Jumat, 28 September 2012

HUKUM PERTANAHAN SEBAGAI SARANA PEMBANGUNAN - UUPA



HUKUM PERTANAHAN SEBAGAI  SARANA PEMBANGUNAN
PENDAHULUAN
Dalam kehidupan manusia,telah memiliki kedudukan yang sangat penting, sebab sebagaimana kehidupan manusia masih menggantungkan penghidupan dan penghasilannya pada tanah, baik sebagai tempat tinggal maupun sebagai bidang pertanian, industri, pemukiman dan perdagangan sebagai sarana dalam upaya memenuhi kebutuhan hidup manusia.
Untuk itu kebutuhan akan tanah cenderung meningkat karena, tanah merupakan sarana penunjang segala aktifitas kehidupan manusia yang selalu bertambah seiring dengan pertambahan penduduk yang pesat. Ini membuat semakin berkurangnya keberadaan tanah itu untuk digarap, tempat pemukiman, dan lain-lain sehingga memicu keinginan manusia untuk memperkuat penguasaan dan kepemilikan atas tanah.

PEMBAHASAN
A.    Pengertian tanah
Dalam kamus besar Bahasa Indonesia disebutkan pengertian mengenai tanah, yaitu permukaan bumi atau lapisan bumi yang paling ata. Menurut pasal 4 UUPA dinyatakan sebagai berikut :
Atas dasar hak menguasai dari negara sebagai yang dimaksud dalam pasal 2 ditentukan adanya macam macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain serta badan-badan hukum.[1]
Dengan demikian yang dimaksud tanah dalam pasal ini adalah permukaan bumi[2].makna permukaan bumi sebagai bagian dari tanah yang dapat dihaki oleh setiap orang atau badan hukum.

B.     Sumber Hukum tanah Indonesia
Sumber hukum tanah indonesia yang lebih identik yang lebih dikenal pada saat ini yaitu setatus tanah dan riwayat tanah, status tanah atau riwayat tanah merupakan kronologis masalah kepemilikan dan penguasan tanah baik pada masa lampau atau masa kini maupun masa yang akan datang. Status tanah atau riwayat tanah, dikenal dengan surat keterangan pendaftaran tanah (SKPT) untuk tanah-tanah bekas hak-hak barat dan hak-hak lainnya.
Sejalan dengan hal tersebut maka persoalan tanah merupakan permasalahan yang peka dengan meningkatkan pembangunan saat ini. Disatu sisi tanah merupakan modal utama bagi pembangunan pertanian dan industri, dilain pihak tanah menyangkut juga segala aspek kehidupan bagi warga masyarakat, oleh karena itu tanah tidak hanya memiliki nilai ekonomis untuk kesejahteraan manusia akan tetapi juga mempunyai nilai yang berhubungan dengan masalah sosial, politik, dan pertahanan keamanan.
Seiring dengan pembangunan tanah disegala aspek kehidupan yang menyangkut masalah sosial, politik, dan pertahanan keamanan maka, harus disertai dengan memperhatikan masalah kesejahteraan warga masyarakat secara keseluruhan. Kesejahteraan warga masyarakat merupakan hal yang paling penting yang harus diperhatikan oleh suatu negara, tidak terkecuali Bangsa Indonesia yang memang sejak dahulu menginginkan hal itu. Untuk itu didalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 masalah kesejahteraan bagi masyakat Indonesia telah diatur oleh Negara, pada alenia ke-4 pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yang berbunyi:
Kemudian daripada itu, untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia, yang berbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berdaulatkan rakyat dengan berdasarkan kepada:
Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradap, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
Selain itu dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 memuat mengenai Kesejahteraan Bagi Bangsa Indonesia, dalam pasal ini disebutkan bahwa semua tanah di seluruh wilayah kedaulatan Bangsa Indonesia dipergunakan sebesarbesarnya bagi seluruh rakyat, yang berbunyi:
"Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. "
Dimaksudkan bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung dalam bumi adalah pokok-pokok kemakmuran rakyat, sebab itu harus dikuasai oleh negara dan dipergunakan oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesarbesamya kemakmuran rakyat.[3]
Dalam hal ini tentunya diperlukan tanah yang merupakan salah satu kekayaan alam dan menjadi unsur utama bagi kehidupan manusia, untuk itu diperlukan pengaturan dalam pemanfaatan tanah tersebut. Untuk mengatur ini diperlukan pengaturan dalam pemanfaatan tanah tersebut. Untuk mengatur ini maka tanggal 24 September 1960 diberlakukan Peraturan Dasar Pokok Agraria (selanjutnya disebut UUPA) yang memuat mengenai peraturan mendasar tentang pokok-pokok agraria yang dirasakan sangat perlu keberadaan UUPA dapat mengakomodir setiap persoalan maupun kepentingan dibidang pertanahan. Salah satu pengaturan yang berlaku dalam UUPA mengenai pembangunan mengenai pembangunan berbagai fasilitas untuk kepentingan umum adalah pasal 18 yang pengaturannya melalui Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum dengan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 1994 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 55 Tahun 1993 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Berdasarkan ketentuan tersebut diatas, maka pengertian pengadaan tanah menurut Pasal 1 angka l Keputusan Presiden No.55 Tahun 1993 menyatakan bahwa:
"Pengadaan Tanah adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti kerugian kepada yang berhak atas tanah tersebut."
Sedangkan pengertian kepentingan umum yang berdasarkan Pasal 1 angka 3 Keputusan Presiden No. 55 Tahun 1993 berbunyi:
"Kepentingan umum adalah kepentingan untuk seluruh lapisan masyarakat"
Adanya Keputusan Presiden No. 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum ditetapkan pada tanggal 17 Juni 1993, yang bertujuan untuk mengatur pengalihan hak atas tanah milik masyarakat melalui suatu prosedur yang baku diatur dalam Undang-Undang sesuai dengan Pasal 18 UUPA yang berbunyi:
“Untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan Bangsa dan Negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut, dengan memberikan ganti kerugian yang layak dan menurut tata cara yang diatur dengan undang-undang."
Untuk itu pembangunan bagi kepentingan umum sebagai sarana pembangunan tentunya membutuhkan tanah, ini terbukti dengan adanya kegiatan pembangunan yang ada di Negara kita pada saat ini khususnya pembangunan yang dirasakan sangat penting untuk keperluan dan kepentingan masyarakat luas. Dalam hal ini tentunya diperlukan suatu usaha peralihan hak atas tanah dari pihak yang mempunyai hak atas tanah kepada pihak yang membutuhkan tanah. Pengalihan hak atas tanah ini tentunya memerlukan suatu pendekatan terpadu, selaras, dan seimbang agar tidak terjadi keresahan-keresahan dalam kehidupan masyarakat itu sendiri. Agar rencana pembangunan itu dapat berjalan dengan baik sebagaimana yang diinginkan oleh pemerintah maka rencana pembangunan tersebut tentunya diperlukan adanya kesepakatan antara pemerintah atau badanhukum dengan masyarakat sebagai pemilik hak atas tanah, sehingga akhirnya pembangunan tersebut dapat berguna bagi kepentingan masyarakat secara umum. Pembangunan untuk kepentingan umum apabila ditinjau dari Keputusan Presiden No. 55 Tahun 1993, maka ada pembatasan untuk kegiatan pembangunan yang dilakukan dan dimiliki oleh pemerintah dan badan hukum, yaitu antara lain
sebagai berikut:
a. Jalan umum, saluran pembuangan air;
b. Waduk, bendungan dan bangunan pengairan lainnya termasuk saluran irigasi;
c. Rumah sakit umum dan pusat-pusat kesehatan masyarakat
d. Pelabuhan atau bandar udara dan terminal;
e. Peribadatan;
f. Pendidikan atau sekolahan;
g. Pasar umum atau INPRES;
h. Fasilitas pemakaman umum;
i. Fasilitas keselamatan umum antara lain tanggul penanggulan bahaya banjir, lahar dan lain-lain bencana;
j. Pos dan telekomunikasi;
k. Sarana olah raga;
1. Saluran penyiaran radio, televisi serta sarana pendukung;
m. Kantor pemerintah;
n. Fasilitas Angkatan Bersenjata Indonesia Indonesia.
Ketentuan ini hanya bisa diterapkan apabila suatu keharusan yang menghendaki adanya suatu proyek atau kegiatan tertentu untuk pembangunan yang dilakukan untuk kepentingan umum melalui cara dengan pengadaan tanah. Pada klausula ini mempunyai nilai positif yaitu untuk mengantisipasi kemungkinan hal-hal baru yang timbul dan belum tercakup oleh pengertian kepentingan umum yang dirumuskan sebelumnya. Namun dapat juga menimbulkan suatu kesan negatif, dimana ruang lingkup dari kepentingan umum ini "dapat diatur" dan "dapat dipermainkan sedemikian rupa" sehingga percuma saja ditentukan dalan suatu daftar panjang seperti yang tercakup pada Pasal 5 ayat (1) Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993, jika akhirnya suatu kepentingan dapat saja dijadikan sebagai kepentingan umum.                                    Maksud dari pengertian tersebut diatas diperlukan suatu kegiatan yang padaintinya dilakukan dengan suatu permusyawarahan untuk dapat melepaskan hubungnan hukum dari seorang pemegang hak atas tanah dengan tanah yang dikuasainya. Hubungan ini dapat dilakukan dengan cara pelepasan atau penyerahan hak atas tanah. Adanya pelepasan atau penyerahan hak atas tanah berdasarkan Pasal 1 angka 2 Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993 adalah: "Kegiatan melepaskan hubungan hukum antara pemegang hak atas tanah dengan tanah yang dikuasainya dengan memberikan ganti kerugian atas dasar musyawarah" Sesuai dengan prinsip UUPA dalam hubungan ini Pasal 1 angka 2 Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993 maka yang aktif adalah pemegang hak untuk menyerahkan dan melepaskan haknya. Sehingga melalui pernyataan yang dibuatnya secara sukarela tanpa ada paksaan atau menyerahkan hak atas tanah kepada panitia yang mewakili Negara sehingga dengan perbuatan hukum tersebut hapuslah hak atas tanah yang bersangkutan. Pengertian tersebut lebih dekat dengan apa yang diatur dalam Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993, namun hak dari pemegang hak atas tanah haruslah tetap dihormati dan dihargai, ini merupakan Hak Asasi Manusia (HAM).                                                        
Dalam pengadaan tanah permasalahan yang perlu diperhatikan adalah:
1. Bahwa pembangunan berbagai fasilitas untuk kepentingan umum   memerlukan bidang tanah yang cukup.
2. Bahwa harus memperhatikan peran tanah dalam kehidupan manusia danprinsip penghormatan terhadap hak-hak yang sah atas tanah.
3. Bahwa prosedur pengadaan tanah haruslah seimbang dan untuk tingkatpertama dilakukan dengan cara musyawarah dengan para pemegang hak atas tanah.[4]
Untuk mengantisipasi keberadaan Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993dibutuhkan adanya suatu landasan hukum bagi pemerintah untuk mengawasi berbagai kesulitan pertanahan, ketika pemerintah menjalankan atau membuka berbagai proyek pembangunan sesuai dengan program yang dijalankan melalui Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita). Dalam rangka pengadaan tanah untuk pembangunan maka dapat ditempuh dengan melaui salah satu sarana hukum sebagai berikut, yaitu antara lain:
a. Permohonan hak atas tanah negara
b. Pembebasan tanah
c. Hibah tanah untuk pemerintah
d. Pencabutan hak
Hal ini dapat ditempuh dengan cara pengadaan tanah tergantung kepada tiga hal,yaitu status hukum hak atas tanah yang diperlukan, status pihak yang memerlukan tanah dan ada atau tidaknya persediaan tanah untuk pembangunan yaitu dengan cara melepaskan hak atas tanahnya.[5]
Untuk pelaksanaan lebih teknis memang ada beberapa alternatif untuk menghindari terjadinya konflik dalam hal pengadaan tanah untuk kepentingan umum, misalnya ada juga rakyat yang tidak perlu untuk melepaskan hak atas tanahnya kepada pemerintah dan untuk itu ia mendapat imbalan dalam bentuk ganti kerugian dengan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 1973 tentang "Acara Pemberian Ganti Kerugian Sehubungan dengan Hak-Hak Atas Tanah" yang telah dicabut dan digantikan dengan Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993 tentang "Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum". Untuk itu sangat perlu diperhatikan mengingat dalam suasana pembangunan saaat ini masalah tanah merupakan potensi yang sangat
penting dalam menunjang pembangunan disegala bidang.
Dengan mengacu pada pasal 12 dan pasal 13 keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993 tentang rugi dan bentuk ganti rugi, maka pelaksanaannya diatur dalam Pengaturan Menteri Dalam Negeri/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 1994 tentang Ketentuan Pelaksanaan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 55 Tahun 1993 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum yang pada bagian ketiga mengenai Pelaksanaan Musyawarah dan Penetapan Bentuk dan Besarnya Ganti Kerugian pada Pasal 14 sampai dengan Pasal 21 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan PertanahanNasional Nomor 1 Tahun 1994.
Dalam hal melaksanakan kegiatan pembangunan untuk kepentingan umum dengan cara pengadaan tanah ini tentunya diperlukan panitia pengadaan tanah yang mana panitia ini dibentuk untuk membantu pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum. Ketentuan ini berdasarkan kepada Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993 pada Pasal 6, Pasal 7 dan Pasal 8. Panitia ini dibentuk oleh Gubernur Kepala Daerah Tingkat I dan disetiap Kabupaten dan Kotamadya Daerah Tingkat II yang mana susunan Panitia Pengadaan Tanah ini terdapat pada Pasal 7 Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993 sedangkan tugas Panitia Pengadaan Tanah ini ada pada Pasal 8 Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993.
Dalam melaksanakan tugasnya panitia pengadaan tanah harus berlandaskan pada prinsip, penghormatan terhadap hak atas tanah. Diharapkan pada saat pelepasan atau penyerahan hak atas tanah pemegang hak atas tanah tidak merasa keberatan dan terpaksa melepaskan haknya. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga agar supaya panitia pengadaan tanah tidak bertindak sewenang-wenang dalam hal pengambilalihan hak atas tanah dari pemilik hak atas tanah yang bersangkutan. Untuk itu Negara sebagai pemegang kekuasaan terhadap bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya mempunyai kewajiban untuk mengatur kepemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah untuk kemakmuran rakyat hal ini sesuai dengan ketentuan yang menyatakan bahwa semua tanah diseluruh wilayah Indonesia adalah kedaulatan bangsa dan dipergunakan untuk kemakmuran rakyat, seperti yang diatur didalam Pasal 33 ayat (3) Undang- Undang Dasar 1945 dan Pasal 2 ayat (1) dan (2) UUPA berbunyi:
Pasal 2 ayat ( l):
"Atas dasar ketentuan dalam pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar dan hal-hal sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 1 bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya itu pada tingkat tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi kekayaan seluruh rakyat."
Pasal 2 ayat (2):
"Hak menguasai dari Negara termaksud dalam ayat 1 pasal ini memberikan wewenang untuk:
a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukkan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air, dan ruang angkasa;
b. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air, dan ruang angkasa;
c. Mengatur dan menentukan hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum mengenai bumi, air dan ruang angkasa.”

Dalam Pasal 2 ayat (1) yang menyatakan bahwa "Bumi, air, dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya, pada tingkat yang tertingggi dikuasai oleh Negara." Sesuai dengan pangkal pendirian tersebut diatas perkataan "dikuasai" dalam hal ini bukanlah berarti "dimiliki", tetapi adalah kekuasaan pada tingkat yang tertinggi,untuk mengaturnya. Segala sesuatunya dengan tujuan untuk mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dalam rangka masyarakat yang adil dan makmur (Pasal 2 ayat 1dan ayat 2)pengertian, yang memberikan wewenang kepada Negara, sebagai organisasi kekuasaan padatingkat yang tertinggi,untuk mengaturnya. Segala sesuatunya dengan tujuan untuk mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dalam rangka masyarakat yang adil dan makmur (Pasal 2 ayat 1 dan ayat 2).[6]


C.    DAFTAR PUSTAKA

Ø  Abdurrahman, Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1994.
Ø  Ali Achmad Chomzah, Hukum Pertanahan Seri Hukum Pertanahan II Penyelesaian Sengketa Hak Atas Tanah dan Seri Hukum Pertanahan IV Pengadaan Tanah Instansi Pemerintah , Jakarta: Prestasi Pustaka, 2003
Ø  Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia: Himpunan Peraturan-Peraturan Hukum Tanah, Jakarta: Djambatan, 2002.
Ø  Indonesia, Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945, Jakarta: Sinar Grafika, 2002.
Ø  Supriyadi, Hukum Agraria, Jakarta: Sinar Grafika , 2009.
                                          



[1]Supriadi  Hukum agraria hal.3
[2] Sudargo Gautama Tafsiran Undang-undang pokok-pokok Agraria
[3] Indonesia, Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945, (Jakarta: Sinar Grafika, 2002),
Hlm. 77.

[4] Abdurrahman, Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk
Kepentingan Umum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1994), Hlm. 1-2.

[5] Ali Achmad Chomzah, Hukum Pertanahan Seri Hukum Pertanahan II Penyelesaian
Sengketa Hak Atas Tanah dan Seri Hukum Pertanahan IV Pengadaan Tanah Instansi
Pemerintah ,( Jakarta: Prestasi Pustaka, 2003), Hlm. 121.
[6] Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia: Himpunan Peraturan-Peraturan Hukum
Tanah, (Jakarta: Djambatan, 2002), Hlm. 31.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

dunia ini memang indah,, tergantung bagaimana kita menjaga keindahan itu,,. untuk itu mari kita bersatu, satu pikiran satu tujuan untuk Indonesia merdeka,.. berpisah kita berjuang bersatu kita memukul..