Senin, 01 Oktober 2012

Makalah Fiqh Siyasah Konsep Ajl al-Hall wa al-aqd, Umamah,ra'iyyah



KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis hanturkan kepada Allah atas segala rahmat-Nya yang telah memberikan kesempatan waktu bagi penulis dalam menyusun tugas kelompok ini. Dan shalawat beserta salam, penulis hanturkan kepada Nabi  Muhammad SAW yang telah memberikan inspirasi kepada penulis akan arti dan penerapan bidang-bidang Fiqh Siyasah.
Makalah ini ditulis penulis sebagai tugas mata kuliah Fiqh Siyasah. Dan tujuan dari makalah ini adalah untuk mengetahui konsep ahl al-hall wal ’aqd, ummah, ra’iyyah, dan bai’ah. Tiada Manusia yang Sempurna, begitupun dengan makalah ini. Masih ada beberapa kesalahan yang ada tanpa disadari oleh penulis, oleh karena itu penulis harapkan akan adanya kritik dan saran atas makalah ini yang membangun. Dan dari penulis sendiri kami ucapkan terima kasih, dan semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua.

Ciputat, 29 September 2012
Pemakalah

BAB I : Ahl al-Hall wa al-‘aqd

            Secara bahasa Ahl al-hall wa al-‘Aqd memiliki pengertian ”orang-orang
yang melepas dan megikat
” atau ”orang yang dapat memutuskan dan mengikat”. Sedangkan menurut para Ahli fiqih siyasah, Ahl al-hall wa al-’Aqd adalah “orang-orang yang memiliki kewenangan untuk memutuskan dan menentukan sesuatu atas nama umat (warga negara)”. Atau lembaga perwakilan yang menampung dan menyalurkan aspirasi atau suara suatu masyarakat.Keanggotaan dari lembaga ini merupakan representasi dari rakyat yang nantinya akan memperjuangkan aspirasi politik masyarakat karena pemilihannya melalui proses yang demokratis dan berlangsung secara langsung sehingga rakyat memiliki kebebasan untuk menentukan pilihannya.

            musyawarah dalam politik Islam adalah hak partisipasi rakyat dalam masalah – masalah hukum dan pembuatan keputusan politik. Akan tetapi musyawarah tidak mungkin dilaksanakan oleh seluruh rakyat, maka musyawarah dilaksanakan antar kelompok yang benar – benar mewakili rakyat yang dapat dipercaya dan merasa tenang dari keputusan mereka. Mereka itu tidak lain melainkan Ahl Al-Hall Wa Al ‘Aqd. 
            Metode ini sekarang dinamakan dengan “Politik Kekuasaan Rakyat”. Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa pemimpin tidak boleh meninggalkan musyawarah, sebab Allah SWT memerintahkan Nabi-Nya dengan hal itu. Bahkan para ulama sepakat bahwa musyawarah diperintahkan dalam Al Qur’an dan menjadikannya sebagai salah satu unsur pijakan Negara Islam.
            Ahl Al-Hall Wa Al ‘Aqd ada dalam sistem pemerintahan Islam dikarenakan adanya suatu perintah dalam Al Qur’an untuk bermusyawarah. Musyawarah tersebut menurut para Ahli merupakan salah satu sistem hukum dalam Islam dan juga metode hidup dalam pemerintahan.
Syarat – Syarat Ahl Al-Hall Wa Al ‘Aqd
Al-Mawardi menyebut Ahl Al-Hall Wa Al ‘Aqd harus memenuhi tiga syarat, antara lain :
1. Keadilan yang memenuhi segala persyaratannya.
2. Memiliki pengetahuan tentang orang berhak menjadi imam dan persyaratan – persyaratannya.
3. Memiliki kecerdasan dan kearifan yang menyebabkan dia mampu memilih imam yang paling maslahat dan paling mampu serta paling mampu tentang kebijakan – kebijakan yang membawa kemaslahatan bagi umat.
Ibn Al Farra  berpendapat: Ahli Ikhtiyar harus memliki tiga syarat berikut :
1. Adil
2. Mempunyai ilmu pengetahuan yang dengan ilmu pengetahuan itu dapat mengetahui siapa saja
yang berhak memegang tongkat kepemimpinan.
3. Ahli Ikhtiyar harus terdiri dari para pakar dan alhi manajemen yang dpat memilih siapa yang
lebih pant6as untuk memegang tongkat kepemimpinan.
Ungkapan syarat yang dikemukakan oleh Al Mawardi dan Ibn Al Farra tersebut sangat mirip.
Selain itu syarat yang harus dipenuhi adalah sperti syarat dalam hal – hal yang lain seperti, baligh, merdeka, laki – laki dan beragama Islam. Akan tetapi untuk syarat laki – laki dan beragama Islam terjadi perbedaan pendapat antara para ulama. Ulama salaf berpendapat bahwa wanita dan kafir dzimmi tidak boleh menjadi anggota majelis syura,karena pada masa Nabi kafir dzimmi menjadi warga nomor dua dalam urusan politik, sedangkan wanita pada zaman nabi itu hanya menjadi ibu rumah tangga. Sedangkan ulama fikih kontemporer seperti Fu’ad Abdul Mun’im Ahmad (pakar politik Islam kontemporer Mesir) memperbolehkan dengan batasan batasan tertentu yang tidak melanggar syari’at hukum.
Beberapa wewenang dan fungsi Ahlul Hall wal ‘aqd :
1. Ahl Al-Hall Wa Al ‘Aqd adalah pemegang kekuasaan tertinggi yang mempunyai wewenang untuk memilih dan membai’at imam serta untuk memecat dan memberhentiakan khalifah.
2. Ahl Al-Hall Wa Al ‘Aqd mempunyai wewenang mengarahkan kehidupan masyarakat kepada yang maslahat.
3. Ahl Al-Hall Wa Al ‘Aqd mempunyai wewenang membuat undang – undang yang mengikat kepada seluruh umat didalam hal – hal yang tidak diatur tegas oleh Al Qur’an dan al Hadits.
4. Ahl Al-Hall Wa Al ‘Aqd tempat konsultasi imam didalam menentukan kebijakannya.
5. Ahl Al-Hall Wa Al ‘Aqd mengawasi jalannya pemerintahan,
            Wewenang tersebut hampir mirip dengan MPR, DPR dan DPA di Indonesial sebelum  amendemen UUD 45.
            Ahl Al-Hall Wa Al ‘Aqd sangat penting dalam kehidupan bernegara. Karena dalam Negara pada hakekatnya rakyatlah yang memegang kekuasaan tertinggi. Sedangkan rakyat sendiri tidak memungkinkan untuk berkumpul bersama.
BAB II : Bai’ah         
             Bai’at (mubaya’ah): pengakuan mematuhi dan menaati imam yang dilakukan oleh ahlul halli wal ‘aqdi dan dilaksanakan sesudah permusyawaratan.[1] Diaud-din Rais mengutip pendapat Ibnu Khaldun tentang bai’at ini, dan menjelaskan : adalah mereka apabila membai’atkan seorang amir dan mengikatkan perjanjian. Hal itu serupa dengan perbuatan si penjual dan si pembeli. Karena itu dinamakanlah dia bai’at[2]
            Informasi dari al-Quran yg berkaitan dengan bai’at ada dalam surat al-Fath: 10, al-Taubah: 111 dan surat al-Mumtahanah: 12.
            Dalam sejarah ada Bai’at ‘Aqabah 1 tahun 621 M di bukit ‘aqabah. Bai’at (janji setia) ini antara Nabi dengan 12 orang suku Khazraj dan Aus dari Yatsrib (Madinah) yang membai’at kepada Nabi untuk tidak menyekutukan Allah, tidak mencuri, berzina, membunuh anak2, menuduh dengan tuduhan palsu, tidak mendurhakai Nabi didalam kebaikan.
            Bai’at ‘Aqabah II pada tahun 622 M. antara Nabi dengan 75 orang Yatsrib (2 diantaranya wanita), disebut juga bai’at kubra . Mereka berbai’at untuk taat dan selalu mengikuti Nabi baik pada waktu kesulitan maupun dalam kemudahan, tetap berbicara benar, tidak takut celaan orang didalam membela kalimah Allah.
            Bai’at pertama terhadap khalifah terjadi di Tsaqifah balai pertemuan Bani Sa’idah, Madinah. Dalam pertemuan antara sekelompok Ansar dan Muhajirin itu, Abu Bakar berkata: “Saya nasihatkan kalian untuk membai’at salah seorang, yaitu Abu Ubaidah bin Jarrah atau Umar bin Khattab”. Kemudian Umar berkata “Demi Allah, akan terjadikah itu? Padahal Abu Bakar lah yang paling berhak memegang jabatan ini, beliau lebih dulu jadi sahabat Rasul, beliau Muhajirin yang paling utama, pengganti Rasul dalam imam shalat…ulurkan tangan! saya bai’at Abu Bakar”.
            Ketika Utsman bin Affan dia dipilih jadi khalifah, yang mula2 membai’at adalah Abdurrahman bin Auf yang diikuti oleh jama’ah yang kemudian diikuti oleh manusia yang ada di masjid.[3]
Dari uraian di atas tampak bahwa yang membai’at itu adalah ahlul hal wal ‘aqdi dan kemudian dapat diikuti oleh rakyat pada umumnya seperti pada kasus pembai’atan Utsman. Akan tetapi, pada umumnya pembai’atan itu dianggap sah apabila dilakukan oleh anggota-anggota ahlul hal wal ‘aqdi sebagai wakil rakyat, sebagaimana terjadi pada kasus Abu Bakar.

BAB III : Ummah dan Ro’iyyah
            Rakyat terdiri dari muslim dan nonmuslim, yang non muslim ini ada yang disebut kafir dzimi ada pula yang disebut musta’min.
            Kafir dzimi adalah warga nonmuslim yang menetap selamanya, serta dihormati tidak boleh diganggu jiwanya, kehormatannya, dan hartanya, sedang seorang musta’min adalah orang asing yang menetap untuk sementara, dan juga harus dihormati jiwanya, kehormatannya, dan hartanya. Kafir dzimi memiliki hak-hak kemanusiaan, hak-hak sipil, dan hak-hak politik. Sedangkan musta’min tidak memiliki hak-hak politik, karena mereka itu orang asing. Persamaannya, kedua-duanya adalah nonmuslim.
            Adapun mengenai hak-hak rakyat, Abu A’la al-maududi menyebutkan bahwa hak-hak rakyat itu adalah:
1. Perlindungan terhadap hidupnya, hartanya dan kehormatannya.
2. Perlindungan terhadap kebebasan pribadi.
3. kebebasan menyatakan pendapat dan keyakinan.
4. terjamin kebutuhan pokok hidupnya, dengan tidak membedakan kelas dan kepercayaan.[4]
            Tugas-tugas dan hak-hak rakyat ini rinciannya dapat digariskan oleh ahl al-hall wa al-‘aqd sebagai lembaga kekuasaan tertinggi. Demikian pula halnya dengan hak dan kewajiban imam. Sudah tentu rincian tersebut dalam batas-batas untuk kemaslahatan bersama.





KESIMPULAN :
1. Secara harfiah, Ahl Al-Hall Wa Al ‘Aqd berarti orang yang dapat memutuskan dan mengikat. Para ahli fiqh siyasah merumuskan pengertian Ahl Al-Hall Wa Al ‘Aqd Sebagai orang yang memiliki kewenangan untuk memutuskan dan menentukan sesuatu atas nama umat (warga negara).dengan kata lain, Ahl Al-Hall Wa Al ‘Aqd adalah lembaga perwakilan yang menampung dan menyalurkan aspirasi atau suara masyarakat.
2. Bai’ah merupakan hal yang sangat penting karena merupakan kontrak sosial antara rakyat yang diwakili oleh Ahl Al-Hall Wa Al ‘Aqd dengan seorang amir, dimana rakyat berjanji mematuhi dan menaati imam selama imam tersebut tidak ma’siat dan zhalim.
3. Ummah yang patuh dan taat terhadap imam harus dilindungi hak-haknya tanpa melihat status sosial maupun golongan ummah tersebut.

Daftar Pustaka :
Ø  A. Djazuli, Fiqih Siyasah, Jakarta: Prenada Media Group cet.II, 2003
Ø  Pulungan J. Suyuthi,Fiqih Siyasah: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada cet I, 1994




[1] Prof. T.M. Hasbi Ash Shiddieqy, Asas-asas Hukum Tata Negara menurut Syariat lslam, Matahari Masa Yogyakarta, 1969, hlm. 66.
[2] Prof. T.M. Hasbi Ash Shiddieqy, Ilmu Kenegaraan Dalam Fikih Islam, 1971, hlm, 65.
[3] Ibnu Qutaibah Adainuri, Al Imamah wa Al Siyasah, Muassasah al-Halabi, Qahairah, Mesir, 1967, juz 1, hlm. 16.
[4] Abul A’la al-Maududi, Op. cit., hlm 266

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

dunia ini memang indah,, tergantung bagaimana kita menjaga keindahan itu,,. untuk itu mari kita bersatu, satu pikiran satu tujuan untuk Indonesia merdeka,.. berpisah kita berjuang bersatu kita memukul..