Sabtu, 15 September 2012

Makalah Tafsir Ahkam Partisipasi Politik Islam di Negara Non Muslim


P E M B A H A S A N
Janganlah orang-orang mu’min mengambil orang-orang kafir sebagai wali dengan meninggalkan orang-orang mu’min. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah kecuali karena (siasat) memelihara diri dari dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya. Dan hanya kepada Allah kembali (mu) (Q.S Ali-‘Imran:28).[1]
  1. A.    Asbabun nuzul
Dalam suatu riwayat dikemukakkan bahwa al-Hajjaj bin ‘Amr yang mewakili Ka’b bin al-Asyraf dan Ibnu Abil Haqiq serta Qais bin Zaid (tokoh-tokoh yahudi) telah memikat segolongan kaum Anshar untuk memalingkan mereka dari Agamannya. Rifa’ah bin al-Mundzir, Abdullah bin Jubair serta Sa’d bin Hatsamah memperingatkan orang-orang Anshar tersebut dengan berkata: “Hati-hatilah kalian dari pikatan mereka, dan janganlah terpalingkan dari Agama kalian. Mereka menolak peringatan itu. Maka Allah menurunkan ayat tersebut di atas sebagai peringatan untuk tidak menjadikan orang-orang kafir sebagai pelindung mu’min. Di riwayatkan oleh Ibnu Jarir dari Sa’id atau ‘Ikrimah yang bersumber dari Ibnu Abbas.[2]
  1. B.     Tafsiran Al- Misbah
Kalau demikian keadaannya, sebagaimana diuraikan pada ayat-ayat yang lalu atau kalau demikian sekelumit dari kekuasaan Allah dan pengaturan-Nya terhadap alam raya dan manusia serta pengaturan-Nya menyangkut rezeki makhluk, maka apakah wajar mengangkat musuh-musuh-Nya sebagai wali yang diserahi wewenang mengurus urusan kaum muslim? Tidak wajar! Tidak wajar mendekat kepada orang-orang yang menolak menjadikan kitab suci sebagai rujukan hukum seperti orang-orang Yahudi yang dikecam oleh ayat 23 dan setrusnnya.Karena itu, “janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orag mukmin”.
Wali mempunyai banyak arti antara lain yang berwewenang menangani urusan, penolong, sahabat kental, dan lain-lain yang mengandung makna kedekatan.
                Ayat ini melarang orang-orang mukmin menjadikan orang-orang kafir sebagai penolong mereka, karena jika seorang mukmin menjadikan mereka penolong, maka itu berarti seorang mukmin dalam keadaan lemah, padahal Allah enggan melihat orang-orang beriman dalam keadaan lemah. Itu konsekuensi paling sedikit.
            Jangan jadikan mereka penolong, kecuali kalau ada kemaslahatan kaum muslim dari pertolongan itu, atau paling sedikit tidak ada kerugian yang dapat menimpa kaum muslim dari pertolongan itu.
            Kata “kafir” biasa difahami dalam arti siapa yang tidak memeluk agama Islam. Maka ini tidak keliru, tetapi perlu diingat bahwa al-Qur’an menggunakan kata “kafir” dalam berbagai bentuknya untuk banyak arti yang puncaknya adalah pengingkaran terhadap wujud atau keesaan Allah, disusul dengan keengganan melaksanakan perintah atau menjauhi larangan-Nya walau tidak mengingkari wujud dan keesaan-Nya, sampai kepada tidak mensyukuri nikmat-Nya, yakni kikir. Bukankah Allah memperhadapkan syukur dengan kufur untuk mengisyaratkan bahwa lawan syukur, yakni kikir, adalah kufur.“ Dan (ingatlah juga), tak kala Tuhanmu memaklumkan, “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti aku akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu kufur, maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih” (Qs. Ibrahim(14):17).
            Atas dasar itu dapat dikatakan bahwa kufur adalah segala aktivitas yang bertentangan dengan tujan agama; dan demikian, walaupun ayat ini turun dengan konteks melarang orang-orang beriman menjadikan orang Yahudi atau Nasrani sebagai pemimpin yang diberi wewenang mengenai urusan orang-orang beriman, tetapi larangan itu mencakup juga orang yang dinamai muslim yang melakukan aktivitas bertentangan dengan tujuan ajaran islam. Larangan ini adalah karena kegiatan mereka secara lahiriah bersahabat, menolong, dan membela umatislam, tetapi pada hakikatnya dengan halus mereka menggunting dalam lipatan. Adapun kerjasama dalam bidang yang mnguntunkan kedua belah pihak, khususnya masalah keduniaan, maka hal tersebut dapat dibenarkan. Tetapi kerjasama dalam bidang keduniaan yang menguntungkan itu pun hendaknya memprioritaskan orang-orang beriman, sebagaimana difahami dari lanjutan ayat yang mengaitkan larangan tersebut dengan penjelasan tambahan, yakni dengan meninggalkan orang-orang mukmin.
            Jika demikian, barang siapa berbuat seperti itu, yakni menjadikan orang kafir sebagai wali, niascaya dia tidak dengan Allah sedikit pun. Kata itu yang merupakan kata yang menunjuk sesuatu yang jauh, memberi isyarat jauhnya perbuatan tercela ini dari sikap keimanan, serta kesadaran akan kekuatan, kesabaran, dan pertolongan Allah yang seharusnya melekat pada diri seorang yang beriman. Nah jika itu dilakukan maka yang bersagkutan tidak berada dalam posisi yang menjadiakan ia wajar dinamai berada dalam kewalian, perlindunghan, dan pertolongan Allah, maka barang siapa yang berteman dengan musuh Alllah atau dengan sengaja melakukuan tindakan yang merugikan penganut agana Allah, maka dia adalah musuh Allah dan dengan demikian dia tidak akan memperoleh  pertolongan-Nya sedikit pun. Ayat ini tidak menyatakan dengan tegas “tidak berada dalam kewalian Allah sedikit pun”. Kata kewalian tidak disebut untuk mengisyaratkan bahwa yang bersangkutan bukan hanya tidak memperoleh kewalian, tetapi tidak memperoleh sedikit apa pun dari Allah, karena dia bagaikan telah meninggalkan  zat Allah dengan seluruh sifat-sifat-Nya, bukan hanya dalam kedudukan-Nya sebagai wali terhadap orang-orang beriman.
            Memang manusia bermacam-macam dan kondisi yang mereka hadapi pun beraneka ragam. Karena itu Allah Saw. memberikan pengecualian. Yakni bahwa larangan tersebut  berlaku dalam seluruh situasi dan kondisi siasat memelihara diri guna menghindari  dari sesuatu yang kamu takuti dari mereka.
            Pengecualian ini diistilahkan oleh ulama-ulama dengan  nama “taqiyah”. Ayat ini membenarkan adanya taqiyah, demikian tulis Muhammad Sayyid Tanthawi, Pemimpin Tertinggi Lembaga-Lembaga al-Azhar Mesir.“Taqiyah” menurutnya, adalah upaya yang bertujuan memelihara jiwa atau kehormatan. Selanjutnya, mantan mufti Mesir itu menjelaskan, bahwa musuh yang dihadapi seorang muslim dua macam: Pertama, permusuahan yang didasari oleh perbedaan agama; dan yang kedua, permusuhan yang motivasinya adalah kepentingan duniawi, seperti harta dan kekuasaan. Atas dasar itu, taqiyah pun terbagi dalam dua katagori. Seorang muslim bila tidak bebas melaksanakan ajaran agamanya pada suatu wilayah, maka hendaknya ia meninggalkan wilayah itu ke tempat yang memungkinkan ia melaksanakannya dengan aman. Dia wajib berhijrah.Ini berdasr firman Allah, “Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendri, (kepada mereka)malaikat bertanya, ‘Dalam keadaan bagaimana kamu ini?’Mereka menjawab, ‘Kami (dahulu ketika hidup) adalah orang-orang yang tertindas di negeri (Mekah)’. Para malaikat berakata, ‘Bukankah bumi itu Luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?.’ Orang-orang itu tempatnya adalah neraka jahanam, dan jahanam itu sburuk-buruk tempat kembali, kecuali mereka yang tertindas baik laki-laki, wanita atau pun anak-anak yang tidak mampu berdaya upaya dan tidak mengetahui jalan (untuk hijrah)” (QS. An-Nisa(4):97-98)
            Orang yang tidak dapat meninggalkan wilayah yang tidak memberikannya kebebasan melaksanakan ajaran agamanya dikecualikan oleh ayat ini. Ia diizinkan melakukan taqiyah kalau jiwa dan sesuatu yang amat berharga baginya terancam. Ia dibenarkan untuk tetap berada dalam wilayah itu dan berpura-pura mengikuti kehendak yang mengancamnya selama darurat, sambil mencari jalan untuk menghindari dari pemaksaan. Ini pun oleh sementara ulama dinilai hanya berupa rukhshah, yakni izin. Akan lebih baik jika ia tegar dan menolak ancaman itu.
            Adapun jika musuh yang dihadapi dan mengancam adalah yang memotivasinya duniyawi, dalam hal ini ulama berbeda pendapat menyangkut kewajiban berhijrah. Ada yang mewajibkan dan ada juga yang tidak mewajibkan. Di sisi lain, sementara ulama memasukkan dalam izin melakukan taqiyah untuk menghadapi orang-orang zalim atau fasiq dengan ber basa-basi terhadap mereka baik dalam ucapan maupun senyum dalam rangka menampik kejahatan mereka atau memelihara kehormatan sang muslim. Untuk kasus semacam ini, basa basi itu dibenarkan dengan syarat tidak mengakibatkan pelanggaran terhadar perinsip ajaran Islam.
            Mengapa taqiyah dibenarkan Allah? Asy-Sya’rawi dalam tafsirnya mengulas hal ini antara lain dengan mengemukakan bahwa anggaplah setiap muslim diwajibkan mengorbankan jiwanya demi menolak ancaman terhadap agama. Jika ini terjadi, maka  kepada siapa lagi panji agama diserahkan? Siapa lagi yang akan memperjuangkan ajaran agama jika semua telah gugur akibat keengganan bersiasat? Kerena itu Allah membenarkan penolakan ancaman itu, bahkan membenarkan pengorbanan jiwa. Tetapi pada saat yang sama Allah juga membenarkan taqiyah demi masa depan aqidah. Dia membenarkan taqiyah demi ajaran agama agar dapat disampaikan dan diterima oleh generasi berikut atau masyarakat yang lain ketika yang melakukan taqiyah itu memperoleh peluang untuk melakukannya.
            Akhirnya, kepada setiap orang, baik yang beriman tetapi menjadikan orang-orang kafir sebagai wali, maupun orang-orang kafir yang mengancam orang-orang yang beriman, demikian juga yang bertaqiyah bukan pada tempatnya, kepada mereka semua penutup ayat ini ditunjukkan, Allah memperingatkan kamu dari diri-Nya, yakni dari siksa-Nya. Memang kata siksanya tidak disebut disini, sebagaimana sebelum ini kata kewalian tidak juga disebutkan dalam rangkaian kalimat “niscaya ia tidak dengan Allah sedikit pun”.Ini untuk menekankan bahwa siksa tersebut sungguh berat dan pedih. Seakan-akan ayat ini menyatakan bahwa yang menangani hal ini adalah Allah sendri secara langsung, tidak mendelegasikannya kepada yang lain. Ini tidak sulit karena hanya kepada Allah tempat kembali segala sesuatu.[3]
  1. C.    Tafsir Qur’an Karim
Kamu orang-orang mukmin tidak boleh mengambil orang-orang kafir, menjadi pemmpin, kecuali kamu takut kepada mereka sebenar-benarnya takut. Maka ketika itu tidaklah kamu berdosa.
Dalam Surat Al-Mumtahanah, Allah berfirman sebagai menambah keterangan ayat ini.
Allah tidak melarang kamu berbuat kebaikan dan berlaku ‘adil kepada orang-orang kafir yang tidak memerangi kamu tentang agamamu dan mengusir kamu dari tanah airmu, karena Allah mengasihi orang  yang ‘adil (QS. Al-Mumtahanah (60) :8)
Hanya Allah melarang kamu mengambil pemimpin dari orang-orang kafir yang memerangi kamu tentang agamamu dan mengusir kamu dari tanah airmu dan menolong mengusir kamu. Barang siapa yang berbuat demikian, maka ia adalah orang aniaya (QS. Al-Mumtahanah (60) :9)
Dengan keterangan ini, nyatalah salahnya tuduhan orang yang menyatakan agama islam disiarkan dengan pedang dan menyuruh, supaya memusuhi segala orang yang bukan beragama islam. Tidak sekali-kali tidak.[4]
  1. D.    Tafsir Nurul Qur’an
Dalam ayat suci ini, bentuk kebijakan (dengan pihak) asing, berurusan dengan orang-orang kafir dan menganggap mereka lebih berkuasa (menjadikan mereka tuan) akan terjadi bersamaan dengan hilangnya penghambaan kita kepada Allah. Tindakan menyembunyikan keimanan (taqiyyah) dan larangan atas penyalahgunaannya telah disebutkan dalam ayat ini

2.      PENJELASAN
2.   1.         Orang- orang yang beriman diharamkan untuk menjadikan orang-oranng kafir sebagai tuan. Jika dunia Islam bertindak sesuai dengan perinsip ini saja, maka status dunia Islam tidak akan seperti sekarang ini.
Hendaklah orang-orang beriman tidak mengambil orang-orang kafir sebagai teman mereka melebihi dari pada orang-orang yang beriman..
2.   2.         Bukan hanya tunduk kepada kekuasaan orang-orang kafir saja yang diharamkan bagi orang-orang yang beriman, tetapi  juga merasa tenang dengan kekafiran dan menerimanya.
dan barang siapa melakukannya, maka tiada apa pun dari Allah yang menjadi miliknya…
2.   3.      Hubungan dengan orang-orang kafir untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi, dalam kondsi tertentu, diizinkan.
2.   4.      Hubungan politik hendaknya tidak menghasilkan penerimaan dominasi, atau hubungan yang membabi buta dengan orang-orang kafir.
…kecuali jika kalian melindungi diri sendiri ketika berhadapan dengan mereka, menjaga diri dengan hati-hati…
2.   5.      Menyembunyikan keimanan hanyalah demi kepentingan perlindungan agama. Waspadalah untk tidak tertari degan orang-orang kafir dengan dalih menyembunyikan keimanan, dan jangan menyalahgunakan konsep ini!
dan Allah memperingatkanmu untuk berhati-hati dari (tidak taat kepada)-Nya….
2.   6.      Dalam kondisi-kondisi yang pada dasarnya menyebabkan agama dalam bahaya, segala sesuatu harus dipersembahkan, dan setiap orang harus takut hanya kepada Allah.
…dan hanya kepada Allah tempat menuju…
2.   7.      Hubungan atau pemutusan hubungan harus dilakukan berdasarkan perenungan dan keimanan, bukan berdasarkan ikatan rasial, golongan, atau keluarga, atau kepentingan-kepentingan ekonomi, dan sebagainya.
2.   8.      Di daerah orang-orang kafir, umat Islam harus menjalin pertemanan (persaudaraan) dan saling berkomunikasi antara mereka sendiri.[5]
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin (mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barang siapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termaksud golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim (QS. Al-Maidah (5) :51).[6]
  1. A.    Asbabun Nuzul
Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa Abdillah bin Ubaybin Salul (tokoh munafiq[7]) Madinah) dan Ubadah bin Shamit[8] terikat oleh suatu perjanjian untuk saling membela dengan Yahudi Bani Qainuqa’. Ketika Bani Qainuqa’ memerang Rasulullah saw. Abdullah bin Ubai tidak melibatkan diri, dan Ubadah bib Shamit berangkat menghadap Rasulullah saw. Untuk membersihkan diri kepada Allah dan Rasul-Nya dari ikatannya dari Bani Qainuqa’ itu serta menggabungkan diri pada Rasulullah dan menyatakan hanya takut kepada Allah dan Rasul-Nya. Maka turunlah ayat ini yang mengingatkan orang yang beriman untuk tetap taat kepada Allah dan Rasul-Nya dan tidak mengangkat kaum Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin mereka. Diriwayatkan oleh Ibnu Ishaq’, Ibnu Jarir, Ibnu Abi Hatimdan Baihaqi yang bersumber dari Ubadah bin Shamit.[9]
  1. a    Tafsir As-Sa’di
Allah membimbing hamba-hamba-Nya yang beriman manakala Dia menjelaskan keadaan orang-orang Yahudi dan Nasrani  dan sifat-sifat buruk mereka agar kaum muslimin tidak mengangkat mereka sebagai pemimpin-pemimpin. Karena sebagian dari mereka adalah“wali bagi sebahagian yang lain.” Mereka saling tolong-menolong dan bahu-membahu menghadapi selain mereka. Maka janganlah kamu mengangkat mereka sebagai penolong-penolong karena mereka adalah musuh yang sebenar-benarnya, mereka tidak mempedulikan penderitaanmu bahkan mereka tidak menghemat energi sedikit pun demi menyesatkanmu. Maka tidak ada yang mengangkat mereka menjadi pemimpin-pemimpin kecuali orang yang sama dengan mereka.
Oleh karena itu, Dia berfirman “Barang siapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka.”Karena pengangkatan mereka menjadi pemimpin secara total menuntut perpindahan kepada agama mereka, loyalitas yang sedikit akan mendorong kepada yang banyak, lalu fase demi fase sehingga seorang hamba menjadi satu dengan mereka.
(                                       إنّ اللّه لا يهدي االقوم الظالمين)“Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim,”  yakni dengan kezaliman sebagai sifat, mereka kembali kepadanya dan berpijak kepadanya. Jika kamu hadir kepada mereka membawa semua bukti niacaya mereka tidak mengikuti dan menaatimu.[10]
  1. b.    Tafsir Qur’an Karim
                        Dalam ayat ini Allah melarang orang-orang yang beriman mengangkat Yahudi dan Nasrani menjadi wali, yaitu bertolong-tolongan dan berkasih-sayang dengan mereka, bila mereka memusuhi dan hendak memerangi Nabi dan kaum Muslimin. Pendeknya ayat ini umum dan di takhsiskan (dikhususkan) dengan ayat 9 surat Al-Mumtahanah, yang artinya: Hanya Allah melarang kamu mengangkat wali dan orang-orang yang memerangimu, karena agama dan mengusir kamu dari kampungmu dan menolong mengusirmu. Barang siapa mengangkat mereka, maka ia orang aniaya.[11]
  1. 3.    Yusuf :       
                        Dan Raja berkata: “Bawalah Yusuf kepadaku, agar aku memilih dia sebagai orang yang rapat kepadaku”. Maka  tatkala raja telah bercakap-cakap dengan dia, dia berkata: “Sesungguhnya kamu (mulai) hari ini menjadi seorang yang berkedudukan tinggi lagi dipercaya pada sisi kami”. Berkata Yusuf: “Jadikanlah aku bendaharawan Negara (Mesir); sesengguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga , lagi berpengetahua. Dan demikianlah kami memberi kedudukan kepada Yusuf di negeri Mesir; (dia berkuasa penuh)pergi menuju kemana saja ia kehendaki di bumi Mesir itu. Kami melimpahkan rahmat kami kepada siapa yang kami kehendaki dan kami tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik (QS. Yusuf (12): 54-56).
            Setelah terbukti secara gamblang bagi Raja kebenaran Yusuf as. dan kezaliman yang menimpanya sehingga terpaksa menekam di penjara sekian tahun lamanya, dan diketahuinya pula betapa baik dan luhur sikap dan kelakuannya di dalam penjara, di tambah lagi dengan kepuasan Raja mendengar penjelasan Yusuf as. tentang makna mimpinya, dan kini tanpa ragu sang Raja bertitah kepada petugas yang ia tunjuk, “Bawalah dia kepadaku, agar aku memilihnya untukku saja sebagai orang dekat kepadaku dan untuk kujadikan penasehat dan pembantu dalam mengatur roda kepemmpinan.” Petugas pun mengundangnya ke istana, setelah terlebih dahulu menyampaikan pengakuan tulus wanita-wanita yang melukai tangan mereka serta wanita yang merayunya. Yusuf pun segera berangkat karena memenuhi undangan Raja, setelah berpamitan dengan para tahanan dan mendo’akan mereka. Maka tatkala dia, yakni Yusuf telah bercakap-cakap dengannya, Raja sangat kagum mendengar uraian Yusuf serta kedalaman pengetahuannya, sebagaimana dia terpesona pula melihat kejernihan air muka dan penampilannya. Dia bertitah menyampaikan kepada Yusuf, “Sesungguhnya engkau mulai hari ini dan saat ini di sisi kami adalah seorang yang berkedudukan tinggi lagi terpercaya untuk mengelola semua yang berkaitkan dengan urusan Negara. ”Dia menyambut tawaran Raja demi mensukseskan tugasnya menyebarluaskan ajaran agama dan kesejahteraan lahir dan batin bagi seluruh masyarakat, dan menjawab, “Jadikanlah aku bendaharawan negara di wilayah kekuasaan baginda,” yakni di Mesir, “Sesungguhnya aku adalah orang yang amat pemelihara yang sangat pandai menjaga amanah lagi amat berpengetahuan menyangkut tugas yang aku sebutkan itu.”
            Sementara beberapa ulama, berdasarkan sebuah riwayat, mengilustrasikan bahwa ketika terlaksana pertemuan antara Raja dan Yusuf as., Raja meminta Yusuf as. untuk menguraikan kembali makna mimpinya. Sambil menjelaskan, Yusuf as. mengusulkan agar Raja memerintahkan mengumpulkan makanan dan meningkatkan upaya pertanian. Ketika itulah Raja bertanya, “Siapa yang dapat melaksanakan semua itu? ”Maka Yusuf as.berkata, “Jadikanlah aku bendaharawan Negara.”
            Ayat di atas mendahulukan kata ( حفيظ) hafizh/pemelihara  dari pada kata               )     عليم) ‘alim/amat berpengetahuan. Ini karena pemeliharaan amanah lebih penting dari pada pengetahuan. Seorang yang memelihara amanah dan tidak berpengetahuan akan mendorong untuk meraih pengetahuan yang belum dimilikinya. Sebaliknya, seorang yang berpengetahuan tetapi tidak memiliki amanah, bisa jadi ia menggunakan pengetahuannya untuk menghianati amanah. Ini serupa dengan ayat Al-Baqarah (2): 282 yang mendahulukan keadilan dari pada pengetahuan tulis menulis utang piutang. Di sana penulis mengemukakan bahwa hal itu agaknya disebabkan karena keadilan, di samping adanya menuntut adanya pengetahuan bagi akan yang berlaku adil, karena juga seseorang yang adil tidak dapat mengetahui, keadilannya akan mendorang ia untuk belajar. Berbeda dengan yang mengetahui tetapi tidak adil. Ketika itu, pengetahuannya itu akan digunakan untuk menutupi ketidak adilannya. Ia akan mencari celah hukum untuk membenarkan penyelewengan dan menghindari sanksi.
            Permintaan jabatan yang diajukan oleh Yusuf as. kepada Raja di atas tidaklah bertentangan dengan moral agama yang melarang seseorang meminta jabatan, permintaan tersebut lahir atas dasar pengetahuannya bahwa tidak ada yang lebih tepat dari dirinya sendiri dalam tugas tersebut. Dan tentu saja motivasinya adalah menyebarkan dakwah Illahiah. Demikian jawaban mayoritas ulama. Dapat juga dikatakan bahwa sebenarnya Yusuf as. terlebih dahulu ditawari atau ditugasi oleh Raja untuk membantunya dalam berbagai bidang. Tawaran ini diterimannya, tetapi Yusuf as. memilih tugas tertentu-bukan dalam segala bidang. Karena itu, dia bermohon kiranya penugasan tersebut terbatas dalam bidang keahliannya saja, yakni perbendaharaan Negara.
            Apa pun jawaban yang anda pilih, yang jalas ayat ini dapat menjadi dasar untuk membolehkan seseorang menyalonkan diri guna menempati suatu jabatan tertentu atau berkampanye untuk dirinya, selama motivasinya adalah untuk kepentingan masyarakat, dan selama dia merasa dirinya memiliki kemampuan untuk jabatan itu.
            Permintaan jabatan dalam kondisi dan sifat yang seperti dialami Yusuf as. itu menunjukan kepercayaan diri yang bersangkutan (Yusuf as.) serta kebranian moril yang disandangnya. Dengan pengusulan ini, yang bersangkutan juga berusaha bersaing dengan pihak lain yang boleh jadi tidak memiliki kemampuan yang sama sehingga jika dia berhasil menduduki jabatan tersebut pastilah akan merugikan masyarakat.
            Ayat ini tidak menjelaskan apa jawaban Raja terhadap usul Yusuf itu: apakah diterima atau tidak. Al-Qur’an sejalan dengan gayanya mempersingkat uraian, tidak menjelaskan semua indikator telah menunjukan kekaguman Raja terhadap Yusuf as.
            Permintaan Yusuf as. itu diterima baik oleh Raja. Tetapi ayat ini mengingatkan bahwa jangan duga hal tersebut terlepas dari pengaturan Allah.
            Karena itu, ayat ini menegaskan bahwa dan sebagai mana kami menjadikan hati dan pikiran Raja tertarik kepada Yusuf sehingga dia memberikan kedudukan yang terbaik di sisinya, demikian jugalah kami memberikan kedudukan kepada Yusuf di bumi khususnya di wilayah mesir; dia bebas menempati di sana serta bebas pula berkunjung ke daerah mana saja yang dia kehendaki, dan dalam hal ini yang kami kehendaki adalah Yusuf, dan juga hal tersebut demikian karena Yusuf adalah seorang hamba Kami yang muhsin/baik, sedang kami tidak menyia-nyiakan sedikit pun  ganjaran al-muhsinin/orang-orang yang berbuat baik. Apa yang diperolehnya itu adalah anugrah yang sangat besar, tetapi itu tidak ada artinya jika dibandingkan dengan anugrah dan ganjaran ukhrawi kelak. Dan sesungguhnya pasti ganjaran di akhirat lebih baik bagi orang-orang yang telah berimandan terus-menerus bertakwa.
            Ayat-ayat di atas tidak menjelaskan bagaimana Yusuf as.melaksanakan kebijaksanaannya dalam bidang pertanian, logistic dan perbendaharaan Negara. Agaknya Al-Qur’an menilai bahwa uraian tentang hal tersebut tidak terlalu dibutuhkan, karena ia berkaitan dengan daerah khusus Mesir pada masa itu yang belum tentu dapat di terapkan di daerah-daerah yang lain atau masa yang lain. Namun, ada hal yang pasti dan merupakan syarat bagi setiap pejabat serta berlaku umum kapan dan dimana saja, yaitu yang memegang satu jabatan haruslah yang benar-benar amat tekun memelihara amanah dan amat berpengetahuan.
            Mutawalli asy-Sya’rawi mendapat kesan dari pernyataan ayat ini tentang nabi Yusuf bahwa dia menempati daerah mana saja di Mesir yang ia kehendaki sebagai isyarat bahwa ketika itu pelayanan merata bagi seluruh masyarakat. “Jangan menganggap bahwa ketika itu dia memiliki rumah di banyak tempat. Megapa kita tidak melihatnya dengan mata sementara orang yang berkecimpung dalam bidang administrasi pembangunan di beberapa Negara dewasa ini. Jika mereka mengetahuai pejabat tinggi akan berkunjung ke wilayahnya, maka mereka melakukan perbaikan, paling tidak di sekitar rumah pejabat. Kini kita melihat jalan-jalan di aspal, sarana masyarakat di perbaiki dan di lengkapi, bahkan wilayah di perindah dengan penghijauan. Ini lebih-lebih lagi jika penguasa setempat mengetahui bahwa di wilayah mereka ada rumah pejabat tinggi dari pusat. Tentu segala rincian diperhatikan dan diperbaiki.”
 3.        Beberapa Prespektif  mengenai partisipasi politik umat Islam di negri non-Muslim berdasarkan ayat-ayat Al-Qur’an
Dalam ayat 28 surat Ali-Imran di samping menolak presiden di Negara mayoritas Muslim, al Zuhaili juga memajukan ayat ini dan ayat-ayat lain yang isinya senada melarang bermuwalah dengan non-Muslim, juga dapat sebagai dalil mengenai tidak bolehnya seorang Muslim berpartisipasi dalam pemerintahan Negara-negara non-Muslim. Semisal bekerja sebagai anggota dinas intelijen[12] Negara non-Muslim, dan lain-lain.
      Pendapat yang senada antara lain didukung oleh al-Maududi. Partisipasi dalam Negara sekuler, tegas al-Maududi, tidak jauh berbeda dengan penentangan terhadap Allah dan Rasull-Nya. Sewaktu meninggalkan Pakistan, sebagaimana dikutip Asghar Ali Enginer, dia menyapa kaum Muslim yang tinggal di India dengan mengatakan :
Khusus bagi saudara saudaraku kaum Muslim, perlu saya sampaikan bahwa kekufuran (sekularisme) masa kini dan konsep demokrasi nasional sama sekali bertentangan dengan agama kita. Jika kalian tunduk kepadanya,kalian sama halnya menentang ajaran Al-Qur’an. Jika kalian turut serta mendirikan dan mendukungnya, kalian sama halnya memproklamirkan pengingkaran terhadap tuhan.[13]
            Dengan demikian, menurutnya, semua Muslim yang ada di India dan di tempat lain yang berpartisipasi dalam pemerintahan sekuler adalah orang-orang yang mendustakan Tuhan dan Rasul-Nya. Mereka menjalani hidup dengan bergelimang dosa dan halal dibunuh, karena dalam Islam hukuman yang setimpal bagi orang-orang yang ingkar terhadap agamanya adalah hukuman mati. Maududi berpendapat, bahwa kaum Muslim di Negara non-Islam harus menjauhkan diri dari proses pemerintahan. Alasnya, sebagai Muslim yang baik mereka tidak boleh turut serta dalam segala kegiatan yang berbau kufur, dan pemerintahan non-Islam pasti mempunyai karakter seperti itu. Berarti, kaum Muslim lebih baik menjadi warga Negara kelas dua, tanpa menikmati hak-hak politik, dari pada harus menjadi bagian dari pemerintahan sekuler yang beresiko terkena murka Tuhan. Karena alasan inilah orang-orang Islam di India tidak berperan serta dalam pemilihan umum dan tidak pula menduduki jabatan politis. Maududi tentunya juga tidak menghendaki mereka menjadi bagian dari mesin pemerintahan yang dikontrol oleh para politisi sekuler. Kalau seruan Maududi diterima, maka kaum Muslim di India tidak akan menempati posisi kemiliteran, kepolisian, atau jabatan kepegawaian yang lain. Mereka hanya dapat menjalani propesi mandiri atau berwirausaha. Tak pelak lagi, ajakan Maududi itu justru sangat menyusahkan kaum Muslim di India.[14]
            Karena itu, pendapat al-Zuhaili dan al-Maududi yang dikutip di atas sebaiknya ditolak saja, karena bila diterima, tentu akan menyulitkan dan merugikan umat Islam. Argumentasinya jelas karena, jangankan tidak berpartisipasi, ikut serta ambil bagian dalam pemerintahan non-Muslim pun umat Islam belum tentu bisa menyalurkan dengan mudah aspirasinya. Apalagi bila tidak berpartisipasi, tentu akan lebih sulit lagi bagi umat islam menyalurkan dan memperjuangkan aspirasi politiknya di Negara-negara non-Muslim. Bila harus memilih, umat Islam yang menjadi warga Negara non-Muslim, sebaliknya turut berpartisipasi dan berusaha seoptimal mungkin untuk merebut posisi-posisi strategis, utamanya posisi sebagai kepala Negara. Sebagaimana kaum non-Muslim selalu berusaha menguasai posisi-posisi strategis semacam itu di Negara-negara Muslim.
            Pendapat di atas agaknya tidak menyimpang dari tuntuna Al-Qur’an. Sebab di masa lalu Nabi Yusuf, sebagaimana dikisahkan dalam Kitab Suci (Q.S. 12 : Yusuf : 55-56), pernah berpartisipasi menjadi bendaharawan (mentri keuangan) Negara Mesir yang dulu kala di pimpin raja non-Muslim, yakni Raja Heksus.[15]
            Karir politik sebagai bendaharawan Negara Mesir yang pernah dicapai Nabi Yusuf di masa lalu, dan di masa kini, berhasilnya seorang Muslim di India, Abul pakir Jainul Adeen Abdul Kalam, menjadi presiden India yang mayoritas penduduknya beragama Hindu, (dilantik pada 25 Juli 2002 sebagai presiden Muslim ke tiga dari 12 presiden India yang pernah ada),[16] agaknya perlu dicontoh politisi Muslim lain yang hidup sebagai minoritas di Negara-negara non-Muslim, termaksud di Amerika Serikat. Adalah suatu prestasi yang patut dibanggakan dan diteladani, bila minoritas muslim di Amerika khususnya dan di Negara-negara non-Muslim yang lain pada umumnya, dapat meniti karir politik hingga berhasil menjadi kepala Negara sebagaimana dicapai minoritas Muslim di India.


PENUTUP
A.        KESIMPULAN
                        Berdasarkan tafsiran ayat-ayat di atas dan penjelasannya, pemakalah mengambil kesimpulan, bahwasannya Partisipasi Politik Umat Islam di Negara Non Muslim menurut sebagian ulama mengharamkannya karna dianggap sebagai penentangan terhadap Allah dan Rasul-Nya, akan tetapi ada pula yang membolehkannya dengan dalih, jangankan tidak berpartisipasi, ikut serta ambil bagian dalam pemerintahan non-Muslim pun umat Islam belum tentu bisa menyalurkan dengan mudah aspirasinya. Apalagi bila tidak berpartisipasi, tentu akan lebih sulit lagi bagi umat islam menyalurkan dan memperjuangkan aspirasi politiknya di Negara-negara non-Muslim. Dan di kuatkan oleh ayat Al-Qur’an surat Yusuf ayat 55-56, bahwasannya ketika itu Nabi Yusuf menjabat sebagai Bendaharawan Negara yang di pimpin oleh Raja non-Muslim yaitu Raja Heksus.
 B.       SARAN
                         Dalam membangun Negeri kita tercinta kiranya dapatlah didukung bersama untuk menerapkan pemimpin yang berjiwa islami agar tercapai kesejahteraan bersama, kemudian tidak lupa sebagai manusia yang tidak luput dari kesalahan saya memohon maaf jikalau kiranya didalam penulisan makalah ini terjadi kesalahan, kiranya teman-teman berkenan memberikan saran dan kritik guna membangun kesejahteraan bersama.


DAFTAR PUSTAKA
1.         Ahmad al-Usairy, Sejarah Islam Sejak Zaman Nabi Adam Hingga Abad XX, terj. Samson Rahman dari al-Tarikh al-Islami, (Jakarta : Akbar Media Eka Sarana, 2003)
2.         Asghar Ali Enginer, Devolusi Negara Islam, ter. Imam Muttaqin dari Islamic State, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2000), cet. Ke-1
3.         Allamah Kamal Faqih Imani, Tafsir nurul Qur’an, Al-Huda, 2003
4.         Fahd bin Abdul Aziz Al Su’ud, Al Qur’an dan terjemahnya, Kerajaan Saudi Arabia: Mujamma’Al Malik Fahd Li Thiba’at al Mush-haf Asy-Syarif Medinah Munawwarah 1990
5.         K.H.Q. Shaleh, H.A.A. Dahlan, dan Prof. Dr. H.M.D. Dahlan, CV. Diponegoro, Bandung, 1985
6.         Majalah Islam Sabili, No 13 th. X 16 Januari 2003/13 Dzulqa’dah 1424 H.
7.         M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Penerbit Lentera Hati, Ciputat, 2000
8.         Prof.Dr.H. Mahmud Yunus, Tafsir Qur’an Karim, P.T. Hidakarya Agung Jakarta, 2004
Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di, Tafsir As-Sa’di jlid 2, Pustaka Sahifah, 2007.



[1]Fahd bin Abdul Aziz Al Su’ud, Al Qur’an dan terjemahnya, Kerajaan Saudi Arabia: Mujamma’Al Malik Fahd Li Thiba’at al Mush-haf Asy-Syarif Medinah Munawwarah 1990, hal. 80
[2]K.H.Q. Shaleh, H.A.A. Dahlan, dan Prof. Dr. H.M.D. Dahlan, CV. Diponegoro, Bandung, 1985, hal. 94
[3]M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Penerbit Lentera Hati, Ciputat, 2000, hal. 58-61
[4]Prof.Dr.H. Mahmud Yunus, Tafsir Qur’an Karim, P.T. Hidakarya Agung Jakarta, 2004, hal.72
[5]Allamah Kamal Faqih Imani, Tafsir nurul Qur’an, Al-Huda, 2003, hal.141-142
[6]Fahd bin Abdul Aziz Al Su’ud, Al Qur’an dan terjemahnya, Kerajaan Saudi Arabia: Mujamma’Al Malik Fahd Li Thiba’at al Mush-haf Asy-Syarif Medinah Munawwarah 1990, hal. 169
[7]Munafiq berarti mengakui islam dengan mulutnya, tapi hatinya mengingkari
[8]Salah seorang tokoh Islam dari bani Auf bin Khazraj
[9]K.H.Q. Shaleh, H.A.A. Dahlan, dan Prof. Dr. H.M.D. Dahlan, CV. Diponegoro, Bandung, 1985, hal. 186
[10]Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di, Tafsir As-Sa’di jlid 2, Pustaka Sahifah, 2007, hal. 361-362
[11]Prof.Dr.H. Mahmud Yunus, Tafsir Qur’an Karim, P.T. Hidakarya Agung Jakarta, 2004, hal. 158
[12]Ibid
[13]Asghar Ali Enginer, Devolusi Negara Islam, ter. Imam Muttaqin dari Islamic State, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2000), cet. Ke-1,h. 214
[14]Ibid, h. 215-216
[15]Ahmad al-Usairy, Sejarah Islam Sejak Zaman Nabi Adam Hingga Abad XX, terj. Samson Rahman dari al-Tarikh al-Islami, (Jakarta : Akbar Media Eka Sarana, 2003), h. 52
[16]Majalah Islam Sabili, No 13 th. X 16 Januari 2003/13 Dzulqa’dah 1424 H., h. 48

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

dunia ini memang indah,, tergantung bagaimana kita menjaga keindahan itu,,. untuk itu mari kita bersatu, satu pikiran satu tujuan untuk Indonesia merdeka,.. berpisah kita berjuang bersatu kita memukul..