KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis hanturkan kepada Allah atas segala
rahmat-Nya yang telah memberikan kesempatan waktu bagi penulis dalam menyusun
tugas kelompok ini. Dan shalawat beserta salam, penulis hanturkan kepada
Nabi Muhammad SAW yang telah memberikan inspirasi kepada penulis akan
arti dan penerapan bidang-bidang Fiqh Siyasah.
Makalah ini ditulis penulis sebagai tugas mata kuliah
Fiqh Siyasah. Dan tujuan dari makalah ini adalah untuk mengetahui konsep ahl
al-hall wal ’aqd, ummah, ra’iyyah, dan bai’ah. Tiada Manusia yang Sempurna,
begitupun dengan makalah ini. Masih ada beberapa kesalahan yang ada tanpa
disadari oleh penulis, oleh karena itu penulis harapkan akan adanya kritik dan
saran atas makalah ini yang membangun. Dan dari penulis sendiri kami ucapkan
terima kasih, dan semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua.
Ciputat, 29 September 2012
Pemakalah
BAB I : Ahl al-Hall wa al-‘aqd
Secara bahasa Ahl al-hall wa al-‘Aqd
memiliki pengertian ”orang-orang
yang melepas dan megikat” atau ”orang yang dapat memutuskan dan mengikat”. Sedangkan menurut para Ahli fiqih siyasah, Ahl al-hall wa al-’Aqd adalah “orang-orang yang memiliki kewenangan untuk memutuskan dan menentukan sesuatu atas nama umat (warga negara)”. Atau lembaga perwakilan yang menampung dan menyalurkan aspirasi atau suara suatu masyarakat.Keanggotaan dari lembaga ini merupakan representasi dari rakyat yang nantinya akan memperjuangkan aspirasi politik masyarakat karena pemilihannya melalui proses yang demokratis dan berlangsung secara langsung sehingga rakyat memiliki kebebasan untuk menentukan pilihannya.
yang melepas dan megikat” atau ”orang yang dapat memutuskan dan mengikat”. Sedangkan menurut para Ahli fiqih siyasah, Ahl al-hall wa al-’Aqd adalah “orang-orang yang memiliki kewenangan untuk memutuskan dan menentukan sesuatu atas nama umat (warga negara)”. Atau lembaga perwakilan yang menampung dan menyalurkan aspirasi atau suara suatu masyarakat.Keanggotaan dari lembaga ini merupakan representasi dari rakyat yang nantinya akan memperjuangkan aspirasi politik masyarakat karena pemilihannya melalui proses yang demokratis dan berlangsung secara langsung sehingga rakyat memiliki kebebasan untuk menentukan pilihannya.
musyawarah dalam politik Islam
adalah hak partisipasi rakyat dalam masalah – masalah hukum dan pembuatan
keputusan politik. Akan tetapi musyawarah tidak mungkin dilaksanakan oleh
seluruh rakyat, maka musyawarah dilaksanakan antar kelompok yang benar – benar
mewakili rakyat yang dapat dipercaya dan merasa tenang dari keputusan mereka.
Mereka itu tidak lain melainkan Ahl Al-Hall Wa Al ‘Aqd.
Metode ini sekarang dinamakan dengan
“Politik Kekuasaan Rakyat”. Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa pemimpin tidak
boleh meninggalkan musyawarah, sebab Allah SWT memerintahkan Nabi-Nya dengan
hal itu. Bahkan para ulama sepakat bahwa musyawarah diperintahkan dalam Al Qur’an
dan menjadikannya sebagai salah satu unsur pijakan Negara Islam.
Ahl Al-Hall Wa Al ‘Aqd ada dalam
sistem pemerintahan Islam dikarenakan adanya suatu perintah dalam Al Qur’an
untuk bermusyawarah. Musyawarah tersebut menurut para Ahli merupakan salah satu
sistem hukum dalam Islam dan juga metode hidup dalam pemerintahan.
Syarat –
Syarat Ahl Al-Hall Wa Al ‘Aqd
Al-Mawardi
menyebut Ahl Al-Hall Wa Al ‘Aqd harus memenuhi tiga syarat, antara lain :
1.
Keadilan yang memenuhi segala persyaratannya.
2. Memiliki
pengetahuan tentang orang berhak menjadi imam dan persyaratan – persyaratannya.
3.
Memiliki kecerdasan dan kearifan yang menyebabkan dia mampu memilih imam yang
paling maslahat dan paling mampu serta paling mampu tentang kebijakan –
kebijakan yang membawa kemaslahatan bagi umat.
Ibn Al
Farra berpendapat: Ahli Ikhtiyar harus
memliki tiga syarat berikut :
1. Adil
2.
Mempunyai ilmu pengetahuan yang dengan ilmu pengetahuan itu dapat mengetahui siapa saja
yang
berhak memegang tongkat kepemimpinan.
3. Ahli
Ikhtiyar harus terdiri dari para pakar dan alhi manajemen yang dpat memilih
siapa yang
lebih
pant6as untuk memegang tongkat kepemimpinan.
Ungkapan
syarat yang dikemukakan oleh Al Mawardi dan Ibn Al Farra tersebut sangat mirip.
Selain
itu syarat yang harus dipenuhi adalah sperti syarat dalam hal – hal yang lain
seperti, baligh, merdeka, laki – laki dan beragama Islam. Akan tetapi untuk
syarat laki – laki dan beragama Islam terjadi perbedaan pendapat antara para
ulama. Ulama salaf berpendapat bahwa wanita dan kafir dzimmi tidak boleh
menjadi anggota majelis syura,karena pada masa Nabi
kafir dzimmi menjadi warga nomor dua dalam urusan politik, sedangkan wanita
pada zaman nabi itu hanya menjadi ibu rumah tangga.
Sedangkan ulama fikih kontemporer seperti Fu’ad Abdul Mun’im Ahmad (pakar
politik Islam kontemporer Mesir) memperbolehkan dengan batasan batasan tertentu
yang tidak melanggar syari’at hukum.
Beberapa
wewenang dan fungsi Ahlul Hall wal ‘aqd :
1. Ahl
Al-Hall Wa Al ‘Aqd adalah pemegang kekuasaan tertinggi yang mempunyai wewenang
untuk memilih dan membai’at imam serta untuk memecat dan memberhentiakan
khalifah.
2. Ahl
Al-Hall Wa Al ‘Aqd mempunyai wewenang mengarahkan kehidupan masyarakat kepada
yang maslahat.
3. Ahl
Al-Hall Wa Al ‘Aqd mempunyai wewenang membuat undang – undang yang mengikat
kepada seluruh umat didalam hal – hal yang tidak diatur tegas oleh Al Qur’an
dan al Hadits.
4. Ahl
Al-Hall Wa Al ‘Aqd tempat konsultasi imam didalam menentukan kebijakannya.
5. Ahl
Al-Hall Wa Al ‘Aqd mengawasi jalannya pemerintahan,
Wewenang tersebut hampir mirip
dengan MPR, DPR dan DPA di Indonesial sebelum
amendemen UUD 45.
Ahl Al-Hall Wa Al ‘Aqd sangat
penting dalam kehidupan bernegara. Karena dalam Negara pada hakekatnya
rakyatlah yang memegang kekuasaan tertinggi. Sedangkan rakyat sendiri tidak
memungkinkan untuk berkumpul bersama.
BAB II :
Bai’ah
Bai’at (mubaya’ah): pengakuan mematuhi dan
menaati imam yang dilakukan oleh ahlul halli wal ‘aqdi dan dilaksanakan sesudah
permusyawaratan.[1]
Diaud-din Rais mengutip pendapat Ibnu Khaldun tentang bai’at ini, dan
menjelaskan : adalah mereka apabila membai’atkan seorang amir dan mengikatkan
perjanjian. Hal itu serupa dengan perbuatan si penjual dan si pembeli. Karena
itu dinamakanlah dia bai’at[2]
Informasi dari al-Quran yg berkaitan
dengan bai’at ada dalam surat al-Fath: 10, al-Taubah: 111 dan surat
al-Mumtahanah: 12.
Dalam sejarah ada Bai’at ‘Aqabah 1
tahun 621 M di bukit ‘aqabah. Bai’at (janji setia) ini antara Nabi dengan 12
orang suku Khazraj dan Aus dari Yatsrib (Madinah) yang membai’at kepada Nabi
untuk tidak menyekutukan Allah, tidak mencuri, berzina, membunuh anak2, menuduh
dengan tuduhan palsu, tidak mendurhakai Nabi didalam kebaikan.
Bai’at ‘Aqabah II pada tahun 622 M.
antara Nabi dengan 75 orang Yatsrib (2 diantaranya wanita), disebut juga bai’at
kubra . Mereka berbai’at untuk taat dan selalu mengikuti Nabi baik pada waktu
kesulitan maupun dalam kemudahan, tetap berbicara benar, tidak takut celaan
orang didalam membela kalimah Allah.
Bai’at pertama terhadap khalifah
terjadi di Tsaqifah balai pertemuan Bani Sa’idah, Madinah. Dalam pertemuan
antara sekelompok Ansar dan Muhajirin itu, Abu Bakar berkata: “Saya nasihatkan
kalian untuk membai’at salah seorang, yaitu Abu Ubaidah bin Jarrah atau Umar
bin Khattab”. Kemudian Umar berkata “Demi Allah, akan terjadikah itu? Padahal
Abu Bakar lah yang paling berhak memegang jabatan ini, beliau lebih dulu jadi
sahabat Rasul, beliau Muhajirin yang paling utama, pengganti Rasul dalam imam
shalat…ulurkan tangan! saya bai’at Abu Bakar”.
Ketika Utsman bin Affan dia dipilih jadi khalifah, yang mula2 membai’at adalah
Abdurrahman bin Auf yang diikuti oleh jama’ah yang kemudian diikuti oleh
manusia yang ada di masjid.[3]
Dari
uraian di atas tampak bahwa yang membai’at itu adalah ahlul hal wal ‘aqdi dan
kemudian dapat diikuti oleh rakyat pada umumnya seperti pada kasus pembai’atan
Utsman. Akan tetapi, pada umumnya pembai’atan itu dianggap sah apabila
dilakukan oleh anggota-anggota ahlul hal wal ‘aqdi sebagai wakil rakyat,
sebagaimana terjadi pada kasus Abu Bakar.
BAB III
: Ummah dan Ro’iyyah
Rakyat terdiri dari muslim dan
nonmuslim, yang non muslim ini ada yang disebut kafir dzimi ada pula yang
disebut musta’min.
Kafir dzimi adalah warga nonmuslim
yang menetap selamanya, serta dihormati tidak boleh diganggu jiwanya,
kehormatannya, dan hartanya, sedang seorang musta’min adalah orang asing yang
menetap untuk sementara, dan juga harus dihormati jiwanya, kehormatannya, dan
hartanya. Kafir dzimi memiliki hak-hak kemanusiaan, hak-hak sipil, dan hak-hak
politik. Sedangkan musta’min tidak memiliki hak-hak politik, karena mereka itu
orang asing. Persamaannya, kedua-duanya adalah nonmuslim.
Adapun mengenai hak-hak rakyat, Abu
A’la al-maududi menyebutkan bahwa hak-hak rakyat itu adalah:
1.
Perlindungan terhadap hidupnya, hartanya dan kehormatannya.
2.
Perlindungan terhadap kebebasan pribadi.
3.
kebebasan menyatakan pendapat dan keyakinan.
4.
terjamin kebutuhan pokok hidupnya, dengan tidak membedakan kelas dan
kepercayaan.[4]
Tugas-tugas dan hak-hak rakyat ini
rinciannya dapat digariskan oleh ahl al-hall wa al-‘aqd sebagai lembaga
kekuasaan tertinggi. Demikian pula halnya dengan hak dan kewajiban imam. Sudah
tentu rincian tersebut dalam batas-batas untuk kemaslahatan bersama.
KESIMPULAN
:
1.
Secara harfiah, Ahl Al-Hall Wa Al ‘Aqd berarti orang yang dapat memutuskan dan
mengikat. Para ahli fiqh siyasah merumuskan pengertian Ahl Al-Hall Wa Al ‘Aqd
Sebagai orang yang memiliki kewenangan untuk memutuskan dan menentukan sesuatu
atas nama umat (warga negara).dengan kata lain, Ahl Al-Hall Wa Al ‘Aqd adalah
lembaga perwakilan yang menampung dan menyalurkan aspirasi atau suara
masyarakat.
2.
Bai’ah merupakan hal yang sangat penting karena merupakan kontrak sosial antara
rakyat yang diwakili oleh Ahl Al-Hall Wa Al ‘Aqd dengan seorang amir, dimana
rakyat berjanji mematuhi dan menaati imam selama imam tersebut tidak ma’siat
dan zhalim.
3. Ummah
yang patuh dan taat terhadap imam harus dilindungi hak-haknya tanpa melihat
status sosial maupun golongan ummah tersebut.
Daftar
Pustaka :
Ø
A. Djazuli, Fiqih
Siyasah, Jakarta: Prenada Media Group cet.II, 2003
Ø
Pulungan J. Suyuthi,Fiqih Siyasah: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada cet I, 1994
[1] Prof.
T.M. Hasbi Ash Shiddieqy, Asas-asas Hukum
Tata Negara menurut Syariat lslam, Matahari Masa Yogyakarta, 1969, hlm. 66.
[2] Prof.
T.M. Hasbi Ash Shiddieqy, Ilmu Kenegaraan
Dalam Fikih Islam, 1971, hlm, 65.
[3] Ibnu
Qutaibah Adainuri, Al Imamah wa Al
Siyasah, Muassasah al-Halabi, Qahairah, Mesir, 1967, juz 1, hlm. 16.
[4] Abul
A’la al-Maududi, Op. cit., hlm 266
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
dunia ini memang indah,, tergantung bagaimana kita menjaga keindahan itu,,. untuk itu mari kita bersatu, satu pikiran satu tujuan untuk Indonesia merdeka,.. berpisah kita berjuang bersatu kita memukul..