Penyusun
(Ida Handayani)
(Ida Handayani)
A.
PENDAHULUAN
“Jika ada pertemuan pasti ada yang namanya perpisahan”, pribahasa
itulah yang hampir kerap kali kita dengar dari setiap orang. Tidak lepas dari
pribahasa itu ialah perkawinan atau pernikahan. Dalam perkawinan seseorang
pasti akan merasakan yang namanya perpisahan, baik melalui proses alamiah
ataupun sebab mempertahankan hak-hak insaniah.
Pada dasarnya perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang
pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang
bahagia, sejahtera dan kekal. Hal inilah yang menjadi dambaan dan tujuan utama
setiap orang dalam menempuh bahtera rumah tangga yang diikat oleh oleh suatu
akad yang namanya perkawinan.
Akan tetapi pada kenyataannya hal itu sulit dan tidak sepenuhnya
bisa dialami, sebagaimana yang dikatakan dalam peribahasa diatas, sehinga
perpisahan atau dalam hal ini disebut bubarnya perkawinan pasti tidak dapat
dihindari oleh setiap pasangan suami istri. Oleh karena itu pemerintah melalui
hukumnya membahas dan mengatur masalah ini demi tercipta dan terlaksananya
kehidupan yang harmonis, dan dengan hal ini pula pemakalah akan mencoba untuk
membahasnya mengenai perkawinan yang ada di Indonesia ini.
B.
PEMBAHASAN
1. Pengertian perkawinan
Perkawinan
menurut istilah ilmu fiqih dipakai perkataan nikah dan perkataan zawaj-tazwij,
perkataan nikah itu dalam bahasa Arab mempunyai arti hakiki dan majazi. Arti
hakikatnya ialah “menghimpit, menindih, atau
berkumpul” dan arti majazinya ialah
“setubuh atau akad”.[1]
Dalam
pemakaian bahasa sehari-hari perkataan nikah lebih banyak dipakai dalam arti
kiasan daripada arti yang sebenarnya, bahkan nikah dalam arti yang sebenarnya
jarang sekali dipakai pada saat ini. Para ahli fiqih sendiri, yaitu para imam
masih berbeda pendapat tentang arti kiasan tersebut apakah dalam pengertian wathaa atau aqad. Imam Syafi’i memberikan pengertian itu dengan “mengadakan
perjanjian perikatan”, sedangkan Abu Hanifah megartikan wathaa atau setubuh.[2]
Terlepas dari perbedaan pendapat ulama
mengenai arti kata nikah itu dan ditinjau pula dari adanya kepastian hukum,
maka lebih tepatlah perkataan nikah itu diartikan dengan akad atau ikatan
perjanjian daripada diartikan dengan setubuh, karena pernikahan itu sebenarnya
mencakup semua persoalan manusia, artinya menyangkut hubungan manusia secara keseluruhan.[3]
Ketentuan dalam pasal 1 UUP menyatakan:
“Perkawinan
ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai
suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan
kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.”
Perumusan yang diberikan pasal 1 UUP,
bukan saja memuat pengertian atau arti perkawinan itu sendiri, melainkan juga
mencantumkan tujuan dan dasar perkawinan. Pengertian perkawinan ialah ikatan
lahir batin anata seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri,
sedangkan tujuannya membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal
yang didasarkan kepada ketuhanan Yang Maha Esa atau jika dihubungkan dengan
pasal 2 ayat (1) UUP didasarkan kepada hukum agamanya atau kepercayaan agamanya
masing-masing.
Berbeda dengan kompilasi hukum Islam
yang secara spesifik meletakan perkawinan itu sebagai salah satu ibadah
muamalah. Ketentuan dalam pasal 2 dan pasal (3) Kompilasi Hukum Islam menyatakan:
“Perkawinan menurut hukum Islam adalah
pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaqon ghaalidhan untuk
mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah yang bertujuan
untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah.”[4]
Dengan demikian bila dibandingkan dengan
pengertian dan tujuan perkawinan yang dirumuskan dalampasal 1 UUP, pengertian
dan tujuan dalam Kompilasi Hukum Islam ini lebih lengkap. Sebaliknya hukum
perdata barat melalui ketentuan dalam pasal 26 Kitab Undang-undang Hukum
Perdata menganggap perkawinan hanya sebagai perjanjian lahiriyah/keperdataan
belaka sama seperti perjanjian keperdataan lainnya, yang tidak mengandung nilai
atau ikatan bathiniyah/rohaniah/agama. Dalam pasal 26 Kitab Undang-undang Hukum
Perdata dinyatakan: “Undang-undang memandang soal perkawinan hanya dalam
hubungan-hubungan perdata.”
Berdasarkan ketentuan dalam pasal 26 Kitab
Undang-undang Hukum Perdata ini, perkawinan hanya sah dan dianggap mempunyai
kekuatan hukum bila dapat dibuktikan dengan adanya suatu akta perkawinan yang
dibuat oleh pegawai pencatat perkawinan pada kantor pencatatan sipil.[5]
a.
Menurut
Hukum Islam
Pembahasan mengenai rukun merupakan masalah yang serius dikalangan
fuqaha. Sebagai konsekuensinya terjadi silang pendapat berkenaan dengan mana
yang termasuk rukun dan mana yang bukan rukun. Termasuk yang menentukan mana
yang rukun dan mana yang syarat. Jadi bisa jadi sebagian ulama yang lainnya
menyebutkannya sebagai syarat.
Menurut jumhur ulama rukun perkawinan ada lima dan masing-masing
rukun memiliki syarat-syarat tertentu, yaitu:
1)
Calon
suami, syaratnya:
a.
Beragama
Islam
b.
Laki-laki
c.
Jelas
orangnya
d.
Dapat
memberikan persetujuan
e.
Tidak
terdapat halangan perkawinan
2)
Calon
istri, syaratnya:
a.
Beragama
Islam
b.
Perempuan
c.
Jelas
orangnya
d.
Dapat
dimintai persetujuan
e.
Tidak
terdapat halangan perkawinan
3)
Wali
nikah, syaratnya:
a.
Laki-laki
b.
Dewasa
c.
Dempunyai
hak perwalian
d.
Tidak
terdapat halangan perwalian
4)
Saksi
nikah, syaratnya:
a.
Minimal
dua orang laki-laki
b.
Hadir
dalam ijab qabul
c.
Dapat
mengerti maksud akad
d.
Islam
e.
Dewasa
5)
Ijab
qabul, syaratnya:
a.
Adanya
pernyataan perkaninan dari wali
b.
Adanya
pernyataan penerimaan dari calon mempelai
c.
Memakai
kata-kata nikah
d.
Antara
ijab dan qabul bersambungan
e.
Antara
ijab dan qabul jelas maksudnya
f.
Orang
yang terikat dengan ijab qabul tidak sedang ihram haji atau umrah
g.
Majlis
ijab qabul itu harus dihadiri minimun empat orang yaitu calon mempelai atau
wakilnya, wali dari mempelai wanita dan dua orang saksi.
b.
Menurut
hukum perdata[7]
Syarat perkawinan ialah segala hal mengenai perkawinan yang harus
dipenuhi berdasarkan peraturan perundang-undangan sebelum pernikahan
dilangsungkan.
Persyaratan perkawinan menurut BW dibedakan menjadi syarat intern
dan syarat ekstern. Syarat intern merupakan syarat terhadap para pihak
terutama mengenai kehendak, wewenang dan persetujuan orang lain yang diperlukan
oleh para pihak untuk mengadakan perkawinan. Syarat ekstern adalah
syarat-syarat dan formalitas yang harus dipenuhi oleh para pihak baik sebelum
maupun pada waktu mereka melangsungkan perkawinan, misalnya pendaftaran ke
Kantor Catatan Sipil (KCS).
Persyaratan perkawinan menurut UU perkawinan terdiri dari syarat
materiil dan syarat formiil. Syarat materiil adalah syarat-syarat yang
ada dan melekat pada diri pihak-pihak yang melangsungkan perkawinan, disebut
juga syarat sebyektif. Syarat formiil adalah tata cara atau
prosedur melangsungkan perkawinan menurut agama dan UU, disebut juga sebagai syarat
obbyektif.
Persyaratan
perkawinan diatur secara limitif dalam pasal 6 sampai dengan pasal 12 UUP, yang
meliputi persyaratan materiil maupun persyarartan formal. Perlu di ingat selain
harus memenuhi persyaratan perkawinan menurut UUP, bagi mereka yang hendak
melangsungkan perkawinan harus memenuhi persyaratan perkawinan yang diatur atau
ditentukan didalam hukum agamanya masing-masing, termasuk ketentuan dalam
perundang-undangan lain yang berlaku bagi golongan agamanya dan kepercayaannya
itu.
a. Persyaratan
persetujuan kedua calon mempelai
Perkawinan mempunyai maksud agar suami dan istri dapat
membentuk keluarga yang kekal dan bahagia, dann sesuai pula dengan hak asasi
manusia, oleh karena itu perkawinan harus disetujui oleh kedua belah pihak yang
melangsungkan perkawinan tanpa ada paksaan dari pihak manapun. Persyaratan ini
ditegaskan dalam pasal 6 ayat (1) UUP dinyatakan bahwa: “ketentuan dalam pasal
ini, tidak berarti mengurangi syarat-syarat perkawinann menurut ketentuan hukum
perkawinan yang sekarang berlaku, sepanjang tidak bertentangan dengan
ketentuan-ketentuan dalam undang-undang
ini sebagaiamana dimaksud dalam pasal 2 ayat(1) undang-undang ini.”
Dengan demikian dengan ketentuan ini, yaitu adnya
persetujuan kedua calon mempelai dalam satu perkawinan dimaksudkan untuk
mencegah terjadinya perkawinan paksa.
b. Persyaratan
izin orang tua/wali/pengadilan
Dalam pasal 6 ayat (2) UUP dinyatakan,
bahwa: “untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (dua
puluh satu) tahun mendapat izin kedua orang tua.”
Namun
bila salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam
keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, menurut pasal 6 ayat (3) UUP, izin
untuk melangsungkan perkawinan cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup
atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya.
Menurut pasal 6 ayat (2) UUP, bahwa seandainya hal itu
juga tidak didapatkan, maka izin tersebut diperoleh dari:
1)
Wali, yaitu wali kedua
pihak calon mempelai yang berwenang untuk memberikan persetujuan atau izin
melangsungkan perkawinan;
2)
Orang yan memelihara;
atau
3)
Keluarga yang mempunyai
hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas selama mereka masih hidup
dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendak.
Seandainya
terjadi perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebutkan dimuka yang
berhak memberi izin atau persetujuan perkawinan atau salah seorang atau lebih
diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, berdasarkan ketentuan dalam
paasal 6 ayat (5) dan ayat (6) UUP, maka pengadilan dalam daerah hukum tempat
tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut
dapat memberikan izin atau persetujuan setelah terlebih dahulu mendengar
orang-orang tersebut yang berhak memberikan izin atau persetujuan untuk
melangsungkan perkawinan, sepanjang hukum masing-masing agama dan
kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.
c.
Persyaratan pembatasan
umur calon mempelai
Dalam
pasal 7 UUP ditentukan batas umur untuk kawin baik bagi pria maupun bagi
wanita, yaitu 19 (sembilan belas) tahun bagi pria dan 16 (enam belas) tahun bagi
wanita.
Penyimpangan
terhadap batas umur diizinkan melangsungkan perkawinan hanya dimungkinkan
dengan meminta dispensasi kepada pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk
oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihakan wanita sepanjang hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaan itu dari yang bersangkutan tidak
menentukan lain.
d. Persyaratan
tidak terkena larangan atau halangan perkawinan
Dalam pasal 8 UUP dinyatakan: Perkawinan
dilarang antara dua orang yang:
1)
Berhubungan darah dalam
garis keturunan lurus kebawah maupum ke atas;
2)
Berhubungan darah dalam
garis keturunan menyamping, yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara
orang tua dan natara seorang dengan saudara neneknya;
3)
Berhubungan semenda,
yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu/bapak tiri;
4)
Berhubungan susuan,
yaitu orang tua susuaan, anak susuan, saudara susuan dan bibi/paman susuan;
5)
Berhubungan saudara
dengan istri atau sebagai bibi atau kemenakan dari istri, dalam hal seorang
suami beristri lebih dari seorang;
6)
Mempunyai hubungan yang
oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin.”
e. Persyaratan
tidak terkena larangan untuk ketiga kalinya
Dalam pasal 10 UUP
ditentukan bahwa apabila suami dan istri yang telah bercerai kawin lagi satu
dengan yang lain dan bercerai lagi dengan untuk kedua kalinya, maka diantara
mereka tidak boleh dilangsungkan perkawinan lagi, sepanjang hukum masing-masing
agama dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain. Dengan
demikian, seorang pria dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang wanita
bekas istrinya yang dicerainya untuk kedua kalinya sepanjang hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu membolehkan. Karena perkawinan
mempunyai maksud agar suami dan istri dapat membentuk keluarga yang kekal, maka
suatu tindakan yang mengakibatkan putusnya suatu perkawinan harus benar-benar
dapat dipertimbangkan dan dipikirkan masak-masak. Selain itu, ketentuan
tersebut dimaksudkan untuk mencegah tindakan kawin cerai berulang kali sehingga
suami maupun istri benar-benar saling menghargai satu sama lain.
f.
Persyaratan bagi wanita
tidak berada dalam waktu tunggu atau masa iddah
Seorang juga dapat menikah kembali
apabila dirinya tidak sedang dalam jangka waktu tunggu atau masa iddah. Guna
waktu tunggu atau masa iddah ini untuk mengetahui dan menghindari
kesimpangsiuran garis keturunan.
Sehubungan
dengan itu dalam pasal 11 UUP ditetapkan, bahwa:
1.
Bagi seorang wanita
yang putus perkawinannya berlaku jangka waktu tunggu.
2.
Tenggang waktu jangka
waktu tunggu tersebut ayat (1), akan diatur dalam peraturan pemerintahan lebih
lanjut
g. Persyaratan
perkawinan poligami
Ketentuan dalam pasal 9 UUP
menyatakan: “seorang yang masih terkait tali perkawinan dengan orang lain tidak
dapat kawin lagi kecuali hal yang tyersebut pada pasal 3 ayat (2) dan pasal 4
undang-undang ini.”
Berdasarkan
ketentuan dalam pasal 9 UUP, sesudah berlakunya UUP masih dimungkinkan
perkawinan poligami sepanjang hukum dan agama darin yang bersangkutan
mengizinkannya dan itupun harus ada izin dari pengadilan setelah terdapat
alasan yang dapat dibenarkan dan memenuhi syarat-syarat untuk beristri lebih
dari seorang.
Sehubungan
dengan perkawinan poligami ini, angka 4 huruf c penjelasan umum atas UUP antara
lain menyatakan:
“undang-undang
ini menganut asas monogami. Hanya apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan,
karena hukum dan agama dari yang bersangkutan menizinkannya, seorang suami
dapat beristri lebih dari seorang istri, meskipun hal itu dikehendaki oleh
pihak-pihak yang bersangkutan, hanya dapat dilakukan apabila dipenuhi berbagai
persyaratan tertentu dan diputuskan oleh pengadilan.”
3. Larangan Perkawinan
a. Menurut Hukum Islam
Fiqh Islam
tidak mengenal adanya pencegahan perkawinan. Sehingga kosa kata untuk menemukan
kata pencegahan dalam Islam sangatlah sulit, berbeda dengan kata pembatalan,
istilah ini telah dikenal dalam fiqh Islam dan kata-kata batal itu sendiri berasal
dari bahasa arab, batal.
Didalam fiqih
sebenarnya dikenal dua istilah yang berbeda kendati hukumnya sama yaitu nikah
al-fasid dan nikah al-bathil. al-Jaziry menyatakan bahwa nikah fasid adalah
nikah yang tidak memenuhi salah satu syarat dari syarat-syaratnya. Sedangkan
nikah bathil adalah apabila tidak terpenuhinya rukun. Hukum nikah fasid dan
bathil adalah sama-sama tidak sah.
Secara
sederhana pencegahan (larangan) dapat diartikan dengan perbuatan menghalang-halangi,
merintangi, menahan, tidak menurutkan sehingga perkawinan tidak berlangsung.
Pencegahan (larangan) perkawinan dilakukan semata-mata karena tidak
terpenuhinya syarat-syarat perkawinan tersebut, akibatnya bisa saja perkawinan
tertunda atau tidak terjadi sama sekali.[8]
b.
Menurut
hukum perdata
Pencegahan (larangan) perkawinan dalam aturan perdata di Indonesia
diatur dalam UU No. 1/1974 dalam pasal 13 yaitu “perkawinan dapat dicegah,
apabila ada pihak yang tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan
perkawinan”.
Tidak memenuhi persyaratan seperti yang dimaksud dalam ayat diatas
mengacu kepada dua hal, yaitu syarat administratif dan syarat materiil.[9]
Syarat administratif berhubungan dengan administrasi perkawinan. Adapun syarat
materiil menyangkut hal-hal mendasar seperti larangan perkawinan.
Sebagaimana
telah disebutkan tentang larangan perkawinan dalam penjelasan diatas yang terdapat pada poin 2 (d), disebutkan tentang
larangan perkawinan;
Dalam pasal 8 UUP
dinyatakan: “perkawinan dilarang antara dua orang yang:
1.
Berhubungan darah dalam
garis keturunan lurus kebawah maupum ke atas;
2.
Berhubungan darah dalam
garis keturunan menyamping, yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara
orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya;
3.
Berhubungan semenda,
yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu/bapak tiri;
4.
Berhubungan susuan,
yaitu orang tua susuaan, anak susuan, saudara susuan dan bibi/paman susuan;
5.
Berhubungan saudara
dengan istri atau sebagai bibi atau kemenakan dari istri, dalam hal seorang
suami beristri lebih dari seorang;
6.
Mempunyai hubungan yang
oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin.”
4. Pencatatan Perkawinan
Dalam
pasal 2 ayat (2) UUP dinyatakan: “tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku.”
Angka
4 huruf b penjelasan umum UUP antara lain menyatakan: “pencatatan tiap-tiap
perkawinan adalah sama halnya dengan pencatatan peristiwa-peristiwa penting
dalam kehidupan seseorang, misalnya kelahiran, kematian, yang dinyatakan dalam
surat-surat keterangan, suatu akta resmi yang juga dimuat dalam daftar
pencatatan.”
Berdasarkan ketentuan
dalam pasal 3 sampai dengan pasal 9 peraturan pemerintahan Nomor 9 tahun 1975,
maka tahapan perkawinaan sebagai berikut:
1) Pemberitahuan
perkawinan;
2) Penelitian
syarat-syarat perkawinan;
3) Pengumuman
perkawinan;
4) Pencatatan
perkawinan;
5) Tata
cara perkawinan.[10]
Sesudah dilangsungkan
perkawinan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu,
perkawinan dicatat secara resmi dalam akta perkawinan yang sebelumnya telah
disiapkan oleh pegawai pencatat perkawinan berdasarkan ketentuan yang berlaku,
yang di tanda tangani oleh:
1) Kedua
mempelai;
2) Kedua
saksi;
3) Pegawai
pencatat perkawinan yang mengahadiri perkawinan tersebut;
4) Wali
nikah atau yang mewakilinya bagi yang melangsungkan perkawinan menurut agama
Islam.[11]
5. Pembatalan dan Perjanjian
Perkawinan
a.
Pembatalan
perkawinan
Pengaturan mengenai pembatalan
perkawinan diatur dalam pasal 22 sampai dengan pasal 28 UUP dibawah titel
“batalnya perkawinan”, kemudian di tindak lanjuti didalam pasal 37 sampai
dengan pasal 38 peraturan pemerintah nomor 9 tahun 1975.
Dalam pasal 23, 24, 26 dan 27 UUP
ditentukan pihak-pihak yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan, yaitu:
1)
Para keluarga dalam
garis keturunan lurus keatas dari suami atau istri;
2)
Suami atau istri;
3)
Pejabat yang berwenang
mengawasi pelaksanaan perkawinan menurut undang-undang, hanya selama perkawinan
belum diputuskan;
4)
Pejabat yang ditunjuk;
5)
Jaksa;
6)
Suami atau istri dari yang
melangsungkan perkawinan;
7)
Setiap orang yang
mempunyai kepentingan hukum secara langsung terhadap perkawinan tersebut, tapi
hanya setelah perkawinan itu putus.
Ketentuan dalam pasal 70
kompilasi hukum Islam menyatakan bahwa suatu perkawinan batal apabila:[12]
1) Suami
melakukan perkawinan, sedangkan ia tidak berhak melakukan akad nikah karena
sudah mempunyai empat oran istri, sekalipun salah satu dari keempat istrinya
itu dalam masa iddah talak raj’i;
2) Seseorang
menikahi bekas istrinya yang telah di li’annya;
3) Seseorang
menikahi bekas istrinya yang pernah dijatuhi talak tiga olehnya, kecuali bila
bekas istrinya tersebut pernah menikah dengan pria lain yang kemudian bercerai
lagi ba’da ad-dukhul dari pria
tersebut dan telah habis masa iddahnya;
4) Perkawinan
dilakukan antara dua orang yang mempunyai hubungan darah, semenda dan sesusuan
sampai derajat tertentu yang menghalangi suatu perkawinan;
5) Istri
adalah sebagai saudara kandung atau sebagai bibi atau kemenakan dari
istri-istrinya.
Selanjutnya dalam pasal 71 kompilasi
hukum Islam menetapkan bahwa suatu perkawinan itu dapat dibatalkan apabila:[13]
1)
Seorang suami melakukan
poligami tanpa izin pengadilan agama;
2)
Perempuan yang dikawini
ternyata kemudian diketahui masih menjadi istri pria lain yang mafqud.
3)
Perempuan yang dikawini
ternyata masih dalam masa iddah dari suami lain;
4)
Perkawinan yang
dilangsungkan tanpa wali atau dilaksanakan oleh wali yang tidak berhak;
5) Perkawinan
yang dilaksanakan dengan paksaan.
b.
Perjanjian
perkawinan[14]
Pengaturan mengenai perjanjian
perkawinan diatur dalam pasal UUP, yang menetapkan bahwa kedua pihak atas
persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian perkawinan.
Adapun syarat-syarat
perjanjian perkawinan tersebut, yaitu:
1) Harus
dilakukan oleh kedua belah pihak pada waktu atau sebelum perkawinan
dilangsugkan;
2) Diajukan
secara tertulis, yang kemudian disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan dengan
dimuat di dalam akta perkawinan;
3) Perjanjian
perkawinan tersebut tidak apat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum
agama dan kesusilaan;
4) Selama
perkawinan berlangsung, perjanjian perkawinan tersebut tidak dapat diubah
kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk mengubah dan
perubahan tidak merugikan pihak ketiga;
5) Perjanjian
perkawinan yang telah disahkan tadi berlaku juga terhadap pihak ketiga yang
bersangkutan;
6) Mulai
berlaku sejak perkawinan dilangsungkan.
C.
PENUTUP
Kesimpulan
Ø Dari
pembahasan diatas, kami sebagai pemakalah mengambil kesimpulan hal-hal yang
terkait dengan ketentuan umum mengenai hukum perkawinan di Indonesia.
Ø Perkawinan
ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai
suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan
kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.”
Ø Adapun
rukun dan syarat yang harus dipenuhi kedua calon pengantin dan larangan yang
juga penting untuk difahami haruslah sesuai dengan apa yang telah ditetapkan
secara agama begitupun yang sudah tertera dalam hukum perdata islam.
Ø Adanya
pencatatan perkawinan dimaksudkan untuk membuktikan telah berlangsungnya suatu
perkawinan, masing-masing pihak menjadi terang dan jelas kedudukannya menjadi
suami istri di alam sebuah perkawinnan.
Ø Beegitupun
dengan prjanjian dan pembatalan perkawinan. Hal-hal apa saja yang dapat
diperjanjikan dalam perjanjian perkawinan tidak di atur dalam UUP. Suami istri
secara bersama bebas menentukan isi perjanjian perkawinannya asalkan perjanjian
perkawinannya tidak melanggar batas-batas hukum agama dan kesusilaan. Bentuk
perjanjian perkawinannya ditetapkan dalam bentuk tertulis, disini tidak
dipersyaratkan dengan kkta notarial, artinya tidak harus dibuat secara notarial
cukup saja dengan di tandatangani oleh suami istri yang mengadakan perjanjian
perkawinan. Kemudia pembatalan perkawinan terjadi ketika perkawinan itu tidak memenuhi syarat-syarat
sesudah di ajukan ke muka hakim.
Ø Seorang
suami atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila
perkawinan dilangsungkan dibawah ancaman yang melanggar hukum atau pada waktu
itu terjadi salah sangka mengenai diri istri atau suami.
DAFTAR
PUSTAKA
Ahmad Rafiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Rajawali
Pers, 1998
Dra. Mona Eliza,
MA, Pelanggaran Terhadap Undang-undang Perkawinan
dan Akibat Hukumnya. Tangerang selatan: Adelina Bersaudara, 2009
Kama Rusdiana,
dkk, Perbandingan Hukum Perdata, Cet. 1, Jakarta: Jakarta Press, 2007
Kompilasi
Hukum Islam
Martiman Prodjohamidjoyo, Hukum Perkawinan di Indonesia, Jakarta;
Indonesia Legal Center Publishing, 2002
Rachmadi Usman, SH, Aspek-aspek Hukum Perorangan dan
Kekeluargaan di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika, 2005
[1] Kamal mukhtar,
Azas-azas Hukum Islam Tentang Perkawinan,
(Jakarta, Bulan Bintang, 1947), h.11
[2] Rachmadi
Usman, Aspek-aspek Hukum Perorangan dan Kekeluargaan,
Jakarta, Sinar Grafika. h. 268
[3] Mona Eliza, Pelanggaran Terhadap UU Perkawinan dan Akibat
Hukumnya, Tangerang Selatan, Adelina Bersaudara, 2009. h. 11
[4] Kompilasi
hukum Islam
[5] Rahmadi Usman,
op.cit. h. 268-269
[7] Rahmadi Usman,
Aspek-aspek Hukum Perorangan dan Kekeluargaa di Indonesia, h. 273-279.
[8] Martiman
Prodjohamidjoyo, Hukum Perkawinan di Indonesia, (Jakarta; Indonesia
legal Center Publishing, 2002, h. 19.
[9] Ahmad Rafiq, Hukum
Islam di Indonesia, (Jakarta; Rajawali Pers, 1998), h. 139
[10] Rachmadi Usman,
Aspek-aspek Hukum Perorangan dan Kekeluargaan
di Indonesia, h. 290
[12] Kompilasi Hukum
Islam
[13] Kompilasi Hukum
Islam
[14] Rachmadi
Usman, Aspek-aspek Hukum Perorangan dan Kekeluargaan.
Jakarta, Sinar Grafika. h. 286-287
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
dunia ini memang indah,, tergantung bagaimana kita menjaga keindahan itu,,. untuk itu mari kita bersatu, satu pikiran satu tujuan untuk Indonesia merdeka,.. berpisah kita berjuang bersatu kita memukul..