Kamis, 13 Desember 2012

Hukum Agraria dan perwakafan dalam panduan kecil sengketa dan penyelesaiannya


PENYEDIAAN TANAH GUNA PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM

A. Fungsi Tanah
      1. Sebagai wadah (di kota)
            Diperoleh berdasarkan :
            a. Hak-hak primer, berupa :
a)      Hak Milik (untuk perumahan/ usaha) ;
b)      Hak Guna Bangunan (untuk kantor, tempat usaha, pabrik atau industri
c)       Hak Pakai dan Hak Pengelolaan, khusus untuk instansi Pemerintah
            b. Hak-hak sekunder, berupa :
a)      Hak sewa ;
b)      Hak Pakai ;
c)      Hak Guna Bangunan
      2. Sebagai faktor produksi (di desa)
            Diperoleh berdasarkan :
            a. Hak-hak primer, berupa :
a)      Hak milik (untuk sawah atau kebun) ;
b)      Hak Guna Usaha (untuk perkebunan, peternakan dan perikanan).
c)       Hak pakai ;
            b. Hak-hak sekunder, berupa :
a)      Hak Sewa ;
b)      Hak Pakai ;
c)      Hak Usaha Bagi Hasil ;
d)     Hak Gadai ;
e)      Menumpang.
Semua hak-hak tersebut di atas diperlukan guna memenuhi kebutuhan manusia yaitu :
1.      Wisma, yaitu tempat tinggal atau bangunan ;
2.      Karya, yaitu manusia wajib berusaha untuk hidupnya;
3.      Marga, yaitu sarana perhubungan (transportasi) ;
4.      Suka, yaitu tempat rekreasi ;
5.      Penyempurnaan kebutuhan manusia yang sesuai dari :
            1). Jasmani (olah raga) ;
            2). Rohani (agama) ;
            3). Pendidikan ;
            4). Kesehatan ;
            5). Kesenian ;
            6). Lembaga-lembaga Ilmu Pengetahuan ;
            7). Kuburan ;
            Dengan demikian, semua hak atas tanah di bagi habis sesuai dengan fungsinya demi kemakmuran dan kesejahteraan umat manusia/ rakyat. Hak-hak atas tanah yang diatur dalam Hukum Tanah Nasional diperuntukkan bagi :
1. Keperluan perorangan ;
2. Keperluan perusahaan ;
3. Keprluan khusus.
1. Keperluan perorangan :
1)   Hak-hak atas tanah yang diberikan kepada perorangan adalah Hak Milik ;
2)   Kalau tanah untuk pertanian ada pembatasan luasnya menurut pasal 17 UUPA, yang pelaksanaannya dalam UU No. 56/Prp/1960 tentang Landreform , bahwa sawah maksimum 5 Ha, dan tanah kering 6 Ha. Sedangkan untuk perumahan belum ada pembatasannya pasal 12 UU No. 56/Prp/1960
2. Keperluan Perusahaan
Ditentukan hal sebaliknya, bahwa untuk keperluan usaha itu idak diberikan Hak Milik, tetapi hak-hak lain yaitu :
      1).  Hak Guna Usaha, dengan jangka waktu 35 tahun dapat diperpanjang 25 tahun
( untuk tanaman keras), sedangkan untuk tanaman muda jangka waktu 20 tahun dapat diperpanjang 25 tahun.
      2).  Hak Guna Bangunan, dengan jangka 30 tahun dapat diperpanjang 20 tahun
3. Keperluan Khusus
      Hak-hak atas tanah untuk keperluan khusus ada bermacam-macam :
      1).  Untuk Instansi Pemerintah, misalnya Departemen, Jawatan dan lain-lain termasuk membangun Kantor Kepala Desa (Kelurahan), diberikan dengan Hak Pakai. Hal ini dimaksudkan untuk keperluan membangun kantor bagi kegiatan sehari-hari. Untuk proyek seperti Lapangan Terbang diberikan Hak Pakai maupun Hak Pengelolaan dengan waktu tidak terbatas, selama dipergunakan.
      2).  Untuk perusahaan-perusahaan yang didirikan oleh Negara, misalnya Perum, Perjan, Pesero Perusahaan Daerah diberikan juga Hak Pengelolaan  Sedangkan untuk Perusahaan Perkebunan Negara diberikan Hak Guna Usaha.
      3).  Untuk kegiatan keagamaan, hak yang disediakan Hak Pakai (Pasal 49 ayat (2) UUPA) dan jangka waktunya tidak terbatas.
      4).  Untuk Perwakilan Negara Asing, misalnya untuk kantor kedutaan dan/ atau rumah kediaman kepala perwakilan asing, diberikan Hak Pakai secara Cuma-Cuma dan jangka waktunyapun tidak terbatas (selama diperlukan).
Dalam kaitan dengan hak-hak atas tanah untuk keperluan khusus ini, perlu ditambahkan disini badan keagamaan atau badan-badan sosialpun boleh memiliki tanah untuk keperluan-keperluan sosial sesuai (pasal 19 ayat (1) UUPA)
            Dalam agama Islam, boleh memperoleh tanah melalui Badan/ Yayasan yang bergerak di bidang perwakafan tanah dimana tanahnya diperuntukan umum/ masyarakat seperti rumah ibadat , pesantren atau madrasah. Tanah Hak Milik yang dapat diwakafkan adalah tanah milik yang bebas dari cacat-cacatnya, artinya tidak dalam sengketa, tidak dibebani hak lain dan sebagainya. Hak Milik yang duwakafkan dinamakan tanah wakaf  (PP No. 28 Th. 1977).

B. Tata Cara Memperoleh Tanah yang diperlukan
         1. Hal-hal yang perlu diperhatikan
               a. Proyeknya
                     Yaitu apa yang direncanakan untuk dibangun atau apa yang dibangun, misalnya rumah, pelabuhan udara dsb. Dengan demikian masalah proyek ini erat sekali kaitannya dengan lokasi.
               b.   Lokasinya
                     Yang dimaksud dengan lokasi ialah tempat dimana proyek akan dibangun. Instansi yang menentukan lokasi proyek ialah Pemerintah Daerah setempat yaitu:
                     1). Pemerintah Daerah Tk. I
                     2). Pemerintah Tk. II )Kodya/Kab).
                     Dalam hal ini Pemda adalah mempunyai pedoman untuk pembangunan di daerahnya berdasaran Rencana Kota yang telah dibuatnya.. Rencana Kota (Stadplan atau City planning) masih perlu dilengkapi lagi dengan rencana yang  lain, yaitu apa yang disebut dengan Rencana Tata Guna Tanah (RTGT) yang tidak dapat dipisahkan dari Rencana Kota.

               2. Rencana Tata Guna Tanah (RTGT)
               a.   Tujuan RTGT
                     Supaya di daerah itu dapat dilakukan sepenuhnya daya guna sehingga tanah yang tersedia dapat memenuhi berbagai keperluan bangunan, baik bangunan yang bersangkutan dengan Pemda maupun masyarakat pada umumnya. Dengan kata lain, memberi pedoman bagi Pemda untuk melaksanakan pembangunan di daerahnya dan pedoman ini sekaligus juga harus ditaati oleh warga kotanya. Masalah ini dapat kita kaitkan kembali dengan kewajiban setiap pemegang hak atas tanah, bahwa disamping mempunyai wewenang untuk menggunakan tanahnya, juga berkewajiban agar orang lain dapat turut merasakan manfaatnya (fungsi sosial). Sejauh mana orang telah melaksanakan kewajibannya, akan terlihat apakah ia sudah memenuhi RTGT tersebut Di sini apabila kita hubungkan dengan Hak Bangsa, maka pemegang hak atas tanah yang subyeknya perorangan terdapat unsur kebersamaan.
        
               b.   Isi RTGT meliputi
a)      Master plan (Rencana Induk), bersifat umum dan biasanya untuk jangka waktu 20 tahun lamanya .
b)      Detail plan  (Rencana terperinci), bersifat khusus dan sudah terperinci, misalnya unutk daerah tertentu (katakanlah “Pondok ndah”) sudah tertuang dalam gambar dengan jelas dengan jalan-jalanny, saluran-saluran airnya, tamannya dll.
c)      Sifat RTGT
               (a).       Terbuka untuk umum, bahwa setiap orang/ warga kota dapat melihat dan mengetahui RTGT tersebut
               (b).       Konsisten, artinya kalau sudah ditetapkan hari ini, tidak akanlah berubah lagi keesokannya. Jadi ada kepastian hukum. Oleh karna itu dibuat untuk jangka waktu 20 tahun lamanya (Master Plan).
                     (c)        Fleksibel, misalnya tiap 5 tahun akan ditinjau oleh pemerintah daerah dan diadakan penyesuaian melalui Perda, karena mungkin data yang dipakai sudah “out of date” dan tidak akurat lagi. Namun Perda tidaklah segera berlaku. Untuk itu terlebih dahulu harus mendapat persetujuan dari atasannya. Contoh pada Dati II harus mendapat persetujaun Dati I dan seterusnya Dati I harus mendapat persetujuan dari Mendagri.
                     (d).      Mengikat
                                 Pemda dan para warganya wajib mentaati RTGT, sebagai pedoman untuk melaksanakan pembangunan di daerah ybs.

               c). Tanah yang tersedia :
                     1). Segi Fisik, terdiri dari :
                  (a).    Letak tanahnya yang menyangkut masalah yurisdiksi perubahan dasar ;
                           (b)     Luas tanahnya dalam hal ini perlu diteliti ukuran yang tepat ;
                           (c).    Batas-batas tanahnya untuk mencegah konflik dengan pemilik tanah yang bersebelahan.

                     2).Segi yuridis meliputi :
                                    (a)     Status tanahnya, apakah tanah itu tanah negara atau tanah hak perorangan
                           (b).    Status subyeknya, siapakah pemilik atau pemegang hak atas tanah ;
                           (c)     Hak-hak pihak ketiga yang membebaninya ;
                           (d)    Perbuatan hukum/ peristiwa hukum yang pernah terjadi ;
                           (e)     Apakah ada penguasaan ilegal diatasnya
                          
                           Untuk mengetahui keterangan mengenai segi fisik dan yuridis dari tanah yang tersedia dapat digambarkan sebagai berikut :
                           a)      Tanah yang sudah didaftarkan :
                                    1)  Sertifikat tanah yang terdiri dari :
                                          (a) Salinan buku tanah
                                          (b) Surat ukur
                                    2). Sertifikst sementara yang terdiri dari :
                                          (a) Salinan buku tanah
                                          (b) Gambar situasi
                                               
                           b).     Tanah yang belum didaftarkan :
                                    Bagian tanah-tanah bekas hak Indonesia, antara lain bekas Hak Milik Adat, yang dianggap sebagai tanda buktinya (sebelum UUPA) ialah Petuk Pajak, sekarang PBB.
                                    1). Pajak hasil bumi/ “landrente” (bagi hak milik adat di desa-desa)
                                    2). Verponding Indonesia (bagi hak milik adat dikota-kota besar)

         2.  Perjanjian dengan pemilik tanah
Cara ini dilakukan apabila pihak yang memerlukan tanah hanya ingin menggunakan tanah dalam waktu tertentu dan pemegang hak atas tanah tidak bersedia menjual tanahnya :
               a. Perjanjian sewa menyewa ;
               b.   Perjanjian dengan Hak Pakai dan Hak Guna Bangunan ;
               c. Perjanjian-perjanjian di bidang pertanian, misalnya usaha bagi hasil

         3. Pemindahan hak
               Bentukbentuk pemindahan hak :
               a).     Jual beli
Pemindahan hak terjadi pada saat itu juga secara langsung dari penjual kepada pembeli.
               b).     Tukar menukar
Hak atas tanah tertentu ditukar dengan hak atas tanah lain  yang senilai (Ruilslaag)
               c).     Hibah
Pemindahan hak terjadi seketika dan langsung sebagai penyisihan sebagian dari harta kekayaa seseorang yang diberikan secara cuma-cuma semasa hidup kepada orang yang biasanya mempunyai hubungan kekerabatan
               d).     Hibah Wasiat.
Pemindahan hak tidak terjadi secara langsung menurut kehendak terakhir dari si pemberi wasat, tetapi dengan syarat sesudah ia meninggal baru terjadi pemindahan haknya. Itupun tidaklah sedemikian mudah, dan masih diperlukan perbuatan hukum yang lain, dimana pelaksanaannya melalui pelaksanaan wasiat kepada si penerima hibah wasiat tersebut. Selain itu juga syarat-syarat subyek pun harus dipenuhi. Jika subyek selaku calon penerima hak tidak memenuhi syarat subyek hak atas tanah yang akan dipindahkan kepadanya sebagaimana ditentukan dalam UUPA, tentu saja akan batal demi hukum              

               4. Jual Beli Tanah
               a. Sebelum UUPA
                        1). Jual beli tanah menurut Hukum Barat
Jual beli tanah menurut Hukum Barat, khusus bagi tanah-tanah hak barat, berlaku ketentuan-ketentuan dalam KUH Perdata :
                                    a).Pasal 1457 : Jual beli merupakan perjanjian antara para pihak untuk memenuhi prestasi yang diperjanjikan ;
                                    b).Pasal 1458 : Jual beli terjadi sejak ada kata sepakat ;
                                    c).Pasal 1459 : Jual beli harus diikuti dengan perbuatan hukum pemindahan hak dari penjual kepada pembeli yang menurut istilah umum dikatakan “balik nama” di kantor kadaster.
                                    Kesimpulan  Jual beli tanah (khusus bagi tanah-tanah hak barat) sebelum berlakunya UUPA menurut ketentuan KUH Perdata tidaklah cukup hanya dengan adanya perjanjian jual beli itu saja, tetapi harus pula diikuti dengan penyerahan secara yuridis yang meliputi :
                                    a). Perbuatan hukum pemindahan hak, yang dibuktikan dengan akta balik nama ;
                                    b),Pendaftaran jual beli tanah yang bersangkutan, yaitu pendaftaran perbuatan hukumnya

                        2). Jual beli tanah menurut Hukum Adat
Jual beli menurut Hukum Tanah. Adat, jual lepas bersifat tunai, artinya pemindahan hak atas tanah dari penjual kepada pembeli terjadi serentak dan bersamaan dengan pembayaran dari pembeli kepada penjual. Selain bersifat tunai juga harus terang yang artinya harus dilakukan dihadapan kepala Adat atau Kepala Desa, Sebagi bukti telah terjadi jual beli dan selesai pemindahan hak tersebut, dibuatlah “surat jual beli tanah” yang ditanda-tangani oleh pihak penjual dan pembeli dengan disaksikan oleh Kepala Desa.

               b. Sesudah UUPA, yakni berdasarkan hukum tanah positif.
                        1) Konsepsi
Berbeda dengan pengertian jual beli tanah menurut hukum barat,jual beli tanah menurut Hukum Tanah Positif kita sekarang adalah pemindahan hak atas tanah untuk selama-lamanya, yang dalam Hukum Adat dinamakan “jual lepas” dan bersifat “tunai”. Artinya begitu terjadi jual beli,begitu pula pada saat yang bersamaan terjadilah pemindahan hak atas tanah dan pembayaran harga, sehingga sejak saat itu putus pula hubungan antara pemilik yang lama dengan tanahnya untuk selama-lamanya.
Pemindahan hak ini berarti pemindahan penguasaan secara yuridis dan secara fisik sekaligus. Namun demikian ada kalanya pemindahan hak etrsebut baru secara yurisid saja, karena secara fisik tanah masih ada dibawah penguasaan orang lain (dalam penyewaan yang waktunya belum berakhir) , sehinga penyerahan secara fisik menyusul kemudian

1)      Tata Carannya : Penjual(Wakil) dan Pembeli (Wakil) serta saksi-saksi menghadap PPAT, kemudian PPAT membuat Akta Jual Beli. Selanjutnya didaftarkan ke Kantor Pertanahan Kabupaten/ Kodya (Seksi Pendaftaran Tanah). Untuk yang sudah ada sertifikatnya Kantor Pertanahan mencatat pada buku tanah mengenai jual beli tersebut.
Untuk yang belum ada sertifikatnya, dibuatkan dulu Buku Tanah Hak Milik dan Sertifikat Hak Milik atas nama Penjual, kemudian mencatat jual belinya pada buku tanah hak milik atas nama Pembeli 
               3). Sahnya jual beli tanah.
                        Ditegaskan oleh Yurisprudensi :
Keputusan Mahkamah Agung No. 123/K/SIP/1970, bahwa pasal 19 PP No. 10 th. 1961 berlaku khusus bagi pemindahan hak pada kadaster, sedangkan hakim menilai sah atau tidaknya suatu perbuatan materiil yang merupakan jual beli tidak hanya terikat pada pasal 19 tersebut.
Sahnya jual beli ditentukan oleh syarat materiil dari perbuatan jual beli yang bersangkutan, bukan oleh pasal 19 PP No. 109 th. 1961. Sedangkan yang merupakan syarat materiil :
a.       Penjual ;
b.      Pembeli
c.       Tanah ybs. boleh diperjual-belikan ;
d.      Tanah tidak dalam sengketa

         4. Pelepasan hak atas tanah
               a.      Pengertian
                        Pelepasan hak atas tanah adalah suatu perbuatan hukum berupa melepaskan hubungan hukum yang semula terdapat pada pemegang hak dan tanahnya melalui musyawarah untuk mencapai kata sepakat dengan cara memberikan ganti rugi kepada pemegang haknya, hinga tanah yang bersangkutan statusnya menjadi tanah negara.

        
               b.      Waktu pelepasan                  
             1).        Pelepasan hak atas tanah dilakukan bilamana subyek yang memerlukan tanah tidak memenuhi syarat untuk menjadi pemegang hak atas tanah yang diperlukan, sehingga tidak dapat diperoleh dengan jual beli dan pemegang hak atas anah bersedia untuk melepaskan hak atas tanahnya ;
               2).     Acara pelepasan hak wajib dilakukan dengan surat pernyataan pelepasan hak yang ditandatangani pleh pihak pemegang hak diketahui pejabat yang berwenang. Pada dasarnya pelepasan hak tersebut dilakukan oleh pemegang hak atas tanah dengan sukarela.
               3).     Berdasakan Perpres No. 36 Th. 2005 jo. Perpres No. 65 th. 2006 pasal 6 pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum, dilaksanakan dengan bantuan Panitia Pengadaan Tanah yang dibentuk di setiap Kabupaten/ Kotamadya dengan Keputusan Bupati atau Walikota, untuk Tk. Propinsi oleh Gubernur.Begitu juga apabila menyangkut dua wilayah kabupaten/kota atau lebih dengan SK. Gubernur. Sedangkan untuk wilayah propinsi Panitia Pengadaan Tanah dilakukan oleh Mendagri dengan unsur pemerintah dan pemerintah daerah terkait.
               4).     Sedangkan untuk pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum yang memerlukan tanah yang luasnya tidak lebih dari 1 Ha, dapat dilakukan langsung oleh instansi yang memerlukan tanah dengan para pemegang hak atas tanah, dengan cara jual beli atau tukar menukar atau cara lain yang disepakati bersama oleh kedua belah pihak. (Pasal 20 Per Pres 36/2005)

               Susunan Panitia Pengadaan Tanah sbb. :
               Ketua                          :    Bupati/ Walikotamadya merangkap anggota ;
               Wakil Ketua                :    Kepala Kantor Pertanahan Kab/Kodya merangkap angg ;
               Sekretaris I   : Asisten Sekwilda Bidang Ketata-prajaan/ Kepala Bagian Tata Praja, bukan anggota.
               Sekretaris II                : Kepala seksi Hak-hak atas tanah, bukan anggota
               Anggota                      : 1. Kepala Kantor Pelayanan PBB Kabupaten/ Kotamadya
                                                        2.   Kepala Dinas Pekerjaan Umum Tk. II
                                                        3.   Kepala Dinas Peranian dan Tanaman Pangan Dati II ;
                                                        4. Camat setempat
                                                      5. Lurah/ Kepala Desa setempat

C. Tata cara pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum.
         1.        Instansi Pemerintah yang memerlukan tanah mengajukan permohonan izin  lokasi kepada Bupati/ Walikotamadya melalui Kepala Kantor Pertanahan setempat disertai ketrangan-keterangan tentang :
               a. Lokasi tanah yang diperlukan ;
               b.   Luas dan gambar kasar sketsa tanah yang diperlukan ;
               c. Rencana penggunaan tanah ;
               d. Uraian rencana proyek yang akan dibangun disertai keterangan mengenai aspek pembiayaan dan lamanya pelaksanaan pembangunan.
         2.   Setelah menerima permohonan dimaksud Kepala Kantor Pertanahan mengadakan konsultasi dengan Kepala Bappeda Tingkat II, Asisten Sekwilda Tk. II Bidang Ketataprajaan dan Instansi terkait untuk melakukan penelitian mengenai kesesuaian peruntukan tanah yang dimohon dengan Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) atau perencanaan ruang wilayah atau kota yang telah ada.
3.Apabila rencana penggunaan tanahnya sesudah sesuai dengan RUTR atau   Perencanaan ruang wilayah atau kota yang telah ada, Bupati/ Walikota madya
               Memberikan izin lokasi dan membentuk Panitia Pengadaan Tanah.                                                                        
          4.Panitia pengadaan tanah sesuai pasal 7 Perpres 36/ 2005 jo. Perpres No. 65 Th. 2006 bertugas melakukan tugas kegiatan sbb. :
               a.      Mengadakan penelitian dan inventarisasi atas tanah, bangunan, tanaman dan benda-benda lain yang ada kaitannya dengan tanah yang haknya akan dilepaskan atau diserahkan ;
               b.      Mengadakan penelitian mengenai status hukum tanah yang haknya akan dilepaskan atau diserahkan, dan dokumen yang mendukungnya ;
               c.      Menaksir dan mengusulkan besarnya ganti rugi atas tanah yang haknya akan dlepaskan atau diserahkan ;
               d.      Memberikan penjelasan atau penyuluhan ;kepada masyarakat yang terkena rencana pembangunandan/ atau pemegang hak atas tanah mengenai rencana dan tujuan pengadaan tanah tersebut dalam bentuk konsultasi publik, baik melalui tatap muka, media cetak maupun media elektronik agar dapat diketahui oleh selurh masyarakat yang terkena rencana pembangunan dan/ atau pemegang hak atas tanah ;
               e.      Mengadakan musyawarah dengan para pemegang hak atas tanah dan instansi Pemerintah dan/ atau pemerintah daerah yang memerlukan tanah dalam rangka menetapkan bentuk dan. Atau besarnya ganti rugi ;
               f..      Menyaksikan pelaksanaan penyerahan  ganti rugi kepada para pemegang hak atas tanah, bangunan, tanaman, dan benda-benda lain yang ada di atas tanah  ;
               g.      Membuat berita acara pelepasan atau penyerahan hak atas tanah,
               h.      Mengadministrasikan dan mendokumentasikan semua berkas pengadaan tanah dan menyerahkan kepada pihak yang berkompeten.
Bersamaan dengan pemberian ganti kerugian tersebut dilakukan pelepasan hak atas tanah beserta bangunan dan tanaman yang terdapat di atasnya. Surat pernyataan pelepasan hak atas tanah ditanda-tangani oleh pemegang hak atas tanah dan Kepala Kantor Pertanahan disaksikan oleh sekurang-kurangnya 2 orang Anggota Panitia Pengadaan Tanah

D.     Pencabutan Hak Atas Tanah
         a.   Pengertian
               Pencabutan hak yaitu pengambilan tanh kepunyaan pIhak lain oleh Pemerintah secara paksa untuk keperluan penyelengaraan kepentingan umum dengan pemberan ganti rugi yang layak kepada yang mempunyai tanah. Pencabutan hak adalah perbuatan hukum sepihak yang dilakukan oleh pemerintah

         b.   Syarat-syarat melaksanakan pencabutan hak
               1).     Tanah yang diperlukan benar-benar untuk kepentingan umum ;
               2).     Merupakan upaya terakhir untuk menguatasai tanah yang diperlkan dan hanya digunakandalam keadaan memaksa ;
               3).     Harus ada ganti kerugian yang layak ;
               4).     Harus dilaksanakan berdasarkan keputusan Presiden ;
               5).     Besar ganti kerugian tidak memuaskan harus banding ke Pengadilan Tinggi.
        
         c.   Jaminan bagi pemegang hak
               1).     Janiman pemberian ganti rugi yang layak dan bila tidak memuaskan dapat banding ke Pengadilan Tinggi.
               2)      Jaminan ganti rugi harus dilakukan secara tunai dan dibayarkan langsung kepada yang berhak ;
               3).     Jaminan penampungan bagi mereka yang belum pindah ;
               4).     Yang berhak atas ganti kerugian bukan hanya mereka yang haknya dicabut, tetapi jika adaorang-orang yang menggarap tanah atau menempati rumah yang bersangkutan ;
               5).     Jika tanah yang dicabut haknya itu kemudian tidak dipergunakan sesuai dengan rencana peruntukannya, maka mereka yang semula berhak atas tanahnya diberi prioritas untuk mendapatkannya kembali.

         d.   Tata cara pencabutan hak
               1).     Acara biasa, tanah baru dapat dikuasai setelah dilakukan pembayaran ganti rugi dan dikeluarkannya surat keputusan pencabutan hak dari Presiden ;
               2).     Acara khusus, penguasaan dan penggunaan tanah dapat segera dilakukan atas dasar izin Mendagri tanpa menunggu keputusan pencabutan hak dari Presiden.

SENGKETA  PERTANAHAN DAN SISTEM PERADIL ANNYA

A. Pengertian  sengketa atas tanah ;
            Sengketa  
1. Sesuatu yang menyebabkan perbedaan pendapat/pertengakaran ;
2.  Pertikaian, perselisihan ;
Sengketa tanah berarti karena adanya :
1. Perbedaan pendapat tentang kepemilikan tanah,
2.   Perselisihan dalam pemberian ganti kerugian dalam pembebasan tanah ;

Sengketa hukum atas tanah bermula dari pengaduan sesuatu pihak (orang/badan hukum) yang berisi keberatan-keberatan dan tuntutan hak atas tanah terhadap status tanah, prioritas maupun kepemilikannya dengan harapan akan memperoleh penyelesaian secara administrasi sesuai dengan ketentuan peraturan yang berlaku.

  1. Ruang Lingkup Sengketa Tanah
Sifat  permasalahan dari suatu sengketa tanah secara umum ada beberapa macam  :
1). Masalah yang menyangkut prioritas untuk dapat ditetapkan sebagai pemegang hak yang sah atas tanah yang berstatus hak, atau atas tanah yang belum ada haknya ;
2).      Bantahan terhadap suatu alas hak/ bukti perolehan yang digunakan sebagai dasar pemberian hak (perdata) ;
3)       Kekeliruan pemberian hak yang disebabkan penerapan peraturan yang kurang/ tidak benar ;
4)       Sengketa lain yang mengandung aspek-aspek sosial praktis.

Sengketa tanah, apabila ditinjau dari  perstiwa hukum, akibat adanya :
a).    Perbuatan hukum bersegi dua yakni adanya perjanjian antara pihak penjual dengan pemilik tanah
b)    Perbuatan yang bertentangan dengan azas hukum, yakni perbuatan melanggar hukum, yang dilakukan oleh seseorang terhadap pemilik tanah
Namun dapat juga adanya :
a)     Kekeliruan pihak penguasa dalam mengambil keputusan pemberian hak atas tanah dan sekaligus pemberian sertifikatnya.
b)   Penggantian kerugian yang tidak sesuai/ tidak memadai.
Adanya tanah yang telah dibeli seseorang dan telah dibayar, namun tanahnya tidak ada, atau telah dikuasasi oleh orang lain, sehingga menimbulkan perselisihan yang penyelesaiannya sampai ke Pengadilan.

Sengketa atas tanah  terjadi karena adanya dua kepentingan antara pemilik tanah yang sama-sama mengaku memiliki tanah tersebut, karena dijual, ditukar atau dijadikan hak tanggungan dan sebagainya. Sengketa pertanahan juga terjadi dalam pemberian ganti rugi tanah yang dibebaskan oleh pemerintah guna pembangunan untuk kepentingan umum, seperti halnya untuk pembuatan waduk, jalan, pasar, pelabuhan laut maupun udara, terminal bus dll.

a.      Mekhanisme Penyelesaian sengketa ;
Mekhanisme penanganan sengketa tanah lazimnya diselengarakan dengan pola sebagai berikut .
1.  Pengaduan
      Dalam pengaduan ini biasanya berisi hal-hal dan peristiwa-peristiwa  yang menggambarkan bahwa pengadu adalah yang berhak atas tanah sengketa dengan melampirkan bukti-bukti dan mohon penyelesaian, disertai harapan agar terhadap tanah tersebut dapat dicegah mutasinya, sehingga tidak merugikan dirinya ;
2.  Penelitian
      Dari pengaduan tersebut, apabila ternyata terdapat dugaan kuat, bahwa pengaduan tersebut dapat diproses, maka selanjutnya  diselesaikan melalui tahap tentang kemungkinan dilakukan pencegahan mutatis mutandis menyatakan tanah tersebut dalam keadaan sengketa.
3.  Pencegahan mutasi
      Pada tahap  pencegahan mutasi dimaksudkan menghentikan untuk sementara segala bentuk perubahan, dengan tujuan :
a).Untuk kepentingan penelitian dalam penyelesaian sengketa ;
      b). Untuk kepentingan pemohon sendiri.
4. Musyawarah
      Langkah-langkah pendekatan terhadap para pihak yang bersengketa sering berhasil didalam usaha penyelesaian sengketa dengan jalan musyawarah. Sebagai mediator dalam musyawarah ini adalah dari pihak Dirjen Agraria sekarang ini Badan Pertanahan Nasional
5. Melalui Pengadilan
Apabila usaha-usaha musyawarah mengalami jalan buntu, maka jalan terakhir mengajukan penyelesaian sengketa pertanahan tersebut ke Pengadilan

b.      Putusan Pengadilan
1. Macam-macam putusan Pengadilan.
a. Putusan Peradilan Pidana, berdasarkan pasal 191 KUHAP :
            1).     Membebaskan terdakwa, apabila menurut hasil pemeriksaan kesalahan terdakwa menurut hukum dan keyakinan tidak terbukti
         2). Pelepasan terdakwa dari segala tuntutan, jika ternyata kesalahan terdakwa menurut hukum dan keyakinan cukup terbukti, tetapi ternyata bahwa yang telah dilakukan oleh terdakwa itu bukan merupakan tindak pidana, termasuk juga dalam hal jika ada kekeliruan dalam surat tuduhan, juga putusan hakim jika ybs. Termasuk orang-orang yang dituangkan dalam 44 KUHP, 48, 49 dan 51 KUHP ;
      3). Menghukum terdakwa, jika baik kesalahan terdakwa pada perbuatan yang telah ia lakukan, maupun perbuatan itu adalah sesuatu tindak pidana, menurut hukum dan keyakinan cukup dibuktikan apabila terbukti bersalah berdasarkan alat-alat bukti yang ada

            b. Putusan Pengadilan Perdata HIR :
                  1)   Keputusan yang declaratoir yaitu keputusan Hakim yang bersifat menyatakan ada tidaknya sesuatu keadaan hukum tertentu. Misalnya,
                   ” Menyatakan sebagai hukum bahwa si A adalah ahli waris dari almarhum Z ” atau ” si A adalah pemilik dari tanah ini ”     
      2) Keputusan yang condemnatoir yaitu keputusan Hakim yang sifatnya menjatuhkan hukuman. Misalnya ” Menghukum tergugat untuk membayar pengganti kerugian sebesar sekian rupiah ”
            3) Keputusan constitutif yaitu keputusan yang bersifat menghapuskan, memutus atau mengubah suatu keadaan hukum tertentu, atau dijadikan hukum yang baru. Misalnya  : Suatu perkawinan dinyatakan batal” atau  ” Sertifikat tanah dinyatakan batal”

2. Putusan Pengadilan .
        a.       Dalam hal terjadi adanya penjualan tanah, penukaran maupun di bebani hak tanggungan ataupun disewakan, maka bagi yang dirugikan dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri berdasarkan alasan-alasan sebagai yang tercantum dalam KUHP.sbb :
Pasal 385 KUHP yang berbunyi : Dengan hukuman penjara selama-lamanya 4 tahun  yakni
* ayat 1e : Barang siapa dengan maksud hendak menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hak, menjual, menukar atau menjadikan tanggungan utang sesuatu hak rakyat dalam memakai tanah pemerintah atau tanah partikelir, atau sesuatu rumah, tanaman atau bibit ditanah tempat orang menjalankan hak rakyat memakai tanah itu, sedang diketahuinya bahwa orang lain yang berhak atau turut berhak atas barang itu ;
                        * ayat 2e:         Barang siapa dengan maksud yang serupa menjual, menukar atau menjadikan tanggungan utang suatu hak rakyat dalam memakai tanah pemerintah atau tanah partikelir atau sebuah rumah, pembuatan tanaman atau bibit ditanah orang lain tempat menjalankan hak rakyat dalam memakai tanah itu sedang tanah dan barang itu memang sudah dijadikan tanggungan utang, tetapi ia tidak memberitahukan hal itu kepada pihak yang lain
                        * ayat 3e          Barang siapa dengan maksud yang serupa menjadikan tanggungan utang sesuatu hak rakyat dalam memakai tanah pemerintah atau tanah partikelir dengan menyembunyikan kepada pihak yang lain, bahwa tanah tempat orang menjalankan hak itu sudah digadaikan ;
                        * ayat 4e          Barang siapada dengan maksud yang serupa menggadaikan atau menyewakan sebidang tanah tempatorang menjalankan hak rakyat memakai tanah itu, sedang diketahuinya, bahwa orang lain yang berhak atau turut berhak atas tanah itu ;
                        * ayat 5e          Barang siapa dengan maksud yang serupa menjual atau menukarkan sebidang tanah tempat orang menjalankan hak rakyat memakai tanah itu yang telah digadaikan, tetapi tidak memberitahukan kepada pihak lain, bahwa tanah itu telah digadaikan ;
                        * ayat 6e          Barang siapa dengan maksud yang serupa menyewakan sebidang tanah tempat orang menjalankan hak rakyat memakai tanah itu untuk sesuatu masa, sedang diketahuinya bahwa tanah itu untuk masa itu juga telah disewakan kepada orang lain .
                              Seperti halnya contoh kasus Meruya Selatan, yakni Djuhri bin Geni, Yahya bin Geni dan M. Yatim Tugono, tiga orang makelar tanah yang bergelar mandor yang menjual tanah seluas 44 ha kepada sebuah perusahaan developer PT Portanigra pada tahun 1972 , jual beli hanya dengan girik. Namun pada tahun 1978 ketika PT Portanigra mau mengurus sertifikat ke BPN ternyata ketiga mandor telah menjual kembali tanah-tanah tersebut kepada perusahaan lain. Pada tahun itu juga Porta Nigra menggugat ketiga mandor tersebut, dan ketiga mandor tersebut divonis bersalah karena telah melakukan penggelapan dan melakukan wanprestasi.

                  b    Apabila perselisihan karena ganti rugi yang kurang memadai gugatan diajukan ke Pengadilan Negeri 
                        Contoh : pembebasan tanah untuk pembuatan banjir kanal timur, jalan tol, lapindo brantas,  dan lain-lain
                  c.   Dalam hal adanya kekeliruan prosedur dalam pemberian hak atas tanah gugatan ditujukan ke Pengadilan Tata Usaha Negara
                  Contoh :
1).Pembatalan sertifikat tanah oleh Pengadilan Tata Usaha Negara atas kekeliruan pemberian sertifikat tanah oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) , dan pemberian ganti rugi. Contoh :
      (a) Pembatalan sertifikat Tanah GOR Pancasila di Surabaya 
           (b) Pembatalan sertifikat Hak Milik Tanah di Kodya Semarang
2).Jual beli tanah dengan surat kuasa mutlak ”batal demi hukum” sbb.
            Putusan kasasi Mahkamah Agung  atas kasus jual beli tanah dengan surat kuasa mutlak di Cakranegara:
   Mengadili : Membatalkan Putusan Pengadilan  Tinggi Nusa Tenggara Barat di Mataram dan Putusan Pengadilan Negeri Mataram
                   Mengadili sendiri :
            Dari Konpensi :
               1). Mengabulkan gugatan Penggugat sebagian ;
2).Menyatakan Penggugat berhutang kepada tergugat I dan II sebesar sekian rupiah dan tanah terperkara, menjadi agunan hutang tersebut.
          3).  Menyatakan batal demi hukum Akte  Notaris No sekian tanggal sekian tentang perjanjian jual beli antara penggugat dan tergugat I dan II
                4)     Menyatakan batal dan tidak syah peralihan sertifikat yang terjadi antara Penggugat dengan Tergugat II dan III ;
                5)     Menyatakan tidak berkekuatan mengikat balik nama yang dilakukan Tergugat atas tanah terperkara ;
                6)     Menghukum tergugat III untuk mengembalikan sertifikat kepada tergugat I sebagai jaminan hutang Penggugat kepada Tergugat I
                7)     Menolak gugatan Pengugat selebihnya.



DELIK PERTANAHAN DI INDONESIA DAN SISTEM PERADILANNYA
A.     Pengertian delik pertanahan
Dalam pelaksanaan pengadaan tanah untuk kepentingan pemerintah, baik untuk pembangunan gedung kantor, gedung tempat pendidikan, gedung rumah sakit, untuk keperluan pembuatan pasar, pelabuhan, terminal, jalan  dan lain-lain dilakukan oleh pejabat dengan dana dari APBN ataupun APBD.
Dalam pelaksanaan pengadaan tanah berdasarkan Perpres No. 54 Th. 2010 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah harus :
1. Melalui tender/ lelang
2. Mencari harga yang menguntungkan
Namun sering terjadi sebaliknya yakni :
1. Tanpa melalui tender/ lelang ;
2. Harga jauh di atas harga pasaran
karena adanya kolusi antara kedua belah pihak.

Korupsi : melakukan suatu tindak pidana memperkaya diri yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan/ perekonomian Negara (kamus hukum – Prof. Subekti, SH & R. Tjitro Soedibio – Pradnyaparamita Jakarta- Th. 1974 hlm. 73).
Korupsi : penyelewengan atau penggelapan (uang Negara atau perusahaan  dsb) untuk kepentingan pribadi atau orang lain ( kamus bahasa Indonesia – Dep. Pendidikan dan Kebudayaan Balai Pustaka Th. 1988 – hlm. 462)
Tindak Pidana Korupsi : Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara (UU No. 31 Th. 1999)

Bagi pejabat yang melaksanakan pengadaan barang tidak sesuai dengan ketentuan dalam Keppres maupun peraturan perundangan yang berlaku dan ada indikasi merugikan keuangan negara, kepadanya dapat dikenakan sanksi karena melakukan tindak pidana korupsi yang diancam berdasarkan Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yakni UU No. 31 Th. 1999 jo. UU No. 20 Th. 2001 maupun KUHP.
     
            B. Ketentuan dalam KUHP
1. Pasal 423 KUHP : Pegawai Negeri yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hak, memaksa seseorang dengan sewenang-wenang memakai kekuasaannya, supaya memberikan, melakukan sesuatu pembayaran, memotong sebagian dalam melakukan pembayaran, atau mengerjakan sesuatu apa, dihukum penjara selama-lamanya enam tahun
2. Pasal 424 KUHP :      Pegawai Negeri yang dengan maksud akan menguntungkan dirinya  sendiri atau orang lain dengan melawan hak, serta dengan sewenang-wenang memakai kekuasaannya menggunakan tanah Pemerintah yang dikuasai dengan hak Bumiputra, dihukum penjara selama-lamanya enam tahun.

C.     Ketentuan dalam Peraturan Perundang-undangan
Undang-undsang No. 20 Th. 2001 jo. UU No. 31 Th. 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
a.  Pasal  2 ayat (1) UU No. 31 Th. 1999  : Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak 1. 000.000.000,00 (satu milyar rupiah) ;
      b.   Pasal 3 sda Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalah gunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak 1. 000.000.000,00 (satu milyar rupiah) ;
a.       Pasal 12  menyatakan : Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,-
Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakan agar melakukan sesuatu dalam jabatannya.

D.    Mekanisme dan Pelaksanaan Peradilannya
Penyelesaian tindak pidana korupsi diselesaikan melalui pengadilan :
1.      Pengadilan Negeri sesuai kewenangannya berdasarkan UU No. 2 Th. 1986 tentang Peradilan Umum
2.      Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sesuai fungsinya berdasarkan   UU No. 30 Th. 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi  (KPK)
Acara peradilan berdasarkan : Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana ( KUHAP) No. 8 Th. 1981

TANAH SEBAGAI JAMINAN KREDIT
A. Pengertian .
               1. Pengertian Jaminan : tanggungan atas pinjaman yang diterima atau borg. Mis. Ia meminjam uang kepada bank dengan jaminan sebuah rumah dan sebidan tanah miliknya ; garansi misalnya ia membeli televisi dengan garansi 1 (satu) tahun ; janji mislnya seorang untuk menanggung utang atau kewajinan pihak lain apabila utang tidak terbayar
2. Pengertian Tanah Sebagai Jaminan Kredit. Bahwa salah satu hak atas tanah yang dapat dinilai dengan uang dan mempunyai nilai ekonomis serta dapat diperalihkan adalah hak atas tanah.
 Untuk menjamin pelunasan dari debitur maka hak atas tanah itulah yang digunakan sebagai jaminan. Sebagai jaminan kredit tanah mempunyai kelebihan antara lain adalah harganya yang tidak pernah turun.

B.  Maksud dan Tujuan Jaminan Kredit.
1. Maksud Jaminan Kredit :
      a. Untuk menghindari terjadinya wanprestasi oleh pihak debitur ;
b.     Untuk menghindari resiko rugi yang akan dialami oleh pihak kreditur ;
             2.  Tujuan/ Kegunaan Jaminan Kredit :
                    a. Untuk memberikan hak dan kekuasaan kepada kreditur untuk mendapatkan pelunasan dengan benda jaminan bilamana debitur melakukan wanprestasi atau cidera janji ;
                    b. Memberi dorongan kepada debitur agar : betul-betul menjalankan usahanya yang dibiayai dengan kredir itu, karena bila hal tersebut diabaikan, maka resikonya hak atas tanah yang dijaminkan akan hilang ; serta betul-betul memenuhi ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam perjanjian kredit.
    C. Pengaturan Hak Jaminan Atas Tanah dalam UUPA .
UUPA telah menggariskan suatu ketentuan bahwa hak tanggungan yang dapat dibebankan pada Hak Milik, Hak Guna Bangunan dan Hak Guna Usaha (pasal 25, 33 dan 39). Prinsip-prinsip yang terkandung dalam pasal-pasal tersebut :
a.       Hak jaminan atas tanah di Negara Indonesia diberi nama “Hak Tanggungan”, yaitu suatu bentuk lembaga jaminan baru untuk menggantikan berbagai lembaga jaminan yang ada menurut ketentuan yang berlaku ;
b.      Hak tanggungan ini hanya dapat dibebankan pada Hak Milik, HGU dan HGB ;
c.       Hak Tanggungan ini akan diatur dengan suatu undang-pundang tersendiri ;
Sebebelum keluarnya Undang-undang mengenai hak tanggungan peraturan yang berlaku berkaitan dengan hipotik/ Crediet verband antara lain :
a.       KUH Perdata Buku II Bab XXI Pasal 1162 – 1232
b.      UUPA No. 5 Th . 1960 ;
c.       PP No : 10 Th. 1961 jo. PP 24 Th. 1997 ;
d.      PMA No. 15 Th. 1961 jo. PMA No. 2/ 1960 tentang Pendaftaran Hipotik ;
D. Hipotik / Credit Verband
            1. Subyek Hipotik
                  a. Pemberi Hipotik  : mereka yang berhak sebagai pemegang hak atas tanah yang dapat dibebani hipotik ;
                  b.   Pemegang Hipotik : pada prinsipnya setiap kreditur bisa sebagai pemegang hipotik 
            2. Crediet Verband (CV) :
                  a. Pemberi Crediet Verband  : mereka yang berhak sebagai pemegang hak atas tanah
                  b.     Pemegang Crediet Verband : berdasarkan Keppres No. 14 Th. 1973 ditetapkan : Bank BNI; BBD ; BRI ; BDN dan  Bank Exim
            3. Prosedur Pembebanan Hipotik/ CV:
                  a.     Perjanjian kredit dengan Bank adanya  kesanggupan untuk memberikan jaminan berupa hipotik/ CV yamg merupakan perjanjian pokok (obligatoir) ;
                  b.     Perjanjian pemberian hipotik/CV yang merupakan perjanjian tambahan  (assesoir) yang dibuat dengan akte PPAT ;
                  c.     Pendaftaran hipotik/CV ke Kantor Pertanahan Kabupaten/ Kotamadya ;
                          Dengan telah didaftarkannya maka lahirlah buku tanah dan sebagai tanda buktinya dibuatlah sertifikat hipotik/ CV.  Mulai saat itu kreditur mempunyai kedudukan istimewa yakni : droit de preference yaitu hak mendahului dari kreditur lain yang bukan pemegang hipotik dan droit de suit, yaitu  tanag yang telah jadi jaminan tetap dapat dilelang untuk melunasi utangnya walaupun sudah beralih kepada pihak lain.
4.Tingkatan Hipotik
Sebidang tanah dapat dibebani dengan beberapa hipotik atau dapat dijadikan jaminan untuk bberapa kreditur, sehingga dikenal tingkatan hipotik dan pemegang hipotik I, II, III dst.nya
1.      Peralihan Hipotik/ CV
Sebagai suatu hak atas harta kekayaan hipotik/CV dapat diperalihkan. Peralihan hak ini tidak boleh secara  mandiri tanpa memperalihkan piutangnya ;
2.      Peralihan Hak Tanahnya
Peralihan hak dapat dilakukan atas seijin dari preditur.
3.      Surat Kuasa Memasang Hipotik/CV
Surat Kuasa Memasang Hipotik kepada Kreditur harus dibuat secara otentik, sedang untuk CD dapat di bawah tangan ;
4.      Esekusi Hipotik /CV:
Apabila debitur wanprestasi, maka kreditur berhak melakukan eksekusi atas tanah yang dijadikan jaminan.
        9. Hapusnya Hipotik
                  a. Karena hapusnya perikatan pokok ;
                  b. Karena pelepasan hipotik oleh si berpiutang ;
                  c. Karena hapusnya hak atas tanahnya ;

E. Pengaturan jaminan kredit dalam UU No. 4 Th. 1996
Pelaksanaan jaminan kredit berdasarkan UU No. 4 Th. 1996 tentang Hak Tanggungan, sebetulnya tidak ada perbedaan  yang berarti dibandingkan dengan hipotik, yakni :.
1.      Perjanjian pemberian hipotik oleh PPAT dirubah/ diganti menjadi Akte Pemberian Hak Tanggungan (APHT) ;
2.      Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya  dirubah/ diganti menjadi Kantor Pertanahan Nasional Kabupaten/ Kotamadya  ;
3.      Pencatatan APHT pada Kantor Pertanahan ditentukan selama satu minggu
4.      Kantor Pertanahan Nasional mengeluarkan Akte Hak Tanggungan
5.      Prosedur dalam UU, sampai adanya penghapusan Akte Hak Tanggungan yakni apabila pembayaran kredit sudah selesai tanpa adanya wanprestasi, akte hak tanggungan dihapus dari catatan dalam buku tanah pada Kantor Pertanahan Nasional

Aspek Hukum Rumah Susun di Indonesia.
A.    Pendahuluan
                  Pengadaan rumah susun dilakukan karena semakin meningkatnya jumlah penduduk diperkotaan, sedangkan lahan yang tersedia semakin sempit. Dengan pembangunan rumah susun berdasarkan konsep condiminium (pemilikan bersama) dapat mengatasi tempat tinggal para warganya, karena rumah susun yang dibangun secara vertikal dan horizontal.
Dengan pembangunan  rumah susun yang secara vertikal dan horizontal tersebut akan tercapai peningkatan daya guna dan hasil guna tanah, dan dapat memberikan fasilitas perumahan bagi masyarakat ekonomi lemah. Dengan lahan yang terbatas terutama dikota-kota besar seperti Jakarta sebagai ibukota, kota-kota propinsi bahkan mungkin ibukota kabupaten/ kotamadya, dengan membangun perumahan secara vertikal dan horizontal  dapat mengatasi perumahan penduduk yang relatif padat bahkan mungkin sangat padat. 
Pembangunan rumah susun berdasarkan UU No. 16 Th 1985 tentang UURS , yang dilengkapi dengan  PP No. 4 Th. 1988 tentang Rumah Susun , Peraturan Kepala BPHN No. 2 Th. 1989 tentang Bentuk dan Tata Cara Pengisian serta Pendaftaran Akte Pemisahan Rumah Susun dan Peraturan Kepala BPHN Tentang Bentuk dan Tata Cara Pembuatan Buku Tanah serta Penerbitan Hak Milik atas Satuan umah Susun

1.      Pengertian Rumah Susun
Menurut pasal 1 angka 1 UURS : Rumah susun adalah bangunan gedung bertingkat, yang dibangun dalam satu lingkungan, yang terbagi dalam bagian-bagian yang distrukturkan secara fungsional dalam arah vertikal dan horisontal dan merupakan satuan-satuan yang masing-masing dapat dimiliki dan digunakan secara terpisah terutama, terutama untuk tempat hunian yang dilengkapi dengan  bagian bersama, benda bersama dan tanah bersama .[1]
Bagian bersama” adalah bagian-bagian dari rumah susun yang dimiliki bersama secara tidak terpisah oleh semua pemilik satuan rumah susun (SRS) dan diperunukkan pemakaian bersama, seperti lift, tangga, lorong, pondasi, kolom, balok, dinding, lantai, atap, talang air, selasar, saluran-saluran, pipa-pipa, jaringan listri, gas, dan telekommunikasi serta ruang untuk umum.
“Tanah bersama” adalah sebidang tanah tertentu di atas mana bangunan rumah susun berdiri, yang sudah pasti status haknya, batas-batas dan luasnya/ Tanah tersebut bukan milik para pemilik SRS yang ada dilantai dasar, melainkan milik bersama.
“Benda bersama” adalah benda-benda dan bangunan-bangunan yang bukan merupakan bagian dari bangunan gedung rumah susun yang bersangkutan, tetapi  di atas “tanah bersama” dan diperuntukan bagi pemakaian bersama, seperti bangunan tempat ibadah, lapangan parkir, tanaman, tempat bermain dan lain-lainnya. Benda-benda dan bangunan-bangunan tersebut juga merupakan milik bersama yang tidak terpisahkan dari semua pemilik SRS.
Satuan Rumah Susun harus mempunyai sarana penghubung ke jalan umum, tanpa mengganggu dan tidak boleh melalui satuan rumah susun milik orang lain.[2]

2.      Landasan dan Tujuan Pembangunan Rumah Susun .
a.      Landasan Pembangunan Rumah Susun
Pembngunan rumah susun berlandaskan pada asas kesejahteraan keadilan dan pemerataan, serta keserasian dan keseimbangan dalam perikehidupan[3]. Asas kesejahteraan umum dipergunakan sebagai landasan pembangunan rumah susun dengan maksud untuk mewujudkan kesejahteraan lahir bathin bagi seluruh rakyat Indonesia serta adil dan merata berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, melalui pemenuhan kebutuhan akan perumahan sebagai kebutuhan dasar bagi setiap warga Negara Indonesia dan keluarganya. Selanjutnya mengenai asas keadilan dan pemerataan memberikan landasan agar pembangunan rumah susun dapat dinikmati secara merata dan tiap-tiap warga Negara dapat menikmati hasil-hasil pembangunan perumahan yang layak. Sedangkan asas keserasian dan keseimbangan dalam peri kehidupan  mewajibkan adanya keserasian dan keseimbangan antara kepentingan-kepentingan dalam pemanfaatan rumah susun, untuk mencegah timbulnya kesenjangan-kesenjangan sosial. [4]

b.      Tujuan Pembangunan Rumah Susun
Pembangunan Rumah Susun, bertujuan tujuan untuk  [5]:
a)      memenuhi kebutuhan perumahan yang layak bagi rakyat, terutama golongan masyarakat yang berpenghasilan rendah, yang  menjamin kedpastian hukum dalam pemanfatannya ;
b)      meningkatkan daya guna dan hasil guna tanah di daerah perkotaan dengan memperhatikan kelestarian sumber daya alam dan menciptakan lingkungan pemukiman yang lengkap, serasi dan seimbang ;
Yang dimaksudkan dengan perumahan yang layak adalah perumahan yang memenuhi syarat-syarat teknik, kesehatan, keamanan, keselamatan,  dan norma-norma sosial budaya.
Mengenai  peningkatan daya guna dan hasil guna tanah di daerah perkotan harus sesuai dengan tata ruang kota dan tata daerah serta tata guna tanah demi keserasian dan keseimbangan. Selanjutnya pembangunan rumah susun untuk kepentingan bukan hunian, harus mendukung berfungsinya pemukiman dan dapat memberikan kemudahan-kemudahan bagi kehidupan masyarakat.

3.      Pengaturan dan Pembinaan Rumah Susun  
Pengaturan dan Pembinaan Rumah Susun, berupa : Arah kebijaksanan , wewenang dan tanggung jawab, rumah susun untuk hunian dan bukan hunian [6].
Arah kebijaksanaan menentukan, tentang pengaturan kebijakan pembinaan runah susun diarahkan untuk dapat meningkatkan usaha pembangunan perumahan dan pemukiman yang fungsional bagi kepentgingan rfakyat banyak , untuk  :
a.       mendukung konsepsi tata ruang yang dikaitkan dengan pengembangan pembangunan daerah perkotaan kea rah vertikal dan untuk meremajakan daerah-daerah kumuh ;
b.      meningkatkan optimasi  sumber daya tanah perkotaan
c.       mendorong pemukiman yang berkepadatan tinggi.
Landasan pengaturan dan pembinaan rumah susun adalah  berupa :
a.             Kebijaksanan umum
b.            Kebijaksanaan tehnis dan kebijaksanaan operasional yang digariskan oleh masing-masing Instansi yang berwenang.
            Mengenai kebijaksanaan umum, yakni penyusunan rencana jangka panjang dan jangka pendek pembangunan rumah susun dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah yang bersangkutan berdasarkan kebijaksanaan dan Pedoman Pemerintah Pusat. Sedangkan terkait dengan kebijaksanaan teknis dan kebijaksanaan operasional, adalah pengaturan dan pembinaan rumah susun meliputi ketentuan-ketentuan mengenai persyaratan teknis dan administratif pembangunan rumah susun, izin layak huni, pemilikan satuan rumah susun, penghunian, pengelolaan dan tata cara pengawasannya.
Pembangunan rumah susun pengembangannya adalah merupakan  wewenang dan tanggung jawab  Pemerintah Pusat. Untuk menjalankan tugas tersebut dilakukan oleh Menteri yang ditunjuk. Sedangkan pembinaan yang bekarakterisik local dan berfhubungan dengan tata kota ddan tata daerah menjadi wewenag dan tanggung jawab Pemda sesuai UU No. 32 Th. 2004

B.     Pembangunan Rumah Susun
1.      Pelaksana pembangunan rumah susun.
            Rumah susun dibangun sesuai dengan tingkat keperluan dan kemampuan masyarakat terutama bagi yang berpenghasilan rendah. Pembangunan rumah susun dapat diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara atau Daerah, Koperasi dan Badan Usaha Milik Swasta yang bergerak dalam bidang itu, serta Swadaya Masyarakat [7] 
2.      Status tanah untuk pembangunan rumah susun .
  Pembangunan rumah susun hanya dapat dibangun di atas tanah hak milik , hak guna bangunan dan hak pakai atas tanah Negara atau hak pengelolaan . Dalam hal penyelenggarakan pembangunan rumah susun di atas tanah hak pengelolaan wajib menyelesaikan status hak guna bangunan, sebelum menjual satuan rumah susun (sarusun) ybs. Penyelenggaraan pemabangunan wajib memisahkan rumah susun atas satuan dan bagian bersama dalam bentuk gambar dan uraian yang disahkan oleh instansi yang berwenang.
3.      Persyaratan Tehnis dan Administratif Pembangunan Rumah Susun .
            Secara umum bahwa persyaratan teknis yakni di dalam perencanaan harus dapat dengan jelas ditentukan dan dipisahkan masing-masing satuan rumah susun serta nilai perbandingan proporsionalnya. Namun juga memperhatikan persyaratan teknis bangunan yakni persyaratan mengenai struktur bangunan, keamanan, keselamatan, kesehatan, kenyamanan, dan lain-lain yang berhubungan dengan rancang bangun, termasuk kelengkapan prasarana dan fasilitas lingkungan, yang diatur dengan peraturan perundang-undangan serta disesuaikan dengan kebutuhan dan perkembangan.           
      Selanjutnya yang dimaksud dengan nilai perbandingan proporsional adalah  angka yang menunjukkan perbandingan antara satuan rumah susun terhadap hak-hak atas bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama dihitung berdasakan luas atau nilai satuan rumah susun yang bersangkutan terhadap jumlah luas bangunan atau nilai rumah susun secara keseluruhan pada waktu penyelenggaraan pembangunan untuk pertama kali memperhitungkan biaya pembangunannya secara keseluruhan untuk menentukan harga jualnya.
      Mengenai rencana yang menunjukkan satuan rumah susun, harus berisi rencana tapak beserta denah dan potongan yang menunjukkan dengan jelas batasan secara vertical dan horizontal dari satuan rumah susun yang dimaksud. Selanjutnya pemilikan bersama harus digambarkan secara jelas dan mudah dimengerti oleh semua pihak dan ditunjukkan dengan gambar dan uraian tertulis yang terperinci. 
                     Disamping persyaratan secara umum, dalam pembangunan rumah susun juga harus memenuhi persyaratan teknis dan administratif yang diatur dalam Peraturan Pemerintah. [8]          
            Mengenai persyaratan teknis, meliputi :
a.       Ruang .
Semua ruang yang dipergunakan untuk kegiatan sehari-hari harus mempunyai hubungan langsung maupun tidak langsung dengan udara luar dan pencahayaaan langsung maupun tidak langsung secara alami dalam jumlah yang cukup, sesuai dengan persyaratan yang berlaku. Selanjutnya dalam hal hubungan langsung maupun tidak langsung  dengan udara luar dan pencahayaan langsung maupun tidak langsung secara alami, tidak mencukupi atau tidak memungkinkan harus diusahakan adanya pertukaran udara dan pencahayaan buatan yang dapat bekerja terus menerus selama ruangan tersebut dipergunakan, sesuai dengan persyaratan yang berlaku.(pasal 11)
b.      Struktur, Komponen dan Bahan Bangunan.
Rumah susun harus direncanakan dan dibangun dengan struktur, komponen dan penggunaan bahan bangunan yang memenuhi persyaratan konstruksi sesuai dengan standar yang berlaku.
Mengenai struktur, komponen dan penggunaan bangunan rumah susun harus diperhitungkan kuat dan tahan terhadap :
1). Beban mati ;
2). Beban bergerak ;
3). Gempa, hujan, angin, banjir ;
4).      Kebakaran dalam waktu yang diperhitungkan cukup untuk usaha pengamanan dan penyelamatan ;
5). Daya dukung tanah ;
6).     Kemungkinan adanya beban tambahan, baik dari arah vertikal maupun horizontal ;
7).     Gangguan/ perusak lainnya, sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
                    c. Kelengkapan rumah susun
                          Rumah susun harus dilengkapi dengan :
                          1). Jaringan air bersih yang memenuhi persyaratan mengenai perpipaan dan perlengkapannya termasuk meter air, pengatur tekanan air, dan tangki air dalam bangunan ;
                          2).     Jaringan listrik yang memenuhi persyaratan mengenai kabel dan perlengkapannya, termasuk meter listrik dan pembatas arus, serta pengamanan terhadap kemungkinan timbulnya hal-hal yang membahayakan ;
                          3). Jaringan gas yang memenuhi persyaratan beserta perlengkapannya termasuk meter gas, pengatur arus, serta pengaman terhadap kemungkinan timbulnya hal-hal yang membahayakan ;
                          4). Saluran pembuangan air hujan yang memenuhi penyaratan kualitas, kuantitas dan pemasangan ;
                          5). Saluran pembuangan air limbah yang memenuhi persyaratan kualitas, kuantitas dan pemasangan ;
                          6). Saluran dan/ atau tempat pembuangan sampah yang memenuhi persyaratan terhadap kebersihan, kesehatan dan kemudahan ;
                          7).     Tempat untuk kemungkinan pemasangan jaringan telepon dan alat komunikasi lainnya ;
                          8).     Alat transportasi yang berupa tangga, lift atau eskalator sesuai dengan tingkat keperluan dan persyaratan yang berlaku ;
                          9).     Pintu dan tangga darfurat kebakaran ;
                      10). Tempat jemuran ;
                      11). Alat pemadam kebakaran ;
                      12). Penangkal petir ;
                      13). Alat/ system alarm ;
                     14). Pintu kedap asap pada jarak-jarak tertentu ;
                     15). Generator listrik disediakan untuk rumah susun yang menggunakan lift. (pasal 14)
                          Bagaian-bagian dari  kelengkapan seperti tersebut di atas yang merupakan hak bersama harus ditempatkan didinding dan dilindungi untuk menjamin fungsinya sebagai bagian bersama dan mudah dikelola.
d. Satuan rumah susun (sarusun).
                          Satuan rumah susun (sarusun) harus mempunyai ukuran standar yang dapat dipertanggung-jawabkan dan memenuhi persyaratan sehubungan dengan fungsi dan penggunaannya serta harus disusun dan dikoordinasikan untuk dapat mewujudkan suatu keadaan yang dapat menunjang kesejahteraan dan kelancaran bagi penghuni dalam menjalankan kegiatan sehari-hari untuk hubungan kedalam atau keluar (psl. 16 )
                    e. Bagian bersama dan benda bersama
                                    Bagian bersama yang berupa ruang untuk umum, ruang tangga, lift, selasar harus mempunyai ukuran yang mempunyai persyaratan dan diatur serta dikoordinasikan untuk dapat memberikan kemudahan bagi penghuni dalam melakukan kegiatan sehari-hari baik dalam hubungan sesama penghuni, maupun dengan pihak-pihak lain, dengan memperhatikan keserasian, keseimbangan dan keterpaduan. (pasal 20)
                                    Selanjutnya benda bersama tersebut harus mempunyai dimensi, lokasi, kualitas, kapasitas yang memenuhi persyaratan dan diatur serta dikoordinasikan untuk dapat memberikan keserasian lingkungan guna menjamin keamanan dan kenikmatan para penghuni maupun pihak-pihak lain, dengan memperhatikan keselarasan, keseimbangan dan keterpaduan (pasal 21)
                    f.  Lokasi pembangunan rumah susun.
                          1).      Dalam pembangunan rumah susun harus dibangun di lokasi yang sesuai dengan peruntukan dan keserasian lingkungan dengan memperhatikan rencana tata ruang dan tata guna tanah yang ada.
                          2). Dibangun pada lokasi yang memungkinkan berfungsinya dengan baik saluran-saluran pembuangan dalam lingkungan ke system jaringan pembuangan air hujan dan jaringan air limbah kota.
                          3).      Mengenai lokasi pembangunan rumah susun harus mudah dicapai angkutan yang diperlukan, baik langsung maupun tidak langsung pada waktu pembangunan maupun penghunian serta perkembangan di masa mendatang, dengan memperhatikan kemanan, ketertiban dan gangguan pada lokasi sekitarnya.
                          4).      Lokasi rumah susun harus dijangkau oleh pelayanan jaringan air bersih dan listrik ;
                          5).      Apabila lokasi tersebut belum dapat dijangkau oleh pelayanan jaringan air bersih dan listrik, penyelenggara pembangunan wajib menyediakan secara tersendiri sarana air bersih dan listrik sesuai dengan tingkat keperluannya, dan dikelola berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

                    g. Kepadatan dan Tata Letak Bangunan
                          Dalam pembangunan rumah susun, hendaknya memperhatikan kepadatan bangunan dalam lingkungan, yakni  harus memperhitungkan dapat dicapainya optimasi daya guna dan hasil guna tanah sesuai dengan fungsinya, dengan memperhatikan  keserasian dan keselamatan lingkungan sekitarnya, berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku (pasal 23). Oleh karenanya tata letak bangunan harus menunjang kelancaran kegiatan sehari-hari dengan mempertimbangkan keserasian, keseimbangan dan keterpaduan. Disamping iitu juga tata letak bangunan harus memperhatikan penetapan batas pemilikan tanah bersama, segi-segi kesehatan, pencahayaan, pertukaran udara, serta pencegahan dan pengamanan terhadap bahaya yang mengancam keselamatan penghuni, bangunan, dan lingkungannya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (pasal 24).

                    h. Prasarana Lingkungan
                          Lingkungan rumah susun harus dilengkapi dengan prasarana lingkungan yang berfungsi sebagai penghubung untuk keperluan kegiatan sehari-hari bagi penghuni, baik ke dalam maupun ke luar dengan penyediaan jalan setapak, jalan kendaraan, dan tempat parkir. Dalam penyediaan prasarana lingkungan, harus mempertimbangkan kemudahan dan keserasian hubungan dalam kegiatan sehari-hari dan pengamanan bila terjadi hal-hal yang membahayakan, serta struktur, ukuran, dan kekuatan yang cukup sesuai dengan fungsi dan penggunaan jalan tersebut (psl.25)
                          Di dalam lingkungan rumah susun harus pula dilengkapi dengan prasarana lingkungan dan utilitas umum yang sifatnya menunjang fungsi lainnya yang meliputi :
                          1). Jaringan distribusi air bersih, gas, dan listrik dengan segala kelengkapannya termasuk kemungkinan diperlukannya tangki-tangki air, pompa air, tangki gas dan gardu-gardu listrik ;
                          2).     Saluran pembuangan air hujan yang menghubungkan pembuangan air hujan dari rumah susun ke system jaringan pembuangan air ;
                          3).     Saluran pembuangan air limbah dan/ atau tangki septic yang menghubungkan pembuangan air limbah dari rumah susun ke system jaringan air limbah kota, atau penampungan air limbah tersebut ke dalam tangki septic dalam lingkungan.
                          4).     Tempat pembuangan sampah yang fungsinya adalah sebagai tempat pengumpulan sampah dari rumah susun untuk selanjutnya dibuang ke tempat pembuangan sampah kota, dengan memperhatikan faktor-faktor kemudahan pengangkutan, kesehatan, kebersihan dan keindahan ;
                          5). Kran-kran air untuk pencegahan dan pengamanan terhadap bahaya kebakaran yang dapat menjangkau semua tempat dalam lingkungan dengan kapasitas air yang cukup untuk pemadam kebakaran ;
                          6).     Temapt parfkir kendaraan dan/ atau penyimpanan barang yang diperhitungkan terhadap kebutuhan penghuni dalam melaksanakan kegiatan-kegiatannya sesuai dengan fungsinya ;
                          7). Jaringan telepon dan alat komunikasi lain sesuai dengan tingkat keperluannya. (pasal 26).
i.        Fasilitas lingkungan
      Dalam rumah susun dan lingkungannya harus disediakan ruangan-ruangan dan/ atau bangunan untuk tempat berkumpul, melakukan kegiatan masyarakat, tempat bermain bagi anak-anak, dan kontak lainnya, sesuai dengan standar yang berlaku.(pasal 27) Selain hal tersebut di atas, harus disediakan pula ruangan dan/ bangunan untuk pelayanan kebutuhan sehari-hari sesuai dengan standar yang berlaku (pasal 28).    
                    j. Persyaratan administratif
               1). Rumah susun dan lingkungannya harus dibangun dan dilaksanakan berdasarkan perizinan yang diberikan oleh Pemerinah Daerah sesuai dengan peruntukannya. Persyaratan mengenai perizinan usaha dari perusahaan pembangunan perumahan, izin lokasi, dan/atau  izin peruntukannya, perizinan mendirikan bangunan (IMB) ;
               2).      Perizinan diajukan oleh penyelenggara pembangunan kepada Pemerintah Daerah dengan melampirkan persyaratan-persyaratan sebagai berikut :
a)      sertifikat hak atas tanah ;
b)      fatwa peruntukan tanah ;
c)      rencana tapak ;
d)     gambar rencana arsitektur yang memuat denah potongan beserta pertelaannya yang menunjukkan dengan jelas secara vertikal dan horizontal dari satuan rumah susun ;
e)      gambar rencana struktur beserta perhitungannya ;
f)       gambar rencana yang menunjukkan dengan jelas bagian bersama, benda bersama dan tanah bersama ;
g)      gambar rencana jaringan dan instalasi beserta perlengkapannya.
            Setelah memperoleh izin, penyelenggara pembangunan wajib meminta pengesahan dari Pemerintah Daerah atas pertelaaan yang menunjukkan batas yang jelas dari masing-masing satuan rumah susun, bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama beserta uraian nilai perbandingan proporsionalnya (pasal 31);
Dalam hal terjadi perubahan rencana peruntukan dan pemanfaatan rumah  susun, harus mendapat izin dari Pemerintah Daerah sesuai dengan persyaratan yang ditentukan dan telah memperoleh pengesahan atas perubahan dimaksud serta pertelaannya dan uraian nilai perbandingan proposionalnya. Untuk perubahan rencana peruntukan dan pemanfaatan suatu bangunan gedung bertingkat menjadi rumah susun, harus mendapat izin dari Pemerintah Daerah ; Sedangkan apabila perubahan terjadi pada saat pelaksanaan pembangunan, penyelenggara pembangunan wajib meminta izin dan pengesahan terhadap perubahan yang dimintakan kepada instansi yang berwenang. Namun dalam hal terjadi perubahan struktur bangunan dan instalasi terhadap rumah susun yang telah dibangun, pemilik wajib meminta izin dan pengesahan mengenai perubahan tersebut kepada intansi yang berwenang.

            C. Izin Layak Huni
1.    Penyelenggara pembangunan rumah susun wajib mengajukan permohonan izin layak huni setelah menyelesaikan pembangunannya sesuai dengan perizinan yang telah diberikan dengan menyerahkan gambar-gambar dan ketentuan teknis yang terperinci. Berdasarkan permohonan tersebut Pemda memberikan izin layak huni setelah diadakan pemeriksaan terhadap rumah susun yang telah selesai dibangun berdasarkan persyaratan dan ketentuan perizinan yang telah diterbitkan.  Selanjutnya penyelenggara wajib menyerahkan dokumen-dokumen perizinan beserta gambar-gambar dan ketentuan-ketentuan tehnis yang terperinci kepada perhimpunan penghuniyang telah dibentuk beserta :
a.       Tata cara pemanfaatan / penggunaan, pemeliharaan, perbaikan dan kemungkinan-kemungkinan dapat diadakannya perubahan pada rumah susun maupun lingkungannya ;
b.      Uraian dan catatan singkat yang bersifat hal-hal khusus yang perlu diketahui oleh para penghuni, pemilik, pengelola, dan pihak-pihak lain yang bekepntingan (pasal 35 PP )
Dalam hal izin layak huni tidak diberikan, penyelenggara pembangunan rumah susun dapat mengajukan keberatan kepada Gubernur Kepala Daerah Tk.I yang akan memberikan keputusan mengikat. (pasal 36 PP).
Mengenai tata cara perizinan diatur dalalam peraturan Daerah, yang berlaku setelah mendapat pengesahan dari pejabat yang berwenang.
                         
E.     Kepemilikan Satuan Rumah Susun
Satuan rumah susun dapat dimiliki oleh perseorangan atau badan hukum yang memenuhi syarat sebagai pemegang hak atas tanah. Hak milik atas satuan rumah susun adalah hak milik atas satuan yang bersifat perseorangan dan terpisah. Hak milik atas satuan rumah susun meliputi juga hak atas bagian bersama, benda bersama dan tanah bersama yang kesemuanya merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan satuan yang bersangkutan. Hak atas bagian bersama, benda bersama dan hak atas tanah bersama didasarkan atas luas atau nilai satuan rumah susun yang bersangkutan tersebut diperoleh pemiliknya yang pertama. (pasal 8 UURS)
Batas – batas kepemilikan satuan rumah susun sebagai berikut   :
1.      Hak milik atas satuan rumah susun meliputi hak pemilikan perseorangan yang digunakan secara terpisah, hak bersama atas bagian-bagian bangunan, hak bersama atas benda, hak bersama atas tanah, semuanya merupakan satu kesatuan hak yang secara fungsional tidak terpisahkan ;
2.      Hak pemilikan perseorangan, merupakan ruangan dalam bentuk geometric tiga dimensi yang tidak selalu dibatasi oleh dinding ;
3.      Dalam hal ruangan dibatasi dinding, permukaan bagian dalam dari dinding pemisah, permukaan bagian bawah dari langit-langit struktur, permukaan bagian atas dari lantai terstruktur, merupakan batas pemilikannya ;
4.      Dalam hal ruangan sebagian tidak dibatasi dinding, batas permukaan dinding bagian luar yang berhubungan langsung dengan udara luar yang ditarik secara vertikal merupakan kepemilikannya ;
5.      Dalam hal ruangan keseluruhannya tidak dibatasi dinding, garis batas yang ditentukan dan ditarik secara vertikal yang penggunaannya sesuai dengan peruntukannya, merupakan batas kepemilikannya ; (pasal 41 PP)
Sebagai tanda bukti hak milik atas satuan rumah susun diterbitkan sertifikat Hak milik Satuan rumah susun (HMSRS)
Sertifikat hak milik atas atas satuan rumah susun terdiri atas :
a.    Salinan buku tanah dan surat ukur atas Hak Tanah Bersama ;
b.   Gambar denah tingkat rumah susun ybs., yang menunjukkan satuan rumah susun yang dimiliki ;
c.    Pertelaan mengenai besarnya bagian hak atas bagian bersama,  benda bersama dan tanah bersama ybs.
Terhadap hak milik satuan rumah susun dapat beralih dengan cara pewarisan atau dengan cara pemindahan hak .
Selanjutnya untuk pengalihkan dilakukan dengan akta PPAT dan didaftarkan pada Kantor Pertanahan Kabupaten/ Kotamadya (pasal 10 UURS). 
Dalam pemindahan hak milik atas satuan rumah susun, dan pendaftaran peralihannya dilakukan dengan menyampaikan :
a.       Akta PPAT atau Berita Acata Lelang ;
b.      Sertifikat hak milik atas satuan rumah susun  yang bersangkutan ;
c.       Anggaran Dasar rumah Tangga himpunan penghuni ‘
d.      Surat-surat lainnya yang diperlukan untuk pemindahan hak.
Dalam hal pewarisan hak milik atas satuan rumah susun, pendaftaran perfalihan haknya dilakukan dengan menyampaikan :
a.       Sertifikat hak milik atas satuan rumah susun ;
b.      Surat keterangan kematian pewaris ;
c.       Surat wasiat atau surat keterangan waris sesuai dengan keteranganhukum yang berlaku
d.      Bukti kewarganegaraan ahli waris ;
e.       Anggaran dasar dan Anggaran Rumah Tangga perhimpunan penghuni ;
f.       Surat-surat lainnya yang diperlukan untuk pewarisan  (pasal 42 PP).

Pemerintah memberikan kemudahan bagi golongan masyarakat berpenghasilan rendah untuk memperoleh dan memiliki satuan rumah susun . Untuk memperoleh satuan rumah susun bagi golongan berpenghasilan rendah diatur dengan Peraturan pemerintah (pasal 11 UURS). Hal tersebut juga dipertegas lagi dalam pasal 53 PP No. 4 Th. 1998, yakni kepada golongan masyarakat yang benghasilan rendah yang berkehendak untuk memiliki rumah susun sederhana dapat dibrikan kemudahan baik langsung maupun tidak langsung. Mengenai pelaksanaannya diatur lebih lanjut oleh Menteri yang bertanggung jawab di bidang pembangunan perumahan dan Menteri lain yang terkait serta Pemerintah Daerah yang bersangkutan sesuaui dengan tugas masing-masing.

F.      Pembebanan dengan Hipotik (sekarang Hak Tanggungan) dan Fidusia.
Rumah susun berikut tanah tempat bangunan itu berdiri serta benda-benda lainnya yang merupakan satu-kesatuan dengan tanah tersebut dapat dijadikan jaminan hutang dengan :
a.       Dibebani hipotik (hak tanggungan), jika tanahnya hak milik atau hak guna bangunan . Hak Tanggungan diatur dalam UU No. 4 Th. 1996 tentang Hak tanggungan ;
b.      Dibebani Fidusia, jika tanahnya  tanah hak pakai atas tanah Negara . Fidusia diatur dalam UU No. 42 Th. 1999 tentang Jaminan Fidusia.
Hipotik (hak tanggungan) atau fidusia dapat juga dibebankan atas tanah beserta rumah susun yang akan dibangun sebagai jaminan pelunasan kredit untuk membiayai pembangunan rumah susun yang telah direncanakan di atas tanah yang bersangkutan dan yang pembebanan kreditnya dilakukan secara bertahap sesuai dengan pelaksanaan pembangunan rumah susun tersebut. (Pasal 12 UURS)
Dengan demikian, maka hak milik atas satuan rumah susun dapat dijadikan jaminan hutang dengan :
a). dibebani hipotik (hak tanggungan), jika tanahnya hak milik atau hak guna bangunan ;
b). dibebani fidusia, jika tanahnya tanah hak pakai atas tanah Negara ; (pasal 13 UURS)
Pemberian hipotik (hak tanggungan) dilakukan dengan akta  PPAT, dan wajib didaftarkan ke Kantor Pertanahan kabupaten/ Kodya untuk dicatat pada buku tanah dan sertifikat tanah yang bersangkutan. Untuk pendaftaran hipotik (tanggungan)  ke Kantor Pertanahan, sesuai pasal 43 PP, dilampirkan :
a.       Sertifikat hak milik atas satuan rumah susun yang bersangkutan ;
b.      Akta pembebanan hipotik (hak tanggungan) ;
c.       Surat-surat lainnya yang diperlukan untuk pembebanan 
 Dalam akte hipotik (akta hak tanggungan) dapat dicantumkan janji-janji yang berlaku juga bagi pihak ketiga. Sebagai tanda bukti adanya hipotik (hak tanggungan) diterbitkan sertifikat hipotik (sertifkat hak tanggungan), yang terdiri dari salinan buku tanah hipotik (hak tanggungan) dan salinan akta PPAT. Tanggal buku tanah hipotik (hak tanggungan) adalah tanggal yang ditetapkan 7 (tujuh) hari setelah penerimaan secara lengkap surat-surat yang diperlukan bagi pendaftarannya   oleh Kantor Pertanahan Kabupaten/ Kotamadya yang bersangkutan, atau jika hari ke tujuh itu jatuh hari libur, maka buku tanah yang bersangkutan diberi bertanggal hari kerja berikutnya. Sertifikat hipotik (hak tanggungan) mempunyai kekuatan eksekutorial dan dapat dilaksanakan sebagai putusan pengadilan, (pasal 14 UURS). Selanjutnya sertifikat hipotik (hak tanggungan)  yang bersangkutan dapat diserahkan kepada kreditur atas persetujuan yang berhak (pasal 44 PP)
Pemberian fidusia dilakukan dengan akta PPAT dan wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan Kabupaten/ Kotamadya untuk dicatat pada buku tanah dan sertifikat hak yang bersangkutan  (pasal 15 UURS). Namun setelah keluarnya Undang-Undang Jaminan Fidusia  maka pendaftaran Akta Fidusia adalah ke Kantor Pendaftaran Fidusia sesuai pasal 12 ayat (1) Undang-Undang Jaminan Fidusian (UUJF)  No. 42 Th. 1999
Dalam hal terjadi pembebanan atas satuan rumah susun, pendaftaran hipotik (hak tanggungan) atau fidusia dilakukan dengan menyampaikan (pasal 43 PP):
a.       Sertifikat hak milik atas satuan rumah susun yang bersangkutan ;
b.      Akta pembebanan fidusia ;
c.       Surat-surat lainnya yang diperlukan untuk pembebanan 
Setelah menerima berkas-berkas pendaftaran  , Kantor Pertanahan Kabupaten/ Kotamadya, membukukan dan mencatat peralihan hak tersebut dalam Buku Tanah dan pada serifikat hak milik atas satuan rumah susun yang bersangkutan untuk diberikan sertifikat kepada yang berhak.
Dalam pemberian hipotik (hak tanggungan) atau fidusia dapat diperjanjikan bahwa pelunasan hutang yang dijamin dengan hipotika (hak tanggungan) atau fidusia itu dapat dilakukan secara angsuran sesuai dengan tahap penjualan satuan rumah susun, yang besarnya sebanding dengan nilai satuan yang terjual. Dalam hal pembayaran dilakukan pelunasan, maka satuan rumah susun yang harganya telah dilunasi tersebut bebas dari hipotik (hak tanggungan) atau fidusia yang semula membebaninya. (pasl 16 UURS)
Atas kesepakatan pemberi dan pemegang hipotik (hak tanggungan) atau fidusia eksekusi hipotik (hak tanggungan) atau fidusia yang bersangkutan dapat dilaksanakan di bawah tangan jika dengan cara demikian akan dapat diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan semua pihak. Mengenai pelaksanaan penjualan, baru dapat dilakukan setelah lewat satu bulan sejak diberitahukan secara tertulis kepada pihak-pihak yang berkepentingan dan diumumkan dalam dua surat kabar yang beredar di daerah yang bersangkutan, dan/ atau media masa cetak setempat , tanpa ada pihak yang menyatakan  keberatan. (pasal 17 UURS

G.    Perubahan dan Penghapusan Hak Kepemilikan
      Pembangunan beberapa rumah susun yang direncanakan pada sebidang tanah dengan system pemilikan perseorangan dan hak bersama, dan telah mendapat izin dapat dilaksanakan secara bertahap sepanjang tidak mengubah nilai perbandingan proporsionalnya. (pasal 46 PP) . Namun dalam hal terjadi perubahan rencana dalam pembangunan untuk tahap berikutnya, yang mengakibatkan kenaikan nilai perbandingan proporsionalnya, perubahan tersebut oleh penyelenggara pembangunan harus diberitahukan kepada perhimpunan penghuni, dan dalam tersebut diadakan perhitungan kembali. Selanjutnya dengan adanya perubahan tersebut mengakibatkan penurunan nilai perbandingan proporsionalnya, perubahan tersebut oleh penyelenggara pembangunan harus dimintakan persetujuan kepada perhimpunan penghuni , dan dalam hal tersebut diadakan perhitungan kembali, Terhadap perubahan tersebut harus disahkan kembali oleh Pemerintah Daerah dan didaftarkan kembali ke Kantor Pertanahan Kab/ Kodya.  Apabila perhimpunan penghuni tidak memberikan persetujuan, penyelenggara pembangunan dapat mengajukan keberatan-keberatan kepada Pemda dan dalam jangka waktu 30 hari Pemda memberikan keputusan terakhir dan mengikat. Apabila perubahan tidak jadi dilaksanakan penyelenggara pembangunan wajib memperhitungkan kembali nilai perbandingan proporsionalnya sebagaimana semula, dan dimintakan pengesahan serta didaftarkan kembali (pasal 47 PP)
Apabila terjadi rencana perubahan fisik rumah susun yang mengakibatkan perubahan nilai perbandingan proporsional harus mendapat persetujuan dari perhimpunan penghuni. Selanjutnya persetujuan perhimpunan penghuni dipergunakan sebagai dasar di dalam membuat akta perubahan pemisahan. Akta perubahan pemisahan memuat perubahan-perubahan dalam pertelaaan yang mengandung perubahan nilai perbandingan proporsional. Akta perubahan pemisahan harus didaftarkan pada kantor Pertanahan Kabupaten  atau Kotamadya untuk dijadikan dasar dalam mengadakan perubahan dalam buku tanah dan sertifikat-sertifikat hak milik satuan rumah susun yang bersangkutan (psl 48 PP).
Dalam hal terjadi perubahan atas satuan rumah susun yang dimiliki oleh perseorangan secara terpisah perubahan tersebut tidak boleh menimbulkan kerugian bagi pemilik lainnya . Perubahan tersebut harus diberitahunan kepada perhimpunan penghuni dan dilakukan sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang ditetapkan oleh perhimpuan penghuni serta persyaratan teknis pembangunan lainnya yang berlaku. (pasal 49 PP).
Hak milik satuan rumah susun hapus karena :
1).     Hak atas tanahnya hapus menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku ;
2). Tanah dan bangunannya musnah ;
3). Terpenuhinya syarat batal ;
4). Pelepasan hak secara sukarela (pasal 50 PP).
Apabila hak milik atas satuan rumah susun hapus, karena tanah dan bangunanya musnah, dan terpenuhinya syarat batal, setiap pemilik hak atas satuan rumah susun berhak memperoleh bagian atas milik bersama terhadap bagian bersama, benda bersama dan tanah bersama sesuai dengan nilai perbandingan proporsionalnya dengan melihat kenyataan yang ada. (pasal 51) .
Sebelum Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai atas Negara yang di atasnya berdiri rumah susun haknya berakhir, para pemilik melalui perhimpunan penghuni mengajukan permohonan perpanjangan atau pembaharuan hak atas tanah tersebut sesuai dengan perundangan yang berlaku. (pasal 52).

H.    Penghunian dan Pengelolan Satuan Rumah Susun
1.      Penghunian Rumah Susun
Satuan rumah susun yang telah dibangun baru dapat dijual untuk dihuni setelah mendapat izin kelayakan untuk dihuni dari Pemerintah Daerah yang bersangkutan (pasal 18)
Penghuni rumah susun,  wajib membentuk Perhimpunan Penghuni untuk mengurus kepentingan bersama para pemilik / penghuni rumah susun .Terhadap perhimpunan penghuni tersebut dapat diberi kedudukan sebagai badan hukum. Perhimpunan penghuni tersebut  mempunyai kewajiban untuk mengurus kepentingan bersama para pemilik dan penghuni yang bersangkutan dengan pemilikan dan penghuniannya. Selanjutnya untuk dapat menjalankan tugas tersebut perhimpunan penghuni dapat membentuk atau menunjuk badan pengelola yang bertugas untuk menyelenggarakan pengelolaan yang meliputi pengawasan penggunaan bagian bersama, benda bersama, tanah bersama, dan pemelihaan serta perbaikannya (pasal 19)
Para penghuni dalam lingkungan rumah susun baik untuk hunian maupun bukan untuk hunian, wajib membentuk perhimpunan penghuni untuk mengatur dan mengurus kepentingan bersama yang bersangkutan sebagai pemilikan, penghunian dan pengelolaanya. Pembentukan perhimpunan penghuni dilakukan dengan pembuatan Akta yang disyahkan oleh Bupati atau WalikotamadyaKepala Dati II dan untuk Daerah Khusus Ibukota Jakarta oleh Gubernur Kepala Daerah Tk.I. Perhimpunan penghuni dapat mewakili para penghuni dalam melakukan perbuatan hukum baik ke dalam maupun keluar Pengadilan  (pasal 54 PP).
Anggota perhimpunan penghuni adalah subyek hukum yang memiliki atau memakai, atau menyewa, atau menyewa beli atau yang memanfaatkan satuan rumah susun bersangkutan yang berkedudukan sebagai penghuni . Selanjutnya dalam hal perhimpunan penghuni memutuskan sesuatu yang menyangkut pemilikan rumah susun dan pengelolaan rumah susun, setiap pemilik hak atas tanah satuan rumah susun mempunyai suara yang sama dengan nilai perbandingan proporsional. Dalam hal perhimpunan penghuni memutuskan yang menyangkut kepentingan penghunian rumah susun, setiap pemilik hak atas satuan rumah susun diwakili oleh satu suara.(pasal 55 PP).
Perhimpunan penghuni mempunyai fungsi :
1). Membina terciptanya kehidupan lingkungan yang sehat, tertib dan aman ;
2). Mengatur dan membina kepentingan penghuni ;
3). Mengelola rumah susun dan lingkungannya ;
4). Menunjuk atau membentuk dan mengawasi badan pengelola dalam pengelolaan rumah susun dan lingkungannya ;
5). Menyelenggarakan pembukuan dan administrasi keuangan secara terpisah sebagai kekayaan perhimpunan penghuni ;
6). Menetapkan sanksi terhadap pelanggaran yang telah ditetapkan dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga.(pasal 59 PP) .
Tata tertib penghunian rumah susun disusun berdasarkan :
1). Undang-undang Rumah Susun beserta peraturan pelaksanaannya ;
2).     Peraturan perundang-undangn lain yang terkait ;
3). Kepentingan pengelolaan rumah susun sesuai ketentuan-ketentuan tehnis ;
4).     Kepentingan penghuni sehubungan dengan jaminan hak, kebutuhan-kebutuhan khusus, keamanan, dan kebebasan sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku (pasal 60)

Hak dan kewajiban serta larangan bagi penghuni :
1). Setiap penghuni berhak :
a). memanfaatkan rumah susun dan lingkungannya termasuk bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama secara aman dan tertib ;
b).   mendapatkan perlindungan sesuai dengan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga;
c).    memilih dan dipilih menjadi Anggota Penggurus perhimpunan Penghuni.
                        2). Setiap penghuni berkewajiban :
                                 a).    mematuhi dan melaksanakan peraturan tata trertib dalam rumah susun dan lingkungannya sesuai dengan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga ; 
                                 b).   membayar iuran pengelolaan dan premi asuransi kebakaran ;
                                 c).    memelihara rumah susun dan lingkungannya termasuk bagian bersama, benda bersama dan tanah bersama ;
                 3). Setiap penghuni dilarang :
                                 a).    melakukan perbuatan yang membahayakan keamanan, ketertiban, dan keselamatan terhadap penghuni lain, dan lingkungannya ;
                                 b).   mengubah bentuk dan/ atau menambah bangunan di luar satuan rumah susun yang dimiliki tanpa mendapat persetujuan perhimpunan penghuni. (pasal 61 PP)
                  2. Pengelolaan rumah susun
                          Pengeloaan rumah susun meliputi kegiatan-kegiatan operasional yang berupa pemeliharaan, perbaikan dan pembangunan prasarana lingkungan, serta fasilitas social, bagian bersama, benda bersama dan tanah bersama (pasal 62 PP). Apabila pengelolaan terhadap rumah susun tersebut dilakukan oleh penghuni atau pemilik, harus sesuai dengan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga yang ditetapkan oleh Perhimpunan Penghuni (pasal 63 PP). Namun pengelolaan terhadap rumah susun dan lingkungannya dapat dilaksanakan oleh suatu badan pengelola yang ditunjuk atau dibentuk oleh perhimpunan penghuni (pasal 64 PP). Badan Pengelola yang dibentuk sendiri oleh perhimpunan penghuni harus dilengkapi dengan unit organisasi, personil, dan peralatan yang mampu untuk mengelola  rumah susun (pasal 65 PP). Selanjutnya badan pengelola yang ditunjuk oleh perhimpunan penghuni harus mempunyai badan hukum dan professional. (pasal 66 PP). Penyelenggara pembangunan yang membangun rumah susun wajib mengelola rumah susun yang bersangkutan dalam jangka waktu sekurang-kurangnya tiga bulan dan paling lama satu tahun sejak terbentuknya perhimpunan penghuni atas biaya penyelenggara pembangunan (pasal 67 PP).
                          Tugas badan pengelola.
                          Badan pengelola mempunyai tugas :
a.       Melaksanakan pemeriksaan, pemeliharaan, kebersihan dan perbaikan rumah susun dan lingkungannya pada bagian bersama, benda bersama dan tanah bersama ;
b.      Mengawasi keertiban dan keamanan penghuni serta penggunaan bagian bersama, benda bersama dan tanah bersama sesuai dengan peruntukannya ;
c.       Secara berkala memberikan laporan kepada perhimpunan penghuni disertai permasalahan dan usulan pemecahannya (pasal 68 PP) ;
Mengenai pembiayaan pengelolaan bagian bersama dan tanah bersama dibebankan kepada penghuni atau pemilik secara proporsional melalui perhimpunan penghuni (pasal 69 PP). Untuk mengantisipasi kerugian dari kebakaran Penghimpunan Penghuni harus mengansuransikan rumah susun terhadap kebakaran (pasl 70).
            3.Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga
                  Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga perhimpunan penghuni disusun oleh penghuni yang pertama dipilih, dan disahkan oleh rapat umum perhimpunan penghui. AD-ART tersebut memuat susunan organisasi, fungsi, tugas pokok, hak dan kewajiban anggota serta tata tertib penghunian.
I.    Pengawasan
Untuk pelaksanaan pengawasan terhadap pembangunan Rumah Susun dilakukan oleh Pemda.
Tata cara pengawasan dilaksanakan pengaturan dan pembinaan dalam pembangunan dan pengembangan rumah susun terhadap persyaratan teknis, yang diatur oleh Menteri Pekerjaan  Umum (pasal 74 PP). Tata cara pengawasan pelaksanaan pengaturan dan pembinaan dalam pembangunan dan pengembangan rumah susun terhadap :
a.       Persyaratan administratif yang berkaitan dengan perizinan pembangunan, perizinan layak huni, pembuatan akta pemisahan, penerbitan sertifikat hak milik atas satuan rumah susun, pembebanan hipotik (hak tanggungan) dan fidusia, serta segala kediatan yang berkaitan dengan pendaftaran tanah  ;
b.      Penghunian dan pengelolaan rumah susun diatur oleh Mendagri. (pasal 75 PP).
Mengenai tata cara pengawasan pelaksanaan terhadap pembeian kemudahan di bidang perkreditan dan perpajakan diatur oleh Menteri Keuangan (pasal 76 PP);
Pelaksanaan pengawasan dilaksanakan oleh Pemda berdasarkan berdasarkan petunjuk dan pedoman yang dikeluarkan Menteri Keuangan .  Dalam pelaksanaan pengawasan Pemda diberi wewenang untuk melakukan tindakan penertiban terhadap pelaksanaan Peraturan ini sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.

J.      Ketentuan Pidana
Ketentuan Pidana tertuang dalam pasal 21 UU No. 16 Th. 1985 :
a.          Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan dalam pasal 6, pasal 17 ayat (2) dan pasal 18 ayat (1) diancam dengan pidana penjara selama-lamanya 10 (sepuluh) tahun atau denda setinggi-tingginya Rp. 100.000.000,- (seratur juta rupiah
a.       Barang siapa karena kelalaiannya menyebabkan pelanggaran terhadap pasal-pasal tersebut di atas diancam dengan pidana kurungan selama-lama satu tahun atau denda setinggi-tingginya Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah) 

PENGERTIAN, FUNGSI DAN SEJARAH PERWAKAFAN .
      A. Pengertian Wakaf.
Kata “Wakaf” atau “Wacf” berasal dari bahasa Arab “Waqafa” yang berarti menahan atau “berhenti”atau “diam di tempat “ atau tetap berdiri. Kata al Waqaf dalam bahasa Arab mengandung pengertian : Menahan, menahan hata untuk diwakafkan, tidak dipindah-milikkan. Sedangkan menurut ahli Fiqh berbeda-beda dalam mendefinisikannya sebagai berikut :
a.       Abu Hanifah :
Wakaf adalah menahan suatu benda yang menurut hukum, tetap milik si wakif dalam rangka mempergunakan manfaat untuk kebajikan. Berdasarkan definisi itu maka pemilikan harta benda wakaf tidak lepas dari si wakif, bahkan ia dibenarkan menarik kembali dan ia boleh menjualnya. Jika si wakif wafat, harta tersebut menjadi harta warisan ahli warisnya. Jadi yang timbul dari wakaf hanyalah “menyumbangkan manfaat” Oleh karena itu mazhab Hambali mendefinisikan wakaf adalah “Tidak melakukan suatu tindakan atas suatu benda yang berstatus tetap sebagai hak milik, dengan menyedahkan manfaatnya kepada suatu pihak untuk kebajikan.
b.      Mazhab Maliki :
Wakaf itu tidak melepaskan harta yang diwakafkan dari kepemilikan wakif, namun wakaf tersebut mencegah melakukan tindakan yang dapat melepaskan kepemilikannya atas harta tersebut kepada yang lain, dan wakif berkewajiban menyedekahkan manfaatnya serta tidak boleh menarik kembali wakafnya.  Perbuatan si wakif menjadikan manfaat hartanya untuk dipergunakan oleh mustahiq (penerima wakaf) walaupun yang dimilikinya itu berbentuk upah, atau menjadikan hasilnya untuk dapat digunakan seperti mewakafkan uang. Wakaf dilakukan dengan mengucapkan lafadz wakaf untuk masa tertentu sesuai dengan keinginan pemilik. Dengan kata lain, pemilik harta menahan benda itu dari pengunaansecara pemilikan, tetapi membolehkan pemanfaatan hasilnya untuk tujuan kebaikan, yaitu pemberian manfaat benda secara wajar sedang benda itu tetap menjadi milik si wakif.Perwakafan itu berlaku untuk suatu masa tertentu, dan oleh karenanya tidak boleh disyaratkan sebagai wakaf kekal.
c.       Mazhab Syafi’i dan Ahmad bin Hambal
Wakaf adalah melepaskan harta yang diwakafkan dari kepemilkan wakif, setelah sempurna prosedur perwakafan. Wakif tidak boleh melakukan apa saja terhadap harta yang diwakafkan, jika wakif wafat harta yang diwakafkan tidak dapat diwarisi oleh para para ahli warisnya. Wakif menyalurkan harta harta yang diwakafkannya kepada mauquf ‘alaih (yang diberi wakaf) sebagai sedekah yang mengikat, dimana wakif idak dapat melarang penyaluran sumbanganya tersebut. Apabila wakif melarangnya, maka Qadhi berhak memaksanya agar memberikannya kepada mauquf ‘alaih. Oleh karena itu mazhab Syafi’i mendefinisikan wakaf adalah “Tidak melakukan suatu tindakan atas suatu benda, yang bestatus sebagai milik Allah SWT, dengan menyedekahkan manfaatnya kepada suatu kebajikan (sosial)”
d.      Jumhur Ulama .
Jumhur Ulama termasuk Imam Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan As Syahbani, ulama Syafi’iyah dan ula Hambaliyah mendefinisikan bahwa Wakaf adalah “Menahan hak orang yang berwakaf terhadap hartanya yang telah diwakafkan dengan tetapnya benda itu, untuk dimanfaatkan bagi kepentingan umum dan kebaikan dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah SWT. Hrta yang diwakafkan tidak lagi menjadi milik wakif. Status harta tersebut menjadi beralih menjadi milik Allah SWT.yang dipergunakan untuk kepentingan masyarakat.
e.       Peraturan Pemerintah No. 28 Th. 1977.
Wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau badan hukum yang memisahkansebagian dari harta kekayaannya yang berupa tanah milik dan melembagakannya untuk selama-lamanya untuk kepentingan  peribadatan atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran agama Islam.
f.       Kompilasi Hukum Islam (Inpres No. 1 Th. 1991).
Wakaf adalah perbuatan kukum seseorang atau sekelompok orang atau badan hukum yag memisahkan sebagian dari benda miliknya dan melembagakannya untuk selama-lamanya guna kepentingan ibadah atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran Islam.
g.      UU No. 41 Th. 2004 
Menurut pasal 1 dinyatakan bahwa wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/ atau menyerakan sebagian harta miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/ atau kesejahteraan umum menurut syarian.
B. Tujuan dan Fungfsi Wakaf
a. Tujuan Wakaf
Wakaf bertujuan memanfaatkan harta benda wakaf sesuai dengan fungsinya
b. Fungsi Wakaf
      Wakaf berfungsi mewujudkan potensi dan manfaat ekonomi harta benda wakaf untuk kepentingan ibadah dan untuk memajukan kesejahteraan umum.
           
  1. Sejarah Perwakafan
1.   Masa Rasulullah
Dalam sejarah Islam, Wakaf dikenal sejak masa Rasulullah SAW, karena wakaf disyariatkan setelah Nabi SAW hijrah ke Madinah, pada tahun kedua Hijriyah. Ada dua pendapat berkembang di kalangan ahli yurisprudensi Islam entang siapa yang pertama kali melaksanakan Syariat Wakaf . Menururt sebagian pendapat ulama mengatakan bahwa yang pertama kali melaksanakan Syariat wakaf tanah milik adalah Nabi SAW untuk dibangun masjid . Pendapat ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Umar bin Syabah dari Amir bin Sa’ad bin Mu’ad, ia berkata “ Kami bertanya tetang mula-mula wakaf dalam Islam , orang Muhajirin mengatakan adalah wakaf Umar, sedangkan orang Ansor mengatakan adalah Wakaf Rasulullah SAW. Asy Syaukani).
Rasulullah SAW pada tahun ketiga Hijriyah pernah mewakafkan tujuh kebun kurma di Madinah diantaranya ialah kebon A’raf, Shafi’ah, Dalal dan Barqah. Menurut pendapat sebagian ulama mengatakan bahwa yang pertama kali melaksanakan syariat wakaf adalah Umar bn Khatab. Pendapat ini berdasarkan hadits yang driwayatkan Ibnu Umar RA ia berkata :
“Bahwa sahabat Umar RA memberoleh sebidang tanah di Khaibar, kemudia Umar RA menghadap Rasulullah SAW, untuk meminta petunjuk . Umar berkata, hai Rasululah, saya mendapat sebidang tanah di Khaibar, saya belum mendapatkan harta sebaik itu, maka apakah yang engkau perintahkan kepadaku?” Rasulullah SAW bersabda “Bila engkau suka, kau tahan (pokoknya) tanah itu, dan engkau sedekahkan (hasilnya).” Kemudian Umar mensedahkan (tanahnya untuk dikelola) tidak djual, tidak dihibahkan dan tidak diwariskan. Ibnu Umar berkata “ Umar menyedekahkannya (hasil pengelolaan tanah) kepada orang-orang fakir, kaum kerabat, hamba sahaya, sabilillah, ibnu sabil dan tamu. Dan tidak dilarang bagi yang mengelola (nazhir) wakaf makan dari hasilnya dengan cara yang baik (sepantasnya) atau memberi makan orang lain dengan tidak bermaksud menumpuk harta (H.R Muslim)
      Kemudian syariat wakaf yang telah dilakukan oleh Umar bin Khatab disusul oleh Abu Thalhah yang mewakafkan kebun kesayangannya, kebun “Bairaha”. Selanjutnya disusul oleh sahabat Nabi lainnya, seperti Abu Bakar yang mewakafkan tanahnya di Mekkah yang diperuntukkan kepada anak keturunannya yang datang ke Mekkah. Utsman menyedekahkan hartanya di Khaibar. Ali bin Abi Thalib mewakafkan tanahnya yang subur . Mu’adz bin Jabal mewakafkan rumahnya, yang populer dengan nama “Dar el Anshar”. Kemudian pelaksanaan wakaf disusul oleh Anas bin Malik, Abdullah bin Umar, Zubair bin Awwam dan ‘ Aisyah istri Rasulullah.

            2.   Masa Dinasti-Dinasti Islam.
Praktek wakaf menjadi luas lagi pada masa dinasti Umayyah dan dinasti Abbasiyah, semua orang berduyun-duyun melaksanakan wakaf dan wakaf tidak hanya untuk orang-orang fakir dan miskin saja, tetapi wakaf menjadi modal untuk membangun lembaga pendidikan, membangun perpustakaan dan membayar gaji para stafnya, gaji para guru dan beasiswa untuk para siswa dan mahasiswanya. Antusianisme masyarakat kepada pelaksanaan wakaf telah menarik perhatian negara untuk mengatur pengelolaan wakaf sebagai sektor untuk membangun solidaritas sosial dan ekonomi masyarakat.
Wakaf pada mulanya merupakan keinginan seseorang yang ingin berbuat baik dengan kekayaan yang dimilikinya dan dikelola secara individu tanpa adaaturan yang pasti. Namun setelah masyarakat Islam merasakan betapa manfaatnya lembaga wakaf, maka timbullah keinginan untuk mengatur perwakafan dengan baik. Kemudian dibentuk lembaga yang mengatur wakaf untuk mengelola, memelihara dan menggunakan  harta wakaf, baik secara umum seperti masjid atau secara individu atau keluarga.
Pada masa dinasti Umayyah yang menjadi hakim Mesir adalah Taubah bin Ghar al Hadhramy pada masa khalifah Hisyam bin abd. Malik. Ia sangat perhatian dan tertarik dengan pengembangan wakaf sehingga terbrntuk lembaga wakaf tersendiri sebagaimana lembaga lainnya di bawah pengawasan hakim. Lembaga wakaf inilah yang pertama kali dilakukan dalam administrasi wakaf di Mesir, bahkan diseluruh Negara Islam. Pada masa itu juga hakim Taubah mendirikan lembaga wakaf di Basrah. Sejak saat itulah pengelolaan lembaga wakaf di bawah Departemen Kehakiman yang dikelola dengan baik dan hasilnya disalurkan kepada yang berhak dan yang membutuhkan.
Pada masa dinasti Abasiyah terdapat lembaga wakaf yang disebut dengan “Sadr al Wuquuf” yang mengurus administrasi dan memilih staf pengelola lembaga wakaf. demikian perkembangan wakaf pada masa dinasti Umayyah dan dinasti Abasiyah yang manfaatnya dapat dirasakan oleh masyaraat, sehingga lembaga wakaf berkembang searah dengan pengaturan administrasinya.
Pada masa dinasti Ayyubiyah di Mesir perkembangan wakaf cukup menggembirakan, dimana hampir semua tanah-tanah pertanian menjadi harta wakaf dan semuanya dikelola oleh negara dan menjadi milik egara (baitul mal). Ketika Shalahuddin al Ayyuby memerintah Mesir, maka ia bermaksud mewakafkan tanah-tanah milik negara diserahkan kepada yayasan keagamaan dan yayasan sosial sebagaimana yang dilakukan oleh dinasti Fathimiyyah sebelumnya, meskipun secara fiqh Islamhukum mewakafkan harta baitul mal masir berbeda pendapat para ulama. Pertama kali orang yang mewakafkan tnsh milik negara (baitul mal) kepada yayasan keagamaan dan sosial adalah Raja Nuruddin Asy Syahid dengan ketegasan fatwa yang dikeluarkan oleh seorang ulama pada masa itu ialah Ibnu ‘Ishrun dan didukung oleh para ulama lainnya bahwa mewakafkan harta milik negara hukumnya boleh (jawaz), dengan argumentasi (dalil) memelihara dan menjaga kekayaan negara. Sebab harta yang dimiliki negarapada dasarnya tidak boleh diwakafkan.
Shalahuddin al Ayyuby banyak mewakafkan lahan milik negara untuk kegiatan pendidikan, seperti mewakafkan beberapa desa (qaryah) untuk pengembangan madrasan mazhab As Syafi’iyah, madrasah Al Malikiyah dan madrasah mazhab Al Hanafiyah dengan dana melalui modelmewakafkan kebun dan lahan pertanian , seperti pembangunan adrasah mazhab As Syafi’iyah di samping kuburan Imam Syafi’i dengan cara mewakafka kebun pertanian dan pulau Al Fil.
Dalam mensejahterakan ulama dan kepentingan mazhab Sunni, Shalahuddin al Ayyuby menerpkan kebijakan (1178 M/572 H) bahwa bagi orang Kristen yang datang dari Iskandar untuk berdagang wajib membayar bea cukai. Hasilnya dikumpulkan dan diwakafkan kepada para ahli yurisprudensi dan keturunannya. Wakaf telah menjadi sarana bagi dinasti al Ayyubiyah untuk kepentingan politiknya dan misi alirannya ialah mazhab Sunni dan mempertahankan kekuasaannya. Harta milik Negara (baitul mal) menjadi modal untuk diwakafkan demi pengembangan mazhab Sunni dan mengusur mazhab Syi’ah yang dibawa oleh dinasti sebelumnya, ialah dinasti Fathimiyah.
Perkembangan wakaf pada dinasti Mamluk sangat pesat dan beraneka ragam, sehinga apapun yang dapat diambil manfaatnya boleh diwakafkan. Akan tetapi paling banyak diwakafkan pada masa itu adalah tanah pertanian dan bangunan, seperti gedung perkantoran, penginapan, dan tempat belajar. Pada masa Mamluk terdapat wakaf hamba sahaya yang diwakafkan untuk merawat lembaga-lembaga agama. Seperti mewakafkan budan untuk memelihara masjid dan madrasah. Hal ini dilakukan pertama kali oleh penguasa dinasti Utsmani ketika menaklukan Mesir, Sulaeman Basya yang ewakafkan budaknya untuk merawat masjid.
Manfaat wakaf pada dinasti Mamluk digunakan sebagaimana tujuan wakaf, seperti wakaf keluarga untuk kepentingan keluarga, wakaf umum untuk kepentingan sosial, membangun tempat untuk memandikan mayat dan untuk membantu orang-orang fakir dan miskin. Yang lebih membawa syi’ar Islam adalah wakaf untuk sarana di Haramain, ialah Mekkah dan Madinah, seperti kain Ka’bah (kiswatul ka’bah). Sebagaimana yang dilakukan oleh Raja Shaleh bin al Nasir yang membeli desa Bisus lalu diwakafkan untuk embiayai kiswah Ka’bah setiap tahunnya da mengganti kain kuburan RasulullahSAW dan mimbarnya setiap lima tahun sekali
Perkembangan berikutnya yang dirasa manfaat wakaf telah menjaditulang punggung dalam roda ekonomi pada masa dinasti Mamluk mendapat erhatian khusus pada masa itu meski tidak dketahui secara pasti awal mula disahkannya undang-undang wakaf. Namun menurut berita dan berkas yang terhimpun bahwa perundang-undangan wakaf pada dinasti Mamluk dimulai Raja al Dzahir Bibers al Bandaq (1260-1277M/ 658-676 H) dimana dengan undang-undang tersebut Raja al Dzahir memilih hakim dari masing-masing empat mazhab Sunni. Pada orde al Dzahir Bibers erwakafan dapat dbagi menjadi tiga kategori. Pendapatan negara dari hasil wakaf yang diberikan oleh penguasa kepada orang-orang yang dianggap berjasa, wakaf untuk membantu Haramain (fasilitas Mekkah dan Madinah) dan kepentingan masyarakat umum.
Sejak abad 15 (liama belas), Kerajaan Turi Utsmani dapat memperluas wilayah kekuasaannya, sehinga Turki dapat menguasai sebagian besar wilayah negara Arab. Kekuasaan politik yang draih oleh dinasti Utsmani secara otomatis mempermudah untuk menerapkan Syari’at Islam diantaranya adalah peraturan tentang perwakafan. Diantara undang-undang yang diekluarkan pada masa dinasti Utsmani ialah peraturan tentang pembukuan pelaksanaan wakaf, yang dikeluarkan tangal 19 Jumadil Akhir 1280 Hijriyah. Undang-undang tersebut mengatur tentang pencatatan-pencatatan wakaf, sertifikasi wakaf,cara pengelolaan wakaf, upaya mencapai tujuan wakaf dan melembagakan wakaf dalam upaya realisasi wakaf dari sisi administrasi dan perundang-undangan.
Pada tahun 1287 H dikeluaran undang-undang yang menjelaskan tentang kedudukan tanah-tanah kekuasaan Turki Utsmani dan tanah-tanah produktif yang berstatus wakaf. Dari mplementasi undang-undang tersebut di negara-negara Arab mash banyak tanah yang berstatus wakaf dan dipraktekkan sampai sekarang ini.
Sejak masa Rasululah, masa kekhalifaha dan masa dinasto Islam sampai sekarang wakaf masih dilaksanakan dari waktu ke waktu di seluruh negeri muslim, termasuk di Indonesia. Hal ini terlihat dari kenyataan bahwa lembaga wakaf yang berasal dari agama Islam ini telah diterima (diresepsi) menjadi hukum adat bangsa Indonesia sendiri.

3. Perwakafan di Indonesia   
Perwakafan di Indonesia sebetulnya sudah dikenal semenjak zaman sebelum kemerdekaan Republik Indonesia, pada saat itu orang- orang Indonesia yang beragama Islam jauh sebelum kemerdekaan telah melaksanakan perwakafan.
Hal tersebut memungkinkan karena pada saat itu di Indonesia sudah banyak berdiri kerajaan-kerajaan Islam seperti Demak dan Samudra Pasai dll. Menurut Mr. Kusuma Atmadja, lembaga wakaf sudah dikenal dalam masyarakat Indonesia jauh sebelumdatangnya Agama Islam, misalnya Suku Badui di Banten Selatan mengenal “Huma Serang” yaitu ladang-ladang yang hasilnya pada tiap-tiap tahun dipergunakan untuk kepentingan bersama. Begitu juga di Pulau Bali dikenal suatu lembaga wakaf semacam dengan lembaga wakaf, yaitu tanah atau benda lain (perhiasan untuk pesta) yang menjadi milik dewa-dewa yang tinggal disana.
Masalah perwakafan pada saat itu telah di atur dalam hukum Aday yang sifatnya tidak tertulis yang sumbernya dari Hukum Islam. Namun disamping itu oleh Pemerintah Kolonial dahulu telah dikeluarkan pula berbagai peraturan yang mengatur tentang persoalan wakaf antara lain :
1. Surat Edaran Sekretaris Governemen pertama tanggal 31 Januari 1905 nomor 435 yang termuat dalam Bijblad 1905 nomor 6196, tentang Toezicht op den bouw van Muhammad Bedebuzen. Isi dari surat edaran tersebut tdak secara khusus mengatur tentang wakaf, namun Pemerintah tidak menghalang-halangi orang-orang Islammemenuhi keperluan agamanya ;
2.   Surat Edaran dari Sekretaris Governemen tanggal 14 Juni 1931 nomor 1361/A yang dimuat dalam Bijblad 1931 nomor 125?a yang intinya memuat agar Bjglad tahun 1905 nomor 1696 diperhatikan dengan baik. Dalam pelaksanaannya Bupati memberi perintah supaya tanah wakaf yang dizinkannya dimasukkan dalam daftar dan dipelihara oleh Pengadilan Agama.
3.   Surat Edara Sekretaris Governemen tanggal 24 Desember 1934 nomor 3088A yang dimuat dalam Bjblad tahun 1934 nomor 13390 mempertegas edaran sebelumnya, yang kemudian dipertegas lagi dengan edaran tanggal 27 Mei 1935 nomor 1273/A yang termuat dalam Bijblad 1935 omor 13480.
            Selanjutnya setelah kemerdekaan Republik Indonesia, bahwa segala peraturan perwakafan yang telah dikeluarkan pada masa penjajahan masih tetap berlaku sejak Proklamasi Kemerdekaan sesuai pasal II aturan peralihan UUD 1945, yakni “segala badan negara dan segala peraturan yang ada masih langsung  berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undang-undang Dasar ini”
      Namun secara bertahap untuk melaksanakan perwakafan telah dikeluarkan beberapa petunjuk tentang perwakafan dari Departemen Agama Republik Indonesia tanggal 22 Desember 1953 tenang Petunjuk mengenai Wakaf, dan selanjutnya perwakafan menjadi wewenang Bagian D (Ibadah Sosial) Jawatan Urusan Agama. Selanjutnya untuk lebih memudahkan pelaksanaan perwakafan telah dikeluarkan Surat Edaran No. 5/D/1956 tgl. 8 Oktober 1958 tentang Prosedur Perwakafan Tanah.
      Mengenai perwakafan tanah tersebut nampaknya juga mendapat perhatian khusus dari Pemerintah, hal ini dapat dilihat pada pasal 49 ayat (1) UU No. 5 Th. 1960 yang berbunyi : Hak milik atas tanah badan-badan keagamaan dan sosial sepanjang dipergunakan untuk usaha dalam bidang keagamaan dan sosial diakui dan dilindungi. Badan-badan tersebut dijamin pula akan memperoleh tanah yang cukup untuk bangunan dan usahanya dalam bidang keagamaan. Selanjutnya dalam ayat (3) dinyatakan bahwa perwakafan tanah milik dilndungi dan diatur dengan Peraturan Pemerintah. Selang 17 tahun kemudian dikeluarkanlah Peraturan Pemerintah No. 28 Th. 1977 yang disyahkan di Jakarta tgl. 17 Mei 1977 dan dimuat dalam Lembaran Negara RI No. 38 Th. 1977 dan Tambahan Lembaran Negara RI No. 3107.
      Setelah berlakunya Peraturan Pemerintah No. 28  Th. 1977, maka pelaksanaan perwakafan sudah mempunyai pedoman yang jelas, dan dengan telah dikeluarkannya peraturan pemerintah tersebut maka sesuai dengan pasal 17 ayat (1) dan (2) semua peraturan perundang-undangan tentang perwakafan sebelumnya dinyatakan tidak berlaku lagi. Untuk kelancaran pelaksaaan perwakafan telah pula dikeluarkan berbagai Keputusan Menteri, Instruksi Menteri maupun Edaran Dirjen Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji pada saat itu.
      Nampaknya peraturan perwakafan yang tertuang dalam PP No. 28 Th. 1977 dikuatkan lagi dengan Inpres No. 1 Th. 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.yang isinya mengenai Perkawinan, Kewarisan dan Perwakafan. Sebagai kelanjutan dari Inpres tersebut dikeluarkanlah SK Menteri Agama No. 154 Th. 1991 tentang pelaksanaan Inpres No. 1 Th. 1991 tgl. 10-6-1993 untuk menyebarluaskan Kompilasi Hukum Islam tersebut.
      Mengenai ketentuan perwakafan tersebut saat ini telah dikeluarkan UU No. 41 Th. 2004 tentang Wakaf yang disyahkan tgl. 27 Oktober 2004 dan telah diundangkan melalui Lembaran Negara RI tahun 2004 nomor 159. sekaligus penjelasannya yang dimuat dalam Tambahan Lembaran Negara RI nomor 4459. Dalam Undang-undang tersebut mengenai barang wakaf telah dikembangkan, bahwa barang wakaf terdiri dari barang tidak bergerak dan barang bergerak, termasuk juga Hak Kekayaan Intelektual, selanjutnya dibentuk pula adanya Badan Wakaf Indonesia merupakan badan independen untuk mengembangkan perwakafan di Indonesia. Selanjutnya telah pula dikeluarkan Peraturan Pemerintah No. 42 Th. 1996 tentang Pelaksanan UU No. 41 Th. 2004 tentang Wakaf. yang ditetapkan di Jakarta tgl. 15 Desember 2006 dan dituangkan dalam Lembaran Negara RI Th. 2006 No.105.
      D. Dasar Hukum Wakaf
Dalil yang menjadi dasar disyariatkannya ibadah wakaf bersumber dari :
a)      Al Qur’an
b)      Hadits.
1.      Al Qur’an, antara lain disebutkan :
a.       Surat al Haj ayat 77 yang berbunyi :
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, ruku'lah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan.
b.      Surat Ali Imran ayat 92 yang berbunyi :
Artinya : Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.
c.       Surat Al Baqarah ayat 261 yang berbunyi :
Artinya : Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah[166] adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.
[166]. Pengertian menafkahkan harta di jalan Allah meliputi belanja untuk kepentingan jihad, pembangunan perguruan, rumah sakit, usaha penyelidikan ilmiah dan lain-lain.
2.      Hadits / Sunnah Rasulullah
a.       Dari Abu Hurairah ra, sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda “Apabila anak Adam manusia) meninggal dunia, maka putuslah amalnya, kecuali tiga perkara : sadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak yang shaleh yang mendoakan orang tuanya (HR Muslim). Penafsran shadaqah jariayah dalam hadits tersebut adalah Hadists tersebut dikemukakan dalam bab wakaf, karena para ulama menafsirkan shadaqah jariyah dengan wakaf (Imam Muhammad Ismail al Khalani).
b.      Khadits yang lebih tegas lagi menggambarkan dianjurkannnya wakaf yaitu perintah Nabi kepada Umar untuk mewakafkan tanahnya yang ada di Khaibar : “Dari Ibnu Umar ra berkata bahwa sahabat Umar RA memperoleh sebidang tanah di Khaibar, kemudia Umar RA menghadap Rasulullah SAW, untuk meminta petunjuk . Umar berkata, hai Rasululah, saya mendapat sebidang tanah di Khaibar, saya belum mendapatkan harta sebaik itu, maka apakah yang engkau perintahkan kepadaku?” Rasulullah SAW bersabda “Bila engkau suka, kau tahan (pokoknya) tanah itu, dan engkau sedekahkan (hasilnya).” Kemudian Umar mensedahkan (tanahnya untuk dikelola) tidak djual, tidak dihibahkan dan tidak diwariskan. Ibnu Umar berkata “ Umar menyedekahkannya (hasil pengelolaan tanah) kepada orang-orang fakir, kaum kerabat, hamba sahaya, sabilillah, ibnu sabil dan tamu. Dan tidak dilarang bagi yang mengelola (nazhir) wakaf makan dari hasilnya dengan cara yang baik (sepantasnya) atau memberi makan orang lain dengan tidak bermaksud menumpuk harta (H.R Muslim)

c   Dalam sebuah hadits yang lain disebutkan : Dari Ibnu Umar, ia berkata “ Umar mengatakan kepada Nabi Muhammad SAW saya mempunyai seratus dirham di Khaibar. Saya belum pernah mendapat harta yang paling saya kagumi seperti itu. Tetapi saya ingin menyedekahkannya. Nami mengatakan kepada Umar : ahanlah (jangan jual, hibahkan dan wariskan) asalnya (modal pokok) dan jadikan buahnya sedekah untuk sabilillah” (H.R. Bukhari dan Muslim)

E. Macam-macam wakaf
 Bila ditinjau dari segi peruntukkan wakaf itu, maka wakaf dapat dibagi menjadi dua macam yaitu :
1.      Wakaf Ahli
2.      Wakaf khairi

a. Wakaf ahli.
Wakaf ahli  adalah wakaf yang ditujukan kepada orang-orang tertentu, seorang atau lebih, keluarga si wakif atau bukan . Wakaf seperti ini juga disebut wakaf Dzurri.
            Apabila ada seorang yang mewakafkan sebidang tanah untuk anaknya lalu kepada cucunya, wakafnya sah dan yang berhak mengambil manfaatnya adalah mereka yang ditunjuk dalam pernataan wakaf. Wakaf ahli/dzurri kadang-kadang juga disebut wakaf ‘alal aulad, yaitu wakaf diperuntukkan untuk kepentingan dan jaminan sosial dalam lingkungan keluarga (famili), lingkungan kerabat sendiri .
            Wakaf untuk keluarga ini secara hukum Islam dibenarkan berdasarkan Hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Anas bin Malik tentang adanya wakaf keluarga Abu Thalhah kepada kaum kerabanya Diujung Hadits tersebut dinyatakan sebagai berikut : Aku telah mendengar ucapanmu tentang hal tersebut. Saya berendapat sebaknya kamu memberkannya kepada keluarga terdekat. Maka Abu Thalhah membagikannya untuk para keluarga dan anak-anak pamannya.
            Dalam satu segi wakaf ahli (dzurri) ini baik sekali, karena wakif akan mendapat dua kebaikan dari amal ibadah wakafnya, juga kebaikkan dari silaturahmi erhadap keluarga yang diberikan harta wakaf. Akan tetapi disisi lain wakaf ahli ini sering menimbulkan masalah, seperti bagaimana kalau anak cucu yang ditunjuk sudah tidak ada lagi (punah). Siapa yang berhak mengambil manfaat harta wakaf ? Atau sebaliknya, bagaimana jika anak cucu yang menjadi tujuan wakaf itu berkembang sedemikian rupa, sehingga menyulitkan bagaimana cara meratakan pembagian hasil harta wakif ?.
            Untuk mengantisipasi punahnya anak cucu (keluarga penerima harta wakaf) agar harta wakaf kelak tetap bisa dimanfaatkan dengan bak dan berstatus hukum yang jelas, maka sebaiknya dalam ikrar wakaf ahli ini disebutkan bahwa wakaf ini untuk anak, cucu, kemudian fakir miskin. Sehingga bila suatu ketika ahli kerabat (penerima wakaf) tidak ada lagi (punah), maka wakaf itu bisa langsung diberikan kepada fakir miskin. Namun untuk kasus anak cucu yang menerima wakaf ternyata berkembang sedemikian banyak kemungkinan akan menemukan kesulitan pembagiannya secara adil dan merata.
            Pada pekermbangan selanjutnya, wakaf ahli untuk saat ini dianggap kurang dapat memberikan manfaat untuk kesejahteraan umum, karena sering menimbulkan kekaburan dalam pengelolaan dan pemanfaatan wakaf oleh keluarga yang diserahi harta wakaf. Dibeberapa negara tertentu seperti Mesir, Turki, Maroko dan Aljazair, wakaf untuk keluarga (ahli) telah dihapuskan, karena pertimbangan dari berbagai segi, tanah-tanah dalam bentuk ini dinilai kurang produktif. Untuk itu dalam pandangan KH Ahmad Basyir, MA bahwa keberadaan tanah jenis wakaf ini sudah selayaknya ditinjau kembali untuk dihapuskan.

b  Wakaf Khairi
Wakaf khairi adalah wakaf yang secara tegas untuk kepentingan agama (keagamaan) atau kemasyarakatan (kebajkan umum. Seperti wakaf yang diberikan untuk keperluan pembangunan masjid, sekolah, jembatan, rumah sakit, panti asuhan anak yatim dan lain sebagainya.  
Jenis wakaf ini seperti yang djelaskan dalam Hadits Nabi Muhammad SAW yang menceritakan tentang wakaf sahabat Umar bi Khattab. Beliau memberikan hasil kebunnya kepada fakir miskin, ibnu sabil, sabilillah, para tamu dan hamba sahaya yang berusaha menebus dirinya.. akaf ini ditujukan kepada umum dengan tidak terbatas penggunaannya yang mencakup semua aspek untuk kepentingan dan kesejahteraan ummat manusia pada umumnya. Kepentingan umum tersebut bisa untuk jaminan sosial, pendidikan, kesehatan, pertahanan keamanan dan lain-lain.
Dalam tinjauan penggunaannya, wakaf jenis ini jauh lebih banyak manfaatnya dibandingkan dengan wakaf jenis wakaf ahli, karena tidak terbatasnya pihak-pihak yang ingin mengambil manfaat. Jenis wakaf inilah yang sesungguhnya paling sesuai dengan tujuan perwakafan ini secara umum. Dalam jenis wakaf ini juga, si wakif dapat mengambil manfaat dari harta yang diwakafkan itu, seperti wakaf masjid maka si wakif boleh mengambil air dari sumur tersebut sebagaimana pernah dilakukan oleh Nabi dan Sahabat Utsman bin affan.
Secara substansinya, wakaf inilah yang merupakan salah satu segi dari cara membelanjakan (memanfaatkan) harta di jalan Allah SWT. Tentunya kalau dilihat dari manfaat kegunaannya merupakan salah satu sarana pembangunanm baik di bidang keagmaan, khususnya peribadatan, perekonomian, kebudayaan, kesehatan, keamanan dan sebagainya. Dengan demikian, benda wakaf tersebut benar-benar terasa manfaatnya untuk kepentingan kemanusiaan, tidak hanya untuk keluarga atau kerabat yang terbatas.

 XII. Syarat dan rukun wakaf.
Menurut Fiqh, Wakaf dinyatakan syah apabila telah terpenuhi rukun dan syarat wakaf ada 4 yakni :
1.  Wakif (orang yang mewakafkan tanah) ;
2.. Maukuf bih (barang atau harta yang diwakafkan) ;
3. Mauquf ‘Alaih (pihak yang diberi wakaf/ peruntukkan wakaf) ;
4. Shighat (pernyataan/ ikrar wakif sebagai suatu kehendak untuk mewakafkan harta bendanya).

A. Syarat wakif .
      Orang yang mewakafkan (wakif disyaratkan memiliki kecakapan hukum atau kamalul ahliyah (legal competent) dalam membelanjakan hartanya Kecakapan bertindak disini meliputi empat kriteria yakni :

                  a. Merdeka
Wakaf yang dilakukan oleh seorang budak (hamba sahaya), tidak sah karena wakaf adalah pengguguran hak mlik dengan cara memberikan hak milik itu kepada orag lain. Sedangkan hamba sahaya tidak mempunyai hak milik, dirinya dan apa yang dimiliki adalah kepunyaan tuannya. Namun demikian Abu Zahrah mengatakan bahwa para fuqaha sepakat budak itu boleh mewakafkan hartanya bila ada ijin dari tuannya, karena ia sebagai wakil darinya. Bahkan Adz Dzahiri menetapkan bahwa budak dapat memilki sesuatu yang diperoleh dengan jalan waris atau tabarru. Bila ia dapat memiliki sesuatu berarti ia dapat pula membelanjakan miliknya itu Oleh karena itu ia boleh mewakafkan, walaupun hanya sebagai tabarru saja.

                  b.  Berakal
Wakaf yang dilakukan oleh orang gila tidak sah hukumnya, sebab ia tidak berakal, tidak mumayyiz dan tidak cakap melakukan akad serta tindakan lainnya. Demikian juga wakaf orang lemah mental (idiot), berubah akal karena faktor usia, sakit atau kecelakaan, hukumnya tidak sah karena akalnya tidak sempurna dan tidak cakap untuk menggugurkan hak miliknya.

                  c.   Dewasa (baligh)
Wakaf yang dilakukan oleh anak yang belum dewasa (baligh) hukumnya tidak sah karena ia dipandang tidak cakap melakukan akad dan tidak cakap pula untuk menggugurkan hak miliknya.
                 
d.   Tidak berada dibawah pengampuan (boros/lalai).
Orang yang berada di bawah pengampuan dipandang tidak cakap untuk berbuat kebaikkan (tabarru), maka wakaf yang dilakukan hukumnya tidak sah. Karena tujuan dari pengampuan ialah untuk menjaga harta supaya tidak habis dibelanjakan untuk sesuatu yang tidak benar, dan untuk menjaga dirinya agar tidak menjadi beban orang lain
            B.  Syarat Mauquf Bih (Harta yang diwakafkan)
Dalam pembahasan ini terbagi menjadi 2 (dua) bagian :
                  1.   Syarat sahnya harta wakaf .
Harta yang akan diwakafkan harus memenuhi syarat sebagai berikut :
a.       Harta yang akan diwakafkan harus mutaqawwam.
Pengertian harta yang mutaqawwam (al mal al mutaqawwam), menurut Mazhab Hanafi ialah segala sesuatu yang dapat disimpan dan halal digunakan dalam keadaan normal (bukan dalam keadaan darurat). Karena itu mazhab ini memandang tidak sah mewakafkan :
1).Sesuatu yang bukan harta, seperti mewakafkan manfaat dari rumah sewaan untuk ditempati ;
2).Harta yang tidak mutaqawwam, seperti alat-alat musik yang tidak halal digunakan atau buku-buku anti Islam, karena dapat merusak Islam itu sendiri,
b.      Diketahui dengan yakin ketika diwakafkan
Harta yang akan diwakafkan harus diketahui dengan yakin (‘ainun ma’lumun), sehingga tidak akan menimbulkan persengketaan. Karena itu tidak sah mewakafkan yang tidak jelas seperti satu dari dua rumah. Pernyataan wakaf yang berbunyi “Saya mewakafkan sebagian dari tanah saya kepada orang-orang kafir di kampung saya”, begitu juga tidak sah  pernyataan “Saya mewakafkan sebagian buku saya kepada para pelajar”, Kata sebagian dalam pernyataan ini membuat harta yang diwakafkan tidak jelas dan akan menimbulkan persengketaan. Latar belakang syarat ini karena hak yang diberi wakaf terkait dengan harta yang diwakafkan kepadanya. Seandainya harta yang diwakafkan kepadanya tidak jelas, tentu akan menimbulkan sengketa. Selanjutnya sengketa ini akan menghambat pemenuhan haknya. Para fakih tidak mensyaratkan agar benda tdak bergerak yang diwakafkan harus dijelaskan batas-batasnya dan luasnya, jika batas-batasnya dan luasnya dketahui dengan jelas. Jadi secara fiqih sudah sah pernyataan sebagai berikut : “Saya wakafkan tanah saya yang terletak di ...... “ sementara itu wakif tidak mempunyai tanah lain selain tempat itu.

c.       Milik wakif
Hendaklah harta yang diwakafkan milik penuh dan mengikat bagi wakif ketika ia mewakafkannya. Untuk itu tidak sah mewakafkan sesuatu yang bukan milk wakif, karena wakaf mengandung kemungkinan menggugurkan milik atau sumbangan . Keduanya hanya dapat terwujud pada benda yang dimiliki. Berdasarkan syarat ini, maka banyak wakaf yang tidak sah diantaranya :
1).A mewasiatkan pemberian rumah kepada B. Kemudian B   mewakafkan kepada C, sementara A masih hidup. Wakaf ini tidak sah, karena syarat kepemilikan pada wasiat ialah setelah yang berwasiat meningal.
2). A menghibahkan sesuatu barang kepada B. Kemudian B sebelum menerimanya mewakafkan kepada C. Wakaf ini juga tidak sah karena syarat kepemilikan pada hibah ialah setelah penerima hibah menerima harta yang diberikan kepadanya.
3).A membeli barang tidak bergerak dari B. Lalu B mewakafkannya kepada C. Setelah itu terbukti barang itu milik A. Wakaf ini tidak sah, karena pada hakekatnya barang tersebut bukan milik B
4).A memiliki sebidang tanah tetapi tidak mampu membayar pajaknya. Akibatnya pemerinah menyitanya. Tanah ini bukan milik pemerintah sepenuhnya, karena itu apabila pemerintah mewakafkannya, maka secara hukum tidak sah.

d.      Terpisah bukan milik bersama.
Milik bersma ada kalanya dapat dibagi, juga ada kalanya tidak dapat dibagi.
Hukum mewakafkan  benda milik bersama (musya’) tidak sah misalnya :
      1). A mewakafkan sebagian dari musya’ (milik bersama) untuk dijadikan masjid atau pemakaman tidak sah dan tidak menimbulkan akibat hukum, kecuali apabila bagian yang diwakafkan tersebut dipisahkan dan dietapkan batas-batasnya.
      2).  A mewakafkan kepada pihak yang berwajib sebagian dari  musya’ (milik bersama) yang terdapat pada harta yang dapat dibagi
      Namun contoh lain si A mewakafkan sebagian dari musya’ yang terdapat pada harta tidak dapat dibagi bukan untuk dijadikan masjid atau pemakaman, hukumnya sah.

3.      Syarat Mauquf “Alaih (penerima wakaf)
      Yang dimaksud dengan mauquf “alaih adalah tujuan wakaf (peruntukan wakaf). Wakaf harus dimanfaatkan dalam batas-batas yang sesuai dan diperbolehkan Syariat Islam, karena pada dasarnya wakaf merupakan amal yang mendekatkan diri manusia kepada Tuhan . Oleh karena itu mauquf ‘alaih (yang diberi wakaf) haruslah pihak kebajikan. Para faqif sepakat berpendapat  bahwa wakaf kepada pihak kebajikan itulah yang membuat wakaf sebagai ibadah yang mendekatkan diri manusia kepada Tuhannya.
      Namu terdapat perbedaan pendapat antara antara para faqih mengenai jenis ibadat ini, apabila ibadat menurut pandangan Islam ataukah menurut keyakinan wakif atau keduanya, yaitu menurut pandangan Islam dan keyakinan wakif.
1    Mazhab Hanafi mensyaratkan agar mauquf ‘alaih ditujukan untuk ibadah menurut pandangan Islam dan menurut keyakinan wakif. Jika tidak terwujud salah satunya, maka wakaf tidak syah. Karena itu :
1). Sah wakaf orang Islam kepada semua syi’ar-syi’ar Islam dan pihak kebajikan, seperti orang-orang miskin, rumah sakit, tempat penampungan dan sekolah. Adapun wakaf selain syi’arsyi’ar Islam dan pihak-pihak kebajikan hukumnya tidak sah, seperti klub judi.
2) Sah wakaf non muslim kepada pihak kebajikan umum seperti tempat ibadat dalam pandangan slam seperti pembanunan masjid, biaya masjid, bantuan kepada jamaah haji dan lain-lain. Sehingga kepada selain pihak kebajikanumum dan tempat ibadt dalam pandangan agamanya saja seperti pembangunan gereja, biaya pengurusan gereja hukumnya tidak sah. Sesuai ayat yang artinya : Pahala sedekah jariyah terus mengalir selain muslim tidak ada pahalanya.
                  2.   Mazhab Maliki mensyaratkan agar mauquf ‘alaih untuk ibadat menurut pandangan wakif. Sah wakaf muslim untuk semua syi’ar Islam dan badan-badan ssial umum, dan tidak sahwakaf non muslim kepada masjid dan syiar-syiar Islam.
3    Mazhab Syafi’i dan Hambali mensyaratkan agar mauquf ‘alaih adalah ibadat menurut pandangan Islam saja, tanpa memandang keyakinan wakif. Oleh karena itu sah wakaf muslim dan non muslim kepada badan-badan sosial seperti penampungan, tempat peristirahatan, badan kebajikan dalam Islam seperti asjid. Tidak sah wakaf muslim dan non muslim kepada badan-badan sosial yang tidak sejalan dengan Islam seperti gereja.

      4. Syarat Shighat (Ikrar wakaf)
                  1.  Pengertian shighat wakaf ialah segala ucapan, tulisan atau syarat dari orang yang bertekad untuk menyatakan kehendak dan menjelaskan apa yang diingatnya.  Sehingga shighat wakaf ckup dengan ijab saja dari wakif tanpa memerlukan qobul dari mauquf ‘alaih.
                  2.   Status shighat, secara umum adalah salah satu rukun wakaf. Wakaf tidak sah tanpa shighat. Setiap shighat mengandung ijab dan mungkin mengandung qabul pula.
                  3.   Dasar shighat , perlunya shighat karena wakaf adalah melepaskan hak milik dari benda dan  manfaat dari manfaat saja dan memilikkan kepada yang lain. Maksud melepaskan dan memlikkan adalah urusan hati , sehingga tida ada yang dapat menyelai isi hati orang lain secara jelas kecuali melalui pernyataannya sendiri. Ijab wakif tersebut mengngkapkan dengan jelas keinginan wakif memberi wakaf yang dapat berupa kata-kata atau tulisan kalau tidak mampu mengungkapkan dengan kata-kata  bahkan isyarat apabila tidak bisa menulis atau bicara.
                  Dengan demikian dalam mengucapkan shighat harus jelas

PELAKSANAAN PERWAKAFAN DI INDONESIA
      A.  Wakif dan kedudukan harta bendanya
      Dalam pelaksanaan perwakafan salah satu syarat harus adanya wakif yaitu orang yang mewakafkan benda yang dimilikinya, yang dengan sadar dia mewakafkan atas tanggung jawab moral bahwa sebagian harta yang dimilkinya adalah milik orang lain, yang harus disalurkannya. Dalam pandangan Al Madudi yang dikutip oleh Imam Suhadi , bahwa pemilikan harta dalam Islam itu harus diserta tanggung jawab moral. Tanggung jawab moral   artinya segala sesuatu (harta benda) yang dimiliki oleh seseorang atau sebuah lembaga secara moral harus diyakini secara teologis bahwa ada sebagian dari harta tersebut milik orang lain, aitu untuk kesejahteraan sesama yang secara ekonomi kurang atau tidak mampu, seperti fakir mkisn, atim piatu, manula anak-anak terlantar dan fasilitas sosial
      Asas keseimbangan dalam kehidupan atau keselarasan dalam hidup merupakan asas hukum yang universal. Asas tersebut diambil dari tujuan perwakafan  yaitu untuk beribadah atau pengabdian kepada Allah SWT sebagai wahana komunikasi dan keseimbangan spirit antara manusia (mahluk) dengan Allh (Khaliq).
      Titik keseimbangan tersebut pada gilirannya akan menmbulkan keserasian dengan hati nuraninya untuk mewujudkan ketentraman dalam hidup. Asas keseimbangan telah menjadi asas pembangunan, baik didunia maupun diakhirat, yaitu antara spirit  materi individu dengan masyarakat banyak
      Asas pemilikan harta benda adalah tidak mutlak, tetapi dibatasi dengan ketentuan-ketentuan yang merupakan tangung jawab moral akibat dari kepeilikan tersebut. Pengaturan manusia berhubung dengan harta benda merupakan hal yang esensiil dalam hukum dan kehidupan manusia. Pemilikan harta benda menyangkut bidang hukum, sedang pencarian dan pemanfaatan harta benda menyangkut bidang ekonomi dan keduanya bertalan erat yang tidak bisa dipisahkan.
   Pemilikan harta benda mengandung prinsip atau konsepsi bahwa semua benda hakikatnya milik Allah. Kepemilikan dalam ajaran Islam disebut juga amanah (kepercayaan), yang mengandung arti, bahwa yang dimilii harus dipergunakan sesuai dengan ketentuan yang diatur oleh Allah. Konsep tersebut sesuai Firman Allah dalam surat Al Maidah ayat 120 yang berbunyi :

            “Artinya : Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi dan apa yang ada di dalamnya; dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.
      Sejalan dengan konsep kepemilikan harta dalam Islam, maka harta yang telah diwakafkan oleh wakif memiliki akibat hukum, yaitu ditarik dari lalu lintas peredaran hukum yang seterusnya menjadi milik Allah, yang dikeelola oleh Nazhir, baik perorangan atau lembaga, sedangkan manfaat bendanya digunakan untuk kepentingan umum.
      Sebagai konsep sosial yang memiliki dimensi ibadah, wakaf juga disebut shadaqah jariyah, dimana pahala yang didapat oleh wakif (orang yang mewakafkan hartanya) akan selalu mengalir selama harta tersebut masih ada dan bermanfaat. Untuk itu harta yang telah diwakafkan, maka sejak itu harta tersebut terlepas dari kemilikan wakif dan kemanfaatannya menjadi hak-hak penerima wakaf. Dengan demikian harta wakaf tersebut menjadi amanat Allah kepada orang atau badan hukum (yang berstatus sebagai Nazhir) untuk mengurus dan mengelolanya.
       Apabila seseorang mewakafkan sebidang tanah untuk pemeliharaan lembaga atau balai pengobatan yang dikelola oleh suatu yayasan misalnya, maka sejak diikrarkan sebagai harta wakaf,  tanah tersebut terlepas dari hak milik si wakif, pindah menjadi hak Allah dan merupakan amanat pada lembaga atau yayasan yang menjadi tujuan wakaf. Selanjutnya yayasan tersebut memiliki tanggung jawab penuh untuk mengelola dan memberdayakannya secara maksimal demi kesejahteraan masarakat banak

      B. Nazhir, tugas dan kewajibannya
      Nazhir adalah pihak yang menerima harta benda wakaf dari Wakif untuk dikelola dan dkembangkan sesuai dengan peruntukanya. Posisi Nazhir sebagai  pihak yang bertugas untuk memelihara dan mengurusi harta wakaf mempunyai kedudukan yang penting dalam perwakafan. Sedemikian pentingnya kedudukan Nazhir dalam perwakafan, sehingga berfungsi tidaknya wakaf bagi mauquf ‘alaih bergantung kepada Nazhir. Meskipun demikian tidak berarti bahwa Nazhir mempunyai kekuasaan mutlak terhadap harta yang diamanhkan kepadanya
      Pada umumya para ulama selah bersepakat bahwa kekuasaan Nazhir wakaf hanya terbatas pada pengelolaan wakaf agar dapat dimanfaatkan sesuai dengan tujua wakaf yang dkehendaki leh wakif. Asaf A.A Fyzee berpendapat sebagaimana dikutip oleh Dr. Uswatun Hasanah, bahwa kewajiban Nazhir adalah mengerjakan sesuatu yang layak untuk menjaga dan mengelola harta. Sebagai pengawas harta wakaf, Nazhir dapat mempekerjakan beberapa wakil atau pembantu untuk menyelenggarakan urusan-urusan yang berkenaan dengan tugas dan kewajibannya. Nazhir sebagai pengawas dan pemelihara wakaf berkewajiban melaporan pelaksanaan tugas kepada Badan Wakaf Indonesia (BWI). Sebagai imbalan atas pelaksanaan tuganya, Nazhir dapat menerima imbalan yang besarnya tidak boleh melebihi 10 % (pasal 12) tidak boleh menjual, menggadaikan atau menyewakan harta wakaf terkecuali seijin Menteri Agama .
      Dengan demikian keberadaan harta wakaf yang ada ditangan Nazhir dapat dikelola dan diberdayakan secara maksimal untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat banyak yang bisa dipertanggung-jawabkan secara moral dan hukum Allah SWT.
      Nazhir meliputi :
1. Perorangan , ditunjuk
2. Organisasi
3. Badan Hukum

C. Harta benda wakaf, Akta Ikrar Wakaf dan PPAIW
           1. Jenis Harta Benda Wakaf.
Jenis harta benda wakaf dalam UU No. 41 Th. 2004 terdiri dari : benda tidak bergerak, benda bergerak selain uang dan benda bergerak berupa uang                  
a. Benda tidak bergerak dimaksud adalah :
1        Hak atas tanah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan baik yang sudah maupun yang belum terdaftar ;
2        Bangunan atau bagian bangunan yang berdiri di atas tanah ;
3        Tanaman benda lain yang berkaitan dengan tanah ;
4        Hak milik atas satuan rumah susun sesuai dengan ketentuan perundang-undangan ;
5        Benda tidak bergerak lain sesuai dengan ketenuan prinsip syariah dan peraturan perundang-undangan.

      Sedangkan untuk hak atas tanah yang dapat diwakafkan terdiri dari :
1)      Hak milik atas tanah, baik yang sudah atau belum didaftarkan ;
2)      Hak atas tanah bersama dari satuan rumah susun sesuai dengan ketentuan perundang-undangan ;
3)      Hak guna bangunan, hak guna usaha atau hak pakai yang berada di atas tanah negara ;
4)      Hak guna bangunan atau hak pakai yang berada di atas tanah hak pengelolaan atau hak milik pribadi yang harus mendapat izin tertulis dari pemegang hak pengelolaan atau hak milik.

b.   Benda bergerak selain uang dapat dijabarkan sebagi berikut :
1        Benda digolongkan sebgai benda bergerak karena sifatnya yang dapat dipindahkan atau karena ketetapan undang-undang ;
2        Benda bergerak terbagi dalam benda bergerak yang dapat dihabiskan karena pemakaian ;
3        Benda bergerak yang dapat dihabiskan karena pemakaian tidak dapat diwakafkan, kecuali air dan bahan bakar minyak yang persedianya berkelanjutan. ;
4        Benda bergerak yang tidak dapat dihabiskan karena pemakaian dapat diwakafkan dengan memperhatiak ketentuan prinsip syari’ah.
Benda bergerak karena sifatnya yang dapat diwakafkan meliputi :
1)      kapal ;
2)      pesawat terbang ;
3)      kendaraan bermotor ;
4)      mesin dan peralatan industri yang tidak tertancap pada bangunan ;
5)      logam dan batu mulia, dan/ atau
6)      benda  lainnya yang tergolong sebagai benda bergerak karena sifatnya dan memiliki manfaat jangka panjang
                       
                        Benda bergerak selain uang karena peraturan perundang-undangan yang dapat diwakafkan sepanjang tidak bertentangan  dengan prinsip-prinsip syari’ah sebagai berikut :
1)      surat berharga yang berupa :
      a). Saham ;
      b). Surat Utang Negara ;
      c). Obligasi pada umumnya, dan/ atau
      d). Surat berharga lainnya yang dapat dinilai dengan uang.
2)      Hak Atas Kekayaan Intelektual yang berupa :
a). Hak cipta ;
b). Hak merk ;
c). Hak patent ;
d). Hak desain industri
e). Hak rahasia dagang ;
f).  Hak sirkuit terpadu ;
g). Hak  perlindungan varietas tanaman dan/ atau
h). Hak lainnya .

3)      Hak atas benda bergerak lainnya yang berupa :
a). Hak sewa, hak pakai dan hak pakai hasil atas benda bergerak ;
b). Perikatan, tuntutan atas jumlah uang yang dapat ditagih atas benda bergerak.

Wakaf benda bergerak berupa uang yang merupakan terobosan dalam Undang-undang No. 41 Th. 2004 tentang Wakaf dapat dijabarkan sbb.   
1). Wakaf uang yang dapat diwakafkan adalah mata uang rupiah ;
2). Dalam hal uang yang akan diwakafkan masih dalam mata uang asing, maka harus dikonversi terlebih dahulu ke dalam rupiah.
3).Wakif yang akan mewakafkan uangnya diwajibkan untuk :
      a).hadir di  Lembaga Keuangan Syari’ah Penerima Wakaf Uang (LKS-PWU) untuk menyatakan kehendak wakaf uangnya ;
      b).menjelaskan kepemilikan dan asal-usul uang yang akan diwakafkan;
      c).menyetorkan secara tunai sejumlah uang ke LKS-PWU ;
      d).mengisi formulir pernyataan kehendak Wakif yang berfungsi sebagai ikrar wakaf.
4).Dal hal Wakif tidak dapat hadir, maka Wakif dapat menunjuk wakil atau kuasanya.
5).Wakif dapat menyatakan ikrar wakaf benda bergerak berupa uang kepada Nazhir dihadapan PPAIW yang selanjutnya Nazhir menyerahkan akta ikrar wakaf tersebut kepada LKS-PWU
2. Akte Ikrar Wakaf : Adalah akte yang berisi pernyataan yang diucapkan oleh wakif di depan PPAIW dengan disaksikan 2 orang saksi.
3.        PPAIW adalah Pejabat Pembuat Akte Ikrar Wakar yakni Kepala Kantor Urusan Agama yang ditunujk sebagai PPAIW
D. Perubahan status harta benda wakaf :
      Harta benda wakaf yang telah diwakafkan menurut pasal 40 UU No. 41 Th. 2004 dilarang:
a.          Dijadikan jaminan
b.         Disita ;
c.          Dihibahkan
d.         Dijual
e.          Diwariskan
f.          Ditukar
g.         Dialihkan dalam bentuk pengalihan hak lainnya
Larangan tersebut di atas dikecualikan dalam hal harta benda wakaf digunakan untuk kepentingan umum sesuai dengan RTRW namun harus ada ijin tertulis dari Menteri Agama atas persetujuan BWI (pasal 41 UU No. 41 Th. 2004)
E.Penyelesaian Sengketa
      1. Penyelesaian sengketa dengan cara musyawarah untuk mencapai mufakat ;
      2. Apabila tidak berhasil, melalui mediasi, arbitrase dan pengadilan
F.Ketentuan Pidana dan sanksi administratif
      1.   Setiap orang yang dengan sengaja menjaminkan, menghibahkan,menjual, mewariskan, mengalihkan dalam bentuk pengalihan hak lainnya tanpa izin, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp. 500.000.000,-
      2.   Setiap orang yang dengan sengaja mengubah peruntukan harta benda wakaf dipidana penjara paling lama  4 tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 400.000.000,-
      3. Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan atau mengambil fasilitas atas hasil pengelolaan atau pengembangan harta benda wakaf melebihi jumlah yang ditentukan, dipidana paling lama 3 tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 300.000.000,-
Sanksi administratif diberikan kepada LKS dan PPAIW karena tidak didaftarkannya harta benda wakaf . Sanksi tersebut diberikan berupa :
1). Teguran secara tertulis ;
2). Penghentian sementara atau pencabutan izin kegiatan di bidang wakaf bagi LKS ;
3). Penghentian sementara dari jabatan PPAIW



[1] Pasal a ayat (1)  Undang-undang  No. 16 Th. 1985 tentang Rumah Susun
[2] Penjelasan pasal 1 ayat (2) UU  No. 16 Th. 1985 tentang rumah susun
[3]  Pasal 2UU   No. 16 Th. 1985 tentang  Rumah Susun 
[4]Penjelasan  Pasal 2 UU  No. 16 Th. 1985 tentang Ruman Susun 
[5] Pasal 3 UU No.16 th. 1985  tentang Rumah Susun
[6]  Pasal 2-7  PP No. 4 Th. 1988 tentang Rumah Susun
[7] PAsal 5 UU No. 16 Th. 1986 tentang Rumah Susun
[8] Pasal 8 -34  PP No. 4 Th. 1988   tentang Rumah Susun

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

dunia ini memang indah,, tergantung bagaimana kita menjaga keindahan itu,,. untuk itu mari kita bersatu, satu pikiran satu tujuan untuk Indonesia merdeka,.. berpisah kita berjuang bersatu kita memukul..