Sabtu, 26 Mei 2012

Makalah tafsir ahkam musyawarah dan demokrasi dalam pandangan DA, NII, dan HTI


BAB I
Pendahuluan
1. Latar Belakang
Latar belakang kelahiran demokrasi bermula dari adanya para penguasa di Eropa yang beranggapan bahwa penguasa adalah wakil Tuhan. Tuhan telah memberikan kewenangan kepada para penguasa untuk membuat hukum dan perundang-undangan serta kewenangan untuk memerintah rakyat. Tidak sedikit dari aturan dan perundang-undangan yang dibuat oleh para penguasa itu hanya menguntungkan penguasa itu sendiri serta merugikan rakyat. Akibatnya, rakyat tertindas dan terdzalimi. Demokrasi merupakan kata yang menunjukkan makna bahwa pemerintahan itu adalah berasal dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Jadi kekuasaan berada di tangan rakyat, hukum dibuat berdasarkan suara rakyat karena suara rakyat adalah suara Tuhan.
Ide dasar demokrasi adalah, kekuasaan mutlak berada di tangan rakyat, rakyatlah yang berhak membuat dan melaksanakan peraturan yang ditetapkan sendiri berdasarkan suara mayoritas. Rakyat berhak memilih anggota badan legislatif berdasarkan suara mayoritas. Rakyat berhak memilih penguasa (badan eksekutif) berdasarkan suara mayoritas bahkan rakyat berhak menentukan hakim (badan yudikatif) berdasarkan suara mayoritas pula. Jadi, inti demokrasi adalah segala keputusan ditentukan oleh suara mayoritas rakyat. Ada dua ide demokrasi yakni (1). kekuasaan di tangan rakyat (2). rakyat sebagai sumber kekuasaan. Dengan dua ide ini pada hakikatnya demokrasi telah menghapus ide hak Ketuhanan (Divine Right) yang selama ratusan tahun berada di tangan penguasa yang menganggap dirinya sebagai wakil Tuhan.
Sistem demokrasi itu telah lama digunakan di negara Amerika Serikat dan Eropa bahkan telah digunakan oleh negara-negara yang mayoritas rakyatnya beragama Islam termasuk Indonesia. Ide dan praktik demokrasi ini telah mendapat sorotan tajam dari para tokoh Islam terutama para tokoh salafi yang tradisional (lawan modernis). Pada umumnya mereka menyatakan bahwa demokrasi tidak sesuai dengan ajaran Islam dan dapat merusak akidah. Oleh karena itu menggunakan demokrasi dalam menjalankan roda pemerintahan adalah haram hukumnya. Pandangan mereka ini sangat bertentangan dengan pendapat mayoritas rakyat dunia dan rakyat Indonesia pada umumnya yang salama ini mengagungkan dan mempraktekkan demokrasi. Untuk mengetahui pandangan DA, NII, dan HTI tentang demokrasi dan musyawarah secara valid perlu dilakukan penelitian akademis, oleh karena itu penulis mengangkat masalah ini untuk diteliti.
Adapun tujuan yang ingin dicapai adalah untuk memperoleh data dan fakta ilmiah yang dapat menggambarkan pandangan DA, NII, dan HTI tentang demokrasi dan musyawarah. Tulisan ini merupakan hasil penelitian yang dilakukan secara terpisah, yakni penelitian terhadap Darul Arqam dilaksanakan pada tahun 1995-1996 yang di up date tahun 2009, penelitian tentang NII dilaksanakan pada tahun 2002-2005 yang di up date tahun 2009, sedangkan penelitian terhadap Hizbut Tahrir dilakukan tahun 2008- 2009.
Kerangka pemikiran yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori perubahan perilaku dan pembentukkan kelompok manusia dari John F. Longres[1] dan James W. Vander Zande [2]. Menurut Longres, perubahan perilaku manusia dipengaruhi oleh norma (norm) dan nilai (value) yang dianut dan diyakini seseorang, juga menurut Vander Zanden pembentukan kelompok manusia (human groups) pun salah satunya dipengaruhi oleh kesamaan norma dan nilai yang dianut-nya tersebut sekaligus membedakannya dari karakteristik kelompok lainnya.
Selain itu digunakan juga teori dari Harun Nasution dan Azyumardi Azra, guru besar IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta tentang pemilihan tokoh/ pemikir Islam. Dalam hal ini para ulama pada umumnya (jumhur) sepakat bahwa sumber hukum dan nilai ajaran Islam adalah Al-Qur‟an yang dielengkapi dengan al-Hadits (sunah rasul). Kedua sumber ini diakui keberadaan dan fungsinya oleh seluruh ulama dan telah dipraktekkan sejak zaman nabi dan para sahabatnya. Akan tetapi dalam tataran penafsiran, telah melahirkan multi interpretasi karena penafsiran sangat dipengaruhi oleh banyak faktor antara lain oleh paradigma berpikir para ulama dan konsep-konsep, teori, serta prinsip-prinsip yang digunakannya. Tidak heran apabila terjadi sekian banyak perbedaan (khilafiyah). Namun sejauh perbedaan itu masih berada pada koridor aturan baku yang telah disepakati bersama oleh para ulama secara umum (jumhur ulama) tidaklah menjadi masalah. Berbeda sekali apabila khilafiyah itu memang terjadi karena pelanggaran terhadap sejumlah prinsip, teori dan konsep-konsep dasar yang telah di-sepakati.
Berkaitan dengan corak penafsiran, Harun Nasution memilah ulama menjadi dua besaran pokok yakni ulama Tradisional dan Ulama Modernia. Ulama tradisional ialah ulama yang masih terikat oleh hadits Ahad dan pendapat ulama salaf yang sangat banyak jumlahnya. Sedangkan ulama modernis adalah ulama yang sudah menggunakan akal secara luas dalam memahami Islam serta tidak lagi terikat oleh hadits Ahad dan oleh pendapat ulama terdahulu, sedangkan Azyumardi Azra membagi ulama dalam konteks konsep negara. Menurutnya ulama terbagi dua yakni ulama fundamentalis dan ulama modernis. Ulama fundamentalis adalah mereka yang berpendapat bahwa bentuk negara harus seperti apa adanya di zaman nabi. Sedangkan ulama modernis menyatakan tidak ada keharusan membentuk negara Islam, yang penting substansi dan nilai-nilai universal Islam yang harus masuk menjadi fondasi negara misalnya nilai keadilan, demokratis dan lain-lain, tidak harus berbentuk negara sebagaimana negara Madinah di zaman Rasul. Jadi Azyumardi Azra lebih memilih Islam substantif daripada Islam simbolik.
Untuk membahas masalah ini, metode pendekatan yang digunakan adalah pendekatan teologis (teological approach) yakni melihat masalah serta menganalisis segala macam pendapat DA, NII dan HTI melalui pendekatan Al-Qur‟an dan Hadits serta pendapat para ulama dan pemikir Islam.
Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif ekplanatoris, yakni menge-depankan data dan fakta ilmiah tentang pendapat DA, NII, dan HTI apa adanya, kemudian setelah itu ide atau konsep mereka dibahas satu persatu, dibandingkan dengan pendapat ulama dan pemikir Islam lainnya.

2. Hasil Temuan Penelitian
A. Pandangan Darul Arqam
Darul Arqam selanjutnya disebut DA adalah sebuah badan dakwah Islam yang bermula dari pengajian keluarga yang disebut pengajian Rumah Putih karena markasnya adalah sebuah rumah bercat putih. Selanjutnya tumbuh berkembang menjadi gerakan keagama-an bercorak tasawuf tarekat yang dinisbahkan (dihubungkan) kepada seorang ulama Malaysia asal Wonosobo bernama Muhammad Suhaimi sehingga dikenal dengan sebutan Tarekat Muhammadiyah atau tarekat Suhaimiyah.[3] Pusat gerakannya adalah di Sungai Penchala Malaysia.[4] Sejak tanggal 28 Februari 1971 organisasi ini resmi diberi nama Darul Arqam dan dimpimpin oleh syaikh Ashaari Muhammad, seorang yang mengklaim sebagai pemuda Bani Tamim yang akan mendampingi Imam Mahdi (messias) yang kelak akan mengambil alih kekuasaan negara lantas mendirikan Khilafah Islamiyah yang terakhir sebelum kiamat terjadi.
DA cepat berkembang antara lain karena Syaikh Ashaari Muhammad rajin mempublikasikan ajaran DA melalui berbagai media antara menulis buku sebanyak 64 buah, melalui VCD dan dakwah dari daerah ke daerah bahkan tembus ke mancanegara. Identitas lahiriah DA mudah dibedakan dari gerakan keagamaan lainnya. Kaum prianya memakai gamis yang dilengkapi dengan sorban yanag dililitkan di atas songko (peci), baju mereka berwarna hijau atau hitam. Merekapun memelihara jenggot, Sedangkan kaum wanitanya meng-gunakan jilbab dan cadar yang seluruhnya berwarna hitam.[5] Selain ciri lahirilah mereka dikenal pula sebagai kelompok keagamaan yang menggalakkan polgani. Sebagai ilustrasi Ashari Muhammad sebagai imam tertinggi memiliki empat isteri dan 40 anak, Salim Abbas sebagai wakil syaikh beristeri empat dan mempunyai 18 anak, dan Dr. Risdam Effendi alias Abdurrahman sebagai pimpinan DA untuk wilayah Indonesia mempunyai tiga isteri.
DA yang bercorak gerakan tasawuf dan tarekat berubah menjadi gerakan politik yang tendensius serta memublikasikan bahwa DA akan mengubah Malaysia menjadi negara Islam pada tahun 2025. DA pun sering secara tajam mengecam negara dengan sistem demokrasi terbuka, mengecam negara yang menggunakan undang-undang di luar hukum Islam, serta mengkritik kebijakan perdana menteri Mahatir Muhammad. Pemerintah Malaysia menilai bahwa DA telah mengubah gerakan dakwah Islam kepada gerakan politik praktis yang bisa membahayakan negara. DA berkali-kali diberi peringatan dan dipersempit ruang geraknya sehingga akhirnya pada hari jumat tanggal 5 Agustus 1994, pemerintah Malaysia dengan tegas menyatakan DA sebagai organisasi terlarang. Dengan larangan ini, resmilah 100.000 jemaah DA tidak diperbolehkan secara hukum mengamalkan dan melaksanakan aktivitas meliputi penerbitan, pendidikan dan perdagangan. Tidak kurang dari 200 sekolah dasar dan taman kanak-kanak serta 48 desa Islam DA di seluruh Malaysia ditutup. Demikian pula aset bisnis DA senilai 230 milyar rupiah meliputi bisnis makanan halal, real estat, dan industri kecil tidak diperbolehkan lagi menggunakan nama Darul Arqam. Sejak itu, bukan semua atribut DA dilepaskan. Pakaiannyapun diubah, anggota pria memakai celana panjang, kemeja dan peci, sedangkan anggota wanita menggunakan jilbab berwarna cerah, umumnya warna krem.
Pada perkembangan selanjutnya yakni tahun 1997, nama DA diubah menjadi Rufaqa untuk Malaysia sedangkan untuk Indonesia bernama Hawariyun tetapi untuk urusan luar meggunakan nama Jumala. Pada tahun 2001 untuk ke luar DA menggunakan nama Rufaqa. Tahun 2003, nama Hawariyun untuk DA Indonesia dibuang kemudian menggunakan nama Rufaqa, baik untuk Indonesia. Kemudian pada tahun 2007, nama Rufaqa diganti lagi mennadi Global Ikhwan, nama ini berlaku terus sampai hari ini.[6]
Bagaimana pandangan DA tentang demokrasi? DA menyatakan bahwa di dalam Islam tidak dikenal konsep daulah (negara) dengan batas – batas teritorial yang sangat ketat yang dipimpin oleh seorang presiden atau raja yang berdiri masing-masing. Di dalam Islam hanya dikenal konsep al-ummah, Jama’atul Muslimin atau kesatuan umat yaitu suatu kesatuan yang terikat dengan ikatan iman dan steril dari simbol-simbol nasionalisme. Pandangan ini berdasar pada konsep bahwa segala kekuasaan adalah milik mutlak Allah SWT, akan tetapi karena Allah tidak mungkin memerintah langsung maka Allah mengangkat khalifatullah di muka bumi ini, jadi sebagian kekuasaan Allah itu didelegasikan kepada khalifah (presiden dunia). Seorang khalifah berkedudukan sebagai wakil Tuhan bukan sebagai wakil rakyat. Oleh karena itu, pemimpin tidak dipilih oleh rakyat, namun ditunjuk dan ditetapkan oleh Tuhan. Akan tetapi, karena Tuhan tidak mungkin langsung memilih wakilNya, Tuhan memilih khalifah lewat kelompok orang-orang saleh yang memahami hukum-hukum Allah dan sangat comitted kepada kehendak Allah. Kelompok ini disebut ahlul halli wa aqdi. Tugasnya adalah memusyawarkan dan memutuskan berbagai macam kebijakan negara termasuk memilih pimpinan (khalifah).
Ahlul halli wa aqdi adalah sekelompok orang yang berpengetahuan luas dalam soal Islam dan kenegaraan, beriman, dan selalu bertindak atas dasar ilmu Allah. Oleh sebab itu, seseorang yang dipilih dan dilantik sebagai pejabat oleh mereka pada hakikatnya diangkat oleh Allah. Akan tetapi, dalam hal ini Ashaari Muhammad tidak menjelaskan siapa yang berhak memilih ahlul halli wa aqdi itu. Hanya saja, di kalangan DA yang memilih mereka adalah Ashari Muhammad sendiri. Tugas ahlul halli wa aqdi sangat berat karena harus menentukan orang yang paling layak di antara para calon yang akan dipilih kendati sudah sejak awal calon pimpinan itu telah diseleksi berdasarkan kriteria kepempimpinan secara umum menurut Islam. Dengan adanya ahlul halli wa aqdi, DA tidak mengenal Pemilu sebagaimana di-laksanakan di negara demokratis. Karena prinsip ini, anggota DA tidak pernah mengikuti Pemilu. Selanjutnya, karena khalifah dipilih oleh ahlul halli wa aqdi, khalifah, imam atau pimpinan tidak boleh diganti atau diturunkan dari jabatannya. Ia menjadi pemimpin se-umur hidup. Selagi ia belum wafat atau tidak ada udzur syar’i, ia tidak boleh diganti juga tidak boleh mengundurkan diri.
Ini berbeda sekali dengan pemilihan pimpinan di negara demokrasi terbuka. Di dalam sistem demokrasi, siapapun boleh dipilih menjadi pimpinan walaupun orang itu jahat dan jahil. Dalam pemilu seperti itu, suara orang jahat sama harganya dengan suara orang yang saleh. Selain itu, pemilih sering tidak paham apa visi dan misi partai atau orang yang dipilihnya. Tidak sedikit orang yang menghalalkan segala acara demi mencapai tujuannya sehingga muncullah istilah “politic is dirty game”. Sebagai aktualisasi dari pandangannya ini, DA menolak sistem demokrasi. Mereka tidak ikut dalam pemilu dan merekapun menolak sistem partai karena tidak terdapat di dalam sunnah rasul.
Bagaimana pandangan DA tentang musyawarah ?. Menurut DA, di dalam sistem khilafah ada sebuah pranata yang disebut Majelis Syura, disebut juga ahlul halli wal aqdi atau Majelis Suyukh (majelis pini sepuh) atau disebut juga dewan tanfidz. Disebut ahlul hallli wal aqdi karena mereka adalah kelompok keahlian yang berwewenang menyeleksi dan memilih pimpinan. Disebut Majelis Syura karena merupakan badan musyawarah atau badan legislatif. Disebut Dewan Tanfidz karena merupakan dewan pertimbangan atau dewan penasihat atau disebut Majelis Syuyukh karena mereka merupakan majelis pini sepuh. Terserah mau apa penamaannya. Salah satu syarat menjadi anggota majelis syura adalah beragama Islam sehingga dengan demikian mustahil terjadi musyawarah antara muslim dengan nonmuslim dalam membahas urusan umat. Tugas pokok Majelis Syura ini adalah memusyawarahkan hal-hal yang belum dijelaskan secara ekplisit oleh Al-Qur‟an dan hadits, belum diijmakan oleh ulama salaf, dan belum diarahkan oleh ketua jemaah, ketua negara atau khalifah. Apabila terjadi perbedaan pendapat di antara anggota majelis syura (deadlock), maka tidak boleh diambil suara terbanyak (vooting) tetapi keputusan akhir berada di tangan khalifah, sebab khalifahlah yang bertanggung jawab atas semua urusan umat. Dalam hal musyawarah, khalifah boleh saja tidak melibatkan banyak orang tetapi hanya melibatkan dua atau tiga orang tergantung kepada keperluannya. Berdasarkan uraian di atas dapat diringkas bahwa pandangan DA tentang demokrasi dan musyawarah adalah sebagai berikut:
a.       Demokrasi bukan dari ajaran Islam, di dalam Islam ada Ahlul halli wal aqdi yang bertugas memilih pimpinan bukan melalui Pemilu seperti dalam sistem demokrasi. Pemilihan pimpinan melalui Pemilu sangat berbahaya karena suara seorang jahil dihargai sama dengan suara seorang yang saleh, juga saangat sering terjadi pemilih menentu-kan pilihannya tanpa mengetahui visi dan misi orang yang dipilihnya.
b.      Di dalam demokrasi sangat bisa terjadi musyawarah antara muslim dengan nonmuslim termasuk dalam membahas urusan umat Islam. Sedangkan di dalam Islam musyawarah hanya berlaku antara muslim dengan muslim sebab syarat menjadi anggota majelis syura harus beragama Islam.
c.       Di dalam demokrasi, pengambilan keputusan bisa melalui vooting, Sedangkan di dalam Islam tidak demikian, apabila terjadi deadlock, maka keputusan akhir berada di tangan khalifah karena dialah yang bertanggung jawab atas semua urusan umat.
d.      Di dalam demokrasi dipebolehkan ada partai-partai. Dalam hal ini calon anggota dewan legislatif atau kepala negara diusung oleh partai-partai tersebut. Sedangkan di dalam Islam tidak dikenal sistem kepartaian karena hal itu dapat melahirkan ashabiyah atau fanatisme kelompok.
B. Pandangan NII (Negara Islam Indonesia)
NII adalah sebuah gerakan Islam (harakah Islamiyah) yang dipimpin oleh Maridjan Sekarmadji Kartoseowirjo salah seorang tokoh Masyumi Jawa Barat. Dalam memperjuangkan berdirinya negara Islam Indonesia, mereka bersikap nonkooperatif terhadap Belanda serta melakukan politik hijrah. NII telah memproklamirkan lahirnya negara Islam Indonesia pada taggal 7 Agustus 1949 yang kemudian disebut DI (dar al-Islam) atau wilayah Islam. NII memiliki tentara sendiri yang disebut TII (tentara Islam Indonesia). Pada tahun 1962 NII ditumpas oleh TNI sebagai tentara pemerintah Indonesia kemudian Kartosewirjo di-hukum mati pada tanggal 5 September tahun itu pula. Setelah NII ditumpas oleh NKRI, NII tumbuh sebagai gerakan bawah tanah dan mengalami beberapa kali pergantian pemimpin (imam) dua di antaranya adalah Daud Beurueh dan Adah Djaelani. Pada tahun 1996 imamah NII dipegang oleh Abu Toto Abdussalam sampai hari ini.
Sebelum Abu Toto mernjadi presiden NII, ia adalah pemimpin tertinggi NII Komandemen Wilayah IX yang meliputi daerah Jakarta, Banten dan Bekasi, oleh karena itu maka NII di bawah Abu Toto ini lebih dikenal dengan sebutan NII KW IX. Baik NII Kartosoewirjo maupun NII KW IX kedua-duanya memiliki kesamaan pandangan dan sikap terhadap demokrasi dan musyawarah yang berbeda hanyalah argumentasinya.
Dalam membahas demokrasi dan musyawarah, NII KW IX menggunakan konsep Tauhid Rubbubiyah, Mulkiyah dan Uluhiyah (selanjutnya disebut tauhid RMU). Menurut NII KW IX, surat Al-Fátihah yang merupakan surat pendahuluan berisi statement maha penting, terutama pada kalimat Rabbul ‘álamin, Máliki Yaumiddin dan Iyyáka na‘budu. Demikian juga pada surat penutup yakni surat an-Nás ada kalimat rabbinnas, málikinnas dan iláhinnas. Kedua surat itu mengandung konklusi pengesaan Allah yang luar biasa, mengandung konsep tauhid yang lengkap dan kokoh. Dengan demikian Al-Qur‟an dibingkai oleh dua surat (awal dan akhir) yang memuat pesan tauhid yang sangat kuat. Munásabah (interrelasi) kedua surat itu meng-gambarkan secara jelas adanya taksonomi tauhid yakni Tawhid Rubbubiyah, Tawhid Mulkiyah dan Tawhid Uluhiyah. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada table di bawah ini.

KONSEP TAUHID DALAM MUNASABAH SURAT AL-FATIHAH DAN AN-NAS[7]
Surat Al-Fátihah
Surat An-Nás
Munásabah (interelasi ) surat dan ayat
1
2
3
Rabbul ‘alamn
Rabbinnas
Melahirkan Tawhid Rubbãbiyah. Hanya Allahlah satu-satu nya Pemgatur alam termasuk manusia.
Maliki yaumiddin
Mailikinnas
Melahirkan Tawhid Mulkiyah. Hanya Allah-lah satu-satunya Raja alam ini termasuk raja manusia.
Iyyaka na’budu
Ilahinnas
Melahirkan Tawhid Uluhiyah. Hanya Allah-lah yang wajib disembah karena Allah adalah satu-satunya Tuhan manusia.

Kata Rabb mengandung dua pengertian, yakni sebagai Pencipta dan sebagai Pemilik. Sebagai Pencipta, mengandung maksud bahwa Allah adalah Pencipta alam semesta dengan segala isinya termasuk manusia. Dia adalah Maha Pengatur segala urusan, Maha Pemelihara, Maha Pemberi rizki, Maha Pendidik, dan Maha Penjamin stabilitas keamanan. ( QS. 96 : 1 -5 , QS. 10 : 3,31,32. QS. 2 :21,22 . QS. 42 : 11-12, QS. 106 : 3 -4). Sedangkan Rabb sebagai Pemilik mengandung maksud bahwa Allah adalah pemilik alam, pemilik hukum, dan pembuat undang-undang. (QS. 42 :10 QS. 7 :2,3. QS. 6 : 144, QS. 32: 2,3 QS. 10:37, QS 12 : 40).
Dengan demikian yang dimaksud dengan Tauhid Rubbubiyah adalah meyakini bahwa Allah-lah satu-satunya Rabb, yang menciptakan, memelihara, memberi rizki, dan mengatur manusia. Oleh karena itu, di tangan Allah-lah kewenangan secara absolut untuk membuat undang-undang atau hukum. Apabila manusia mencoba membuat atau memproduksi hukum di luar hukum Al-Qur‟an, maka sama saja dengan memproklamirkan diri sebagai Rabb. Dengan demikian ia termasuk orang yang musyrik. Jadi hukum tidak bisa diputuskan oleh hasil musyawarah secara demokratis yang pada umumnya didasarkan kepada suara terbanyak. Islam tidak mengenal demokrasi dalam penetapan hukum sebab pembuatan hukum adalah hak preoregatif Allah.
Allah dengan predikat sebagai Rabb al-‘álamin telah menata alam semesta ini dengan undang-undangNya yang disebut Sunnatullah. Sedangkan Allah dengan predikat Rabb an-nás (QS. 114 :2) berarti Allah-lah yang telah menata kehidupan manusia dengan wahyu Al-Qur‟an (Rubbubiyah Allah). Seluruh aturan dan perundang-undangan yang merupakan produk akal manusia (di luar wahyu) harus dinyatakan gugur karena dinilai batil, walaupun telah melalui proses demokrasi. Hukum seperti itu termasuk hukum jahiliyah yang tak lain merupakan hukum hawa nafsu. Orang yang berpegang kepada aturan produk akal dan mengingkari hukum Allah (Rubbubiyah Allah) dihukum zalim, fasik, dan musyrik. Dihukum demikian karena ia telah mengingkari tauhid Rubbubiyah.[8]
Selanjutnya, manusia yang mengaku Allah sebagai Rabb an-Nás wajib melaksanakan undang-undangNya di muka bumi bukan menegakkan hukum hasil proses demokrasi. Jika tidak, maka pengakuan terhadap Allah sebagai rabb an-nás adalah dusta dan oleh karena itu ia dinyatakan sedikitpun mereka tidak beriman hingga menegakkan hukum wahyu”.[9] Untuk menegakkan hukum Allah (Rubbubiyah Allah) diperlukan kekuatan yang sangat besar tegasnya sebuah negara, tanpa itu, maka Rubbubiyah Allah itu tidak akan bisa terrealisasi. Dengan kata lain, realisasi tauhid Rubbubiyah adalah terwujudnya tauhid Mulkiyah. Tauhid Mulkiyah adalah pengakuan seorang hamba bahwa hanya Allah-lah satu-satu málik (Raja) yang memiliki kerajaan langit dan bumi, sehingga manusia wajib menaati Allah melebihi segalanya. Juga harus meyakini bahwa tidak ada kedaulatan lain yang boleh diakui apalagi ditaati kecuali kedaulatan Allah. Ini berdasarkan firman Allah di dalam surat 25 : 2 dan surat 17 : 111. Mengakui lembaga lain di luar pemerintahan lembaga Allah berarti musyrik, yakni syirik Mulkiyah. Dalam menjelaskan hubungan antara Islam dengan negara melalui takso-nomi tauhid oleh NII KW IX, nampaknya ide dasarnya mirip dengan apa yang telah dikemukakan oleh Al-Maududi. Menurut Maududi sistem politik Islam didasarkan kepada tiga prinsip pokok yaitu Tawhid, Risálah dan Khiláfah.
Dengan konsep tauhid ditegaskan bahwa hanya Allah-lah satu-satunya Rabb atau pencipta dan penguasa alam ini, maka Dialah yang berdaulat terhadap alam ini. Kedaulatan tertinggi adalah milik Allah sedangkan manusia sama sekali tidak memiliki kedaulatan.[10] Allah sebagai Rabb berarti Tuhan yang memelihara, mengatur, mengasihi dan menyempurnakan. Dialah satu-satunya Penguasa dan Pemilik. Karena hanya Allah sebagai Rabb manusia maka manusia ketaatan dan kepasrahan manusia hanya diserahkan kepada Allah, tidak boleh diserahkan kepada makhluk. Dalam arti inilah Allah sebagai Iláh (yang disembah, al-ma‘bud). Hanya Allah-lah yang berhak mengklaim sebagai hakim serta tidak ada undang-undang selain undang-undang-Nya. [11]Prinsip kedua adalah Risálah, yaitu sunnah nabi. Al-Qur‟an hanya menjelaskan prinsip-prinsip pokok sebagai landasan yang harus dipatuhi manusia, selanjutnya apa-apa yang global itu diperjelas oleh Rasulullah sepanjang hayatnya. Oleh karena itu, pedoman dasar bagi kehidupan manusia adalah Al-Qur‟an dan Sunnah Rasul. Kedua pegangan itu dalam terminologi Islam disebut syari„at. Selanjutnya Maududi menjelaskan bahwa syari'at baru dapat ditegakkan apabila didukung oleh kekuasaan (sulthan ).
Konsep ketiga adalah Khiláfah, yaitu manusia sebagai wakil Tuhan (khalifah) di atas bumi. Menurut Maududi, manusia mempunyai kekuasaan yang didelegasikan oleh Allah kepadanya dengan batas-batas tertentu. Ini artinya bahwa pemilik kekuasaan itu pada hakikatnya adalah Allah. Manusia (umat) wajib menaati khalifah itu selama dia menaati kehendak Allah. Dengan teori kekuasaan mutlak milik Allah, maka negara yang dicita-citakan oleh Maududi adalah kerajaan Tuhan, kingdom of God, Mulkiyah Allah atau theocracy. Ini jelas-jelas bertentangan dengan negara demokrasi. Menurut konsep NII KW IX, Mulkiyah Allah di muka bumi direalisasikan dalam Lembaga Kerasulan / Lembaga Ulu al-Amri, Lembaga Kekhalifahan fi al-Ardhi, suatu peme-rintahan struktur Allah yang sah.[12] Realisasi menaati Allah adalah menaati lembaga kepemimpinan Allah di muka bumi yang diwakili oleh Rasul, suatu lembaga pemerintahan wahyu. Seseorang yang tidak menaati lembaga tersebut dinilai telah melakukan maksiat, akibatnya, bukan saja amalnya dianggap batal (tidak sah) tetapi akidahnya dianggap gugur (QS. 4 : 64, 80,59,65, QS. 47: 33, dan QS 3 : 32). Berdasarkan pendapat ini maka nanti berkembang pendapat di kalangan NII KW IX bahwa beribadah yang dilakukan oleh orang-orang yang masih berada di luar kerajaan Allah, atau ibadah warga NKRI adalah sia-sia. Menurut mereka , supaya ibadah tidak mubazir, maka orang itu harus berada di lingkungan lembaga pemerintahan Allah. Dan ini wajib hukumnya. Sedangkan keluar dari organisasi negara itu dicap murtad.
Sementara ini ada sebagian orang Islam yang memilih jalan tengah, yakni tetap berada di NKRI tetapi sambil berusaha di parlemen untuk menegakkan syarii'at Islam lewat musyawarah. Menurut NII tidak ada sepotong ayat Al-Qur‟an pun yang membenarkan seorang mukmin boleh mengakui dan menaati negara non-wahyu. Di dalam banyak ayat Al-Qur‟an terdapat larangan keras mengakui dan menaati lembaga pemerintahan kufár (QS. 5 : 80, 82, QS: 3: 149, 150, QS. 4 : 41,60, QS. 5 : 57, QS. 4 : 144, QS. 3 : 28, QS. 4: 140 serta QS 58 :22). Untuk mewujudkan Mulkiyah Allah di muka bumi bukanlah dengan sistem parlementer ala demokrasi Barat, karena itu berarti membuka pintu musyawarah antara muslim dan non-muslim, padahal Allah telah mengunci mati hati "Iblis" untuk menerima kebenaran (QS. 2 : 34). Perlu digaris bawahi bahwa musyawarah di dalam Al-Qur‟an (QS. 42 : 38, QS. 3 : 159), adalah antara mukmin dengan mukmin bukan antara mukmin dengan kafir. Menurut mereka, tidak ada kamusnya di dalam Al-Qur‟an agar seorang mukmin bermusyawarah dengan kafir. Ayat tentang wa amruhum syurá bainahum, atau wa syáwirhum fi al-amr, bukanlah dalil tentang sistem parlementer dengan pola demokrasi Barat atau demokrasi manapun di dunia ini, tetapi musyawarah di antara orang-orang yang beriman (bainahum) yang memiliki tanggung jawab yang besar terhadap kemajuan Islam. NII KW IX mencela organisasi pergerakan Islam seperti Muhammadiyah, Persis, NU, Perti, PUI, dan Al-Washliyah yang ingin memperjuangkan Islam melalui parlementer (nasionalis). Mereka pun mencela partai-partai Islam yang dengan keras menyuarakan diberlakukannya syari„at Islam di Indonesia dengan menempuh cara musyawarah di DPR/ MPR.
Mewujudkan Mulkiyah Allah melalui parlemen adalah mustahil. Baik Al-Qur‟an maupun hadis menyatakan dengan tegas bahwa untuk mewujudkan Mulkiyah Allah adalah dengan pola Furqan atau pola Hijrah, yakni membentuk lembaga yang berdiri sendiri terpisah dari struktur lembaga yang ada dan sedang berkuasa. (QS. 60 :4, QS.4 : 140, 97, 60, QS. 2 : 256, 257, QS. 9 : 71, QS. 36 : 16, QS. 5 : 50). Lembaga Allah ini adalah Lembaga Furqán. Apabila Tawhid Rubbubiyyah dan Tawhid Mulkiyyah telah terwujud, ini artinya negara Lembaga Kerasulan atau suatu negara dengan undang-undang wahyu Allah telah terwujud. Selain tauhid Rubbubiyyah dan tauhid Mulkiyyah maka ada satu dimensi tauhid lagi, yakni tauhid Uluhiyyah. Secara etimologi, Uluhiyyah berarti al-Ma‘bud (sesuatu yang disembah). Secara terminologi, tauhid Uluhiyyah berarti meyakini bahwa hanya Allah-lah satu-satunya zat yang wajib disembah dan dimintai pertolongan. Islam tidak mengenal ada pengabdian ganda sebab yang demikian adalah sikap munafik dan kemusyrikan yang nyata. Muslim dituntut untuk monoloyalitas, yakni hanya mengabdi kepada Allah, sebagaimana Allah tegaskan di dalam Al-Qur‟an ( QS. 1 : 4 QS. 25 : 55, QS. 18 : 110). Konsekuensi tauhid Uluhiyyah atau monoloyalitas ini adalah sikap konsisten terhadap hukum wahyu. Namun perlu digaris bawahi bahwa pengabdian kepada Allah (Uluhiyyah) bisa terwujud secara káffah hanya apabila dilaksanakan di negara Allah (Mulkiyah Allah), yang di dalam negara itu berlaku hukum-hukum Allah (Rubbubiyah Allah). Berdasarkan uraian di atas dapat diringkas bahwa pandangan NII termasuk NII KW IX tentang demokrasi dan musyawarah adalah sebagai berikut:
a.       Kekuasaan Allah sangat absolut dan unlimited kemudian Allah mendelegasikan sebagian kekuasaannya yakni negara kepada khalifatullah (rasul) dan para penggantinya. Oleh karena itu maka negara yang dibentuk harus negara lembaga kerasulan atau negara yang bersifat theokrasi bukan negara demokrasi.
b.      Pembuatan hukum adalah hak absolut Allah, sedangkan hukum yang dihasilkan oleh akal manusia termasuk melalui pengambilan suara terbanyak secara demokratis adalah syirik. Mentaati hukum tersebut dinilai kafir, fasik dan dzhalim.
c.       Pembentukan negara Islam bukanlah melalui perjuangan di parlemen atau bersikap kooperatif tetapi melalui pola furqan dan hijrah.
d.      Islam menganjurkan musyawah antara mukmin dengan mukmin tetapi sama sekali tidak memberi arahan sedikitpun musyawah mukmin dengan kafir sebagaimana terjadi di DPR sekarang ini.



C. Pandangan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI)
Menurut Hizbut Tahrir, Kemal Attaturk yang dibantu oleh Inggris dan Yahudi telah menghancurkan kekhalifahan Turki Utsmani pada tanggal 3 maret 1924 sehingga umat Islam tidak pernah lagi menikmati hari-hari yang membahagiakan. Negeri-negeri Islam diiris - iris menjadi puluhan negara yang mamasung kaum muslimin di dalamnya.[13] Melihat kenyataan ini seorang ulama besar bernama Taqiyudin al-Bani terpanggil ruh jihadnya untuk menggelorakan tegaknya kembali khilafah. Sejak tahun 1949 di Palestina dan di Yordan, Taqiyudin Al-Nabhani mulai merintis ide ini melalui pidato-pidato pencerahan, braintorming dan debat-debat dengan para tokoh, baik yang sejalan maupun yang tidak sejalan dengan pemikirannya sehingga akhirnya berdirilah Hizbut Tahrir yang terus menjalar ke mana-mana. Di Indonesia organisasi ini dikenal dengan sebutan HTI dengan juru bicaranya bernama Ismail Yusanto. Menurut HTI, apabila umat Islam ingin kembali jaya seperti di masa klasik, umat Islam harus berjuang menegakkan berdiri kembali khilafah Islamiyah, yakni sistem pemerintahan Islam berdasarkan kesatuan umat bukan negara kebangsaan. Pemerintahan yang diikat dengan iman dan diatur oleh undang-undang Allah, Al-Qur‟an. Pemerintahan tersebut bersifat global atau mendunia dengan kepmimpinan tunggal yakni seorang khalifah. Pemerintahan ini tanpa batas-batas teritorial atau batas-bats geografis antar wilayah Islam serta bersih dari simbol nasionalisme.
HTI sering melakukan demonstrasi dengan mengusung ide khilafah. Bendera yang mereka gunakan dalam setiap demonstrasi bertuliskan : “ Asyhadu allaa ilaha illah wa asyhadu anna Muhammad Rasusulullah “. Dalam pandangannya khilafah tidak bisa tidak harus terwujud dan itu merupakan harga mati tidak ada alternatif lain. Selanjutnya mereka menegaskan bahwa keberadaan khilafah sangat penting untuk meningkatkan eksistensi umat Islam. Umat Islam di dunia adalah umat beragama terbesar kedua setelah Nashrani namun terpecah-pecah dalam bentuk negara-negara nasionalisme sehinga tidak ada kesatuan umat. Umat Islam tidak memiliki komandan tertinggi yang mengomando semua aktivitas besar, akibatnya potensi yang dimiliki umat Islam tidak menjadi kemampuan nyata.
Dunia Islam kini tunduk kepada PBB sebagai badan dunia yang mengatur berbagai macam hubungan antara negara termasuk urusan di negara Islam, setiap solusi yang ditawarkan oleh PBB sangat tidak baik bahkan makin membuat negeri-negeri Islam acak-acakan. Lihat saja kasus Irak, Afghanistan, dan Palestina. Ini semua tidak akan terjadi apabila Islam memiliki khalifah. Memamg benar bahwa kaum kufar tidak akan menyukai terbemtuknya khilafah Islamiyah sebab dianggap dapat megancam keberadaan mereka yang sedang menikmati dunia setelah mereka berhasil menghancurkan kekhalifahan Turki Utsmani pada tanggal 3 Maret 1924, oleh karena itu mereka berusaha sekuat tenaga merintanginya dengan berbagai cara termasuk menyebarkan opini dan persepsi yang salah tentang Islam. HTI sangat yakin bahwa khilafah Islam lambat laun pasti akan terbentuk oleh karena itu perjuangan membentuk khilafah harus terus dilakukan.
Dalam manifestonya HTI menyeru umat Islam Indonesia agar bergabung dengan HTI dalam perjuangan menagakkan khilafah.[14] Menurut HTI kedudukan khalifah adalah sebagai kepala negara daulah khilafah dan sebagai wakil rakyat dalam pemerintahan untuk melaksanakan syari‟ah Allah.
Adapun mengenai pemilihan khalifah bisa beragam cara antara lain:
a.       Diminta kesediaannya oleh seseorang yang paling berkompeten kemudian disetujui oleh orang banyak seperti pemilihan Abu Bakar sebagai khalifah pertama dari khulafa al-Rasyidin. Ia diminta oleh Umar ibn Khattab kemudian disetujui oleh kaum Muhajirin yakni kaum muslimin Mekah yang berhijrah ke Medinah, disetujui pula oleh kaum Anshar yakni muslimin Medinah yang menolong Muhajirin.
b.      Pemilihan khalifah ditunjuk langsung oleh khalifah sebelumnya seperti Abu Bakar menunjuk Umar ibn Khatab menjadi khalifah kedua.
c.       Melalui musyawarah antar kandidat sebagaimana pengangkatan Utsman ibn Affan sebagai khalifah ketiga,
d.      Melalui tim penyeleksi yanag disebut Ahlul halli wal aqdi seperti pemilihan Ali ibn Abi Thalib. Bahkan bisa juga dipilih melalui pemilu atas dasar ridha wa ikhtiyar (kerelaan dan kebebasan memilih). Selanjutnya umat melakukan bai’at (sumpah setia), kepada khalifah terpilih.
Langkah berikutnya khalifah wajib menegakkan syari‟at Islam secara total (kaffah),[15] Pada kenyataannya, semua calon presiden dan wakil persiden yang dipilih pada pilpres tanggal 8 Juli 2009 yang lalu tidak secara ekplisit maupun implisit mau menegakkan syari‟at Islam di Indonesia manakala mereka terpilih, oleh karena itu tidak heran apabila pada kenyatannya seluruh anggota HTI tidak ikut mencontreng dalam pilpres yang lalu. Selanjutnya HTI membedakan antara pemilihan kepala negara dengan pemilihan anggota legislatif. Pemilihan anggota legistaltif dilakukan melalui akad wakalah (perwakilan).
Di dalam akad wakalah terdapat tiga unsur yakni (1) Pemilih sebagai orang yang mewakilkan (2). Wakil atau calon anggota legislatif, dan (3). Isi atau amanah apa yang harus dijalankan oleh wakil rakyat itu. Dalam hal ini harus ada wa’ad (janji) antara pemilih dan calon legislatif. Wa’ad ini harus sejalan dengan syariat Islam, misalnya pihak pemilih berjanji bahwa ia akan memilih calon legislatif bernama A dengan amanah bahwa apabila calon tersebut terpilih menjadi anggota legislatif, ia harus berjuang menegakkan syari‟at Islam. Apabila calon A menyatakan bersedia maka bisa terjadi pemilihan. Akan tetapi manakala calon tersebut tidak bersedia maka pemilihan tidak akan terjadi. Kemudian apabila anggota legisltif terpilih ternyata tidak men-jalankan amanahnhya untuk memperjuangkan syari‟at Islam maka akad wakalah bisa dicabut. Pertanyaannya adalah pernahkah wa’ad (perjanjian) ini terjadi, adakah calon legislatif yang menyanggupi akad wakalah ini ? Pada kenyatannya, bukan hanya tidak pernah terjadi bahkan sering pemilih tidak mengetahui visi dan misi calon legislatif yang akan dipilihnya. Jika demikian, apabila calon yang telah terpilih menjadi anggota legisltif tidak berusaha menegakkan sayri‟at Islam maka pemilih ikut berdosa. Daripada menganggung dosa, lebih baik tidak memilih alias golput. Inilah yang menjadi pilihan anggita HTI. Bagaimana pandangan HTI tentang masalah hak legislasi menurut HTI, di dalam sistem demokrasi, kekuasaan berada di tangan manusia bukan di tangan Allah SWT. Di DPR atau MPR RI dengan mengatas namakan kebebasan dana demokrasi waki wakil telah bertindak sebagai Tuhan yang memiliki wewennag menatapkan hukum sesuai kehendak mereka (hak legislatif).
Menurut HTI musyawarah dalam sistem khilafah memiliki perbedaan signifikan dengan musyawarah sistem demokrasi, antara lain :
a)      Musyawarah dalam sistem khilafah bukan untuk menetapkan hukum benar salah atau haram halal, misalnya membahas privatisasi sumber daya energi, karena sudah jelas keharamannya karena di dalam Islam sebagaimana ditegaskan oleh hadits rasulullah SAW bahwa sumber air, sumber api dan tempat penggembalan adalah miliki ber-sama rakyat. Atau membahas perlu tidaknya mengirimkan pasukan untuk membebaskan negeri - negeri muslim padahal sudah jelas hukumnya, wajib.
b)      Di dalam majelis syura sistem khilafah, warga negara non muslim berhak mengajukan dakwaan (syakwat) apabila terdapat ketidak adilan perlakuan negara terhadap mereka tetapi mereka tidak meberhak memberikan usulan atau ikut dalam pembahasan syari‟ah seperti membahas soal pornografi karena mereka sudah jelas-jelas tidak mengimani syari‟ah Islam.
c)      Dalam persoalann yang me-ngandung ikhtilaf atau perbedaan, klhalifah tidak terikat dengan pendapat mayaorits majelis syura. Contoh, Abu Bakar memerangi orang yang ingkar membayar zakat walaupun mayoritas sahabat menolaknya.
d)     Dalam hal-hal yang dipahami publik, khalifah terikat dengan pendapat mayoritas misalnya menentukan lokasi yang strategis untuk pendirian universitas.
e)      Dalam hal-hal yang memerlukan keahlian khusus, khalifah harus mendengar pendapat para ahli, bukan berdasarkan suara mayoritas para ahli tetapi berdasarkan kekuatan argumentasinya misalnya tentang cara mengatasi kekurangan listrik.
f)       Syarat utama anggota musyawarah harus beriman karena jika tidak, sangat mungkin ada keinginan pihak kolonial atau kelompok kepentingan yang mempengaruhi para anggota majelis untuk memutuskan sesuatu sesuai kehendak kelompok tersebut. Terjadilah penjualan pasal-pasal dalam UU. Anggota legilatif menlakukan negoisasi dengan pihak – pihak tertentu untuk memperjual belikan pasal-pasal yang dapat meng-untungkan kelompok kepentingan.[16]

HTI secara tegas menolak demokrasi, mereka menyatakan bahwa demokrasi yang diagungkan di Barat yang mendasarkan sistem pemerintahan kepada suara mayoritas adalah sistem kafir, tidak ada hubungannya dengan Islam. Demokrasi sangat bertentangan dengan Islam, baik dari sisi akidah yang melahirkannya, azas yang digunakan maupun aturan yang dibawanya. Demokrasi pada hakikatnya adalah ide sekuker yang memisahkan agama dari negara yang merupakan ide dasar kapitalisme.[17] (Zallum : 1-15).




















Pembahasan
Bab II
Musawarah Dan Demokrasi

A. Sorotan terhadap Demokrasi
Keharaman demokrasi dalam pandangann DA, NII, dan HTI ide dasarnya adalah tentang kedaulatan dan kewenangan membuat UU. Dalam soal kekuasaan diyakni bahwa semua kekuasaan adalah milik Allah, Allah-lah yang berhak mengatur manusia serta membuat UU, Allah adalah Asy-Sayri‟ (pembuat peraturan). Selanjutnya UU Allah dijelaskan oleh Rasul, jadi risalah nabi adalah penjelasan atas UU Allah yang terdapat di dalam Al-Qur;an. Setelah itu semua UU yang terdapat di dalam Al-Qur‟an dan risalah nabi harus dilaksanakan oleh khalifah sebab khalifah dianggap sebagai wakil Allah di muka bumi ini. Tugas khalifah adalah mengelola pemerintahan sesuai dengan undang-undang Allah. Apabila khalifah melihat ada kekuranglengkapan aturtan yang dibutuhkan maka dilaksanakanlah musyawarah mufakat.
Pandangan DA, NII dan TII sebagaimana diuangkapkan di atas bukanlah pandangan yang sama sekali baru tetapi sudah menjadi pemikiran di kalangan para pemikir Islam sebelumnya. Konsep mereka ini sama dengan konsep Maududi (Pakistan), menurutnya sistem politik Islam didasarkan kepada tiga prinsip pokok yaitu Tawhid, Risálah dan Khiláfah. Dengan konsep tauhid ditegaskan bahwa hanya Allah-lah satu-satunya Rabb atau pencipta dan penguasa alam ini, maka Dialah yang berdaulat terhadap alam ini. Kedaulatan tertinggi adalah milik Allah sedangkan manusia sama sekali tidak memiliki kedaulatan. Allah sebagai Rabb berarti Tuhan yang memelihara, mengatur, mengasihi dan menyempurna-kan. Dialah satu-satunya Penguasa dan Pemilik. Karena hanya Allah sebagai Rabb manusia maka manusia ketaatan dan kepasrahan manusia hanya diserahkan kepada Allah, tidak boleh diserahkan kepada makhluk.
Dalam arti inilah Allah sebagai Iláh (yang disembah, al-ma‘bud). Hanya Allah-lah yang berhak mengklaim sebagai hakim serta tidak ada undang-undang selain undang-undangNya. Prinsip kedua adalah Risálah, yaitu sunnah nabi. Al-Qur‟an hanya menjelaskan prinsip-prinsip pokok sebagai landasan yang harus dipatuhi manusia, selanjutnya apa-apa yang global itu diperjelas oleh Rasulullah sepanjang hayatnya. Oleh karena itu, pedoman dasar bagi kehidupan manusia adalah Al-Qur‟an dan Sunnah Rasul. Kedua pegangan itu dalam terminologi Islam disebut syari„at.
Selanjutnya Maududi menjelaskan bahwa syari'at akan dapat ditegakkan apabila didukung oleh kekuasaan (sulthan ) . Konsep ketiga adalah Khiláfah, yaitu manusia sebagai wakil Tuhan (khalifah) di atas bumi. Menurut Maududi, manusia mempunyai kekuasaan yang didelegasikan oleh Allah kepadanya dengan batas-batas tertentu. Ini artinya bahwa pemilik kekuasaan itu pada hakikatnya adalah Allah. Manusia (umat) wajib menaati khalifah itu selama dia menaati kehendak Allah. Dengan teori kekuasaan mutlak milik Allah, maka negara yang dicita-citakan oleh Maududi adalah kerajaan Tuhan, kingdom of God, Mulkiyah Allah atau theocracy.
Pendapat Maududi sama dengan pendapat Sayyid Quthub, menurut Quthub, kekuasaan Allah itu sangat luas dan tidak terbatas. Dialah penguasa tunggal tanpa sekutu. Kemudian sebagian kekuasaan itu didelegasikan kepada manusia sebagai khalifah. Jadi khalifah adalah manusia yang diserahi amanah. Oleh karena itu ia harus mengelola bumi ini (termasuk negara) dengan sebaik-baiknya menurut ketentuan Allah. Ini artinya tugas para penguasa adalah melaksanakan hukum Allah, yakni Islam, al-Qur‟an.
Dalam hubungan dengan fungsi khalifah, Al-Mawardi menyatakan, khalifah berfungsi sebagai pengganti nabi yakni untuk melindungi agama, memberi mandat mengatur negara, menggariskan kebijaksaan yang bersumber kepada syari„at serta agar opini terpusat kepada satu pendapat yang disepakati bersama. Khakifah bukan pembuat hukum tetapi hanya pelaksana hukum (eksekutif), apabila ada hal-hal yang kurang jelas dapat dilihat pada al-hadits. Apabila di hadits kurang jelas maka lihatlah hasil ijtihad para ulama. Apabila hasil ijtihad kurang jelas maka masalah tersdebut bisa dimusayawarahkan. Pengambilan keputusan harus melalui adu arguementasi, jika tidak bisa juga maka khalifahlah yang menentukan, bukan diputuskan melalui suara terbanyak.
Hal perlu penulis tekankan dalam hubungannya dengan kedaulatan adalah sbb : (1). Kedaulatan mutlak adalah milik Allah. Dialah Allah pemilik absolut yang kekuasaannya unlimited. (2). Sebagian kekuasaan Allah itu didelegasikan kepada manusia sebagai khalifah, jadi khalifah diberi kewenangan oleh Allah untuk mengelola pemerintahan sesuai dengan UU Allah yakni Al-Qur‟an. (3). Kedudukan khalifah adalah sebagai wakil Allah dalam menegakkan hukum-hukum Allah di muka bumi. (4). Manusia berkewajiban membuat UU atau peraturan tambahan yaag diperlukan untuk menjaga ketertiban dengan syarat UU dan peraturan tersebut tidak bertentangan dengan aturan Allah (5). Aturan untuk kemaslahan yang menyangkut ipoleksosbudmilhankamnas harus sejalan dengan nilai-nilai Ilahiyah (6). Tatacara penetapan aturan tersebut bisa melalui musyawarah mufakat, bisa melalui pengambilan suara terbanyak, bisa ditetapkan langsung oleh pemimpin, yang penting substansinya dan esensinya tidak melanggar nilai-nilai Ilahiyah.

B. Sorotan terhadap Musyawarah
DA dan yang lebih tegas lagi NII sebagaimana telah dijelaskan pada bagian II berpandangan bahwa musya-warah hanya boleh antara muslim dengan muslim, musyawarah di DPR MPR antara muslim dengan nonmuslim tidak memiliki dasar hukum. Menanggapi pendapat mereka penulis berpandangan sebagai berikut:
Musyawarah pun diperlukan dalam membahas persoalan-persoalan teknis di lapangan. Suatu pekerjaan yang sudah sangat baik dari sisi substansi dan nilai tetapi belum tentu jelas aturan pelaksanaannya di lapangan, oleh karena itu diperlukan musyawarah yang melibatkan banyak ahli, sekalipun ahli terebut non-muslim. Musyawarah antara muslim dengan nonmuslim tidak dilarang oleh Al-Qur‟an maupun sunnah rasul. Musyawarah muslim dengan non-muslim bisa dilaksanakan dalam pembahasan hal-hal berikut:
a.       Membahas urusan warga negara nonmuslim yang harus diselesaikan oleh khalifah
b.      Membahas Kepentingan bersama seperti soal keamanan negara
c.       Membahas kepentingan global seperti isu lingkungan hidup.
Musayawarah antara muslim dengan musuh juga tidak terlarang misalnya soal gencatan senjata atau pertukaran tawanan perang. Nabi pun bermusyawarah dengan kaum Jahiliyah Quraish seperti dalam perjanjian Hudaibiyah. Berdasarkan hasil temuan penelitian sebagaimana dijelaskan pada bagian dua dan tiga, di bawah ini akan peneliti sampaikan kesimpulan hasil penelitian, vonis akademis dan pemetaan /mapping.


BAB III
Penutup
1.      Kesimpulan
1)      Pengharaman demokrasi oleh DA, NII, dan HTI tidak semuanya benar karena penentuan keputusan melalui voting tidak dilarang oleh Islam selama tidak mengubah hukum Allah atau hanya seputar aturan pelengkap atau aturan teknis yang bersifat ijtihadi, itupun dilakukan manakala adu argumen-tasi sama kuatnya (deadlock). b). Mengenai pengharaman musyawah antara muslim dengan nonmuslim sebagaimana ditegaskan oleh NII, tidaklah seluruhnya benar karena tidak dilarang oleh Al-Qur‟an maupun sunnah rasul. Musyawarah muslim dengan nonmuslim bisa dilaksanakan dalam pembahasan urusan warga negara nonmuslim serta membahas kepentingan bersama seperti soal keamanan negara atau membahas kepentingan global seperti isu lingkungan hidup.
2)      Vonis Akademis : Pandangan DA, NII dan HTI tentang keharaman demokrasi ala Barat dalam arti menetapkan hukum atau aturan berdasarkan suara terbanyak memiliki argumentasi teologis yang valid / absah sehingga secara akademis (tanpa muatan emosi dan keinginan pribadi) pendapat mereka dapat diterima. 3. Mapping / Pemetaan: Sebagaiman dijelaskan pada bagian satu, pemikir Islam dilihat dari sisi penggunaan hadits Ahad terbagi dua yakni pemikir tradisional dan modernis, sedangkan dilihat dari sisi konsep negara, pemikir Islam terbagi dua yakni modernis dan fundamentalis. Setelah melihat pandangan DA, NII dan HTI, penulis mengelompokkan mereka ke dalam kelompok pemikir Islam tradisionalis - fundamentalis (tanpa konotasi negatif).
2.      Saran
1)      Ada beberapa hal yang menarik perhatian kami, bahwa ternyata Islam memiliki berbagai macam banyak cara dalam mewujudkan kesejahteraan bersama, baik dengan tercapainya musyawarah yang professional maupun dengan system demokrasi.




DAFTAR PUSTAKA

Abduh, Umar.2001. Membongkar Gerakan sesat NII Di Balik Pesantren Mewah Al-Zaytun, Cetakan pertama, Jakarta : Lembaga Penelitian & Pengka-jian Islam (LPPI).

Abdurrahman, Ramli Ka‟bi Ahmad Shiddiq.1993. Bai’at, Suatu Prinsip Gerakan Islam, Jakarta : Penerbit Abu Ridha.

Ahmad, Mumtaz, Ed.1986.State Politics and Islam, Washington : American Tsust Publication.

Ahsan, Abdullah Al.1992. Ummah or Nation? Identity Crisis In Contemporary Muslim Society, The Islamic Foundation, UK.

Ali Jabir, Hussain Ibn Muhammad.1999. Menuju Jama’atul Muslimin, Tela’ah Sistem Jama’ah dalam Gerakan Islam, Cetakan kelima. Jakarta :, Penerbit Robbani Press.

Azra, Azyumardi.2000. Islam Substantif, Editor Idris Toha. Bandung : Penerbit Mizan.

Butter, Charles E, Ed.1992. The Political Aspects of Islamic Philosophy, Cambridge :
Harvard University Press.

Chaidar, al.2000. Serial Musuh-Musuh Dar al-Islam, Sepak Terjang KW 9 Abu Toto Menyelewengkan NKA – NII Pasca S.M. Kartososewirjo. Cetakan pertama. Jakarta : Madani Press.

--------------. 1999. Pengantar Pemikiran Politik Proklamator Negara Islam Indonesia: Soekarmadji Maridjan Kartosoewiryo, Jakarta : Dar al-Falah.

Dengel, Holk Harald. 1995. Darul Islam dan Kartosoewirjo, Jakarta : Pustaka Sinar Harapan.

Dijk, P Van. 1983. Darul Islam, Sebuah Pemberontakan, cetakan I. Jakarta : Grafitipers.

Ewahbah Zuhaily. 1991. Tafsir al-Munir fi al-Aqidah wa al-Syari’ah wa al-Manhaj, Juz VI, Beirut Dar al-Fikr li al-Mu‟ashir.

Effendi, Bahtiar. 1998. Islam dan Negara, Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia cetakan pertma. Jakarta : Penerbit Paramadina.

--------------. 2000. Repolitisasi Islam, Editor A. Suryana Sudrajat, Bandung : Mizan.

Jaiz, Hartono Ahmad. 2002. Aliran dan Faham Sesat di Indonesia, cetakan pertama. Jakarta : Pustaka Al-Kautsar.

Kurzman, Charles. 2001. Wacana Islam Liberal, Jakarta : Penerbit Paramadina.

Khalidi, Al, M. Abdul Majid. 2009. Analisis Dilaktika, Jilid 1, ”Kaidfah-kiadah Pokok Peremintahan Islam,”. Jakarta : Al-Azhar.

Longres, John F. 2000. Human Behavior in the Social Environment, Washington: F.E Peacock Publisher, Inc.

Ma‟arif, Ahmad Syafi‟I. 1996. Studi tentang Konstituante, Islam dan Masalah Kenegaraan Cetakan Ketiga., Jakarta : LP3ES.

Maududi, Abu Al-A‟la. 1967. Islamic Way of Life, Lahore : Islamic Publication Ltd.

-------------, 1994. Khilafah dan Kerajaan, Evaluasi Kritis atas Sejarah Pemerintahan Islam, Jakarta : Mizan.

-------------. 1977. The Islamic Law and Constitution, Islamic Publication, Lahore.

Mawardi, al. 2000. Al-Ahkam al-Shuthaniyah, Prinsip-prinsip Penyelenggaraan Negara Islam, Jakarta : Dar al-Falah.

Muhammad, Ashaari. 1986. Aurad Muhammadiyah Pegangan Darul Arqam Sekaligus Menjawab Tuduhan. Malaysia : Penerbit Shoutul Arqam, Slangor.

Nabhani, Taqiyuddin. 1995. Sistem Khilafah, Konsep Kenegaraan dan Kepemimpinan Umat Islam Seluruh Dunia, Jakarta : Khazanah Islam.

Nasution, Harun. 1996. Islam Rasional, Gagasan dan Pemikiran Catakan IV. Bandung : Mizan.

NII KW IX, Al Islam, t.t

------------, Ibadah dan Proklamasi, t.t.

------------, Buku Pedoman Tazkiyah, t.t.

------------, Standard Materi Tilawah Riasah Desa, t.t

------------, Sejarah Perjuangan Rasulullah, t.t.

------------, Kuliah Tafsir NII KW IX, t.t.

-------------, Sejarah Perjuangan Kartosoewirjo, t.t.

M.S Kartosoewirjo, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (Qanun Uqubat).

-------------, Pedoman Dharma Bhakti, jilid 1 dan 2,

Majalah Bulanan Al-Zaytun, Edisi 1 S/D edisi 11.

Piscatori, James P. 1988. Islam in A World of Nation-States, Sydney : Cambridge University Press.

Qadir Hamid, Tijani Abd. 2001. Pemikiran Politik Dalam Islam, (Terjemahan dari , Ushul al-fikr al-siyasi fi al- Qur’an Makky), Cetakan pertama. Jakarta : Gema Insani Press.

Quthub, Sayyid. 1980. Tafsir Fi Dzilal al-Qur’an, Jilid 2. Beirut : Dar al-Syuruq.

Rais, al Shiya al-Din. 1985. Islam dan Khilafah, Kritik Terhadap Buku Khilafah dan Pemerintahan Dalam Islam , Ali Abd Al-Raziq, Bandung : Pustaka.

Salus, Ali Al. 1997. Imamah dan Khilafah, Dalam Tinjauan Syar’i, Jakarta : Gema Insani Press.

Sukardja, Ahmad. 1995. Piagam Madinah dan Undang-undang Dasar 1945, Kajian Perbandingan tentang Dasar Hidup Bersama dalam Masyarakat yang Majemuk, Jakarta : Penerbit Universitas Indonesia.

Sukri Saleh, Muhammad. 1987. Pembangunan Berteraskan Islam. Malaysia : penerbit Tiga Fajar Bakti SDN, Slangor.

Tajul Arifin. 1986. Pada hemah dan Pandangan Ustadz Ashaari Muhammad. Malaysia : Penerbit : Pusat penerangan Arqam, Pahang, Malaysia.

Taimiyah, Ibn. 1966. al-Siyasah al-Syari’ah, Beirut : Dar al-Kitab, al-„Arabiyah.

Tim Penulis LSAF.1989. Refleksi Pembaharuan Pemikiran Islam, 70 Tahun Harun Nasution, Jakarta : Diterbitkan oleh Lembaga Studi Agama dan Filsafat.

Tim Penyusun. 1993. 25 Tahun Darul Arqam, Kisah Perjuangan Abuya Syaikh Ashaari Muhammad. Malaysia : Penerbit Abuya, Slangor .


[1] John F. Longres, Human behavior in The Social Environment (Washington, F.E. Peacock Publisher , Inc. 2000), hal, 29
[2] James W. Vander Zanden, Social Psychology, (New York : Random House, 1983) hal. 357-358
[3] Ashaari Muhammad, Aurad Muhammadiyah Pegangan Darul Arqam Sekaligus Menjawab Tuduhan (Penerbit Shoutul Arqam, Slangor , Malaysua, 1986) hal. 54
[4] Muhammad Sukri Saleh, Pembangunan Berteraskan Islam, (penerbit Tiga Fajar Bakti SDN, Slangor Malaysia, 1987), hal. 15. Lihat juga : Tim Penyusun, 25 Tahun Darul Arqam, Kisah Perjuangan Abuya Syaikh Ashaari Muhammad (Penerbit Abuya , Slangor Malaysia, 1993), hal 31. Lihat juga Hisman, Menangani Ancaman Arqam, (Penerbit Munir, Kuala Lumpur Malaysia, 1993), hal. 11
[5] Tajul Arifin, Pada hemah dan Pandangan Ustadz Ashaari Muhammad, (Penerbit : Pusat penerangan Arqam, Pahang, Malaysia, 1986) hal. 50
[6] Hasil wawancara dengan Arief seorang anggota Darul Arqam tanggal 6 Agustus 2009
[7] Diolah dari buku intern NII, Standard Materi Tilawah, hal.5
[8] NII KW IX, Al-Islam, hal 68
[9] NII KW IX, Al-Islam, hal 68.Dipetik dari QS.5 : 49-50
[10] Abul A‟la al-Maududi, Islam Way of Life (Lahore “ Islamic Publication, Ltd, 1967), hal 40-41.
[11] Abul A‟la al-Maududi, The Islamic Law and Constitution (Lahore : Islamic Pubication, Ltd, 1877), hal 123-124
[12] NII KW IX, Al-Islam, hal 70 . Lihat juga NII KW IX, Sejarah Perjuangan Rasulullah, hal 38
[13] Hizbut Tahrir Indonesia, Menyongsong Khalifah Islamiyah dengan Dakwah, Majalah Al-Wafie Edisi Menyongsong Khalifah menegakkan Kembali Syari‟ah, hal. 2
[14] Tim Penyusun HTI, Manifesto Hizbut Tahrir Untuk Indonesia, 2009, hal 13
[15] Tim Penyusun HTI, Manifesto Hizbut Tahrir Untuk Indonesia, 2009, hal 15
[16] Tim Penyusun HTI, Manifesto Hizbut Tahrir Untuk Indonesia, 2009, hal 16-22
[17] Abdul Qwadim Zallum, Demokrasi Sistem Kufur, HTI.tt. hal . 1 – 15

1 komentar:

  1. Hari ini kaum Muslimin berada dalam situasi di mana aturan-aturan kafir sedang diterapkan. Maka realitas tanah-tanah Muslim saat ini adalah sebagaimana Rasulullah Saw. di Makkah sebelum Negara Islam didirikan di Madinah. Oleh karena itu, dalam rangka bekerja untuk pendirian Negara Islam, kelompok ini perlu mengikuti contoh yang terbangun di dalam Sirah. Dalam memeriksa periode Mekkah, hingga pendirian Negara Islam di Madinah, kita melihat bahwa RasulAllah Saw. melalui beberapa tahap spesifik dan jelas dan mengerjakan beberapa aksi spesifik dalam tahap-tahap itu

    BalasHapus

dunia ini memang indah,, tergantung bagaimana kita menjaga keindahan itu,,. untuk itu mari kita bersatu, satu pikiran satu tujuan untuk Indonesia merdeka,.. berpisah kita berjuang bersatu kita memukul..