II. Sejarah, Konsepsi Hukum Tanah Nasional (UUPA)
A. Sejarah Pembentukan UUPA
1. Panitia Agraria Yogya.
Pada tahun 1948 telah dimulai
usaha-uasaha yang konkrit untuk menyusun dasar-dasar Hukum Agraria/ Hukum tanah
baru yang akan menggantikan Hukum Agraria warisan pemerintah jajahan. Usaha
tsb, dimulai dengan pembentukan Panitia Agraria yang berkedudukan di
Yogyakarta sbg. Ibukota RI pada waktu itu. “Panitia
Agraria Yogya” dibentuk dengan Penetapan Presiden RI tanggal 21 Mei 1948 No.16. yang diketuai oleh Sarimin Reksodihardjo dengan tugas : memberi pertimbangan kepada pemerintah tentang soal-soal yang mengenai hukum tanah seumumnya, merancang dasar-dasar hukum tanah yang memuat politik agraria negara RI, merancang perubahan, penggantian, pencabutan peraturan peraturan lama, baik dari sudut legislatif mapun dari sudut praktik dan menyelidiki soal-soal lain yang berhubungan dengan hukum tanah. Selanjutnya berdasarkan surat Panitia Yogya tgl. 3-2-1950 No. 22/PA Panitia mengusulkan :
Agraria Yogya” dibentuk dengan Penetapan Presiden RI tanggal 21 Mei 1948 No.16. yang diketuai oleh Sarimin Reksodihardjo dengan tugas : memberi pertimbangan kepada pemerintah tentang soal-soal yang mengenai hukum tanah seumumnya, merancang dasar-dasar hukum tanah yang memuat politik agraria negara RI, merancang perubahan, penggantian, pencabutan peraturan peraturan lama, baik dari sudut legislatif mapun dari sudut praktik dan menyelidiki soal-soal lain yang berhubungan dengan hukum tanah. Selanjutnya berdasarkan surat Panitia Yogya tgl. 3-2-1950 No. 22/PA Panitia mengusulkan :
1).
Dilepaskanya asas domein dan pengakuan hak ulayat ;
2).
Diadakannya peraturan yang memungkinkan adanya hak perseorangan yang kuat,
yaitu hak milik yang dapat dibebani hak tanggungan. Pemerintah hendaknya jangan memaksakan dengan peraturan perkembangan hak
perseorangan dari yang paling lemah sampai yang paling kuat, perkembangan itu
hendaknya diserahkan kepada usaha rakyat sendiri dan paguyuban hukum kecil.
Sebaliknya Pemerintah memberi stimulans yang sebesar-besarnya untuk mempercepat
perkembangan itu ;
3). Supaya diadakan
penyelidikan dahulu dalam peraturan-peraturan negara-negara lain, terutama
negara-negara tetangga, sebelum menentukan apakah orang-orang asing dapat pula
mempunyai hak atas tanah ;
4). Perlunya diadakan penetapan luas minimum
tanah untuk menghindarkan pauperisme diantara petani kecil dan memberi tanah
yang cukup untuk hidup yang patut, sekalipun sederhana. Untuk Jawa diusulkan 2
ha ;
5). Perlunya ada
penetapan maksimum. Diusulkan untuk Jawa 10 ha dengan tidak memandang macamnya
tanah. Untuk luar jawa dipandang perlu untuk mengadakan penyelidikan lebih
lanjut ;
6). Menganjurkan
untuk menerima skema hak-hak tanah yang diusulkan oleh Sarimin R. Ada hak milik
dan tanah kosong dari Negara dan daerah-daerah kecil serta hak-hak atas tanah
orang lain yang disebut hak-hak magersari
7). Perlunya diadakan registrasi tanah milik
dan hak-hak menumpang yang penting
2. Panitia Agraria Jakarta
Panitia Agraria Jakarta dibentuk
dengan Keputusan Presiden No. 36/1951 tgl. 19 Maret 1951 dengan ketua Sarimin
Reksodihardjo namun diganti oleh Singgih Praptodihardjo karena ybs. diangkat
menjadi gubernur di Nusatenggara. Panitia tersebut
hasilnya belum maksimal karena Ketua/ Wkl. sering diberi tugas oleh Pemerintah.
Usulan yang tertuang dalam majalah Agraria tgl. 9 Juni 1955 sbb :
1).Mengadakan batas
minimum umum 2 ha. Mengenai hubungan
pembatasan minimum tersebut dengan hukum adat terutama hukum waris perlu
diadakan tinjauan lebih lanjut.
2).Ditentukan
pembatasan maksimum 25 ha untuk satu keluarga ;
3).Yang dapat
memiliki tanah untuk pertanian kecil hanya penduduk warga Negara Indonesia.
Tidak diadakan perbedaan antara warga Negara asli dan bukan asli. Badan Hukum
tidak diberi kesempatan untuk mengerjakan pertanian kecil ;
4).Untuk pertanian
kecil diterima bangunan-bangunan hukum, hak milik, hak usaha, hak sewa dan hak
pakai ;
5).Hak ulayat
disetujui untuk diatur oleh atau atas kuasa undang-undang sesuai dengan
pokok-pokok dasar Negara.
3. Panitia Soewahjo
Dengan Keputusan Presiden tgl. 22 Maret
1955 No. 55 dibentuk Kementerian Agraria dengan tugas antara lain mempersiapkan
pembentukan perundang-undangan Agraria nasional. Mengingat Panitia Jakarta
tidak dapat diharapkan akan dapat menyusun rancangan UUPA dalam waktu yang
singkat, maka pada masa jabatan Menteri Agraria Gunawan Panitia Agraria Jakarta
dibubarkan berdasarkan Keppres tgl. 14 Januari 1956 No. 1 th. 1956. Panitia
yang baru diketahui oleh Soewahjo Soemodilogo.
Th. 1957 Panitia Soewahjo telah berhasil menyelesaikan tugasnya berupa
RUUPA yang disampaikan kepada Pemerintah tgl. 6 Feb. 1958 setelah itu Panitia
dibubarkan. Adapun popok-pokok penting dari RUUPA dari Panitia tersebut :
1).
Dihapuskannya asas domein dan diakuinya hak ulayat, yang harus ditundukkan pada
kepentingan umum (Negara) ;
2). Asas
domein diganti dengan hak kekuasaan Negara ;
3). Dualisme hukum Agraria dihapuskan. Secara
sadar diadakan kesatuan hukum yang memuat lembaga-lembaga dan unsur-unsur yang
baik, baik yang terdapat dalam Hukum Adat maupun Hukum Barat.
4). Hak-hak atas tanah : Hak Milik sebagai hak
yang terkuat yang berfungsi sosial. Kemudian Hak Usaha, Hak Bangunan dan Hak
Pakai ;
5). Hak Milik hanya boleh dipunyai oleh
orang-orang warga Negara Indonesia. Badan Hukum pada asasnya tidak boleh
mempunyai hak milik ;
6). Perlu diadakan penetapan batas maksimum dan
minimum luas tanah yang boleh menjadi milik seseorang atau badan hukum ;
7). Tanah pertanian pada asasnya harus dikerjakan
dan diusahakan sendiri oleh pemiliknya ;
8). Perlu diadakan pendaftaran tanah dan
perencanaan penggunaan tanah.
4.
Rancangan Soenarjo
Dengan beberapa perubahan mengenai
sistematika dan rumusan beberapa pasalnya Rancangan “Panitia Soewahjo” tersebut
diajukan oleh Menteri Agraria Soenarjo kepada Dewan Menteri pada tgl 14 Maret
1958 “ Rancangan Sunardjo” disetujui oleh Dewan Menteri dalam sidangnya pada
tgl. 1 April 1958 dan kemudian diajukan kepada DPR dengan amanat Presiden tgl.
24 April 1958 No. 1307/HK. DPR membentuk Panitia Ad Hoc yang diketuai oleh
Mr.A.M. Tambunan, dari UGM seksi Agraria yang diketuai Prof. Notonegoro dan
Ketua Mahkamah Agung Wirjono Prodjodikoro yang banyak memberikan memberikan
bahan kepada Panitia Ad Hoc. Sejak itu pembicaraan RUU UUPA dalam sidang pleno
tertunda, hingga akhirnya Rancangan Soenardjo tersebut ditarik kembali oleh
Kabinet.
5. Rancangan Sadjarwo
Berhubung dengan
berlakunya kembali UUD 1945 maka Rancangan Soenarjo yang masih memakai UUDS
ditarik kembali dengan surat Pejabat Presiden tanggal 23 Mei 1960 No.
1532/HK/1960.
Setelah disesuaikan dengan UUD 1945 dan
Manifesto Politik, dalam bentuk yang lebih sempurna dan lengkap diajukan RUUPA
yang baru oleh Menteri Agraria Sadjarwo yang selanjutnya disebut “Rancangan
Sadjarwo”. Rancangan Sadjarwo tersebut
disetujui oleh Kabinet Inti dalam sidangnya tgl. 22 Juli 1960 dan oleh Kabinet
Pleno tgl. 1 Agustus 1960. Dengan amanat Presiden tgl. 1 Agustus 1960 No.
2584/HK/1960 Rancangan tersebut diajukan ke DPRGR. Pembahasan di DPR GR yang
diketuai oleh H. Zainul Arifin dalam sidang Pleno tgl. 12 September 1960 dan
pada tagl. 14 September telah mendapat persetujuan suara bulat dari DPRGR.
Selanjutnya pada tgl 24 September 1960 disahkan oleh Presiden Soekarno menjadi
UUPA No. 5 Th. 1960 Selanjtunya UUPA
tersebut diundangkan dalam Lembaran Negara Th. 1960 No.104 dan Penjelasannya
dalam Tambahan Lembaran Negara No. 2043
A. Fungsi dan tujuan UUPA dan hubungannya dengan hukum Adat,
serta konsepsi-konsepsi hukum tanah
1.Fungsi
dan Tujuan UUPA.
a.
Menghapus dualisme hukum tanah yang lama, dan menciptakan unifikasi serta
kodifikasi Hukum Tanah Nasional yang didasarkan pada Hukum
Tanah Adat, yakni mencabut :
1).
Seluruh pasal 51 IS yang didalamnya termasuk juga ayat-ayat yang merupakan
Agrarische Wet (Stbl. 1870-55) ;
2).
Semua Domeinverklaring dari Pemerintah Belanda, baik yang umum maupun yang
khusus ;
3). Pengaturan
mengenai Agrarische Eigendom yang dituangkan ke dalam Koninklijk Besluit
tanggal 16 April 1872 N. 29 (Stbl. 1872-117 jo. Stbl. 1873-38) ;
4). Buku Kedua KUH Per, kecuali
ketentuan-ketentuan mengenai hipotik ;
b. Mengadakan
unifikasi hak-hak atas tanah dan hak-hak jaminan atas tanah melelaui ketentuan
konversi .
c. Meletakkan
landasan hukum untuk pembangunan Hukum Tanah Nasional misalnya mengenai
Landreform.
Sedangkan tujuan UUPA adalah :
a. Menciptakan
unifkasi hukum Agraria dengan cara :
1). Menyatakan
tidak berlaku lagi peraturan-peraturan hukum tanah lama ;
2). Menyatakan berlakunya Hukum Tanah Nasional
berdasarkan Hukum Tanah Adat yang tidak
tertulis sebagai bahan penyusunan hukum tanah Nasional ;
b. Menciptakan
unifikasi hak-hak penguasaan atas tanah melalui konversi :
1). Tanah-tanah
hak barat maupun tanah hak Indonesia mulai tgl 24-9-1960 dikonversi menjadi
hak-hak menurut UUPA
2). Hak-
hak jaminan atas tanah, yakni hipoteek & crediet verband diubah menjadi hak
tanggungan atas tanah berdasarakn UU No. 4 Th. 1996 dan UU No. 12 Th. 1999
tentang Jaminan Fidusia
2.Hubungan
dengan hukum Adat
a. Secara formal, bahwa UUPA
tersebut :
1). Dibuat di Indonesia
;
2). Dalam bahasa
Indonesia ;
3). Berlaku di seluruh
Indonesia .
b. Secara Material, bahwa UUPA tersebut :
1). Isinya merupakan perwuju dan dari
Pancasila
2). Disusun dengan menggunakan hukum adat ;
Jadi apabila dilihat dari segi materinya, maka hubungan
fungsional tersebut dapat kita jumpai pada :
a. Konsiderans,
bahwa perlu adanya hukum Agraria Nasional berdasarkan hukum adat tentang tanah
b. Bahwa hukum
Agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah Hukum Adat (Pasal 5
UUPA)
c. Penjelasan umum
menyatakan bahwa hukum agraria yang baru didasarkan pada ketentuan hukum adat
sebagai hukum asli yang disempurnakan dan disesuaikan dengan kepentingan
masyarakat.
Dalam
penjelasan umum terdapat istilah Hukum Adat sebagai hukum yang asli, hal mana
ditekankan karena Hukum Adat sebagai hukum yang tidak tertulispun masih
dipengaruhi/ dimasuki oleh unsur-unsur dari luar, misalnya pengaruh hukum
kolonial, swapraja dan sebagainya.
Sampai sekarang masih ada orang yang mempermasalahkan dan
mempertanyakan hubungan Hukum Adat dan UUPA itu, yakni bahwa Hukum Adat yang
manakah yang dimaksudkan oleh UUPA, sebab ada pengertian Hukum Adat dari para
sarjana antara lain :
1. Van Vollen Hoven : membedakan adanya
”hukum adat golongan pribumi” dan hukum adat golongan timur asing”
2. Kusumadi Pudjosewojo : ”hukum adat” adalah keseluruhan peraturan
hukum yang tidak tertulis. Hukum Adat dalam pengertian ini bukan merupakan
lapangan hukum tersendiri disamping lapangan-lapangan hukum yang ada.
Dengan dua pengertian tersebut, termasuk hukum manakah Hukum
Adat yang dimaksudkan leh UUPA itu ?. Pengertian Hukum Adat menurut UUPA ,
bukanlah pengertian kedua sarjana tersebut.
Hukum Adat yang
dimaksud UUPA adalah :
a. Secara
Formal :
Bagian dari hukum positif Indonesia yang berlaku sebagai hukum yang
hidup dalam bentuk tidak tertulis du kalangan orang-orang Indonesia asli yang
mengandung ciri-ciri nasional.
b. Secara
Material :
Sifat kemasyarakatan yang berasakan keseimbangan dan
diliputi suasana keagamaan
Dengan pengertian yang demikian, maka apa yang disebut
Hukum Adat, tidak harus diartikan semata-mata sebagai rangkaian norma-norma
hukum saja, akan tetapi meliputi :
a. Konsepsi (ajaran,
teori) ;
b.Asas-asas (yang
merupakan perwujudan dari konsepsi)
c. Lembaga-lembaga
hukum ;
d. Sistem (tata
susunan yang teratur)
Konsepsi dan asas-asas hukum
yang merupakan perwujudan kesadaran hukum para warga masyarakat dalam
penerapannya ditentukan oleh suasana dan keadaan masyarakat yang bersangkutan,
serta nilai-nilai yang dianut oleh para warganya. Walaupun konsepsi dan
asas-asasnya sama, akan tetapi norma-norma hukum yang merupakan hasil penerapannya bisa
berbeda disuatu masyarakat dengan masyarakat lainnya . Demikian pila dengan perubahan-perubahan
pada suasana, keadaan dan nilai-nilai dalam masyarakat yang sama dalam
pertumbuhannya, dapat mengakibatkan perubahan dalam norma-norma hukum yang
berlaku, sungguhpun konsepsi dan asas-asasnya tidak berubah.
Kemudian norma-norma tersebut disusun
dalam suatu sistem yang teratur termasuk Lembaga-lembaga hukumnya.
Sebagai kesatuan pengertian yang meliputi konsepsi,
asas-asas, lembaga-lembaga hukum, sistem dari norma yang berlaku, maka Hukum
Adat merupakan perangkat hukum yang berbeda dengan perangkat-perangkat hukum
positif lainnya, dan menjadikan Hukum Adat sebagai hukum yang khas Indonesia..
Jadi kalau kita berbicara tentang hubungan fungsional antara
Hukum Tanah Nasional dengan Hukum Tanah Adat, intinya terletak pada 3 (dua)
fungsi pokok Hukum Tanah Adat, yaitu :
a. Sebagai
sumber utama bagi pembangunan Hukum Tanah Nasional (UUPA) ;
b. Sebagai
pelengkap Hukum Tanah Nasional yang tertulis.
Mengenai hubungan fungsional antara hukum nasional dengan hukum
adat :
1. Konsiderans dan
penjelasan UUPA yang menunjuk pada fungsi hukum adat sebagai sumber utama bagi
pembangunan Hukum Tanah Nasiona, dan pasal 5 UUPA yang juga menunjukkan fungsi
hukum adat sebagi sumber utama serta sekaligus sebagai pelengkap bahan-bahan
yang diperlukan bagi Hukum Tanah Nasional.
2. Bentuk Hukum Tanah
Nasional :
a. Tertulis
b. Tidak
tertulis, untuk mengisi kekosongan hukum sebagai pelengkap yakni:
1). Hukum tanah adat yang sudah di saneer (Pasal
5 UUPA) ;
2) Hukum
kebiasaan lainnya yang timbul dari kebijaksaaan dalampelaksanaan Hukum Tanah
yang baru berupa Yurisprudensi dan Doktrin
Hukum
Adat yang tidak tertulis dalam melengkapi Hukum Tanah Nasional, sangat penting
peranannya yakni :
a. Yurisprudensi, misalnya Keputusan MA No. 123/K/Sip/1970
yang a.l. menegaskan :
1). Pengertian jual beli tanah sekarang ;
2). Prosedur serta pelaksanaan jual beli tanah dan
seterusnya.
b. Doktrin, yaitu
pendapat atau tafsiran para ahli, misalnya penerapan atas pemisahan horisontal
yang kita jumpai dalam hukum ada, dimana orang bisa memliki bangunan/ tanaman
yang ada di atasnya, begitu pula sebaliknya orang bisa memiliki bangunan/
tanaman tanpa memliki tanah dimana bangunan/ tanaman tersebut berada
3. Konsepsi-konsepsi Hukum Tanah .
Sebelum UUPA berlaku, dikenal adanya
Hukum Tanah Adat yang menggunakan konsepsi Hukum Adat dan pula Hukum Tanah
Barat yang menggunakan konsepsi Hukum Tanah Barat. sbb. :
a.
Konsepsi Hukum Tanah Barat
Konsepsi Hukum Tanah Barat bertitik
tolak dari konsepsi yang liberal invidualistis, bahwa tanah (bumi) diciptakan
Tuhan diperuntukan bagi kesejahteraan mumat manusia. Pada mulanya tanah-tanah
dimuka bumi belum ada yang memiliki (res nullius). Oleh karena itu tanah dapat
diduduki (occupatie) dan dimanfaatkan oleh siapa saja yang memerlukannya.
Dengan menduduki atau menguasai tanah tersebut, jadilah ia selaku pemiliknya,
dan menjelma sustu hubungan hukum yang disebut Hak Eigendom.
Hak Eigendom menurut konsepsi liberal
invidualistis barat adalah hak yang tertinggi. Dikatakan sebagai hak yang
paling tertinggi, karena hak eigendom ini muncul atas dasar suatu angapan bahwa
setiap individu selaku pribadi bebeas memiliki dan melakukan apa saja yang ia
kehendaki. Puncak dari kebebasan individu itu tercermin perwujudannya dalam Hak
Eigendom, yang kemudian dikeal sebutan ”hak asasi” seperti yang tertera di
dalam Deklarasi Sedunia tentang Hak-Hak Asasi Manusia oleh PBB pada tahun 1948.
Jadi sumber hak atas tanah menurut konsepsi Hukum Tanah Barat pada hakekatnya
ialah Hak Asasi. Hak Asasi manusia inilah merupakan sumber dari segala hak-hak
perorangan atas tanah.
Dalam perkembangan selanjutnya, penerapan
konsepsi yang mendewakan kebebasan individu tersebut telah membawa akibat
timbulnya konflik-konflik sosial yang terelakan, misalnya antara kelompok
pendatang berkuilit putih dengan penduduk asli benua Amerika dan Australia.
Untuk mengendalikan hal tersebut perlu diadakan penertiban, yakni campur tangan
dari penguasa berupa penguasaan tanah-tanah yangmasih kosong dan dijadikan
milik negara. Dengan demikian lahirlah apa yang dinamakan tanah domein negara.
Jadi
sesuai dengan konsepsi Hukum Tanah Barat, semua tanah dapat dibagi ke dalam 2
(dua) kelompok, yaitu : tanah-tanah hak eigendom dan tanah-tanah domein negara.
Untuk
memperoleh hak eigendom menurut pasal 584 BW dengan cara-cara : 1). Okupasi
(pendudukan)
2).
Daluarsa ;
3).
Pewarisan
4).
Pemindahan hak
b.
Konsepsi Hukum Tanah Feodal
Selain
konsepsi Hukum Tanah Barat yang liberal idividualistis dalam Hukum Tanah
Barat dikenal pula Hukum Tanah Feodal,
misalnya yang berlaku di Inggris dan negeri-negeri jajahan. Demikian juga
pernah kita jumpai di Indonesia (sebelum UUPA) pada tanah-tanah swapraja yang
tunduk pada Hukum Tanah Swapraja.
Menurut
konsepsi tanah feodal, semua tanah hak milik adalah tanah raja, sedanghkan
rakyat hanya dapat diberikan Hak Pakai atau Hak Sewa. Hak Pakai ini bisa
turun-temurun yang hampir sama dengan Hak Milik, tetapi tidak dapat disebut Hak
milik, karena sewaktu-waktu dapat dicabut apabila raja menghendakinya. Hak-hak
tersebut di Inggris atau di Singapura biasanya dikenal dengan istilah : ”Estate
in fee simple” (Hak Pakai) , dan ”lease hold estate”(Hak Sewa). Kalau di
Indonesia kita kenal dengan hak anggaduh dan sebagainya.
c.
Konsepsi Hukum Tanah Adat/
Nasional
Setelah kita memahami konsepsi liberal
invidualistis dan konsepsi feodal, jelas bahwa kedua macam konsepsi tersebut
tidak cocok dengan struktur masyarakat dan nilai-nilai yang berlaku di alam Indonesia
merdeka. Di alam demokrasi dimana kedaulatan ada ditangan rakyat, tujuan bangsa
kita membentuk pemerintahan negara Republik Indonesia seperti tertera dalam
Pembukaan UUD 1945alinea ke 4 yakni untuk :
i.
Memajukan kesejahteraan umum;
ii.
Mencerdaskan kehidupan bangsa ;
iii
Ikut melaksanakan ketertiban dunia.
Dalam rangka memajukan kesejahteraan umum
tersebut, maka pasal 33 ayat (3) UUD 1945 menegaskan, bawa ” Bumi, air, dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan
untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Berdasarkan
apa yang telah dirumuskan dalam UUD 1945 sebagai pencerminkan kehendak segenap
bangsa Indonesia, maka lebih lanjut oleh UUPA dalam pasal 1 nya dinyatakan
bahwa semua tanah yang ada diseluruh wilayah Republik Indonesia adalah ”Hak
Bangsa Indonesia” , kata adalah disini berarti ”kepunyaan”
Dikatakan sebagai hak bangsa Indonesia,
tiada lain adalah hak yang berakar dari ”Hak Ulayat” berdasarkan Hukum Adat
yang diangkat pada tingkat paling atas . Hak Ulayat inilah yang dipakai oleh
UUPA sebagai konsepsi bagi Hukum Tanah Nasional Indonesia.
Dalam sistem Hukum Adat, Hak Ulayat
merupakan hak trtinggi dalam masyarakat hukum adat atas seluruh ingkungan tanah
yang berada di wilayah masyarakat hukumnya, Penggunaan tanah oleh warga
masyarakat hukum adat yang dilandasi berbagai hak penguasaan atas tanah
tersebut, selalu bersumber pada hak bersama tersebut yang disebut Hak Ulayat.
Pengangkatan Hak Ulayat pada tingkat paling atas sehingga menjadi hak bangsa
Indonesia empunyai pengertian, bahwa seluruh tanah di wilayah Republik
Indonesia adalah kepunyaan bangsa Indonesia. Namun perlu diingat bahwa hubungan
kepunyaan dengan tanah di seluruh Indonesia itu tidaklah sama dengan hubungan
pemilikan, karna masih tetap diakuinya Hak Milik perorangan atas tanah yang
bersumber pada hak bersama (Pasal 4 UUPA). Sebagai berwujudan dari sifat
kemasyarakatan, hak-hak serorangan atas tanah tersebut, maka dirumuskanlah
sifat itudi dalam pasal 6 UUPA bahwa semua hak atas tanah mempunyai fungsi
sosial. Dari manakah berasalnya
tanah-tanah tersebut ? berasal dari Tuhan, jadi sumbernya karunia Tuhan Yang
Maha Esa. (Pasal 1 ayat 2 UUPA).
Hubungan antara bangsa Indonesia dengan
tanahnyan adalah hubungan yang bersfat abadi, dan pada tingkatan tertinggi
dikuasakan pelaksanaannya kepada Negara, sebagai rorganisasi kekuasaan seluruh
rakyat (Pasal 1 ayat 3 jo. Pasal 2 ayat 1 UUPA ). Pengalaman sejarah telah
membuktikan bahwa sekalipun 350 tahun kita dijajah Belanda, ternyata hubungan
antara bangsa Indonesia dengan tanahnya tidak terputus dan tidak pernah
diserahkan kepada siapapun. Juga tidak pernah diserahkan kepada Negara, karena
Negara hanyalah merupakan organisasi kekuasaan seluruh bangsa atau wadah dari
bangsa Indonesia untuk melaksanakan apa yang menjadi kehendak bangsa Indonesia
itu sendiri. Jadi, negara hanya merupakan hak menguasasi dan bukan memiliki
tanah. Hak menguasai dari negara itu adalah tugas kewenangan yang dilimpahkan
oelah bangsa Indonesia kepada negara untuk :
a. Mengatur penguasaan dan
penggunaan tanah melalui peraturan-perundangan ;
b. Merencanakan peruntukan dan penggunaan tanah
c. Memelihara tanah .
Hak bangsa Indonesia
atas tanah diseluruh wilayah Indonesia ini meliputi :
1. Unsur kepunyaan
Sama halnya dengan
hak ulayat masyarakat hukum adat, unsur kepunyaan yang terkandung didalam hak
bangsa Indonesia ini berarti bahwa seluruh tanah di Indonesia adalah kepunyaan
bersama seluruh rakyat Indonesia. Hak Bangsa Indonesia tersebut adalah hak yang
tertinggi. Pada
Bangsa itulah bersumber hak-hak penguasaan atas tanah yang disediakan bagi
perorangan yakni :
a.
Secara langsung berupa hak-hak
atas tanah primer ;
b.
Secara tidak langsung berupa :
1)
Hak-hak atas tanah sekunder
2)
Hak jaminan atas tanah
Unsur
kepunyaan yang terkandung di dalam hak bangsa termasuk bidang Hukum Perdata
2. Unsur tugas kewenangan
Seperti halnya tanah hak ulayat masyarakat hukum
adat, tanah bangsa Indonesia itupun harus dikelola dengan baik :
a.
Diatur melalui peraturan
perundang-undangan tentang penguasaan dan penggunaannya ;
b.
Direncanakan peruntukan serta
penggunaannya melalui :
(1) Perencanaan umum oleh Pemerintah Pusat (Pasal 14 ayat 1
UUPA)
(2) Perencanaan
khusus peruntukan dan penggunaan tanah dilimpahkan kepada Pemerintah Daerah
(Pasal 14 ayat 2 UUPA). Disini Pemda tidak berwenang membuat peraturan tentang
tanah, wewenangnya hanya terbatas pada pembuatan planologi kota (Rencana Tata
Guna Tanah) sesuai dengan keadaan daerahnya.
Ini merupakan unsur tugas kewenangan yang kedua dari hak
bangsa yang termasuk bidang hukum publik , dan dalam pelaksanaanya tugas
kewenangan tersebut oleh bangsa Indonesia dilimpahkan kepada Negara sebagai
organisasi kekuasaan seluruh rakyat Indonesia.
Jelas kiranya dari pasal 2 UUPA, bahwa pelimpahan tugas
kewenangan kepada Negara itu terbatas pada unsur yang bersifat Hukum Publik,
dan tidak meliputi unsur kepunyaan yang bersifat perdata. Tanah di wilayah
Republik Indonesia adalah tanah kepunyaan Bangsa Indonesia , tanah kepunyaan
bersama rakyat Indonesia, para warga negara Indonesia dan bukan kepunyaan
Negara. Bahwa Negara memberikan tanah kepada rakyat yang memerlukan dengan
berbagai hak atas tanah yang disediakan dalam Hukum Tanah kita, bukan dalam
kedudukannya sebagai yang mempunyai tanah, melainkan sebagai petugas Bangsa Indonesia,
sebagai Badan Hak-hak atas tanah yang primer adalah hak-hak yang langsung
bersumber pada hak bangsa Indonesia, yang diberikan oleh Negara permohonan hak.
Selanjutnya perlu dijelaskan bahwa Tanah
Negara adalah tanah-tanah yang dikuasai oleh Negara, sedangkan yang dimaksud
dengan Tanah Hak adalah semua tanah-tanah yang sudah dikuasai oleh seseorang
dengan suatu hak. Jadi di dalam sistem dan konsepsi Hukum Tanah di Indonesia
tidak dikenal ” res nullius” seperti dalam Hukum Tanah Barat. Miss. dalam pasal
520 BW dikatakan bahwa bilamana tanah yang tidak ada pemiliknya , harus
diletakkan dibawah pengampuan Balai Harta Peninggalan dan menjadi tanah Domein
Negara. Di Negara Indonesia apabila hak atas tanah hapus maka tanah itu kembali
menjadi tanah hak bangsa atau Tanah Negara,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
dunia ini memang indah,, tergantung bagaimana kita menjaga keindahan itu,,. untuk itu mari kita bersatu, satu pikiran satu tujuan untuk Indonesia merdeka,.. berpisah kita berjuang bersatu kita memukul..