di desa-desa)
2). Verponding Indonesia (bagi
hak milik adat dikota-kota besar)
2.
Perjanjian dengan pemilik tanah
Cara ini dilakukan apabila pihak yang memerlukan
tanah hanya ingin menggunakan tanah dalam waktu tertentu dan pemegang hak atas
tanah tidak bersedia menjual tanahnya :
a. Perjanjian sewa menyewa ;
b. Perjanjian dengan Hak Pakai dan Hak Guna Bangunan
;
c. Perjanjian-perjanjian di bidang pertanian, misalnya
usaha bagi hasil
3. Pemindahan hak
Bentukbentuk pemindahan hak :
a). Jual beli
Pemindahan hak terjadi pada saat itu juga secara
langsung dari penjual kepada pembeli.
b). Tukar menukar
Hak atas tanah tertentu ditukar dengan hak atas
tanah lain yang senilai (Ruilslaag)
c). Hibah
Pemindahan hak terjadi seketika dan langsung sebagai
penyisihan sebagian dari harta kekayaa seseorang yang diberikan secara
cuma-cuma semasa hidup kepada orang yang biasanya mempunyai hubungan
kekerabatan
d). Hibah Wasiat.
Pemindahan hak tidak terjadi secara langsung menurut
kehendak terakhir dari si pemberi wasat, tetapi dengan syarat sesudah ia
meninggal baru terjadi pemindahan haknya. Itupun tidaklah sedemikian mudah, dan
masih diperlukan perbuatan hukum yang lain, dimana pelaksanaannya melalui
pelaksanaan wasiat kepada si penerima hibah wasiat tersebut. Selain itu juga
syarat-syarat subyek pun harus dipenuhi. Jika subyek selaku calon penerima hak
tidak memenuhi syarat subyek hak atas tanah yang akan dipindahkan kepadanya
sebagaimana ditentukan dalam UUPA, tentu saja akan batal demi hukum
4. Jual Beli Tanah
a. Sebelum UUPA
1). Jual beli tanah
menurut Hukum Barat
Jual beli tanah menurut Hukum Barat, khusus bagi tanah-tanah hak barat, berlaku ketentuan-ketentuan
dalam KUH Perdata :
a).Pasal 1457 : Jual beli
merupakan perjanjian antara para pihak untuk memenuhi prestasi yang
diperjanjikan ;
b).Pasal 1458 : Jual beli terjadi
sejak ada kata sepakat ;
c).Pasal 1459 : Jual beli harus
diikuti dengan perbuatan hukum pemindahan hak dari penjual kepada pembeli yang
menurut istilah umum dikatakan “balik nama” di kantor kadaster.
Kesimpulan Jual beli tanah (khusus bagi tanah-tanah hak
barat) sebelum berlakunya UUPA menurut ketentuan KUH Perdata tidaklah cukup
hanya dengan adanya perjanjian jual beli itu saja, tetapi harus pula diikuti
dengan penyerahan secara yuridis yang meliputi :
a). Perbuatan hukum pemindahan
hak, yang dibuktikan dengan akta balik nama ;
b),Pendaftaran
jual beli tanah yang bersangkutan, yaitu pendaftaran perbuatan hukumnya
2). Jual beli tanah
menurut Hukum Adat
Jual beli menurut Hukum Tanah. Adat, jual lepas
bersifat tunai, artinya pemindahan hak atas tanah dari penjual kepada pembeli
terjadi serentak dan bersamaan dengan pembayaran dari pembeli kepada penjual.
Selain bersifat tunai juga harus terang yang artinya harus dilakukan dihadapan
kepala Adat atau Kepala Desa, Sebagi bukti telah terjadi jual beli dan selesai
pemindahan hak tersebut, dibuatlah “surat jual beli tanah” yang ditanda-tangani
oleh pihak penjual dan pembeli dengan disaksikan oleh Kepala Desa.
b. Sesudah UUPA, yakni berdasarkan hukum tanah
positif.
1) Konsepsi
Berbeda dengan pengertian jual beli tanah menurut hukum
barat,jual beli tanah menurut Hukum Tanah Positif kita sekarang adalah
pemindahan hak atas tanah untuk selama-lamanya, yang dalam Hukum Adat dinamakan
“jual lepas” dan bersifat “tunai”. Artinya begitu terjadi jual beli,begitu pula
pada saat yang bersamaan terjadilah pemindahan hak atas tanah dan pembayaran
harga, sehingga sejak saat itu putus pula hubungan antara pemilik yang lama
dengan tanahnya untuk selama-lamanya.
Pemindahan hak ini berarti pemindahan penguasaan
secara yuridis dan secara fisik sekaligus. Namun demikian ada kalanya
pemindahan hak etrsebut baru secara yurisid saja, karena secara fisik tanah
masih ada dibawah penguasaan orang lain (dalam penyewaan yang waktunya belum
berakhir) , sehinga penyerahan secara fisik menyusul kemudian
1) Tata Carannya : Penjual(Wakil) dan Pembeli (Wakil)
serta saksi-saksi menghadap PPAT, kemudian PPAT membuat Akta Jual Beli.
Selanjutnya didaftarkan ke Kantor Pertanahan Kabupaten/ Kodya (Seksi
Pendaftaran Tanah). Untuk yang sudah ada sertifikatnya Kantor Pertanahan
mencatat pada buku tanah mengenai jual beli tersebut.
Untuk
yang belum ada sertifikatnya, dibuatkan dulu Buku Tanah Hak Milik dan
Sertifikat Hak Milik atas nama Penjual, kemudian mencatat jual belinya pada
buku tanah hak milik atas nama Pembeli
3). Sahnya jual beli tanah.
Ditegaskan
oleh Yurisprudensi :
Keputusan
Mahkamah Agung No. 123/K/SIP/1970, bahwa pasal 19 PP No. 10 th. 1961 berlaku
khusus bagi pemindahan hak pada kadaster, sedangkan hakim menilai sah atau
tidaknya suatu perbuatan materiil yang merupakan jual beli tidak hanya terikat
pada pasal 19 tersebut.
Sahnya
jual beli ditentukan oleh syarat materiil dari perbuatan jual beli yang
bersangkutan, bukan oleh pasal 19 PP No. 109 th. 1961. Sedangkan yang merupakan
syarat materiil :
a. Penjual ;
b. Pembeli
c. Tanah ybs. boleh diperjual-belikan ;
d. Tanah tidak dalam sengketa
4. Pelepasan hak atas tanah
a. Pengertian
Pelepasan hak atas tanah adalah suatu
perbuatan hukum berupa melepaskan hubungan hukum yang semula terdapat pada
pemegang hak dan tanahnya melalui musyawarah untuk mencapai kata sepakat dengan
cara memberikan ganti rugi kepada pemegang haknya, hinga tanah yang
bersangkutan statusnya menjadi tanah negara.
b. Waktu pelepasan
1). Pelepasan hak atas tanah dilakukan bilamana
subyek yang memerlukan tanah tidak memenuhi syarat untuk menjadi pemegang hak
atas tanah yang diperlukan, sehingga tidak dapat diperoleh dengan jual beli dan
pemegang hak atas anah bersedia untuk melepaskan hak atas tanahnya ;
2). Acara pelepasan hak wajib dilakukan dengan
surat pernyataan pelepasan hak yang ditandatangani pleh pihak pemegang hak
diketahui pejabat yang berwenang. Pada dasarnya pelepasan hak tersebut
dilakukan oleh pemegang hak atas tanah dengan sukarela.
3). Berdasakan Perpres No. 36 Th. 2005 jo.
Perpres No. 65 th. 2006 pasal 6 pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan
untuk kepentingan umum, dilaksanakan dengan bantuan Panitia Pengadaan Tanah
yang dibentuk di setiap Kabupaten/ Kotamadya dengan Keputusan Bupati atau
Walikota, untuk Tk. Propinsi oleh Gubernur.Begitu juga apabila menyangkut dua
wilayah kabupaten/kota atau lebih dengan SK. Gubernur. Sedangkan untuk wilayah
propinsi Panitia Pengadaan Tanah dilakukan oleh Mendagri dengan unsur
pemerintah dan pemerintah daerah terkait.
4).
Sedangkan untuk pelaksanaan
pembangunan untuk kepentingan umum yang memerlukan tanah yang luasnya tidak
lebih dari 1 Ha, dapat dilakukan langsung oleh instansi yang memerlukan tanah
dengan para pemegang hak atas tanah, dengan cara jual beli atau tukar menukar
atau cara lain yang disepakati bersama oleh kedua belah pihak. (Pasal 20 Per
Pres 36/2005)
Susunan
Panitia Pengadaan Tanah sbb. :
Ketua : Bupati/
Walikotamadya merangkap anggota ;
Wakil Ketua : Kepala Kantor
Pertanahan Kab/Kodya merangkap angg ;
Sekretaris I :
Asisten Sekwilda Bidang Ketata-prajaan/ Kepala Bagian Tata Praja, bukan
anggota.
Sekretaris II :
Kepala seksi Hak-hak atas tanah, bukan anggota
Anggota : 1. Kepala Kantor
Pelayanan PBB Kabupaten/ Kotamadya
2. Kepala Dinas
Pekerjaan Umum Tk. II
3. Kepala Dinas
Peranian dan Tanaman Pangan Dati II ;
4. Camat
setempat
5. Lurah/ Kepala Desa setempat
C. Tata cara pengadaan tanah bagi pelaksanaan
pembangunan untuk kepentingan umum.
1. Instansi
Pemerintah yang memerlukan tanah mengajukan permohonan izin lokasi kepada Bupati/ Walikotamadya melalui
Kepala Kantor Pertanahan setempat disertai ketrangan-keterangan tentang :
a. Lokasi tanah yang diperlukan ;
b. Luas dan gambar kasar sketsa tanah yang diperlukan ;
c. Rencana penggunaan tanah ;
d. Uraian rencana proyek yang akan dibangun disertai keterangan mengenai aspek
pembiayaan dan lamanya pelaksanaan pembangunan.
2. Setelah menerima
permohonan dimaksud Kepala Kantor Pertanahan mengadakan konsultasi dengan
Kepala Bappeda Tingkat II, Asisten Sekwilda Tk. II Bidang Ketataprajaan dan
Instansi terkait untuk melakukan penelitian mengenai kesesuaian peruntukan
tanah yang dimohon dengan Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) atau perencanaan ruang
wilayah atau kota yang telah ada.
3.Apabila rencana penggunaan tanahnya sesudah
sesuai dengan RUTR atau Perencanaan
ruang wilayah atau kota yang telah ada, Bupati/ Walikota madya
Memberikan izin lokasi dan membentuk Panitia Pengadaan
Tanah.
4.Panitia pengadaan
tanah sesuai pasal 7 Perpres 36/ 2005 jo. Perpres No. 65 Th. 2006 bertugas melakukan tugas kegiatan sbb. :
a. Mengadakan
penelitian dan inventarisasi atas tanah, bangunan, tanaman dan benda-benda lain
yang ada kaitannya dengan tanah yang haknya akan dilepaskan atau diserahkan ;
b. Mengadakan
penelitian mengenai status hukum tanah yang haknya akan dilepaskan atau
diserahkan, dan dokumen yang mendukungnya ;
c. Menaksir
dan mengusulkan besarnya ganti rugi atas tanah yang haknya akan dlepaskan atau
diserahkan ;
d. Memberikan
penjelasan atau penyuluhan ;kepada masyarakat yang terkena rencana
pembangunandan/ atau pemegang hak atas tanah mengenai rencana dan tujuan
pengadaan tanah tersebut dalam bentuk konsultasi publik, baik melalui tatap
muka, media cetak maupun media elektronik agar dapat diketahui oleh selurh
masyarakat yang terkena rencana pembangunan dan/ atau pemegang hak atas tanah ;
e. Mengadakan
musyawarah dengan para pemegang hak atas tanah dan instansi Pemerintah dan/
atau pemerintah daerah yang memerlukan tanah dalam rangka menetapkan bentuk
dan. Atau besarnya ganti rugi ;
f.. Menyaksikan
pelaksanaan penyerahan ganti rugi kepada
para pemegang hak atas tanah, bangunan, tanaman, dan benda-benda lain yang ada
di atas tanah ;
g. Membuat
berita acara pelepasan atau penyerahan hak atas tanah,
h. Mengadministrasikan
dan mendokumentasikan semua berkas pengadaan tanah dan menyerahkan kepada pihak
yang berkompeten.
Bersamaan dengan
pemberian ganti kerugian tersebut dilakukan pelepasan hak atas tanah beserta
bangunan dan tanaman yang terdapat di atasnya. Surat pernyataan pelepasan hak
atas tanah ditanda-tangani oleh pemegang hak atas tanah dan Kepala Kantor
Pertanahan disaksikan oleh sekurang-kurangnya 2 orang Anggota Panitia Pengadaan
Tanah
D. Pencabutan Hak Atas Tanah
a.
Pengertian
Pencabutan hak yaitu pengambilan tanh kepunyaan pIhak lain oleh Pemerintah secara paksa untuk
keperluan penyelengaraan kepentingan umum dengan pemberan ganti rugi yang layak
kepada yang mempunyai tanah. Pencabutan hak adalah perbuatan hukum sepihak yang
dilakukan oleh pemerintah
b. Syarat-syarat
melaksanakan pencabutan hak
1). Tanah
yang diperlukan benar-benar untuk kepentingan umum ;
2). Merupakan
upaya terakhir untuk menguatasai tanah yang diperlkan dan hanya digunakandalam
keadaan memaksa ;
3). Harus ada
ganti kerugian yang layak ;
4). Harus
dilaksanakan berdasarkan keputusan Presiden ;
5). Besar
ganti kerugian tidak memuaskan harus banding ke Pengadilan Tinggi.
c. Jaminan bagi
pemegang hak
1). Janiman
pemberian ganti rugi yang layak dan bila tidak memuaskan dapat banding ke
Pengadilan Tinggi.
2) Jaminan
ganti rugi harus dilakukan secara tunai dan dibayarkan langsung kepada yang
berhak ;
3). Jaminan
penampungan bagi mereka yang belum pindah ;
4). Yang
berhak atas ganti kerugian bukan hanya mereka yang haknya dicabut, tetapi jika
adaorang-orang yang menggarap tanah atau menempati rumah yang bersangkutan ;
5). Jika
tanah yang dicabut haknya itu kemudian tidak dipergunakan sesuai dengan rencana
peruntukannya, maka mereka yang semula berhak atas tanahnya diberi prioritas
untuk mendapatkannya kembali.
d. Tata cara
pencabutan hak
1). Acara biasa,
tanah baru dapat dikuasai setelah dilakukan pembayaran ganti rugi dan
dikeluarkannya surat keputusan pencabutan hak dari Presiden ;
2). Acara
khusus, penguasaan dan penggunaan tanah dapat segera dilakukan atas dasar izin
Mendagri tanpa menunggu keputusan pencabutan hak dari Presiden.
SENGKETA PERTANAHAN DAN SISTEM
PERADIL ANNYA
A. Pengertian sengketa atas tanah ;
Sengketa
1. Sesuatu yang menyebabkan perbedaan pendapat/pertengakaran ;
2. Pertikaian, perselisihan ;
Sengketa tanah berarti karena adanya :
1. Perbedaan pendapat tentang kepemilikan tanah,
2. Perselisihan dalam pemberian
ganti kerugian dalam pembebasan tanah ;
Sengketa
hukum atas tanah bermula dari pengaduan sesuatu pihak (orang/badan hukum) yang
berisi keberatan-keberatan dan tuntutan hak atas tanah terhadap status tanah,
prioritas maupun kepemilikannya dengan harapan akan memperoleh penyelesaian
secara administrasi sesuai dengan ketentuan peraturan yang berlaku.
- Ruang Lingkup Sengketa Tanah
Sifat permasalahan dari suatu sengketa tanah secara
umum ada beberapa macam :
1). Masalah yang menyangkut prioritas untuk dapat ditetapkan sebagai
pemegang hak yang sah atas tanah yang berstatus hak, atau atas tanah yang belum
ada haknya ;
2). Bantahan
terhadap suatu alas hak/ bukti perolehan yang digunakan sebagai dasar pemberian
hak (perdata) ;
3) Kekeliruan pemberian hak
yang disebabkan penerapan peraturan yang kurang/ tidak benar ;
4) Sengketa lain yang
mengandung aspek-aspek sosial praktis.
Sengketa
tanah, apabila ditinjau dari perstiwa
hukum, akibat adanya :
a). Perbuatan hukum bersegi dua
yakni adanya perjanjian antara pihak penjual dengan pemilik tanah
b) Perbuatan yang bertentangan
dengan azas hukum, yakni perbuatan melanggar hukum, yang dilakukan oleh
seseorang terhadap pemilik tanah
Namun dapat juga adanya :
a) Kekeliruan pihak penguasa
dalam mengambil keputusan pemberian hak atas tanah dan sekaligus pemberian
sertifikatnya.
b) Penggantian kerugian yang tidak
sesuai/ tidak memadai.
Adanya
tanah yang telah dibeli seseorang dan telah dibayar, namun tanahnya tidak ada,
atau telah dikuasasi oleh orang lain, sehingga menimbulkan perselisihan yang
penyelesaiannya sampai ke Pengadilan.
Sengketa atas tanah terjadi karena
adanya dua kepentingan antara pemilik tanah yang sama-sama mengaku memiliki
tanah tersebut, karena dijual, ditukar atau dijadikan hak tanggungan dan
sebagainya. Sengketa pertanahan juga terjadi dalam pemberian ganti rugi tanah
yang dibebaskan oleh pemerintah guna pembangunan untuk kepentingan umum,
seperti halnya untuk pembuatan waduk, jalan, pasar, pelabuhan laut maupun
udara, terminal bus dll.
a.
Mekhanisme Penyelesaian sengketa ;
Mekhanisme penanganan sengketa tanah lazimnya
diselengarakan dengan pola sebagai berikut .
1. Pengaduan
Dalam
pengaduan ini biasanya berisi hal-hal dan peristiwa-peristiwa yang menggambarkan bahwa pengadu adalah yang
berhak atas tanah sengketa dengan melampirkan bukti-bukti dan mohon penyelesaian,
disertai harapan agar terhadap tanah tersebut dapat dicegah mutasinya, sehingga
tidak merugikan dirinya ;
2. Penelitian
Dari
pengaduan tersebut, apabila ternyata terdapat dugaan kuat, bahwa pengaduan
tersebut dapat diproses, maka selanjutnya diselesaikan
melalui tahap tentang kemungkinan dilakukan pencegahan mutatis mutandis
menyatakan tanah tersebut dalam keadaan sengketa.
3. Pencegahan
mutasi
Pada
tahap pencegahan mutasi dimaksudkan
menghentikan untuk sementara segala bentuk perubahan, dengan tujuan :
a).Untuk kepentingan penelitian dalam
penyelesaian sengketa ;
b).
Untuk kepentingan pemohon sendiri.
4. Musyawarah
Langkah-langkah
pendekatan terhadap para pihak yang bersengketa sering berhasil didalam usaha
penyelesaian sengketa dengan jalan musyawarah. Sebagai mediator dalam
musyawarah ini adalah dari pihak Dirjen Agraria sekarang ini Badan Pertanahan
Nasional
5. Melalui Pengadilan
Apabila usaha-usaha musyawarah mengalami jalan
buntu, maka jalan terakhir mengajukan penyelesaian sengketa pertanahan tersebut
ke Pengadilan
b.
Putusan Pengadilan
1. Macam-macam
putusan Pengadilan.
a. Putusan Peradilan Pidana, berdasarkan pasal 191 KUHAP :
1). Membebaskan
terdakwa, apabila menurut hasil pemeriksaan kesalahan terdakwa menurut hukum
dan keyakinan tidak terbukti
2).
Pelepasan terdakwa dari segala tuntutan, jika ternyata kesalahan terdakwa
menurut hukum dan keyakinan cukup terbukti, tetapi ternyata bahwa yang telah
dilakukan oleh terdakwa itu bukan merupakan tindak pidana, termasuk juga dalam
hal jika ada kekeliruan dalam surat tuduhan, juga putusan hakim jika ybs.
Termasuk orang-orang yang dituangkan dalam 44 KUHP, 48, 49 dan 51 KUHP ;
3).
Menghukum terdakwa, jika baik kesalahan terdakwa pada perbuatan yang telah ia
lakukan, maupun perbuatan itu adalah sesuatu tindak pidana, menurut hukum dan
keyakinan cukup dibuktikan apabila terbukti bersalah berdasarkan alat-alat
bukti yang ada
b.
Putusan Pengadilan Perdata HIR :
1) Keputusan
yang declaratoir yaitu keputusan Hakim yang bersifat menyatakan ada tidaknya
sesuatu keadaan hukum tertentu. Misalnya,
” Menyatakan
sebagai hukum bahwa si A adalah ahli waris dari almarhum Z ” atau ” si A adalah
pemilik dari tanah ini ”
2)
Keputusan yang condemnatoir yaitu keputusan Hakim yang sifatnya menjatuhkan
hukuman. Misalnya ” Menghukum tergugat untuk membayar pengganti kerugian
sebesar sekian rupiah ”
3)
Keputusan constitutif yaitu keputusan yang bersifat menghapuskan, memutus atau
mengubah suatu keadaan hukum tertentu, atau dijadikan hukum yang baru.
Misalnya : Suatu perkawinan dinyatakan
batal” atau ” Sertifikat tanah
dinyatakan batal”
2. Putusan Pengadilan .
a. Dalam hal terjadi adanya penjualan tanah, penukaran maupun di
bebani hak tanggungan ataupun disewakan, maka bagi yang dirugikan dapat
mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri berdasarkan alasan-alasan sebagai yang
tercantum dalam KUHP.sbb :
Pasal
385 KUHP yang berbunyi : Dengan hukuman penjara selama-lamanya 4 tahun yakni
* ayat 1e : Barang siapa dengan maksud hendak menguntungkan diri sendiri
atau orang lain dengan melawan hak, menjual, menukar atau menjadikan tanggungan
utang sesuatu hak rakyat dalam memakai tanah pemerintah atau tanah partikelir,
atau sesuatu rumah, tanaman atau bibit ditanah tempat orang menjalankan hak
rakyat memakai tanah itu, sedang diketahuinya bahwa orang lain yang berhak atau
turut berhak atas barang itu ;
* ayat 2e: Barang
siapa dengan maksud yang serupa menjual, menukar atau menjadikan tanggungan
utang suatu hak rakyat dalam memakai tanah pemerintah atau tanah partikelir
atau sebuah rumah, pembuatan tanaman atau bibit ditanah orang lain tempat
menjalankan hak rakyat dalam memakai tanah itu sedang tanah dan barang itu
memang sudah dijadikan tanggungan utang, tetapi ia tidak memberitahukan hal itu
kepada pihak yang lain
* ayat 3e Barang
siapa dengan maksud yang serupa menjadikan tanggungan utang sesuatu hak rakyat
dalam memakai tanah pemerintah atau tanah partikelir dengan menyembunyikan
kepada pihak yang lain, bahwa tanah tempat orang menjalankan hak itu sudah
digadaikan ;
* ayat 4e Barang
siapada dengan maksud yang serupa menggadaikan atau menyewakan sebidang tanah
tempatorang menjalankan hak rakyat memakai tanah itu, sedang diketahuinya,
bahwa orang lain yang berhak atau turut berhak atas tanah itu ;
* ayat 5e Barang
siapa dengan maksud yang serupa menjual atau menukarkan sebidang tanah tempat orang
menjalankan hak rakyat memakai tanah itu yang telah digadaikan, tetapi tidak
memberitahukan kepada pihak lain, bahwa tanah itu telah digadaikan ;
* ayat 6e Barang
siapa dengan maksud yang serupa menyewakan sebidang tanah tempat orang
menjalankan hak rakyat memakai tanah itu untuk sesuatu masa, sedang
diketahuinya bahwa tanah itu untuk masa itu juga telah disewakan kepada orang
lain .
Seperti halnya contoh kasus Meruya
Selatan, yakni Djuhri bin Geni, Yahya bin Geni dan M. Yatim Tugono, tiga orang
makelar tanah yang bergelar mandor yang menjual tanah seluas 44 ha kepada
sebuah perusahaan developer PT Portanigra pada tahun 1972 , jual beli hanya
dengan girik. Namun pada tahun 1978 ketika PT Portanigra mau mengurus
sertifikat ke BPN ternyata ketiga mandor telah menjual kembali tanah-tanah
tersebut kepada perusahaan lain. Pada tahun itu juga Porta Nigra menggugat
ketiga mandor tersebut, dan ketiga mandor tersebut divonis bersalah karena
telah melakukan penggelapan dan melakukan wanprestasi.
b Apabila
perselisihan karena ganti rugi yang kurang memadai gugatan diajukan ke
Pengadilan Negeri
Contoh : pembebasan tanah untuk pembuatan banjir
kanal timur, jalan tol, lapindo brantas,
dan lain-lain
c. Dalam hal
adanya kekeliruan prosedur dalam pemberian hak atas tanah gugatan ditujukan ke
Pengadilan Tata Usaha Negara
Contoh :
1).Pembatalan sertifikat
tanah oleh Pengadilan Tata Usaha Negara atas kekeliruan pemberian sertifikat
tanah oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) , dan pemberian ganti rugi. Contoh :
(a) Pembatalan sertifikat Tanah GOR Pancasila di Surabaya
(b) Pembatalan sertifikat Hak Milik Tanah di Kodya
Semarang
2).Jual beli tanah dengan surat kuasa mutlak
”batal demi hukum” sbb.
Putusan
kasasi Mahkamah Agung atas kasus jual
beli tanah dengan surat kuasa mutlak di Cakranegara:
Mengadili : Membatalkan Putusan Pengadilan Tinggi Nusa Tenggara Barat di Mataram dan
Putusan Pengadilan Negeri Mataram
Mengadili sendiri :
Dari
Konpensi :
1). Mengabulkan gugatan Penggugat sebagian ;
2).Menyatakan Penggugat berhutang kepada tergugat I
dan II sebesar sekian rupiah dan tanah terperkara, menjadi agunan hutang
tersebut.
3). Menyatakan
batal demi hukum Akte Notaris No sekian
tanggal sekian tentang perjanjian jual beli antara penggugat dan tergugat I dan
II
4) Menyatakan
batal dan tidak syah peralihan sertifikat yang terjadi antara Penggugat dengan
Tergugat II dan III ;
5) Menyatakan
tidak berkekuatan mengikat balik nama yang dilakukan Tergugat atas tanah
terperkara ;
6) Menghukum tergugat III untuk mengembalikan
sertifikat kepada tergugat I sebagai jaminan hutang Penggugat kepada Tergugat I
7) Menolak
gugatan Pengugat selebihnya.
DELIK PERTANAHAN DI INDONESIA DAN SISTEM PERADILANNYA
A.
Pengertian delik pertanahan
Dalam
pelaksanaan pengadaan tanah untuk kepentingan pemerintah, baik untuk
pembangunan gedung kantor, gedung tempat pendidikan, gedung rumah sakit, untuk
keperluan pembuatan pasar, pelabuhan, terminal, jalan dan lain-lain dilakukan oleh pejabat dengan
dana dari APBN ataupun APBD.
Dalam
pelaksanaan pengadaan tanah berdasarkan Perpres No. 54 Th. 2010 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah
harus :
1. Melalui tender/ lelang
2. Mencari harga yang menguntungkan
Namun sering terjadi sebaliknya yakni :
1. Tanpa melalui tender/ lelang ;
2. Harga jauh di atas harga pasaran
karena adanya kolusi antara kedua belah pihak.
Korupsi
: melakukan suatu tindak pidana memperkaya diri yang secara langsung atau tidak
langsung merugikan keuangan/ perekonomian Negara (kamus hukum – Prof. Subekti,
SH & R. Tjitro Soedibio – Pradnyaparamita Jakarta- Th. 1974 hlm. 73).
Korupsi : penyelewengan atau penggelapan
(uang Negara atau perusahaan dsb) untuk
kepentingan pribadi atau orang lain ( kamus bahasa Indonesia – Dep. Pendidikan
dan Kebudayaan Balai Pustaka Th. 1988 – hlm. 462)
Tindak Pidana
Korupsi : Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya
diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan
Negara atau perekonomian Negara (UU No. 31 Th. 1999)
Bagi pejabat yang melaksanakan pengadaan barang tidak sesuai dengan
ketentuan dalam Keppres maupun peraturan perundangan yang berlaku dan ada
indikasi merugikan keuangan
negara, kepadanya dapat dikenakan sanksi karena melakukan tindak pidana korupsi
yang diancam berdasarkan Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
yakni UU No. 31 Th. 1999 jo. UU No. 20 Th. 2001 maupun KUHP.
B. Ketentuan dalam KUHP
1. Pasal 423 KUHP :
Pegawai Negeri yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain
dengan melawan hak, memaksa seseorang dengan sewenang-wenang memakai
kekuasaannya, supaya memberikan, melakukan sesuatu pembayaran, memotong
sebagian dalam melakukan pembayaran, atau mengerjakan sesuatu apa, dihukum
penjara selama-lamanya enam tahun
2. Pasal 424 KUHP : Pegawai Negeri yang dengan maksud akan
menguntungkan dirinya sendiri atau orang
lain dengan melawan hak, serta dengan sewenang-wenang memakai kekuasaannya
menggunakan tanah Pemerintah yang dikuasai dengan hak Bumiputra, dihukum
penjara selama-lamanya enam tahun.
C. Ketentuan dalam Peraturan Perundang-undangan
Undang-undsang
No. 20 Th. 2001 jo. UU No. 31 Th. 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi
a.
Pasal 2 ayat (1) UU No. 31 Th.
1999 : Setiap orang yang secara melawan
hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana
dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat)
tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua
ratus juta rupiah) dan paling banyak 1. 000.000.000,00 (satu milyar rupiah) ;
b. Pasal 3 sda Setiap orang yang secara melawan
hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi, menyalah gunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya
karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana
penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling
sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak 1.
000.000.000,00 (satu milyar rupiah) ;
a.
Pasal 12
menyatakan : Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana
penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan pidana denda paling
sedikit Rp. 200.000.000,00 dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,-
Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji,
padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan
untuk menggerakan agar melakukan sesuatu dalam jabatannya.
D. Mekanisme dan Pelaksanaan Peradilannya
Penyelesaian
tindak pidana korupsi diselesaikan melalui pengadilan :
1. Pengadilan Negeri sesuai kewenangannya
berdasarkan UU No. 2 Th. 1986 tentang Peradilan Umum
2. Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
sesuai fungsinya berdasarkan UU No. 30
Th. 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK)
Acara peradilan berdasarkan :
Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana ( KUHAP) No. 8 Th. 1981
TANAH SEBAGAI JAMINAN KREDIT
A. Pengertian .
1. Pengertian Jaminan : tanggungan atas pinjaman yang diterima
atau borg. Mis. Ia meminjam uang kepada bank dengan jaminan sebuah rumah dan
sebidan tanah miliknya ; garansi misalnya ia membeli televisi dengan garansi 1 (satu)
tahun ; janji mislnya seorang untuk menanggung utang atau kewajinan pihak lain
apabila utang tidak terbayar
2. Pengertian Tanah Sebagai Jaminan Kredit. Bahwa salah
satu hak atas tanah yang dapat dinilai dengan uang dan mempunyai nilai ekonomis
serta dapat diperalihkan adalah hak atas tanah.
Untuk
menjamin pelunasan dari debitur maka hak atas tanah itulah yang digunakan sebagai
jaminan. Sebagai jaminan kredit tanah mempunyai kelebihan antara lain adalah
harganya yang tidak pernah turun.
B. Maksud dan Tujuan Jaminan Kredit.
1. Maksud Jaminan
Kredit :
a. Untuk
menghindari terjadinya wanprestasi oleh pihak debitur ;
b. Untuk menghindari resiko
rugi yang akan dialami oleh pihak kreditur ;
2.
Tujuan/ Kegunaan Jaminan Kredit :
a. Untuk
memberikan hak dan kekuasaan kepada kreditur untuk mendapatkan pelunasan dengan
benda jaminan bilamana debitur melakukan wanprestasi atau cidera janji ;
b. Memberi
dorongan kepada debitur agar : betul-betul menjalankan usahanya yang dibiayai
dengan kredir itu, karena bila hal tersebut diabaikan, maka resikonya hak atas
tanah yang dijaminkan akan hilang ; serta betul-betul memenuhi ketentuan-ketentuan
yang tercantum dalam perjanjian kredit.
C. Pengaturan Hak Jaminan Atas Tanah dalam UUPA .
UUPA telah menggariskan suatu
ketentuan bahwa hak tanggungan yang dapat dibebankan pada Hak Milik, Hak Guna
Bangunan dan Hak Guna Usaha (pasal 25, 33 dan 39). Prinsip-prinsip yang
terkandung dalam pasal-pasal tersebut :
a. Hak jaminan atas tanah di Negara Indonesia
diberi nama “Hak Tanggungan”, yaitu suatu bentuk lembaga jaminan baru untuk
menggantikan berbagai lembaga jaminan yang ada menurut ketentuan yang berlaku ;
b. Hak tanggungan ini hanya dapat dibebankan
pada Hak Milik, HGU dan HGB ;
c. Hak Tanggungan ini akan diatur dengan suatu
undang-pundang tersendiri ;
Sebebelum keluarnya Undang-undang
mengenai hak tanggungan peraturan yang berlaku berkaitan dengan hipotik/
Crediet verband antara lain :
a. KUH Perdata Buku II Bab XXI Pasal 1162 – 1232
b. UUPA No. 5 Th . 1960 ;
c. PP No : 10 Th. 1961 jo. PP 24 Th. 1997 ;
d. PMA No. 15 Th. 1961 jo. PMA No. 2/ 1960
tentang Pendaftaran Hipotik ;
D.
Hipotik / Credit Verband
1. Subyek Hipotik
a.
Pemberi Hipotik : mereka yang berhak sebagai pemegang hak atas
tanah yang dapat dibebani hipotik ;
b. Pemegang Hipotik : pada prinsipnya setiap kreditur bisa
sebagai pemegang hipotik
2. Crediet Verband (CV) :
a.
Pemberi Crediet Verband
: mereka yang berhak sebagai pemegang hak atas tanah
b. Pemegang Crediet Verband
: berdasarkan Keppres No. 14 Th. 1973 ditetapkan : Bank BNI; BBD ; BRI ; BDN
dan Bank Exim
3. Prosedur
Pembebanan Hipotik/ CV:
a. Perjanjian kredit dengan Bank adanya kesanggupan untuk memberikan jaminan berupa
hipotik/ CV yamg merupakan perjanjian pokok (obligatoir) ;
b. Perjanjian pemberian hipotik/CV yang merupakan
perjanjian tambahan (assesoir) yang
dibuat dengan akte PPAT ;
c. Pendaftaran hipotik/CV ke Kantor Pertanahan
Kabupaten/ Kotamadya ;
Dengan
telah didaftarkannya maka lahirlah buku tanah dan sebagai tanda buktinya
dibuatlah sertifikat hipotik/ CV. Mulai
saat itu kreditur mempunyai kedudukan istimewa yakni : droit de preference
yaitu hak mendahului dari kreditur lain yang bukan pemegang hipotik dan droit
de suit, yaitu tanag yang telah jadi
jaminan tetap dapat dilelang untuk melunasi utangnya walaupun sudah beralih
kepada pihak lain.
4.Tingkatan Hipotik
Sebidang tanah dapat dibebani
dengan beberapa hipotik atau dapat dijadikan jaminan untuk bberapa kreditur,
sehingga dikenal tingkatan hipotik dan pemegang hipotik I, II, III dst.nya
1. Peralihan Hipotik/
CV
Sebagai suatu hak atas harta
kekayaan hipotik/CV dapat diperalihkan. Peralihan hak ini tidak boleh
secara mandiri tanpa memperalihkan
piutangnya ;
2. Peralihan Hak
Tanahnya
Peralihan hak dapat dilakukan
atas seijin dari preditur.
3. Surat Kuasa Memasang Hipotik/CV
Surat Kuasa Memasang Hipotik
kepada Kreditur harus dibuat secara otentik, sedang untuk CD dapat di bawah
tangan ;
4. Esekusi Hipotik
/CV:
Apabila debitur wanprestasi, maka
kreditur berhak melakukan eksekusi atas tanah yang dijadikan jaminan.
9. Hapusnya Hipotik
a. Karena hapusnya perikatan pokok ;
b.
Karena pelepasan hipotik oleh si berpiutang ;
c.
Karena hapusnya hak atas tanahnya ;
E. Pengaturan
jaminan kredit dalam UU No. 4 Th. 1996
Pelaksanaan jaminan kredit berdasarkan UU
No. 4 Th. 1996 tentang Hak Tanggungan, sebetulnya tidak ada perbedaan yang berarti dibandingkan dengan hipotik,
yakni :.
1. Perjanjian pemberian hipotik oleh PPAT
dirubah/ diganti menjadi Akte Pemberian Hak Tanggungan (APHT) ;
2. Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya dirubah/ diganti menjadi Kantor Pertanahan
Nasional Kabupaten/ Kotamadya ;
3. Pencatatan APHT pada Kantor Pertanahan
ditentukan selama satu minggu
4. Kantor Pertanahan Nasional mengeluarkan Akte
Hak Tanggungan
5. Prosedur dalam UU, sampai adanya penghapusan
Akte Hak Tanggungan yakni apabila pembayaran kredit sudah selesai tanpa adanya
wanprestasi, akte hak tanggungan dihapus dari catatan dalam buku tanah pada
Kantor Pertanahan Nasional
Aspek Hukum Rumah Susun di Indonesia.
A. Pendahuluan
Pengadaan rumah
susun dilakukan karena semakin meningkatnya jumlah penduduk diperkotaan,
sedangkan lahan yang tersedia semakin sempit. Dengan pembangunan rumah susun
berdasarkan konsep condiminium (pemilikan bersama) dapat mengatasi tempat
tinggal para warganya, karena rumah susun yang dibangun secara vertikal dan
horizontal.
Dengan pembangunan rumah susun yang secara vertikal dan
horizontal tersebut akan tercapai peningkatan daya guna dan hasil guna tanah,
dan dapat memberikan fasilitas perumahan bagi masyarakat ekonomi lemah. Dengan
lahan yang terbatas terutama dikota-kota besar seperti Jakarta sebagai ibukota,
kota-kota propinsi bahkan mungkin ibukota kabupaten/ kotamadya, dengan
membangun perumahan secara vertikal dan horizontal dapat mengatasi perumahan penduduk yang
relatif padat bahkan mungkin sangat padat.
Pembangunan
rumah susun berdasarkan UU No. 16 Th 1985 tentang UURS , yang dilengkapi dengan
PP No. 4 Th. 1988 tentang Rumah Susun , Peraturan Kepala BPHN No. 2 Th.
1989 tentang Bentuk dan Tata Cara
Pengisian serta Pendaftaran Akte Pemisahan Rumah Susun dan Peraturan Kepala
BPHN Tentang Bentuk dan Tata Cara Pembuatan Buku Tanah serta Penerbitan Hak Milik atas Satuan umah Susun
1. Pengertian
Rumah Susun
Menurut pasal 1
angka 1 UURS : Rumah susun adalah bangunan gedung bertingkat, yang dibangun
dalam satu lingkungan, yang terbagi dalam bagian-bagian yang distrukturkan
secara fungsional dalam arah vertikal dan horisontal dan merupakan
satuan-satuan yang masing-masing dapat dimiliki dan digunakan secara terpisah
terutama, terutama untuk tempat
hunian yang dilengkapi dengan bagian
bersama, benda bersama dan tanah bersama .[1]
“Bagian bersama” adalah bagian-bagian dari rumah
susun yang dimiliki bersama secara tidak terpisah oleh semua pemilik satuan
rumah susun (SRS) dan diperunukkan pemakaian bersama, seperti lift, tangga,
lorong, pondasi, kolom, balok, dinding, lantai, atap,
talang air, selasar, saluran-saluran, pipa-pipa, jaringan listri, gas, dan
telekommunikasi serta ruang untuk umum.
“Tanah bersama” adalah sebidang tanah
tertentu di atas mana bangunan rumah susun berdiri, yang sudah pasti status
haknya, batas-batas dan luasnya/ Tanah tersebut bukan milik para pemilik SRS
yang ada dilantai dasar, melainkan milik bersama.
“Benda bersama” adalah benda-benda
dan bangunan-bangunan yang bukan merupakan bagian dari bangunan gedung rumah susun yang
bersangkutan, tetapi di atas “tanah
bersama” dan diperuntukan bagi pemakaian bersama, seperti bangunan tempat ibadah, lapangan parkir, tanaman, tempat bermain dan lain-lainnya. Benda-benda
dan bangunan-bangunan tersebut juga merupakan milik bersama yang tidak
terpisahkan dari semua pemilik SRS.
Satuan Rumah Susun harus mempunyai sarana
penghubung ke jalan umum, tanpa mengganggu dan tidak boleh melalui satuan rumah
susun milik orang lain.[2]
2.
Landasan
dan Tujuan Pembangunan Rumah Susun .
a. Landasan Pembangunan Rumah Susun
Pembngunan rumah susun berlandaskan pada asas
kesejahteraan keadilan dan pemerataan, serta keserasian dan keseimbangan dalam
perikehidupan[3].
Asas kesejahteraan umum dipergunakan sebagai landasan pembangunan rumah susun
dengan maksud untuk mewujudkan kesejahteraan lahir bathin bagi seluruh rakyat
Indonesia serta adil dan merata berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar
1945, melalui pemenuhan kebutuhan akan perumahan sebagai kebutuhan dasar bagi
setiap warga Negara Indonesia dan keluarganya. Selanjutnya mengenai asas
keadilan dan pemerataan memberikan landasan agar pembangunan rumah susun dapat
dinikmati secara merata dan tiap-tiap warga Negara dapat menikmati hasil-hasil
pembangunan perumahan yang layak. Sedangkan asas keserasian dan keseimbangan
dalam peri kehidupan mewajibkan adanya
keserasian dan keseimbangan antara kepentingan-kepentingan dalam pemanfaatan rumah
susun, untuk mencegah timbulnya kesenjangan-kesenjangan sosial. [4]
b. Tujuan Pembangunan Rumah Susun
Pembangunan
Rumah Susun, bertujuan tujuan untuk [5]:
a)
memenuhi
kebutuhan perumahan yang layak bagi rakyat, terutama golongan masyarakat yang
berpenghasilan rendah, yang menjamin
kedpastian hukum dalam pemanfatannya ;
b)
meningkatkan
daya guna dan hasil guna tanah di daerah perkotaan dengan memperhatikan
kelestarian sumber daya alam dan menciptakan lingkungan pemukiman yang lengkap,
serasi dan seimbang ;
Yang dimaksudkan dengan perumahan yang layak
adalah perumahan yang memenuhi syarat-syarat teknik, kesehatan, keamanan,
keselamatan, dan norma-norma sosial
budaya.
Mengenai
peningkatan daya guna dan hasil guna tanah di daerah perkotan harus
sesuai dengan tata ruang kota dan tata daerah serta tata guna tanah demi
keserasian dan keseimbangan. Selanjutnya pembangunan rumah susun untuk
kepentingan bukan hunian, harus mendukung berfungsinya pemukiman dan dapat
memberikan kemudahan-kemudahan bagi kehidupan masyarakat.
3. Pengaturan
dan Pembinaan Rumah Susun
Pengaturan dan Pembinaan Rumah Susun, berupa : Arah kebijaksanan ,
wewenang dan tanggung jawab, rumah susun untuk hunian dan bukan hunian [6].
Arah kebijaksanaan menentukan, tentang pengaturan kebijakan pembinaan
runah susun diarahkan untuk dapat meningkatkan usaha pembangunan perumahan dan
pemukiman yang fungsional bagi kepentgingan rfakyat banyak , untuk :
a.
mendukung konsepsi tata ruang yang dikaitkan dengan pengembangan pembangunan daerah
perkotaan kea rah vertikal dan untuk meremajakan daerah-daerah kumuh ;
b.
meningkatkan
optimasi sumber daya tanah perkotaan
c. mendorong pemukiman yang
berkepadatan tinggi.
Landasan
pengaturan dan pembinaan rumah susun adalah
berupa :
a.
Kebijaksanan
umum
b.
Kebijaksanaan
tehnis dan kebijaksanaan operasional yang digariskan oleh masing-masing
Instansi yang berwenang.
Mengenai
kebijaksanaan umum, yakni penyusunan rencana jangka panjang dan jangka pendek
pembangunan rumah susun dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah yang bersangkutan
berdasarkan kebijaksanaan dan Pedoman Pemerintah Pusat. Sedangkan terkait
dengan kebijaksanaan teknis dan kebijaksanaan operasional, adalah pengaturan
dan pembinaan rumah susun meliputi ketentuan-ketentuan mengenai persyaratan
teknis dan administratif pembangunan rumah susun, izin layak huni, pemilikan
satuan rumah susun, penghunian, pengelolaan dan tata cara pengawasannya.
Pembangunan rumah susun pengembangannya
adalah merupakan wewenang dan tanggung
jawab Pemerintah Pusat. Untuk
menjalankan tugas tersebut dilakukan oleh Menteri yang ditunjuk. Sedangkan
pembinaan yang bekarakterisik local dan berfhubungan dengan tata kota ddan tata
daerah menjadi wewenag dan tanggung jawab Pemda sesuai UU No. 32 Th. 2004
B.
Pembangunan
Rumah Susun
1. Pelaksana pembangunan rumah susun.
Rumah susun dibangun
sesuai dengan tingkat keperluan dan kemampuan masyarakat terutama bagi yang
berpenghasilan rendah. Pembangunan rumah susun dapat diselenggarakan oleh Badan
Usaha Milik Negara atau Daerah, Koperasi dan Badan Usaha Milik Swasta yang
bergerak dalam bidang itu, serta Swadaya Masyarakat [7]
2. Status tanah untuk pembangunan
rumah susun .
Pembangunan
rumah susun hanya dapat dibangun di atas tanah hak milik , hak guna bangunan
dan hak pakai atas tanah Negara atau hak pengelolaan . Dalam hal
penyelenggarakan pembangunan rumah susun di atas tanah hak pengelolaan wajib
menyelesaikan status hak guna bangunan, sebelum menjual satuan rumah susun
(sarusun) ybs. Penyelenggaraan pemabangunan wajib memisahkan rumah susun atas
satuan dan bagian bersama dalam bentuk gambar dan uraian yang disahkan oleh
instansi yang berwenang.
3. Persyaratan Tehnis dan
Administratif Pembangunan Rumah Susun .
Secara umum bahwa
persyaratan teknis yakni di dalam perencanaan harus dapat dengan jelas
ditentukan dan dipisahkan masing-masing satuan rumah susun serta nilai
perbandingan proporsionalnya. Namun juga memperhatikan persyaratan teknis
bangunan yakni persyaratan mengenai struktur bangunan, keamanan, keselamatan,
kesehatan, kenyamanan, dan lain-lain yang berhubungan dengan rancang bangun,
termasuk kelengkapan prasarana dan fasilitas lingkungan, yang diatur dengan
peraturan perundang-undangan serta disesuaikan dengan kebutuhan dan
perkembangan.
Selanjutnya
yang dimaksud dengan nilai perbandingan proporsional adalah angka yang menunjukkan perbandingan antara
satuan rumah susun terhadap hak-hak atas bagian bersama, benda bersama, dan
tanah bersama dihitung berdasakan luas atau nilai satuan rumah susun yang
bersangkutan terhadap jumlah luas bangunan atau nilai rumah susun secara
keseluruhan pada waktu penyelenggaraan pembangunan untuk pertama kali
memperhitungkan biaya pembangunannya secara keseluruhan untuk menentukan harga
jualnya.
Mengenai rencana yang menunjukkan satuan
rumah susun, harus berisi rencana tapak beserta denah dan potongan yang menunjukkan
dengan jelas batasan secara vertical dan horizontal dari satuan rumah susun
yang dimaksud. Selanjutnya pemilikan bersama harus digambarkan secara jelas dan
mudah dimengerti oleh semua pihak dan ditunjukkan dengan gambar dan uraian
tertulis yang terperinci.
Disamping
persyaratan secara umum, dalam pembangunan rumah susun juga harus memenuhi
persyaratan teknis dan administratif yang diatur dalam Peraturan Pemerintah. [8]
Mengenai persyaratan
teknis, meliputi :
a. Ruang .
Semua ruang yang dipergunakan untuk kegiatan
sehari-hari harus mempunyai hubungan langsung maupun tidak langsung dengan
udara luar dan pencahayaaan langsung maupun tidak langsung secara alami dalam
jumlah yang cukup, sesuai dengan persyaratan yang berlaku. Selanjutnya dalam
hal hubungan langsung maupun tidak langsung
dengan udara luar dan pencahayaan langsung maupun tidak langsung secara
alami, tidak mencukupi atau tidak memungkinkan harus diusahakan adanya
pertukaran udara dan pencahayaan buatan yang dapat bekerja terus menerus selama
ruangan tersebut dipergunakan, sesuai dengan persyaratan yang berlaku.(pasal
11)
b. Struktur, Komponen dan Bahan Bangunan.
Rumah susun harus direncanakan dan dibangun dengan
struktur, komponen dan penggunaan bahan bangunan yang memenuhi persyaratan konstruksi
sesuai dengan standar yang berlaku.
Mengenai struktur, komponen dan penggunaan bangunan
rumah susun harus diperhitungkan kuat dan tahan terhadap :
1). Beban mati ;
2). Beban bergerak ;
3). Gempa, hujan, angin, banjir ;
4). Kebakaran
dalam waktu yang diperhitungkan cukup untuk usaha pengamanan dan penyelamatan ;
5). Daya dukung tanah ;
6). Kemungkinan
adanya beban tambahan, baik dari arah vertikal maupun horizontal ;
7). Gangguan/
perusak lainnya, sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
c.
Kelengkapan rumah susun
Rumah
susun harus dilengkapi dengan :
1).
Jaringan air bersih yang memenuhi persyaratan mengenai perpipaan dan
perlengkapannya termasuk meter air, pengatur tekanan air, dan tangki air dalam
bangunan ;
2). Jaringan listrik yang memenuhi persyaratan
mengenai kabel dan perlengkapannya, termasuk meter listrik dan pembatas arus,
serta pengamanan terhadap kemungkinan timbulnya hal-hal yang membahayakan ;
3).
Jaringan gas yang memenuhi persyaratan beserta perlengkapannya termasuk meter
gas, pengatur arus, serta pengaman terhadap kemungkinan timbulnya hal-hal yang
membahayakan ;
4).
Saluran pembuangan air hujan yang memenuhi penyaratan kualitas, kuantitas dan
pemasangan ;
5).
Saluran pembuangan air limbah yang memenuhi persyaratan kualitas, kuantitas dan
pemasangan ;
6).
Saluran dan/ atau tempat pembuangan sampah yang memenuhi persyaratan terhadap
kebersihan, kesehatan dan kemudahan ;
7). Tempat untuk kemungkinan pemasangan
jaringan telepon dan alat komunikasi lainnya ;
8). Alat transportasi yang berupa tangga, lift
atau eskalator sesuai dengan tingkat keperluan dan persyaratan yang berlaku ;
9). Pintu dan tangga darfurat kebakaran ;
10). Tempat jemuran ;
11). Alat pemadam kebakaran ;
12). Penangkal petir ;
13). Alat/ system alarm ;
14). Pintu kedap asap pada jarak-jarak
tertentu ;
15). Generator listrik disediakan untuk rumah
susun yang menggunakan lift. (pasal 14)
Bagaian-bagian
dari kelengkapan seperti tersebut di atas
yang merupakan hak bersama harus ditempatkan didinding dan dilindungi untuk
menjamin fungsinya sebagai bagian bersama dan mudah dikelola.
d.
Satuan rumah susun (sarusun).
Satuan
rumah susun (sarusun) harus mempunyai ukuran standar yang dapat dipertanggung-jawabkan
dan memenuhi persyaratan sehubungan dengan fungsi dan penggunaannya serta harus
disusun dan dikoordinasikan untuk dapat mewujudkan suatu keadaan yang dapat
menunjang kesejahteraan dan kelancaran bagi penghuni dalam menjalankan kegiatan
sehari-hari untuk hubungan kedalam atau keluar (psl. 16 )
e.
Bagian bersama dan benda bersama
Bagian
bersama yang berupa ruang untuk umum, ruang tangga, lift, selasar harus
mempunyai ukuran yang mempunyai persyaratan dan diatur serta dikoordinasikan
untuk dapat memberikan kemudahan bagi penghuni dalam melakukan kegiatan
sehari-hari baik dalam hubungan sesama penghuni, maupun dengan pihak-pihak
lain, dengan memperhatikan keserasian, keseimbangan dan keterpaduan. (pasal 20)
Selanjutnya
benda bersama tersebut harus mempunyai dimensi, lokasi, kualitas, kapasitas
yang memenuhi persyaratan dan diatur serta dikoordinasikan untuk dapat
memberikan keserasian lingkungan guna menjamin keamanan dan kenikmatan para
penghuni maupun pihak-pihak lain, dengan memperhatikan keselarasan,
keseimbangan dan keterpaduan (pasal 21)
f. Lokasi pembangunan rumah susun.
1). Dalam pembangunan rumah susun harus
dibangun di lokasi yang sesuai dengan peruntukan dan keserasian lingkungan
dengan memperhatikan rencana tata ruang dan tata guna tanah yang ada.
2).
Dibangun pada lokasi yang memungkinkan berfungsinya dengan baik saluran-saluran
pembuangan dalam lingkungan ke system jaringan pembuangan air hujan dan
jaringan air limbah kota.
3).
Mengenai lokasi pembangunan rumah
susun harus mudah dicapai angkutan yang diperlukan, baik langsung maupun tidak
langsung pada waktu pembangunan maupun penghunian serta perkembangan di masa
mendatang, dengan memperhatikan kemanan, ketertiban dan gangguan pada lokasi
sekitarnya.
4). Lokasi rumah susun harus dijangkau oleh
pelayanan jaringan air bersih dan listrik ;
5). Apabila lokasi tersebut belum dapat
dijangkau oleh pelayanan jaringan air bersih dan listrik, penyelenggara
pembangunan wajib menyediakan secara tersendiri sarana air bersih dan listrik
sesuai dengan tingkat keperluannya, dan dikelola berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
g.
Kepadatan dan Tata Letak Bangunan
Dalam
pembangunan rumah susun, hendaknya memperhatikan kepadatan bangunan dalam
lingkungan, yakni harus memperhitungkan
dapat dicapainya optimasi daya guna dan hasil guna tanah sesuai dengan
fungsinya, dengan memperhatikan
keserasian dan keselamatan lingkungan sekitarnya, berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku (pasal 23). Oleh karenanya tata letak bangunan
harus menunjang kelancaran kegiatan sehari-hari dengan mempertimbangkan
keserasian, keseimbangan dan keterpaduan. Disamping iitu juga tata letak
bangunan harus memperhatikan penetapan batas pemilikan tanah bersama, segi-segi
kesehatan, pencahayaan, pertukaran udara, serta pencegahan dan pengamanan
terhadap bahaya yang mengancam keselamatan penghuni, bangunan, dan
lingkungannya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (pasal
24).
h.
Prasarana Lingkungan
Lingkungan
rumah susun harus dilengkapi dengan prasarana lingkungan yang berfungsi sebagai
penghubung untuk keperluan kegiatan sehari-hari bagi penghuni, baik ke dalam
maupun ke luar dengan penyediaan jalan setapak, jalan kendaraan, dan tempat
parkir. Dalam penyediaan prasarana lingkungan, harus mempertimbangkan kemudahan
dan keserasian hubungan dalam kegiatan sehari-hari dan pengamanan bila terjadi
hal-hal yang membahayakan, serta struktur, ukuran, dan kekuatan yang cukup
sesuai dengan fungsi dan penggunaan jalan tersebut (psl.25)
Di
dalam lingkungan rumah susun harus pula dilengkapi dengan prasarana lingkungan
dan utilitas umum yang sifatnya menunjang fungsi lainnya yang meliputi :
1).
Jaringan distribusi air bersih, gas, dan listrik dengan segala kelengkapannya
termasuk kemungkinan diperlukannya tangki-tangki air, pompa air, tangki gas dan
gardu-gardu listrik ;
2). Saluran pembuangan air hujan yang
menghubungkan pembuangan air hujan dari rumah susun ke system jaringan
pembuangan air ;
3). Saluran pembuangan air limbah dan/ atau tangki
septic yang menghubungkan pembuangan air limbah dari rumah susun ke system
jaringan air limbah kota, atau penampungan air limbah tersebut ke dalam tangki
septic dalam lingkungan.
4). Tempat pembuangan sampah yang fungsinya
adalah sebagai tempat pengumpulan sampah dari rumah susun untuk selanjutnya
dibuang ke tempat pembuangan sampah kota, dengan memperhatikan faktor-faktor
kemudahan pengangkutan, kesehatan, kebersihan dan keindahan ;
5).
Kran-kran air untuk pencegahan dan pengamanan terhadap bahaya kebakaran yang
dapat menjangkau semua tempat dalam lingkungan dengan kapasitas air yang cukup
untuk pemadam kebakaran ;
6). Temapt parfkir kendaraan dan/ atau
penyimpanan barang yang diperhitungkan terhadap kebutuhan penghuni dalam
melaksanakan kegiatan-kegiatannya sesuai dengan fungsinya ;
7).
Jaringan telepon dan alat komunikasi lain sesuai dengan tingkat keperluannya.
(pasal 26).
i.
Fasilitas
lingkungan
Dalam rumah susun dan lingkungannya
harus disediakan ruangan-ruangan dan/ atau bangunan untuk tempat berkumpul,
melakukan kegiatan masyarakat, tempat bermain bagi anak-anak, dan kontak
lainnya, sesuai dengan standar yang berlaku.(pasal 27) Selain hal tersebut di
atas, harus disediakan pula ruangan dan/ bangunan untuk pelayanan kebutuhan
sehari-hari sesuai dengan standar yang berlaku (pasal 28).
j.
Persyaratan administratif
1).
Rumah susun dan lingkungannya harus dibangun dan dilaksanakan berdasarkan
perizinan yang diberikan oleh Pemerinah Daerah sesuai dengan peruntukannya.
Persyaratan mengenai perizinan usaha dari perusahaan pembangunan perumahan,
izin lokasi, dan/atau izin
peruntukannya, perizinan mendirikan bangunan (IMB) ;
2). Perizinan diajukan oleh penyelenggara
pembangunan kepada Pemerintah Daerah dengan melampirkan persyaratan-persyaratan
sebagai berikut :
a)
sertifikat hak
atas tanah ;
b)
fatwa
peruntukan tanah ;
c)
rencana tapak
;
d)
gambar rencana
arsitektur yang memuat denah potongan beserta pertelaannya yang menunjukkan
dengan jelas secara vertikal dan horizontal dari satuan rumah susun ;
e) gambar rencana struktur beserta perhitungannya ;
f) gambar rencana yang menunjukkan dengan jelas bagian
bersama, benda bersama dan tanah bersama ;
g) gambar rencana jaringan dan instalasi beserta perlengkapannya.
Setelah
memperoleh izin, penyelenggara pembangunan wajib meminta pengesahan dari
Pemerintah Daerah atas pertelaaan yang menunjukkan batas yang jelas dari
masing-masing satuan rumah susun, bagian bersama, benda bersama, dan tanah
bersama beserta uraian nilai perbandingan proporsionalnya (pasal 31);
Dalam hal terjadi perubahan rencana
peruntukan dan pemanfaatan rumah susun,
harus mendapat izin dari Pemerintah Daerah sesuai dengan persyaratan yang
ditentukan dan telah memperoleh pengesahan atas perubahan dimaksud serta
pertelaannya dan uraian nilai perbandingan proposionalnya. Untuk perubahan
rencana peruntukan dan pemanfaatan suatu bangunan gedung bertingkat menjadi
rumah susun, harus mendapat izin dari Pemerintah Daerah ; Sedangkan apabila
perubahan terjadi pada saat pelaksanaan pembangunan, penyelenggara pembangunan
wajib meminta izin dan pengesahan terhadap perubahan yang dimintakan kepada
instansi yang berwenang. Namun dalam hal terjadi perubahan struktur bangunan
dan instalasi terhadap rumah susun yang telah dibangun, pemilik wajib meminta
izin dan pengesahan mengenai perubahan tersebut kepada intansi yang berwenang.
C.
Izin Layak Huni
1.
Penyelenggara pembangunan rumah susun wajib
mengajukan permohonan izin layak huni setelah menyelesaikan pembangunannya
sesuai dengan perizinan yang telah diberikan dengan menyerahkan gambar-gambar
dan ketentuan teknis yang terperinci. Berdasarkan permohonan tersebut Pemda
memberikan izin layak huni setelah diadakan pemeriksaan terhadap rumah susun
yang telah selesai dibangun berdasarkan persyaratan dan ketentuan perizinan
yang telah diterbitkan. Selanjutnya
penyelenggara wajib menyerahkan dokumen-dokumen perizinan beserta gambar-gambar
dan ketentuan-ketentuan tehnis yang terperinci kepada perhimpunan penghuniyang
telah dibentuk beserta :
a.
Tata cara
pemanfaatan / penggunaan, pemeliharaan, perbaikan dan kemungkinan-kemungkinan
dapat diadakannya perubahan pada rumah susun maupun lingkungannya ;
b.
Uraian dan
catatan singkat yang bersifat hal-hal khusus yang perlu diketahui oleh para
penghuni, pemilik, pengelola, dan pihak-pihak lain yang bekepntingan (pasal 35
PP )
Dalam hal izin layak huni tidak diberikan, penyelenggara pembangunan
rumah susun dapat mengajukan keberatan kepada Gubernur Kepala Daerah Tk.I yang
akan memberikan keputusan mengikat. (pasal 36 PP).
Mengenai tata cara perizinan diatur dalalam peraturan Daerah, yang
berlaku setelah mendapat pengesahan dari pejabat yang berwenang.
E. Kepemilikan Satuan Rumah Susun
Satuan rumah susun dapat dimiliki oleh perseorangan atau badan hukum yang
memenuhi syarat sebagai pemegang hak atas tanah. Hak milik atas satuan rumah
susun adalah hak milik atas satuan yang bersifat perseorangan dan terpisah. Hak
milik atas satuan rumah susun meliputi juga hak atas bagian bersama, benda
bersama dan tanah bersama yang kesemuanya merupakan satu kesatuan yang tidak
terpisahkan dengan satuan yang bersangkutan. Hak atas bagian bersama, benda
bersama dan hak atas tanah bersama didasarkan atas luas atau nilai satuan rumah
susun yang bersangkutan tersebut diperoleh pemiliknya yang pertama. (pasal 8
UURS)
Batas – batas kepemilikan satuan rumah susun sebagai berikut :
1.
Hak milik atas
satuan rumah susun meliputi hak pemilikan perseorangan yang digunakan secara
terpisah, hak bersama atas bagian-bagian bangunan, hak bersama atas benda, hak
bersama atas tanah, semuanya merupakan satu kesatuan hak yang secara fungsional
tidak terpisahkan ;
2.
Hak pemilikan
perseorangan, merupakan ruangan dalam bentuk geometric tiga dimensi yang tidak
selalu dibatasi oleh dinding ;
3.
Dalam hal
ruangan dibatasi dinding, permukaan bagian dalam dari dinding pemisah,
permukaan bagian bawah dari langit-langit struktur, permukaan bagian atas dari
lantai terstruktur, merupakan batas pemilikannya ;
4.
Dalam hal
ruangan sebagian tidak dibatasi dinding, batas permukaan dinding bagian luar
yang berhubungan langsung dengan udara luar yang ditarik secara vertikal
merupakan kepemilikannya ;
5.
Dalam hal
ruangan keseluruhannya tidak dibatasi dinding, garis batas yang ditentukan dan
ditarik secara vertikal yang penggunaannya sesuai dengan peruntukannya,
merupakan batas kepemilikannya ; (pasal 41 PP)
Sebagai tanda bukti hak milik
atas satuan rumah susun diterbitkan sertifikat Hak milik Satuan rumah susun
(HMSRS)
Sertifikat hak milik atas atas
satuan rumah susun terdiri atas :
a. Salinan buku tanah dan surat ukur atas Hak
Tanah Bersama ;
b. Gambar denah tingkat rumah susun ybs., yang
menunjukkan satuan rumah susun yang dimiliki ;
c. Pertelaan mengenai besarnya bagian hak atas
bagian bersama, benda bersama dan tanah
bersama ybs.
Terhadap hak milik satuan rumah
susun dapat beralih dengan cara pewarisan atau dengan cara pemindahan hak .
Selanjutnya untuk pengalihkan
dilakukan dengan akta PPAT dan didaftarkan pada Kantor Pertanahan Kabupaten/
Kotamadya (pasal 10 UURS).
Dalam pemindahan hak milik atas
satuan rumah susun, dan pendaftaran peralihannya dilakukan dengan menyampaikan
:
a.
Akta PPAT atau
Berita Acata Lelang ;
b.
Sertifikat hak
milik atas satuan rumah susun yang
bersangkutan ;
c.
Anggaran Dasar
rumah Tangga himpunan penghuni ‘
d.
Surat-surat
lainnya yang diperlukan untuk pemindahan hak.
Dalam hal pewarisan hak milik
atas satuan rumah susun, pendaftaran perfalihan haknya dilakukan dengan
menyampaikan :
a.
Sertifikat hak
milik atas satuan rumah susun ;
b.
Surat
keterangan kematian pewaris ;
c.
Surat wasiat
atau surat keterangan waris sesuai dengan keteranganhukum yang berlaku
d.
Bukti
kewarganegaraan ahli waris ;
e.
Anggaran dasar
dan Anggaran Rumah Tangga perhimpunan penghuni ;
f.
Surat-surat
lainnya yang diperlukan untuk pewarisan
(pasal 42 PP).
Pemerintah memberikan kemudahan
bagi golongan masyarakat berpenghasilan rendah untuk memperoleh dan memiliki
satuan rumah susun . Untuk memperoleh satuan rumah susun bagi golongan berpenghasilan
rendah diatur dengan Peraturan pemerintah (pasal 11 UURS). Hal tersebut juga
dipertegas lagi dalam pasal 53 PP No. 4 Th. 1998, yakni kepada golongan
masyarakat yang benghasilan rendah yang berkehendak untuk memiliki rumah susun
sederhana dapat dibrikan kemudahan baik langsung maupun tidak langsung.
Mengenai pelaksanaannya diatur lebih lanjut oleh Menteri yang bertanggung jawab
di bidang pembangunan perumahan dan Menteri lain yang terkait serta Pemerintah
Daerah yang bersangkutan sesuaui dengan tugas masing-masing.
F.
Pembebanan
dengan Hipotik (sekarang Hak Tanggungan) dan Fidusia.
Rumah susun
berikut tanah tempat bangunan itu berdiri serta benda-benda lainnya yang
merupakan satu-kesatuan dengan tanah tersebut dapat dijadikan jaminan hutang
dengan :
a. Dibebani hipotik (hak tanggungan), jika tanahnya hak
milik atau hak guna bangunan . Hak Tanggungan diatur dalam UU No. 4 Th. 1996
tentang Hak tanggungan ;
b. Dibebani Fidusia, jika tanahnya tanah hak pakai atas tanah Negara . Fidusia
diatur dalam UU No. 42 Th. 1999 tentang Jaminan Fidusia.
Hipotik (hak
tanggungan) atau fidusia dapat juga dibebankan atas tanah beserta rumah susun
yang akan dibangun sebagai jaminan pelunasan kredit untuk membiayai pembangunan
rumah susun yang telah direncanakan di atas tanah yang bersangkutan dan yang
pembebanan kreditnya dilakukan secara bertahap sesuai dengan pelaksanaan
pembangunan rumah susun tersebut. (Pasal 12 UURS)
Dengan demikian,
maka hak milik atas satuan rumah susun dapat dijadikan jaminan hutang dengan :
a). dibebani hipotik (hak tanggungan), jika tanahnya hak milik atau hak
guna bangunan ;
b). dibebani fidusia, jika tanahnya tanah hak pakai atas tanah Negara ;
(pasal 13 UURS)
Pemberian hipotik
(hak tanggungan) dilakukan dengan akta
PPAT, dan wajib didaftarkan ke Kantor Pertanahan kabupaten/ Kodya untuk
dicatat pada buku tanah dan sertifikat tanah yang bersangkutan. Untuk
pendaftaran hipotik (tanggungan) ke
Kantor Pertanahan, sesuai pasal 43 PP, dilampirkan :
a. Sertifikat hak milik atas satuan rumah susun yang bersangkutan
;
b. Akta pembebanan hipotik (hak tanggungan) ;
c. Surat-surat lainnya yang diperlukan untuk
pembebanan
Dalam akte hipotik (akta hak tanggungan) dapat
dicantumkan janji-janji yang berlaku juga bagi pihak ketiga. Sebagai tanda
bukti adanya hipotik (hak tanggungan) diterbitkan sertifikat hipotik (sertifkat
hak tanggungan), yang terdiri dari salinan buku tanah hipotik (hak tanggungan)
dan salinan akta PPAT. Tanggal buku tanah hipotik (hak tanggungan) adalah
tanggal yang ditetapkan 7 (tujuh) hari setelah penerimaan secara lengkap
surat-surat yang diperlukan bagi pendaftarannya oleh Kantor Pertanahan Kabupaten/ Kotamadya
yang bersangkutan, atau jika hari ke tujuh itu jatuh hari libur, maka buku
tanah yang bersangkutan diberi bertanggal hari kerja berikutnya. Sertifikat
hipotik (hak tanggungan) mempunyai kekuatan eksekutorial dan dapat dilaksanakan
sebagai putusan pengadilan, (pasal 14 UURS). Selanjutnya sertifikat hipotik
(hak tanggungan) yang bersangkutan dapat
diserahkan kepada kreditur atas persetujuan yang berhak (pasal 44 PP)
Pemberian fidusia
dilakukan dengan akta PPAT dan wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan
Kabupaten/ Kotamadya untuk dicatat pada buku tanah dan sertifikat hak yang
bersangkutan (pasal 15 UURS). Namun
setelah keluarnya Undang-Undang Jaminan Fidusia
maka pendaftaran Akta Fidusia adalah ke Kantor Pendaftaran Fidusia
sesuai pasal 12 ayat (1) Undang-Undang Jaminan Fidusian (UUJF) No. 42 Th. 1999
Dalam hal terjadi
pembebanan atas satuan rumah susun, pendaftaran hipotik (hak tanggungan) atau
fidusia dilakukan dengan menyampaikan (pasal 43 PP):
a. Sertifikat hak milik atas satuan rumah susun yang
bersangkutan ;
b. Akta pembebanan fidusia ;
c. Surat-surat lainnya yang diperlukan untuk
pembebanan
Setelah menerima berkas-berkas pendaftaran , Kantor Pertanahan Kabupaten/ Kotamadya,
membukukan dan mencatat peralihan hak tersebut dalam Buku Tanah dan pada
serifikat hak milik atas satuan rumah susun yang bersangkutan untuk diberikan
sertifikat kepada yang berhak.
Dalam pemberian
hipotik (hak tanggungan) atau fidusia dapat diperjanjikan bahwa pelunasan
hutang yang dijamin dengan hipotika (hak tanggungan) atau fidusia itu dapat
dilakukan secara angsuran sesuai dengan tahap penjualan satuan rumah susun,
yang besarnya sebanding dengan nilai satuan yang terjual. Dalam hal pembayaran
dilakukan pelunasan, maka satuan rumah susun yang harganya telah dilunasi
tersebut bebas dari hipotik (hak tanggungan) atau fidusia yang semula
membebaninya. (pasl 16 UURS)
Atas kesepakatan
pemberi dan pemegang hipotik (hak tanggungan) atau fidusia eksekusi hipotik
(hak tanggungan) atau fidusia yang bersangkutan dapat dilaksanakan di bawah
tangan jika dengan cara demikian akan dapat diperoleh harga tertinggi yang
menguntungkan semua pihak. Mengenai pelaksanaan penjualan, baru dapat dilakukan
setelah lewat satu bulan sejak diberitahukan secara tertulis kepada pihak-pihak
yang berkepentingan dan diumumkan dalam dua surat kabar yang beredar di daerah
yang bersangkutan, dan/ atau media masa cetak setempat , tanpa ada pihak yang
menyatakan keberatan. (pasal 17 UURS
G.
Perubahan
dan Penghapusan Hak Kepemilikan
Pembangunan
beberapa rumah susun yang direncanakan pada sebidang tanah dengan system
pemilikan perseorangan dan hak bersama, dan telah mendapat izin dapat
dilaksanakan secara bertahap sepanjang tidak mengubah nilai perbandingan
proporsionalnya. (pasal 46 PP) . Namun dalam hal terjadi perubahan rencana
dalam pembangunan untuk tahap berikutnya, yang mengakibatkan kenaikan nilai
perbandingan proporsionalnya, perubahan tersebut oleh penyelenggara pembangunan
harus diberitahukan kepada perhimpunan penghuni, dan dalam tersebut diadakan
perhitungan kembali. Selanjutnya dengan adanya perubahan tersebut mengakibatkan
penurunan nilai perbandingan proporsionalnya, perubahan tersebut oleh
penyelenggara pembangunan harus dimintakan persetujuan kepada perhimpunan
penghuni , dan dalam hal tersebut diadakan perhitungan kembali, Terhadap
perubahan tersebut harus disahkan kembali oleh Pemerintah Daerah dan
didaftarkan kembali ke Kantor Pertanahan Kab/ Kodya. Apabila perhimpunan penghuni tidak memberikan
persetujuan, penyelenggara pembangunan dapat mengajukan keberatan-keberatan
kepada Pemda dan dalam jangka waktu 30 hari Pemda memberikan keputusan terakhir
dan mengikat. Apabila perubahan tidak jadi dilaksanakan penyelenggara
pembangunan wajib memperhitungkan kembali nilai perbandingan proporsionalnya
sebagaimana semula, dan dimintakan pengesahan serta didaftarkan kembali (pasal
47 PP)
Apabila terjadi rencana perubahan fisik rumah susun
yang mengakibatkan perubahan nilai perbandingan proporsional harus mendapat
persetujuan dari perhimpunan penghuni. Selanjutnya persetujuan perhimpunan
penghuni dipergunakan sebagai dasar di dalam membuat akta perubahan pemisahan.
Akta perubahan pemisahan memuat perubahan-perubahan dalam pertelaaan yang
mengandung perubahan nilai perbandingan proporsional. Akta perubahan pemisahan
harus didaftarkan pada kantor Pertanahan Kabupaten atau Kotamadya untuk dijadikan dasar dalam
mengadakan perubahan dalam buku tanah dan sertifikat-sertifikat hak milik
satuan rumah susun yang bersangkutan (psl 48 PP).
Dalam hal terjadi perubahan atas satuan rumah susun
yang dimiliki oleh perseorangan secara terpisah perubahan tersebut tidak boleh
menimbulkan kerugian bagi pemilik lainnya . Perubahan tersebut harus
diberitahunan kepada perhimpunan penghuni dan dilakukan sesuai dengan
ketentuan-ketentuan yang ditetapkan oleh perhimpuan penghuni serta persyaratan
teknis pembangunan lainnya yang berlaku. (pasal 49 PP).
Hak milik satuan rumah susun hapus karena :
1). Hak
atas tanahnya hapus menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku ;
2). Tanah dan bangunannya musnah ;
3). Terpenuhinya syarat batal ;
4). Pelepasan hak secara sukarela (pasal 50 PP).
Apabila hak milik atas satuan rumah susun hapus,
karena tanah dan bangunanya musnah, dan terpenuhinya syarat batal, setiap
pemilik hak atas satuan rumah susun berhak memperoleh bagian atas milik bersama
terhadap bagian bersama, benda bersama dan tanah bersama sesuai dengan nilai
perbandingan proporsionalnya dengan melihat kenyataan yang ada. (pasal 51) .
Sebelum Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai atas Negara
yang di atasnya berdiri rumah susun haknya berakhir, para pemilik melalui
perhimpunan penghuni mengajukan permohonan perpanjangan atau pembaharuan hak
atas tanah tersebut sesuai dengan perundangan yang berlaku. (pasal 52).
H. Penghunian dan Pengelolan Satuan
Rumah Susun
1.
Penghunian
Rumah Susun
Satuan
rumah susun yang telah dibangun baru dapat dijual untuk dihuni setelah mendapat
izin kelayakan untuk dihuni dari Pemerintah Daerah yang bersangkutan (pasal 18)
Penghuni rumah susun, wajib membentuk Perhimpunan Penghuni untuk
mengurus kepentingan bersama para pemilik / penghuni rumah susun .Terhadap
perhimpunan penghuni tersebut dapat diberi kedudukan sebagai badan hukum.
Perhimpunan penghuni tersebut mempunyai
kewajiban untuk mengurus kepentingan bersama para pemilik dan penghuni yang
bersangkutan dengan pemilikan dan penghuniannya. Selanjutnya untuk dapat menjalankan
tugas tersebut perhimpunan penghuni dapat membentuk atau menunjuk badan
pengelola yang bertugas untuk menyelenggarakan pengelolaan yang meliputi
pengawasan penggunaan bagian bersama, benda bersama, tanah bersama, dan
pemelihaan serta perbaikannya (pasal 19)
Para penghuni dalam lingkungan
rumah susun baik untuk hunian maupun bukan untuk hunian, wajib membentuk
perhimpunan penghuni untuk mengatur dan mengurus kepentingan bersama yang
bersangkutan sebagai pemilikan, penghunian dan pengelolaanya. Pembentukan
perhimpunan penghuni dilakukan dengan pembuatan Akta yang disyahkan oleh Bupati
atau WalikotamadyaKepala Dati II dan untuk Daerah Khusus Ibukota Jakarta oleh
Gubernur Kepala Daerah Tk.I. Perhimpunan penghuni dapat mewakili para penghuni
dalam melakukan perbuatan hukum baik ke dalam maupun keluar Pengadilan (pasal 54 PP).
Anggota perhimpunan penghuni
adalah subyek hukum yang memiliki atau memakai, atau menyewa, atau menyewa beli
atau yang memanfaatkan satuan rumah susun bersangkutan yang berkedudukan
sebagai penghuni . Selanjutnya dalam hal perhimpunan penghuni memutuskan
sesuatu yang menyangkut pemilikan rumah susun dan pengelolaan rumah susun,
setiap pemilik hak atas tanah satuan rumah susun mempunyai suara yang sama
dengan nilai perbandingan proporsional. Dalam hal perhimpunan penghuni memutuskan
yang menyangkut kepentingan penghunian rumah susun, setiap pemilik hak atas
satuan rumah susun diwakili oleh satu suara.(pasal 55 PP).
Perhimpunan penghuni mempunyai
fungsi :
1). Membina
terciptanya kehidupan lingkungan yang sehat, tertib dan aman ;
2). Mengatur dan membina
kepentingan penghuni ;
3). Mengelola rumah susun dan
lingkungannya ;
4). Menunjuk
atau membentuk dan mengawasi badan pengelola dalam pengelolaan rumah susun dan
lingkungannya ;
5).
Menyelenggarakan pembukuan dan administrasi keuangan secara terpisah sebagai
kekayaan perhimpunan penghuni ;
6).
Menetapkan sanksi terhadap pelanggaran yang telah ditetapkan dalam Anggaran
Dasar dan Anggaran Rumah Tangga.(pasal 59 PP) .
Tata tertib penghunian rumah
susun disusun berdasarkan :
1).
Undang-undang Rumah Susun beserta peraturan pelaksanaannya ;
2). Peraturan perundang-undangn lain yang
terkait ;
3).
Kepentingan pengelolaan rumah susun sesuai ketentuan-ketentuan tehnis ;
4). Kepentingan penghuni sehubungan dengan
jaminan hak, kebutuhan-kebutuhan khusus, keamanan, dan kebebasan sesuai dengan
peraturan perundangan yang berlaku (pasal 60)
Hak dan
kewajiban serta larangan bagi penghuni :
1). Setiap
penghuni berhak :
a).
memanfaatkan rumah susun dan lingkungannya termasuk bagian bersama, benda
bersama, dan tanah bersama secara aman dan tertib ;
b). mendapatkan perlindungan sesuai dengan
Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga;
c). memilih dan dipilih menjadi Anggota
Penggurus perhimpunan Penghuni.
2).
Setiap penghuni berkewajiban :
a). mematuhi dan melaksanakan peraturan tata
trertib dalam rumah susun dan lingkungannya sesuai dengan Anggaran Dasar dan
Anggaran Rumah Tangga ;
b). membayar iuran pengelolaan dan premi asuransi
kebakaran ;
c). memelihara rumah susun dan lingkungannya
termasuk bagian bersama, benda bersama dan tanah bersama ;
3). Setiap
penghuni dilarang :
a). melakukan perbuatan yang membahayakan
keamanan, ketertiban, dan keselamatan terhadap penghuni lain, dan lingkungannya
;
b). mengubah bentuk dan/ atau menambah bangunan
di luar satuan rumah susun yang dimiliki tanpa mendapat persetujuan perhimpunan
penghuni. (pasal 61 PP)
2. Pengelolaan
rumah susun
Pengeloaan
rumah susun meliputi kegiatan-kegiatan operasional yang berupa pemeliharaan,
perbaikan dan pembangunan prasarana lingkungan, serta fasilitas social, bagian
bersama, benda bersama dan tanah bersama (pasal 62 PP). Apabila pengelolaan
terhadap rumah susun tersebut dilakukan oleh penghuni atau pemilik, harus
sesuai dengan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga yang ditetapkan oleh
Perhimpunan Penghuni (pasal 63 PP). Namun pengelolaan terhadap rumah susun dan
lingkungannya dapat dilaksanakan oleh suatu badan pengelola yang ditunjuk atau
dibentuk oleh perhimpunan penghuni (pasal 64 PP). Badan Pengelola yang dibentuk
sendiri oleh perhimpunan penghuni harus dilengkapi dengan unit organisasi,
personil, dan peralatan yang mampu untuk mengelola rumah susun (pasal 65 PP). Selanjutnya badan
pengelola yang ditunjuk oleh perhimpunan penghuni harus mempunyai badan hukum
dan professional. (pasal 66 PP). Penyelenggara pembangunan yang membangun rumah
susun wajib mengelola rumah susun yang bersangkutan dalam jangka waktu
sekurang-kurangnya tiga bulan dan paling lama satu tahun sejak terbentuknya
perhimpunan penghuni atas biaya penyelenggara pembangunan (pasal 67 PP).
Tugas
badan pengelola.
Badan
pengelola mempunyai tugas :
a. Melaksanakan pemeriksaan, pemeliharaan, kebersihan
dan perbaikan rumah susun dan lingkungannya pada bagian bersama, benda bersama
dan tanah bersama ;
b. Mengawasi keertiban dan keamanan penghuni serta
penggunaan bagian bersama, benda bersama dan tanah bersama sesuai dengan
peruntukannya ;
c. Secara berkala memberikan laporan kepada perhimpunan
penghuni disertai permasalahan dan usulan pemecahannya (pasal 68 PP) ;
Mengenai
pembiayaan pengelolaan bagian bersama dan tanah bersama dibebankan kepada
penghuni atau pemilik secara proporsional melalui perhimpunan penghuni (pasal
69 PP). Untuk mengantisipasi kerugian dari kebakaran Penghimpunan Penghuni
harus mengansuransikan rumah susun terhadap kebakaran (pasl 70).
3.Anggaran
Dasar dan Anggaran Rumah Tangga
Anggaran
Dasar dan Anggaran Rumah Tangga perhimpunan penghuni disusun oleh penghuni yang
pertama dipilih, dan disahkan oleh rapat umum perhimpunan penghui. AD-ART
tersebut memuat susunan organisasi, fungsi, tugas pokok, hak dan kewajiban
anggota serta tata tertib penghunian.
I.
Pengawasan
Untuk pelaksanaan pengawasan terhadap pembangunan
Rumah Susun dilakukan oleh Pemda.
Tata cara pengawasan dilaksanakan pengaturan dan
pembinaan dalam pembangunan dan pengembangan rumah susun terhadap persyaratan
teknis, yang diatur oleh Menteri Pekerjaan
Umum (pasal 74 PP). Tata cara pengawasan pelaksanaan pengaturan dan
pembinaan dalam pembangunan dan pengembangan rumah susun terhadap :
a.
Persyaratan
administratif yang berkaitan dengan perizinan pembangunan, perizinan layak huni,
pembuatan akta pemisahan, penerbitan sertifikat hak milik atas satuan rumah
susun, pembebanan hipotik (hak tanggungan) dan fidusia, serta segala kediatan
yang berkaitan dengan pendaftaran tanah
;
b.
Penghunian dan
pengelolaan rumah susun diatur oleh Mendagri. (pasal 75 PP).
Mengenai tata cara pengawasan pelaksanaan terhadap pembeian kemudahan di
bidang perkreditan dan perpajakan diatur oleh Menteri Keuangan (pasal 76 PP);
Pelaksanaan pengawasan dilaksanakan oleh Pemda berdasarkan berdasarkan
petunjuk dan pedoman yang dikeluarkan Menteri Keuangan . Dalam pelaksanaan pengawasan Pemda diberi
wewenang untuk melakukan tindakan penertiban terhadap pelaksanaan Peraturan ini
sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.
J. Ketentuan Pidana
Ketentuan Pidana tertuang dalam
pasal 21 UU No. 16 Th. 1985 :
a.
Barang
siapa dengan sengaja melanggar ketentuan dalam pasal 6, pasal 17 ayat (2) dan
pasal 18 ayat (1) diancam dengan pidana penjara selama-lamanya 10 (sepuluh)
tahun atau denda setinggi-tingginya Rp. 100.000.000,- (seratur juta rupiah
a. Barang siapa karena kelalaiannya menyebabkan
pelanggaran terhadap pasal-pasal tersebut di atas diancam dengan pidana
kurungan selama-lama satu tahun atau denda setinggi-tingginya Rp. 1.000.000,-
(satu juta rupiah)
PENGERTIAN, FUNGSI DAN SEJARAH PERWAKAFAN .
A. Pengertian Wakaf.
Kata “Wakaf”
atau “Wacf” berasal dari bahasa Arab “Waqafa” yang berarti menahan atau
“berhenti”atau “diam di tempat “ atau tetap berdiri. Kata al Waqaf dalam bahasa
Arab mengandung pengertian : Menahan, menahan hata untuk diwakafkan, tidak
dipindah-milikkan. Sedangkan menurut ahli Fiqh berbeda-beda dalam
mendefinisikannya sebagai berikut :
a.
Abu Hanifah :
Wakaf
adalah menahan suatu benda yang menurut hukum, tetap milik si wakif dalam rangka
mempergunakan manfaat untuk kebajikan. Berdasarkan definisi itu maka pemilikan
harta benda wakaf tidak lepas dari si wakif, bahkan ia dibenarkan menarik
kembali dan ia boleh menjualnya. Jika si wakif wafat, harta tersebut menjadi
harta warisan ahli warisnya. Jadi yang timbul dari wakaf hanyalah
“menyumbangkan manfaat” Oleh karena itu mazhab Hambali mendefinisikan wakaf
adalah “Tidak melakukan suatu tindakan atas suatu benda yang berstatus tetap
sebagai hak milik, dengan menyedahkan manfaatnya kepada suatu pihak untuk
kebajikan.
b.
Mazhab Maliki :
Wakaf
itu tidak melepaskan harta yang diwakafkan dari kepemilikan wakif, namun wakaf
tersebut mencegah melakukan tindakan yang dapat melepaskan kepemilikannya atas
harta tersebut kepada yang lain, dan wakif berkewajiban menyedekahkan
manfaatnya serta tidak boleh menarik kembali wakafnya. Perbuatan si wakif menjadikan manfaat
hartanya untuk dipergunakan oleh mustahiq (penerima wakaf) walaupun yang
dimilikinya itu berbentuk upah, atau menjadikan hasilnya untuk dapat digunakan
seperti mewakafkan uang. Wakaf dilakukan dengan mengucapkan lafadz wakaf untuk
masa tertentu sesuai dengan keinginan pemilik. Dengan kata lain, pemilik harta
menahan benda itu dari pengunaansecara pemilikan, tetapi membolehkan
pemanfaatan hasilnya untuk tujuan kebaikan, yaitu pemberian manfaat benda
secara wajar sedang benda itu tetap menjadi milik si wakif.Perwakafan itu
berlaku untuk suatu masa tertentu, dan oleh karenanya tidak boleh disyaratkan
sebagai wakaf kekal.
c.
Mazhab Syafi’i dan Ahmad bin Hambal
Wakaf
adalah melepaskan harta yang diwakafkan dari kepemilkan wakif, setelah sempurna
prosedur perwakafan. Wakif tidak boleh melakukan apa saja terhadap harta yang
diwakafkan, jika wakif wafat harta yang diwakafkan tidak dapat diwarisi oleh
para para ahli warisnya. Wakif menyalurkan harta harta yang diwakafkannya
kepada mauquf ‘alaih (yang diberi wakaf) sebagai sedekah yang mengikat, dimana
wakif idak dapat melarang penyaluran sumbanganya tersebut. Apabila wakif
melarangnya, maka Qadhi berhak memaksanya agar memberikannya kepada mauquf
‘alaih. Oleh karena itu mazhab Syafi’i mendefinisikan wakaf adalah “Tidak
melakukan suatu tindakan atas suatu benda, yang bestatus sebagai milik Allah
SWT, dengan menyedekahkan manfaatnya kepada suatu kebajikan (sosial)”
d.
Jumhur Ulama .
Jumhur
Ulama termasuk Imam Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan As Syahbani, ulama
Syafi’iyah dan ula Hambaliyah mendefinisikan bahwa Wakaf adalah “Menahan hak
orang yang berwakaf terhadap hartanya yang telah diwakafkan dengan tetapnya benda
itu, untuk dimanfaatkan bagi kepentingan umum dan kebaikan dalam rangka
mendekatkan diri kepada Allah SWT. Hrta yang diwakafkan tidak lagi menjadi
milik wakif. Status harta tersebut menjadi beralih menjadi milik Allah SWT.yang
dipergunakan untuk kepentingan masyarakat.
e.
Peraturan Pemerintah No. 28 Th. 1977.
Wakaf
adalah perbuatan hukum seseorang atau badan hukum yang memisahkansebagian dari
harta kekayaannya yang berupa tanah milik dan melembagakannya untuk
selama-lamanya untuk kepentingan
peribadatan atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran agama
Islam.
f.
Kompilasi Hukum Islam (Inpres No. 1 Th. 1991).
Wakaf
adalah perbuatan kukum seseorang atau sekelompok orang atau badan hukum yag
memisahkan sebagian dari benda miliknya dan melembagakannya untuk
selama-lamanya guna kepentingan ibadah atau keperluan umum lainnya sesuai
dengan ajaran Islam.
g.
UU No. 41 Th. 2004
Menurut
pasal 1 dinyatakan bahwa wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan
dan/ atau menyerakan sebagian harta miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau
untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah
dan/ atau kesejahteraan umum menurut syarian.
B. Tujuan dan Fungfsi Wakaf
a. Tujuan Wakaf
Wakaf bertujuan memanfaatkan harta benda wakaf sesuai dengan fungsinya
b. Fungsi Wakaf
Wakaf berfungsi mewujudkan potensi dan
manfaat ekonomi harta benda wakaf untuk kepentingan ibadah dan untuk memajukan
kesejahteraan umum.
- Sejarah Perwakafan
1. Masa Rasulullah
Dalam
sejarah Islam, Wakaf dikenal sejak masa Rasulullah SAW, karena wakaf
disyariatkan setelah Nabi SAW hijrah ke Madinah, pada tahun kedua Hijriyah. Ada
dua pendapat berkembang di kalangan ahli yurisprudensi Islam entang siapa yang
pertama kali melaksanakan Syariat Wakaf . Menururt sebagian pendapat ulama
mengatakan bahwa yang pertama kali melaksanakan Syariat wakaf tanah milik
adalah Nabi SAW untuk dibangun masjid . Pendapat ini berdasarkan hadits yang
diriwayatkan oleh Umar bin Syabah dari Amir bin Sa’ad bin Mu’ad, ia berkata “
Kami bertanya tetang mula-mula wakaf dalam Islam , orang Muhajirin mengatakan
adalah wakaf Umar, sedangkan orang Ansor mengatakan adalah Wakaf Rasulullah
SAW. Asy Syaukani).
Rasulullah SAW pada tahun ketiga Hijriyah pernah mewakafkan tujuh kebun
kurma di Madinah diantaranya ialah kebon A’raf, Shafi’ah, Dalal dan Barqah.
Menurut pendapat sebagian ulama mengatakan bahwa yang pertama kali melaksanakan
syariat wakaf adalah Umar bn Khatab. Pendapat ini berdasarkan hadits yang
driwayatkan Ibnu Umar RA ia berkata :
“Bahwa
sahabat Umar RA memberoleh sebidang tanah di Khaibar, kemudia Umar RA menghadap
Rasulullah SAW, untuk meminta petunjuk . Umar berkata, hai Rasululah, saya
mendapat sebidang tanah di Khaibar, saya belum mendapatkan harta sebaik itu,
maka apakah yang engkau perintahkan kepadaku?” Rasulullah SAW bersabda “Bila
engkau suka, kau tahan (pokoknya) tanah itu, dan engkau sedekahkan (hasilnya).”
Kemudian Umar mensedahkan (tanahnya untuk dikelola) tidak djual, tidak
dihibahkan dan tidak diwariskan. Ibnu Umar berkata “ Umar menyedekahkannya
(hasil pengelolaan tanah) kepada orang-orang fakir, kaum kerabat, hamba sahaya,
sabilillah, ibnu sabil dan tamu. Dan tidak dilarang bagi yang mengelola
(nazhir) wakaf makan dari hasilnya dengan cara yang baik (sepantasnya) atau
memberi makan orang lain dengan tidak bermaksud menumpuk harta (H.R Muslim)
Kemudian syariat wakaf yang telah
dilakukan oleh Umar bin Khatab disusul oleh Abu Thalhah yang mewakafkan kebun
kesayangannya, kebun “Bairaha”. Selanjutnya disusul oleh sahabat Nabi lainnya,
seperti Abu Bakar yang mewakafkan tanahnya di Mekkah yang diperuntukkan kepada
anak keturunannya yang datang ke Mekkah. Utsman menyedekahkan hartanya di
Khaibar. Ali bin Abi Thalib mewakafkan tanahnya yang subur . Mu’adz bin Jabal
mewakafkan rumahnya, yang populer dengan nama “Dar el Anshar”. Kemudian
pelaksanaan wakaf disusul oleh Anas bin Malik, Abdullah bin Umar, Zubair bin
Awwam dan ‘ Aisyah istri Rasulullah.
2. Masa
Dinasti-Dinasti Islam.
Praktek wakaf menjadi luas lagi pada masa dinasti Umayyah dan dinasti
Abbasiyah, semua orang berduyun-duyun melaksanakan wakaf dan wakaf tidak hanya
untuk orang-orang fakir dan miskin saja, tetapi wakaf menjadi modal untuk
membangun lembaga pendidikan, membangun perpustakaan dan membayar gaji para
stafnya, gaji para guru dan beasiswa untuk para siswa dan mahasiswanya.
Antusianisme masyarakat kepada pelaksanaan wakaf telah menarik perhatian negara
untuk mengatur pengelolaan wakaf sebagai sektor untuk membangun solidaritas
sosial dan ekonomi masyarakat.
Wakaf pada mulanya merupakan keinginan seseorang yang ingin berbuat baik
dengan kekayaan yang dimilikinya dan dikelola secara individu tanpa adaaturan
yang pasti. Namun setelah masyarakat Islam merasakan betapa manfaatnya lembaga
wakaf, maka timbullah keinginan untuk mengatur perwakafan dengan baik. Kemudian
dibentuk lembaga yang mengatur wakaf untuk mengelola, memelihara dan
menggunakan harta wakaf, baik secara
umum seperti masjid atau secara individu atau keluarga.
Pada masa dinasti Umayyah yang menjadi hakim Mesir adalah Taubah bin Ghar
al Hadhramy pada masa khalifah Hisyam bin abd. Malik. Ia sangat perhatian dan
tertarik dengan pengembangan wakaf sehingga terbrntuk lembaga wakaf tersendiri
sebagaimana lembaga lainnya di bawah pengawasan hakim. Lembaga wakaf inilah yang
pertama kali dilakukan dalam administrasi wakaf di Mesir, bahkan diseluruh
Negara Islam. Pada masa itu juga hakim Taubah mendirikan lembaga wakaf di
Basrah. Sejak saat itulah pengelolaan lembaga wakaf di bawah Departemen
Kehakiman yang dikelola dengan baik dan hasilnya disalurkan kepada yang berhak
dan yang membutuhkan.
Pada masa dinasti Abasiyah terdapat lembaga wakaf yang disebut dengan
“Sadr al Wuquuf” yang mengurus administrasi dan memilih staf pengelola lembaga
wakaf. demikian perkembangan wakaf pada masa dinasti Umayyah dan dinasti
Abasiyah yang manfaatnya dapat dirasakan oleh masyaraat, sehingga lembaga wakaf
berkembang searah dengan pengaturan administrasinya.
Pada masa dinasti Ayyubiyah di Mesir perkembangan wakaf cukup
menggembirakan, dimana hampir semua tanah-tanah pertanian menjadi harta wakaf
dan semuanya dikelola oleh negara dan menjadi milik egara (baitul mal). Ketika
Shalahuddin al Ayyuby memerintah Mesir, maka ia bermaksud mewakafkan
tanah-tanah milik negara diserahkan kepada yayasan keagamaan dan yayasan sosial
sebagaimana yang dilakukan oleh dinasti Fathimiyyah sebelumnya, meskipun secara
fiqh Islamhukum mewakafkan harta baitul mal masir berbeda pendapat para ulama.
Pertama kali orang yang mewakafkan tnsh milik negara (baitul mal) kepada yayasan
keagamaan dan sosial adalah Raja Nuruddin Asy Syahid dengan ketegasan fatwa
yang dikeluarkan oleh seorang ulama pada masa itu ialah Ibnu ‘Ishrun dan
didukung oleh para ulama lainnya bahwa mewakafkan harta milik negara hukumnya
boleh (jawaz), dengan argumentasi (dalil) memelihara dan menjaga kekayaan
negara. Sebab harta yang dimiliki negarapada dasarnya tidak boleh diwakafkan.
Shalahuddin al Ayyuby banyak mewakafkan lahan milik negara untuk kegiatan
pendidikan, seperti mewakafkan beberapa desa (qaryah) untuk pengembangan
madrasan mazhab As Syafi’iyah, madrasah Al Malikiyah dan madrasah mazhab Al
Hanafiyah dengan dana melalui modelmewakafkan kebun dan lahan pertanian ,
seperti pembangunan adrasah mazhab As Syafi’iyah di samping kuburan Imam
Syafi’i dengan cara mewakafka kebun pertanian dan pulau Al Fil.
Dalam mensejahterakan ulama dan kepentingan mazhab Sunni, Shalahuddin al
Ayyuby menerpkan kebijakan (1178 M/572 H) bahwa bagi orang Kristen yang datang
dari Iskandar untuk berdagang wajib membayar bea cukai. Hasilnya dikumpulkan
dan diwakafkan kepada para ahli yurisprudensi dan keturunannya. Wakaf telah
menjadi sarana bagi dinasti al Ayyubiyah untuk kepentingan politiknya dan misi
alirannya ialah mazhab Sunni dan mempertahankan kekuasaannya. Harta milik Negara
(baitul mal) menjadi modal untuk diwakafkan demi pengembangan mazhab Sunni dan
mengusur mazhab Syi’ah yang dibawa oleh dinasti sebelumnya, ialah dinasti
Fathimiyah.
Perkembangan wakaf pada dinasti Mamluk sangat pesat dan beraneka ragam,
sehinga apapun yang dapat diambil manfaatnya boleh diwakafkan. Akan tetapi
paling banyak diwakafkan pada masa itu adalah tanah pertanian dan bangunan,
seperti gedung perkantoran, penginapan, dan tempat belajar. Pada masa Mamluk
terdapat wakaf hamba sahaya yang diwakafkan untuk merawat lembaga-lembaga
agama. Seperti mewakafkan budan untuk memelihara masjid dan madrasah. Hal ini
dilakukan pertama kali oleh penguasa dinasti Utsmani ketika menaklukan Mesir,
Sulaeman Basya yang ewakafkan budaknya untuk merawat masjid.
Manfaat wakaf pada dinasti Mamluk digunakan sebagaimana tujuan wakaf,
seperti wakaf keluarga untuk kepentingan keluarga, wakaf umum untuk kepentingan
sosial, membangun tempat untuk memandikan mayat dan untuk membantu orang-orang
fakir dan miskin. Yang lebih membawa syi’ar Islam adalah wakaf untuk sarana di
Haramain, ialah Mekkah dan Madinah, seperti kain Ka’bah (kiswatul ka’bah).
Sebagaimana yang dilakukan oleh Raja Shaleh bin al Nasir yang membeli desa
Bisus lalu diwakafkan untuk embiayai kiswah Ka’bah setiap tahunnya da mengganti
kain kuburan RasulullahSAW dan mimbarnya setiap lima tahun sekali
Perkembangan berikutnya yang dirasa manfaat wakaf telah menjaditulang
punggung dalam roda ekonomi pada masa dinasti Mamluk mendapat erhatian khusus
pada masa itu meski tidak dketahui secara pasti awal mula disahkannya
undang-undang wakaf. Namun menurut berita dan berkas yang terhimpun bahwa
perundang-undangan wakaf pada dinasti Mamluk dimulai Raja al Dzahir Bibers al
Bandaq (1260-1277M/ 658-676 H) dimana dengan undang-undang tersebut Raja al
Dzahir memilih hakim dari masing-masing empat mazhab Sunni. Pada orde al Dzahir
Bibers erwakafan dapat dbagi menjadi tiga kategori. Pendapatan negara dari
hasil wakaf yang diberikan oleh penguasa kepada orang-orang yang dianggap berjasa,
wakaf untuk membantu Haramain (fasilitas Mekkah dan Madinah) dan kepentingan
masyarakat umum.
Sejak abad 15 (liama belas), Kerajaan Turi Utsmani dapat memperluas
wilayah kekuasaannya, sehinga Turki dapat menguasai sebagian besar wilayah
negara Arab. Kekuasaan politik yang draih oleh dinasti Utsmani secara otomatis
mempermudah untuk menerapkan Syari’at Islam diantaranya adalah peraturan
tentang perwakafan. Diantara undang-undang yang diekluarkan pada masa dinasti
Utsmani ialah peraturan tentang pembukuan pelaksanaan wakaf, yang dikeluarkan
tangal 19 Jumadil Akhir 1280 Hijriyah. Undang-undang tersebut mengatur tentang
pencatatan-pencatatan wakaf, sertifikasi wakaf,cara pengelolaan wakaf, upaya
mencapai tujuan wakaf dan melembagakan wakaf dalam upaya realisasi wakaf dari
sisi administrasi dan perundang-undangan.
Pada tahun 1287 H dikeluaran undang-undang yang menjelaskan tentang
kedudukan tanah-tanah kekuasaan Turki Utsmani dan tanah-tanah produktif yang
berstatus wakaf. Dari mplementasi undang-undang tersebut di negara-negara Arab
mash banyak tanah yang berstatus wakaf dan dipraktekkan sampai sekarang ini.
Sejak masa Rasululah, masa kekhalifaha dan masa dinasto Islam sampai
sekarang wakaf masih dilaksanakan dari waktu ke waktu di seluruh negeri muslim,
termasuk di Indonesia. Hal ini terlihat dari kenyataan bahwa lembaga wakaf yang
berasal dari agama Islam ini telah diterima (diresepsi) menjadi hukum adat
bangsa Indonesia sendiri.
3. Perwakafan di
Indonesia
Perwakafan di Indonesia sebetulnya sudah dikenal semenjak zaman sebelum
kemerdekaan Republik Indonesia, pada saat itu orang- orang Indonesia yang
beragama Islam jauh sebelum kemerdekaan telah melaksanakan perwakafan.
Hal tersebut memungkinkan karena pada saat itu di Indonesia sudah banyak
berdiri kerajaan-kerajaan Islam seperti Demak dan Samudra Pasai dll. Menurut
Mr. Kusuma Atmadja, lembaga wakaf sudah dikenal dalam masyarakat Indonesia jauh
sebelumdatangnya Agama Islam, misalnya Suku Badui di Banten Selatan mengenal
“Huma Serang” yaitu ladang-ladang yang hasilnya pada tiap-tiap tahun
dipergunakan untuk kepentingan bersama. Begitu juga di Pulau Bali dikenal suatu
lembaga wakaf semacam dengan lembaga wakaf, yaitu tanah atau benda lain
(perhiasan untuk pesta) yang menjadi milik dewa-dewa yang tinggal disana.
Masalah perwakafan pada saat itu telah di atur dalam hukum Aday yang
sifatnya tidak tertulis yang sumbernya dari Hukum Islam. Namun disamping itu
oleh Pemerintah Kolonial dahulu telah dikeluarkan pula berbagai peraturan yang
mengatur tentang persoalan wakaf antara lain :
1. Surat Edaran Sekretaris Governemen pertama tanggal 31 Januari 1905
nomor 435 yang termuat dalam Bijblad 1905 nomor 6196, tentang Toezicht op den
bouw van Muhammad Bedebuzen. Isi dari surat edaran tersebut tdak secara khusus
mengatur tentang wakaf, namun Pemerintah tidak menghalang-halangi orang-orang
Islammemenuhi keperluan agamanya ;
2. Surat Edaran dari Sekretaris
Governemen tanggal 14 Juni 1931 nomor 1361/A yang dimuat dalam Bijblad 1931
nomor 125?a yang intinya memuat agar Bjglad tahun 1905 nomor 1696 diperhatikan
dengan baik. Dalam pelaksanaannya Bupati memberi perintah supaya tanah wakaf
yang dizinkannya dimasukkan dalam daftar dan dipelihara oleh Pengadilan Agama.
3. Surat Edara Sekretaris
Governemen tanggal 24 Desember 1934 nomor 3088A yang dimuat dalam Bjblad tahun
1934 nomor 13390 mempertegas edaran sebelumnya, yang kemudian dipertegas lagi
dengan edaran tanggal 27 Mei 1935 nomor 1273/A yang termuat dalam Bijblad 1935
omor 13480.
Selanjutnya
setelah kemerdekaan Republik Indonesia, bahwa segala peraturan perwakafan yang
telah dikeluarkan pada masa penjajahan masih tetap berlaku sejak Proklamasi
Kemerdekaan sesuai pasal II aturan peralihan UUD 1945, yakni “segala badan
negara dan segala peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru
menurut Undang-undang Dasar ini”
Namun secara bertahap untuk
melaksanakan perwakafan telah dikeluarkan beberapa petunjuk tentang perwakafan
dari Departemen Agama Republik Indonesia tanggal 22 Desember 1953 tenang Petunjuk
mengenai Wakaf, dan selanjutnya perwakafan menjadi wewenang Bagian D (Ibadah
Sosial) Jawatan Urusan Agama. Selanjutnya untuk lebih memudahkan pelaksanaan
perwakafan telah dikeluarkan Surat Edaran No. 5/D/1956 tgl. 8 Oktober 1958
tentang Prosedur Perwakafan Tanah.
Mengenai perwakafan tanah
tersebut nampaknya juga mendapat perhatian khusus dari Pemerintah, hal ini
dapat dilihat pada pasal 49 ayat (1) UU No. 5 Th. 1960 yang berbunyi : Hak
milik atas tanah badan-badan keagamaan dan sosial sepanjang dipergunakan untuk
usaha dalam bidang keagamaan dan sosial diakui dan dilindungi. Badan-badan
tersebut dijamin pula akan memperoleh tanah yang cukup untuk bangunan dan
usahanya dalam bidang keagamaan. Selanjutnya dalam ayat (3) dinyatakan bahwa
perwakafan tanah milik dilndungi dan diatur dengan Peraturan Pemerintah. Selang
17 tahun kemudian dikeluarkanlah Peraturan Pemerintah No. 28 Th. 1977 yang
disyahkan di Jakarta tgl. 17 Mei 1977 dan dimuat dalam Lembaran Negara RI No.
38 Th. 1977 dan Tambahan Lembaran Negara RI No. 3107.
Setelah berlakunya Peraturan
Pemerintah No. 28 Th. 1977, maka
pelaksanaan perwakafan sudah mempunyai pedoman yang jelas, dan dengan telah
dikeluarkannya peraturan pemerintah tersebut maka sesuai dengan pasal 17 ayat
(1) dan (2) semua peraturan perundang-undangan tentang perwakafan sebelumnya
dinyatakan tidak berlaku lagi. Untuk kelancaran pelaksaaan perwakafan telah
pula dikeluarkan berbagai Keputusan Menteri, Instruksi Menteri maupun Edaran
Dirjen Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji pada saat itu.
Nampaknya peraturan perwakafan
yang tertuang dalam PP No. 28 Th. 1977 dikuatkan lagi dengan Inpres No. 1 Th.
1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.yang isinya mengenai Perkawinan, Kewarisan
dan Perwakafan. Sebagai kelanjutan dari Inpres tersebut dikeluarkanlah SK
Menteri Agama No. 154 Th. 1991 tentang pelaksanaan Inpres No. 1 Th. 1991 tgl.
10-6-1993 untuk menyebarluaskan Kompilasi Hukum Islam tersebut.
Mengenai ketentuan perwakafan
tersebut saat ini telah dikeluarkan UU No. 41 Th. 2004 tentang Wakaf yang
disyahkan tgl. 27 Oktober 2004 dan telah diundangkan melalui Lembaran Negara RI
tahun 2004 nomor 159. sekaligus penjelasannya yang dimuat dalam Tambahan
Lembaran Negara RI nomor 4459. Dalam Undang-undang tersebut mengenai barang
wakaf telah dikembangkan, bahwa barang wakaf terdiri dari barang tidak bergerak
dan barang bergerak, termasuk juga Hak Kekayaan Intelektual, selanjutnya
dibentuk pula adanya Badan Wakaf Indonesia merupakan badan independen untuk
mengembangkan perwakafan di Indonesia. Selanjutnya telah pula dikeluarkan
Peraturan Pemerintah No. 42 Th. 1996 tentang Pelaksanan UU No. 41 Th. 2004
tentang Wakaf. yang ditetapkan di Jakarta tgl. 15 Desember 2006 dan dituangkan
dalam Lembaran Negara RI Th. 2006 No.105.
D. Dasar Hukum Wakaf
Dalil yang
menjadi dasar disyariatkannya ibadah wakaf bersumber dari :
a)
Al Qur’an
b)
Hadits.
1.
Al Qur’an, antara lain disebutkan :
a.
Surat al Haj ayat 77 yang berbunyi :
Artinya
: Hai orang-orang yang beriman, ruku'lah kamu, sujudlah kamu,
sembahlah Tuhanmu dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan.
b.
Surat Ali Imran ayat 92
yang berbunyi :
Artinya
: Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang
sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai. Dan apa
saja yang kamu nafkahkan maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.
c.
Surat Al Baqarah ayat
261 yang berbunyi :
Artinya
: Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang
menafkahkan hartanya di jalan Allah[166] adalah serupa dengan
sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji.
Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha
Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.
[166]. Pengertian menafkahkan harta di jalan
Allah meliputi belanja untuk kepentingan jihad, pembangunan perguruan,
rumah sakit, usaha penyelidikan ilmiah dan lain-lain.
2.
Hadits / Sunnah
Rasulullah
a.
Dari Abu Hurairah ra,
sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda “Apabila anak Adam manusia) meninggal
dunia, maka putuslah amalnya, kecuali tiga perkara : sadaqah jariyah, ilmu yang
bermanfaat dan anak yang shaleh yang mendoakan orang tuanya (HR Muslim).
Penafsran shadaqah jariayah dalam hadits tersebut adalah Hadists tersebut
dikemukakan dalam bab wakaf, karena para ulama menafsirkan shadaqah jariyah
dengan wakaf (Imam Muhammad Ismail al Khalani).
b.
Khadits yang lebih tegas lagi menggambarkan
dianjurkannnya wakaf yaitu perintah Nabi kepada Umar untuk mewakafkan tanahnya
yang ada di Khaibar : “Dari Ibnu Umar ra berkata bahwa sahabat Umar RA
memperoleh sebidang tanah di Khaibar, kemudia Umar RA menghadap Rasulullah SAW,
untuk meminta petunjuk . Umar berkata, hai Rasululah, saya mendapat sebidang
tanah di Khaibar, saya belum mendapatkan harta sebaik itu, maka apakah yang
engkau perintahkan kepadaku?” Rasulullah SAW bersabda “Bila engkau suka, kau
tahan (pokoknya) tanah itu, dan engkau sedekahkan (hasilnya).” Kemudian Umar
mensedahkan (tanahnya untuk dikelola) tidak djual, tidak dihibahkan dan tidak
diwariskan. Ibnu Umar berkata “ Umar menyedekahkannya (hasil pengelolaan tanah)
kepada orang-orang fakir, kaum kerabat, hamba sahaya, sabilillah, ibnu sabil
dan tamu. Dan tidak dilarang bagi yang mengelola (nazhir) wakaf makan dari
hasilnya dengan cara yang baik (sepantasnya) atau memberi makan orang lain
dengan tidak bermaksud menumpuk harta (H.R Muslim)
c Dalam sebuah hadits yang lain
disebutkan : Dari Ibnu Umar, ia berkata “ Umar mengatakan kepada Nabi Muhammad SAW saya mempunyai seratus
dirham di Khaibar. Saya belum pernah mendapat harta yang paling saya kagumi
seperti itu. Tetapi saya ingin menyedekahkannya. Nami mengatakan kepada Umar :
ahanlah (jangan jual, hibahkan dan wariskan) asalnya (modal pokok) dan jadikan
buahnya sedekah untuk sabilillah” (H.R. Bukhari dan Muslim)
E. Macam-macam wakaf
Bila ditinjau dari segi peruntukkan wakaf itu,
maka wakaf dapat dibagi menjadi dua macam yaitu :
1.
Wakaf Ahli
2.
Wakaf khairi
a. Wakaf ahli.
Wakaf
ahli adalah wakaf yang ditujukan kepada
orang-orang tertentu, seorang atau lebih, keluarga si wakif atau bukan . Wakaf
seperti ini juga disebut wakaf Dzurri.
Apabila ada seorang yang
mewakafkan sebidang tanah untuk anaknya lalu kepada cucunya, wakafnya sah dan
yang berhak mengambil manfaatnya adalah mereka yang ditunjuk dalam pernataan
wakaf. Wakaf ahli/dzurri kadang-kadang juga disebut wakaf ‘alal aulad, yaitu
wakaf diperuntukkan untuk kepentingan dan jaminan sosial dalam lingkungan
keluarga (famili), lingkungan kerabat sendiri .
Wakaf untuk keluarga ini
secara hukum Islam dibenarkan berdasarkan Hadits Nabi yang diriwayatkan oleh
Bukhari dan Muslim dari Anas bin Malik tentang adanya wakaf keluarga Abu
Thalhah kepada kaum kerabanya Diujung Hadits tersebut dinyatakan sebagai
berikut : Aku telah mendengar ucapanmu tentang hal tersebut. Saya berendapat
sebaknya kamu memberkannya kepada keluarga terdekat. Maka Abu Thalhah
membagikannya untuk para keluarga dan anak-anak pamannya.
Dalam satu segi wakaf
ahli (dzurri) ini baik sekali, karena wakif akan mendapat dua kebaikan dari amal
ibadah wakafnya, juga kebaikkan dari silaturahmi erhadap keluarga yang
diberikan harta wakaf. Akan tetapi disisi lain wakaf ahli ini sering
menimbulkan masalah, seperti bagaimana kalau anak cucu yang ditunjuk sudah
tidak ada lagi (punah). Siapa yang berhak mengambil manfaat harta wakaf ? Atau
sebaliknya, bagaimana jika anak cucu yang menjadi tujuan wakaf itu berkembang
sedemikian rupa, sehingga menyulitkan bagaimana cara meratakan pembagian hasil
harta wakif ?.
Untuk mengantisipasi
punahnya anak cucu (keluarga penerima harta wakaf) agar harta wakaf kelak tetap
bisa dimanfaatkan dengan bak dan berstatus hukum yang jelas, maka sebaiknya
dalam ikrar wakaf ahli ini disebutkan bahwa wakaf ini untuk anak, cucu,
kemudian fakir miskin. Sehingga bila suatu ketika ahli kerabat (penerima wakaf)
tidak ada lagi (punah), maka wakaf itu bisa langsung diberikan kepada fakir
miskin. Namun untuk kasus anak cucu yang menerima wakaf ternyata berkembang
sedemikian banyak kemungkinan akan menemukan kesulitan pembagiannya secara adil
dan merata.
Pada pekermbangan
selanjutnya, wakaf ahli untuk saat ini dianggap kurang dapat memberikan manfaat
untuk kesejahteraan umum, karena sering menimbulkan kekaburan dalam pengelolaan
dan pemanfaatan wakaf oleh keluarga yang diserahi harta wakaf. Dibeberapa
negara tertentu seperti Mesir, Turki, Maroko dan Aljazair, wakaf untuk keluarga
(ahli) telah dihapuskan, karena pertimbangan dari berbagai segi, tanah-tanah
dalam bentuk ini dinilai kurang produktif. Untuk itu dalam pandangan KH Ahmad Basyir,
MA bahwa keberadaan tanah jenis wakaf ini sudah selayaknya ditinjau kembali
untuk dihapuskan.
b Wakaf Khairi
Wakaf khairi adalah wakaf yang secara tegas untuk kepentingan agama
(keagamaan) atau kemasyarakatan (kebajkan umum. Seperti wakaf yang diberikan
untuk keperluan pembangunan masjid, sekolah, jembatan, rumah sakit, panti
asuhan anak yatim dan lain sebagainya.
Jenis wakaf ini seperti yang djelaskan dalam Hadits Nabi Muhammad SAW
yang menceritakan tentang wakaf sahabat Umar bi Khattab. Beliau memberikan
hasil kebunnya kepada fakir miskin, ibnu sabil, sabilillah, para tamu dan hamba
sahaya yang berusaha menebus dirinya.. akaf ini ditujukan kepada umum dengan
tidak terbatas penggunaannya yang mencakup semua aspek untuk kepentingan dan
kesejahteraan ummat manusia pada umumnya. Kepentingan umum tersebut bisa untuk
jaminan sosial, pendidikan, kesehatan, pertahanan keamanan dan lain-lain.
Dalam tinjauan penggunaannya, wakaf jenis ini jauh lebih banyak
manfaatnya dibandingkan dengan wakaf jenis wakaf ahli, karena tidak terbatasnya
pihak-pihak yang ingin mengambil manfaat. Jenis wakaf inilah yang sesungguhnya
paling sesuai dengan tujuan perwakafan ini secara umum. Dalam jenis wakaf ini
juga, si wakif dapat mengambil manfaat dari harta yang diwakafkan itu, seperti
wakaf masjid maka si wakif boleh mengambil air dari sumur tersebut sebagaimana
pernah dilakukan oleh Nabi dan Sahabat Utsman bin affan.
Secara substansinya, wakaf inilah yang merupakan salah satu segi dari
cara membelanjakan (memanfaatkan) harta di jalan Allah SWT. Tentunya kalau
dilihat dari manfaat kegunaannya merupakan salah satu sarana pembangunanm baik
di bidang keagmaan, khususnya peribadatan, perekonomian, kebudayaan, kesehatan,
keamanan dan sebagainya. Dengan demikian, benda wakaf tersebut benar-benar
terasa manfaatnya untuk kepentingan kemanusiaan, tidak hanya untuk keluarga
atau kerabat yang terbatas.
XII. Syarat dan rukun wakaf.
Menurut Fiqh,
Wakaf dinyatakan syah apabila telah terpenuhi rukun dan syarat wakaf ada 4
yakni :
1. Wakif (orang yang mewakafkan tanah) ;
2.. Maukuf bih
(barang atau harta yang diwakafkan) ;
3. Mauquf ‘Alaih
(pihak yang diberi wakaf/ peruntukkan wakaf) ;
4. Shighat (pernyataan/ ikrar wakif sebagai suatu kehendak untuk
mewakafkan harta bendanya).
A. Syarat wakif .
Orang yang mewakafkan (wakif
disyaratkan memiliki kecakapan hukum atau kamalul ahliyah (legal competent)
dalam membelanjakan hartanya Kecakapan bertindak disini meliputi empat kriteria
yakni :
a. Merdeka
Wakaf yang dilakukan oleh seorang budak (hamba sahaya), tidak sah karena
wakaf adalah pengguguran hak mlik dengan cara memberikan hak milik itu kepada
orag lain. Sedangkan hamba sahaya tidak mempunyai hak milik, dirinya dan apa
yang dimiliki adalah kepunyaan tuannya. Namun demikian Abu Zahrah mengatakan
bahwa para fuqaha sepakat budak itu boleh mewakafkan hartanya bila ada ijin
dari tuannya, karena ia sebagai wakil darinya. Bahkan Adz Dzahiri menetapkan
bahwa budak dapat memilki sesuatu yang diperoleh dengan jalan waris atau
tabarru. Bila ia dapat memiliki sesuatu berarti ia dapat pula membelanjakan
miliknya itu Oleh karena itu ia boleh mewakafkan, walaupun hanya sebagai
tabarru saja.
b. Berakal
Wakaf yang dilakukan oleh orang gila tidak sah hukumnya, sebab ia tidak
berakal, tidak mumayyiz dan tidak cakap melakukan akad serta tindakan lainnya.
Demikian juga wakaf orang lemah mental (idiot), berubah akal karena faktor
usia, sakit atau kecelakaan, hukumnya tidak sah karena akalnya tidak sempurna
dan tidak cakap untuk menggugurkan hak miliknya.
c. Dewasa (baligh)
Wakaf yang dilakukan oleh anak yang belum dewasa (baligh) hukumnya tidak
sah karena ia dipandang tidak cakap melakukan akad dan tidak cakap pula untuk
menggugurkan hak miliknya.
d. Tidak
berada dibawah pengampuan (boros/lalai).
Orang yang berada di bawah pengampuan dipandang tidak cakap untuk berbuat
kebaikkan (tabarru), maka wakaf yang dilakukan hukumnya tidak sah. Karena tujuan
dari pengampuan ialah untuk menjaga harta supaya tidak habis dibelanjakan untuk
sesuatu yang tidak benar, dan untuk menjaga dirinya agar tidak menjadi beban
orang lain
B. Syarat Mauquf Bih (Harta yang diwakafkan)
Dalam pembahasan ini terbagi menjadi 2 (dua) bagian
:
1. Syarat sahnya harta wakaf .
Harta yang akan diwakafkan harus memenuhi syarat
sebagai berikut :
a.
Harta yang akan diwakafkan harus mutaqawwam.
Pengertian harta yang mutaqawwam (al mal al
mutaqawwam), menurut Mazhab Hanafi ialah segala sesuatu yang dapat disimpan dan
halal digunakan dalam keadaan normal (bukan dalam keadaan darurat). Karena itu
mazhab ini memandang tidak sah mewakafkan :
1).Sesuatu yang bukan harta, seperti mewakafkan
manfaat dari rumah sewaan untuk ditempati ;
2).Harta yang tidak mutaqawwam, seperti alat-alat
musik yang tidak halal digunakan atau buku-buku anti Islam, karena dapat
merusak Islam itu sendiri,
b.
Diketahui dengan yakin ketika diwakafkan
Harta yang akan diwakafkan harus diketahui dengan
yakin (‘ainun ma’lumun), sehingga tidak akan menimbulkan persengketaan. Karena
itu tidak sah mewakafkan yang tidak jelas seperti satu dari dua rumah.
Pernyataan wakaf yang berbunyi “Saya mewakafkan sebagian dari tanah saya kepada
orang-orang kafir di kampung saya”, begitu juga tidak sah pernyataan “Saya mewakafkan sebagian buku
saya kepada para pelajar”, Kata sebagian dalam pernyataan ini membuat harta
yang diwakafkan tidak jelas dan akan menimbulkan persengketaan. Latar belakang
syarat ini karena hak yang diberi wakaf terkait dengan harta yang diwakafkan
kepadanya. Seandainya harta yang diwakafkan kepadanya tidak jelas, tentu akan
menimbulkan sengketa. Selanjutnya sengketa ini akan menghambat pemenuhan
haknya. Para fakih tidak mensyaratkan agar benda tdak bergerak yang diwakafkan
harus dijelaskan batas-batasnya dan luasnya, jika batas-batasnya dan luasnya
dketahui dengan jelas. Jadi secara fiqih sudah sah pernyataan sebagai berikut :
“Saya wakafkan tanah saya yang terletak di ...... “ sementara itu wakif tidak
mempunyai tanah lain selain tempat itu.
c.
Milik wakif
Hendaklah harta yang diwakafkan milik penuh dan
mengikat bagi wakif ketika ia mewakafkannya. Untuk itu tidak sah mewakafkan
sesuatu yang bukan milk wakif, karena wakaf mengandung kemungkinan menggugurkan
milik atau sumbangan . Keduanya hanya dapat terwujud pada benda yang dimiliki.
Berdasarkan syarat ini, maka banyak wakaf yang tidak sah diantaranya :
1).A mewasiatkan pemberian rumah kepada B.
Kemudian B mewakafkan kepada C,
sementara A masih hidup. Wakaf ini tidak sah, karena syarat kepemilikan pada
wasiat ialah setelah yang berwasiat meningal.
2). A menghibahkan sesuatu barang kepada B.
Kemudian B sebelum menerimanya mewakafkan kepada C. Wakaf ini juga tidak sah
karena syarat kepemilikan pada hibah ialah setelah penerima hibah menerima
harta yang diberikan kepadanya.
3).A membeli barang tidak bergerak dari B. Lalu B
mewakafkannya kepada C. Setelah itu terbukti barang itu milik A. Wakaf ini
tidak sah, karena pada hakekatnya barang tersebut bukan milik B
4).A memiliki sebidang tanah tetapi tidak mampu
membayar pajaknya. Akibatnya pemerinah menyitanya. Tanah ini bukan milik
pemerintah sepenuhnya, karena itu apabila pemerintah mewakafkannya, maka secara
hukum tidak sah.
d.
Terpisah bukan milik bersama.
Milik bersma ada kalanya dapat dibagi, juga ada
kalanya tidak dapat dibagi.
Hukum mewakafkan
benda milik bersama (musya’) tidak sah misalnya :
1). A mewakafkan sebagian dari musya’ (milik bersama) untuk
dijadikan masjid atau pemakaman tidak sah dan tidak menimbulkan akibat hukum,
kecuali apabila bagian yang diwakafkan tersebut dipisahkan dan dietapkan
batas-batasnya.
2). A mewakafkan kepada
pihak yang berwajib sebagian dari musya’
(milik bersama) yang terdapat pada harta yang dapat dibagi
Namun contoh lain si A mewakafkan sebagian dari musya’ yang
terdapat pada harta tidak dapat dibagi bukan untuk dijadikan masjid atau
pemakaman, hukumnya sah.
3.
Syarat Mauquf “Alaih (penerima wakaf)
Yang dimaksud dengan mauquf
“alaih adalah tujuan wakaf (peruntukan wakaf). Wakaf harus dimanfaatkan dalam
batas-batas yang sesuai dan diperbolehkan Syariat Islam, karena pada dasarnya
wakaf merupakan amal yang mendekatkan diri manusia kepada Tuhan . Oleh karena
itu mauquf ‘alaih (yang diberi wakaf) haruslah pihak kebajikan. Para faqif
sepakat berpendapat bahwa wakaf kepada
pihak kebajikan itulah yang membuat wakaf sebagai ibadah yang mendekatkan diri
manusia kepada Tuhannya.
Namu terdapat perbedaan
pendapat antara antara para faqih mengenai jenis ibadat ini, apabila ibadat
menurut pandangan Islam ataukah menurut keyakinan wakif atau keduanya, yaitu
menurut pandangan Islam dan keyakinan wakif.
1 Mazhab
Hanafi mensyaratkan agar mauquf ‘alaih ditujukan untuk ibadah menurut pandangan
Islam dan menurut keyakinan wakif. Jika tidak terwujud salah satunya, maka
wakaf tidak syah. Karena itu :
1). Sah wakaf orang Islam kepada semua
syi’ar-syi’ar Islam dan pihak kebajikan, seperti orang-orang miskin, rumah
sakit, tempat penampungan dan sekolah. Adapun wakaf selain syi’arsyi’ar Islam
dan pihak-pihak kebajikan hukumnya tidak sah, seperti klub judi.
2) Sah wakaf non muslim kepada pihak kebajikan
umum seperti tempat ibadat dalam pandangan slam seperti pembanunan masjid,
biaya masjid, bantuan kepada jamaah haji dan lain-lain. Sehingga kepada selain
pihak kebajikanumum dan tempat ibadt dalam pandangan agamanya saja seperti
pembangunan gereja, biaya pengurusan gereja hukumnya tidak sah. Sesuai ayat
yang artinya : Pahala sedekah jariyah terus mengalir selain muslim tidak ada
pahalanya.
2. Mazhab Maliki mensyaratkan agar mauquf ‘alaih
untuk ibadat menurut pandangan wakif. Sah wakaf muslim untuk semua syi’ar Islam
dan badan-badan ssial umum, dan tidak sahwakaf non muslim kepada masjid dan
syiar-syiar Islam.
3 Mazhab
Syafi’i dan Hambali mensyaratkan agar mauquf ‘alaih adalah ibadat menurut
pandangan Islam saja, tanpa memandang keyakinan wakif. Oleh karena itu sah
wakaf muslim dan non muslim kepada badan-badan sosial seperti penampungan,
tempat peristirahatan, badan kebajikan dalam Islam seperti asjid. Tidak sah
wakaf muslim dan non muslim kepada badan-badan sosial yang tidak sejalan dengan
Islam seperti gereja.
4. Syarat
Shighat (Ikrar wakaf)
1.
Pengertian shighat wakaf ialah segala ucapan, tulisan atau syarat dari
orang yang bertekad untuk menyatakan kehendak dan menjelaskan apa yang
diingatnya. Sehingga shighat wakaf ckup
dengan ijab saja dari wakif tanpa memerlukan qobul dari mauquf ‘alaih.
2. Status
shighat, secara umum adalah salah satu rukun wakaf. Wakaf tidak sah tanpa
shighat. Setiap shighat mengandung ijab dan mungkin mengandung qabul pula.
3. Dasar
shighat , perlunya shighat karena wakaf adalah melepaskan hak milik dari benda
dan manfaat dari manfaat saja dan
memilikkan kepada yang lain. Maksud melepaskan dan memlikkan adalah urusan hati
, sehingga tida ada yang dapat menyelai isi hati orang lain secara jelas
kecuali melalui pernyataannya sendiri. Ijab wakif tersebut mengngkapkan dengan
jelas keinginan wakif memberi wakaf yang dapat berupa kata-kata atau tulisan
kalau tidak mampu mengungkapkan dengan kata-kata bahkan isyarat apabila tidak bisa menulis
atau bicara.
Dengan demikian dalam mengucapkan shighat harus jelas
PELAKSANAAN
PERWAKAFAN DI INDONESIA
A. Wakif dan kedudukan harta bendanya
Dalam pelaksanaan perwakafan
salah satu syarat harus adanya wakif yaitu orang yang mewakafkan benda yang
dimilikinya, yang dengan sadar dia mewakafkan atas tanggung jawab moral bahwa
sebagian harta yang dimilkinya adalah milik orang lain, yang harus
disalurkannya. Dalam pandangan Al Madudi yang dikutip oleh Imam Suhadi , bahwa
pemilikan harta dalam Islam itu harus diserta tanggung jawab moral. Tanggung
jawab moral artinya segala sesuatu
(harta benda) yang dimiliki oleh seseorang atau sebuah lembaga secara moral
harus diyakini secara teologis bahwa ada sebagian dari harta tersebut milik
orang lain, aitu untuk kesejahteraan sesama yang secara ekonomi kurang atau
tidak mampu, seperti fakir mkisn, atim piatu, manula anak-anak terlantar dan
fasilitas sosial
Asas keseimbangan dalam
kehidupan atau keselarasan dalam hidup merupakan asas hukum yang universal.
Asas tersebut diambil dari tujuan perwakafan
yaitu untuk beribadah atau pengabdian kepada Allah SWT sebagai wahana
komunikasi dan keseimbangan spirit antara manusia (mahluk) dengan Allh
(Khaliq).
Titik keseimbangan tersebut
pada gilirannya akan menmbulkan keserasian dengan hati nuraninya untuk
mewujudkan ketentraman dalam hidup. Asas keseimbangan telah menjadi asas
pembangunan, baik didunia maupun diakhirat, yaitu antara spirit materi individu dengan masyarakat banyak
Asas pemilikan harta benda
adalah tidak mutlak, tetapi dibatasi dengan ketentuan-ketentuan yang merupakan
tangung jawab moral akibat dari kepeilikan tersebut. Pengaturan manusia
berhubung dengan harta benda merupakan hal yang esensiil dalam hukum dan
kehidupan manusia. Pemilikan harta benda menyangkut bidang hukum, sedang
pencarian dan pemanfaatan harta benda menyangkut bidang ekonomi dan keduanya
bertalan erat yang tidak bisa dipisahkan.
Pemilikan harta benda mengandung
prinsip atau konsepsi bahwa semua benda hakikatnya milik Allah. Kepemilikan
dalam ajaran Islam disebut juga amanah (kepercayaan), yang mengandung arti, bahwa yang dimilii harus
dipergunakan sesuai dengan ketentuan yang diatur oleh Allah. Konsep tersebut
sesuai Firman Allah dalam surat Al Maidah ayat 120 yang berbunyi :
“Artinya : Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi dan apa yang ada di
dalamnya; dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.”
Sejalan
dengan konsep kepemilikan harta dalam Islam, maka harta yang telah diwakafkan
oleh wakif memiliki akibat hukum, yaitu ditarik dari lalu lintas peredaran
hukum yang seterusnya menjadi milik Allah, yang dikeelola oleh Nazhir, baik
perorangan atau lembaga, sedangkan manfaat bendanya digunakan untuk kepentingan
umum.
Sebagai konsep sosial yang
memiliki dimensi ibadah, wakaf juga disebut shadaqah jariyah, dimana pahala
yang didapat oleh wakif (orang yang mewakafkan hartanya) akan selalu mengalir
selama harta tersebut masih ada dan bermanfaat. Untuk itu harta yang telah
diwakafkan, maka sejak itu harta tersebut terlepas dari kemilikan wakif dan
kemanfaatannya menjadi hak-hak penerima wakaf. Dengan demikian harta wakaf
tersebut menjadi amanat Allah kepada orang atau badan hukum (yang berstatus
sebagai Nazhir) untuk mengurus dan mengelolanya.
Apabila seseorang mewakafkan sebidang tanah
untuk pemeliharaan lembaga atau balai pengobatan yang dikelola oleh suatu
yayasan misalnya, maka sejak diikrarkan sebagai harta wakaf, tanah tersebut terlepas dari hak milik si
wakif, pindah menjadi hak Allah dan merupakan amanat pada lembaga atau yayasan
yang menjadi tujuan wakaf. Selanjutnya yayasan tersebut memiliki tanggung jawab
penuh untuk mengelola dan memberdayakannya secara maksimal demi kesejahteraan
masarakat banak
B. Nazhir, tugas dan
kewajibannya
Nazhir adalah pihak yang
menerima harta benda wakaf dari Wakif untuk dikelola dan dkembangkan sesuai dengan
peruntukanya. Posisi Nazhir sebagai pihak yang bertugas untuk memelihara dan
mengurusi harta wakaf mempunyai kedudukan yang penting dalam perwakafan.
Sedemikian pentingnya kedudukan Nazhir dalam perwakafan, sehingga berfungsi
tidaknya wakaf bagi mauquf ‘alaih bergantung kepada Nazhir. Meskipun demikian
tidak berarti bahwa Nazhir mempunyai kekuasaan mutlak terhadap harta yang
diamanhkan kepadanya
Pada umumya para ulama selah
bersepakat bahwa kekuasaan Nazhir wakaf hanya terbatas pada pengelolaan wakaf
agar dapat dimanfaatkan sesuai dengan tujua wakaf yang dkehendaki leh wakif.
Asaf A.A Fyzee berpendapat sebagaimana dikutip oleh Dr. Uswatun Hasanah, bahwa
kewajiban Nazhir adalah mengerjakan sesuatu yang layak untuk menjaga dan
mengelola harta. Sebagai pengawas harta wakaf, Nazhir dapat mempekerjakan
beberapa wakil atau pembantu untuk menyelenggarakan urusan-urusan yang
berkenaan dengan tugas dan kewajibannya. Nazhir sebagai pengawas dan pemelihara
wakaf berkewajiban melaporan pelaksanaan tugas
kepada Badan Wakaf Indonesia (BWI). Sebagai imbalan atas pelaksanaan tuganya,
Nazhir dapat menerima imbalan yang besarnya tidak boleh melebihi 10 % (pasal
12) tidak boleh menjual, menggadaikan atau menyewakan harta wakaf terkecuali
seijin Menteri Agama .
Dengan demikian keberadaan
harta wakaf yang ada ditangan Nazhir dapat dikelola dan diberdayakan secara
maksimal untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat banyak yang bisa
dipertanggung-jawabkan secara moral dan hukum Allah SWT.
Nazhir meliputi :
1. Perorangan , ditunjuk
2. Organisasi
3. Badan Hukum
C. Harta benda wakaf, Akta Ikrar Wakaf dan
PPAIW
1. Jenis Harta Benda Wakaf.
Jenis harta benda wakaf dalam UU No. 41 Th. 2004
terdiri dari : benda tidak bergerak, benda bergerak selain uang dan benda
bergerak berupa uang
a. Benda tidak bergerak dimaksud adalah :
1
Hak atas tanah sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan baik yang sudah maupun yang belum terdaftar ;
2
Bangunan atau bagian bangunan yang berdiri di atas
tanah ;
3
Tanaman benda lain yang berkaitan dengan tanah ;
4
Hak milik atas satuan rumah susun sesuai dengan
ketentuan perundang-undangan ;
5
Benda tidak bergerak lain sesuai dengan ketenuan
prinsip syariah dan peraturan perundang-undangan.
Sedangkan untuk hak atas tanah
yang dapat diwakafkan terdiri dari :
1)
Hak milik atas tanah, baik yang sudah atau belum
didaftarkan ;
2)
Hak atas tanah bersama dari satuan rumah susun
sesuai dengan ketentuan perundang-undangan ;
3)
Hak guna bangunan, hak guna usaha atau hak pakai
yang berada di atas tanah negara ;
4)
Hak guna bangunan atau hak pakai yang berada di atas
tanah hak pengelolaan atau hak milik pribadi yang harus mendapat izin tertulis
dari pemegang hak pengelolaan atau hak milik.
b. Benda
bergerak selain uang dapat dijabarkan sebagi berikut :
1
Benda digolongkan sebgai benda bergerak karena
sifatnya yang dapat dipindahkan atau karena ketetapan undang-undang ;
2
Benda bergerak terbagi dalam benda bergerak yang
dapat dihabiskan karena pemakaian ;
3
Benda bergerak yang dapat dihabiskan karena
pemakaian tidak dapat diwakafkan, kecuali air dan bahan bakar minyak yang
persedianya berkelanjutan. ;
4
Benda bergerak yang tidak dapat dihabiskan karena
pemakaian dapat diwakafkan dengan memperhatiak ketentuan prinsip syari’ah.
Benda bergerak karena sifatnya yang dapat diwakafkan
meliputi :
1)
kapal ;
2)
pesawat terbang ;
3)
kendaraan bermotor ;
4)
mesin dan peralatan industri yang tidak tertancap
pada bangunan ;
5)
logam dan batu mulia, dan/ atau
6)
benda lainnya
yang tergolong sebagai benda bergerak karena sifatnya dan memiliki manfaat
jangka panjang
Benda
bergerak selain uang karena peraturan perundang-undangan yang dapat diwakafkan
sepanjang tidak bertentangan dengan
prinsip-prinsip syari’ah sebagai berikut :
1)
surat berharga yang berupa :
a). Saham
;
b). Surat
Utang Negara ;
c).
Obligasi pada umumnya, dan/ atau
d). Surat berharga lainnya yang dapat dinilai dengan uang.
2)
Hak Atas Kekayaan Intelektual yang berupa :
a). Hak cipta ;
b). Hak merk ;
c). Hak patent ;
d). Hak desain industri
e). Hak rahasia dagang ;
f). Hak
sirkuit terpadu ;
g). Hak
perlindungan varietas tanaman dan/ atau
h). Hak lainnya .
3)
Hak atas benda bergerak lainnya yang berupa :
a). Hak sewa, hak pakai
dan hak pakai hasil atas benda bergerak ;
b). Perikatan, tuntutan atas jumlah uang yang
dapat ditagih atas benda bergerak.
Wakaf benda bergerak berupa uang yang merupakan terobosan dalam
Undang-undang No. 41 Th. 2004 tentang Wakaf dapat dijabarkan sbb.
1). Wakaf uang yang dapat diwakafkan adalah mata
uang rupiah ;
2). Dalam hal uang yang akan diwakafkan masih
dalam mata uang asing, maka harus dikonversi terlebih dahulu ke dalam rupiah.
3).Wakif yang akan mewakafkan uangnya diwajibkan
untuk :
a).hadir
di Lembaga Keuangan Syari’ah Penerima
Wakaf Uang (LKS-PWU) untuk menyatakan kehendak wakaf uangnya ;
b).menjelaskan
kepemilikan dan asal-usul uang yang akan diwakafkan;
c).menyetorkan
secara tunai sejumlah uang ke LKS-PWU ;
d).mengisi
formulir pernyataan kehendak Wakif yang berfungsi sebagai ikrar wakaf.
4).Dal hal Wakif tidak dapat hadir, maka Wakif
dapat menunjuk wakil atau kuasanya.
5).Wakif dapat menyatakan ikrar wakaf benda
bergerak berupa uang kepada Nazhir dihadapan PPAIW yang selanjutnya Nazhir
menyerahkan akta ikrar wakaf tersebut kepada LKS-PWU
2. Akte Ikrar Wakaf : Adalah akte yang berisi
pernyataan yang diucapkan oleh wakif di depan PPAIW dengan disaksikan 2 orang
saksi.
3. PPAIW
adalah Pejabat Pembuat Akte Ikrar Wakar yakni Kepala Kantor Urusan Agama yang
ditunujk sebagai PPAIW
D. Perubahan status harta benda wakaf :
Harta benda wakaf yang telah
diwakafkan menurut pasal 40 UU No. 41 Th. 2004 dilarang:
a.
Dijadikan
jaminan
b.
Disita ;
c.
Dihibahkan
d.
Dijual
e.
Diwariskan
f.
Ditukar
g.
Dialihkan
dalam bentuk pengalihan hak lainnya
Larangan tersebut di atas dikecualikan dalam
hal harta benda wakaf digunakan untuk kepentingan umum sesuai dengan RTRW namun
harus ada ijin tertulis dari Menteri Agama atas persetujuan BWI (pasal 41 UU
No. 41 Th. 2004)
E.Penyelesaian Sengketa
1. Penyelesaian sengketa dengan cara
musyawarah untuk mencapai mufakat ;
2. Apabila tidak berhasil, melalui
mediasi, arbitrase dan pengadilan
F.Ketentuan
Pidana dan sanksi administratif
1. Setiap
orang yang dengan sengaja menjaminkan, menghibahkan,menjual, mewariskan,
mengalihkan dalam bentuk pengalihan hak lainnya tanpa izin, dipidana dengan
pidana penjara paling lama 5 tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp.
500.000.000,-
2. Setiap
orang yang dengan sengaja mengubah peruntukan harta benda wakaf dipidana penjara
paling lama 4 tahun dan/atau denda
paling banyak Rp. 400.000.000,-
3. Setiap orang yang dengan sengaja
menggunakan atau mengambil fasilitas atas hasil pengelolaan atau pengembangan
harta benda wakaf melebihi jumlah yang ditentukan, dipidana paling lama 3 tahun
dan/atau denda paling banyak Rp. 300.000.000,-
Sanksi
administratif diberikan kepada LKS dan PPAIW karena tidak didaftarkannya harta
benda wakaf . Sanksi tersebut diberikan berupa :
1).
Teguran secara tertulis ;
2).
Penghentian sementara atau pencabutan izin kegiatan di bidang wakaf bagi LKS ;
3).
Penghentian sementara dari jabatan PPAIW
[1] Pasal a
ayat (1) Undang-undang No. 16 Th. 1985 tentang Rumah Susun
[2]
Penjelasan pasal 1 ayat (2) UU No. 16
Th. 1985 tentang rumah susun
[3] Pasal 2UU
No. 16 Th. 1985 tentang Rumah
Susun
[4]Penjelasan Pasal 2 UU
No. 16 Th. 1985 tentang Ruman Susun
[5] Pasal 3
UU No.16 th. 1985 tentang Rumah Susun
[6] Pasal 2-7
PP No. 4 Th. 1988 tentang Rumah Susun
[7] PAsal 5
UU No. 16 Th. 1986 tentang Rumah Susun
[8] Pasal 8
-34 PP No. 4 Th. 1988 tentang Rumah Susun
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
dunia ini memang indah,, tergantung bagaimana kita menjaga keindahan itu,,. untuk itu mari kita bersatu, satu pikiran satu tujuan untuk Indonesia merdeka,.. berpisah kita berjuang bersatu kita memukul..