BAB
I
Pendahuluan
1.
Latar Belakang
Latar belakang kelahiran
demokrasi bermula dari adanya para penguasa di Eropa yang beranggapan bahwa
penguasa adalah wakil Tuhan. Tuhan telah memberikan kewenangan kepada para
penguasa untuk membuat hukum dan perundang-undangan serta kewenangan untuk
memerintah rakyat. Tidak sedikit dari aturan dan perundang-undangan yang dibuat
oleh para penguasa itu hanya menguntungkan penguasa itu sendiri serta merugikan
rakyat. Akibatnya, rakyat tertindas dan terdzalimi. Demokrasi merupakan kata
yang menunjukkan makna bahwa pemerintahan itu adalah berasal dari rakyat, oleh
rakyat dan untuk rakyat. Jadi kekuasaan berada di tangan rakyat, hukum dibuat berdasarkan suara rakyat karena suara
rakyat adalah suara Tuhan.
Ide dasar demokrasi
adalah, kekuasaan mutlak berada di tangan rakyat, rakyatlah yang berhak membuat
dan melaksanakan peraturan yang ditetapkan sendiri berdasarkan suara mayoritas.
Rakyat berhak memilih anggota badan legislatif berdasarkan suara mayoritas.
Rakyat berhak memilih penguasa (badan eksekutif) berdasarkan suara mayoritas
bahkan rakyat berhak menentukan hakim (badan yudikatif) berdasarkan suara
mayoritas pula. Jadi, inti demokrasi adalah segala keputusan ditentukan oleh
suara mayoritas rakyat. Ada dua ide demokrasi yakni (1). kekuasaan di tangan
rakyat (2). rakyat sebagai sumber kekuasaan. Dengan dua ide ini pada hakikatnya
demokrasi telah menghapus ide hak Ketuhanan (Divine Right) yang selama
ratusan tahun berada di tangan penguasa yang menganggap dirinya sebagai wakil
Tuhan.
Sistem demokrasi itu
telah lama digunakan di negara Amerika Serikat dan Eropa bahkan telah digunakan
oleh negara-negara yang mayoritas rakyatnya beragama Islam termasuk Indonesia.
Ide dan praktik demokrasi ini telah mendapat sorotan tajam dari para tokoh Islam
terutama para tokoh salafi yang tradisional (lawan modernis). Pada
umumnya mereka menyatakan bahwa demokrasi tidak sesuai dengan ajaran Islam dan
dapat merusak akidah. Oleh karena itu menggunakan demokrasi dalam menjalankan
roda pemerintahan adalah haram hukumnya. Pandangan mereka ini sangat
bertentangan dengan pendapat mayoritas rakyat dunia dan rakyat Indonesia pada
umumnya yang salama ini mengagungkan dan mempraktekkan demokrasi. Untuk
mengetahui pandangan DA, NII, dan HTI tentang demokrasi dan musyawarah secara
valid perlu dilakukan penelitian akademis, oleh karena itu penulis mengangkat
masalah ini untuk diteliti.
Adapun tujuan yang ingin
dicapai adalah untuk memperoleh data dan fakta ilmiah yang dapat menggambarkan
pandangan DA, NII, dan HTI tentang demokrasi dan musyawarah. Tulisan ini
merupakan hasil penelitian yang dilakukan secara terpisah, yakni penelitian
terhadap Darul Arqam dilaksanakan pada tahun 1995-1996 yang di up date tahun
2009, penelitian tentang NII dilaksanakan pada tahun 2002-2005 yang di up
date tahun 2009, sedangkan penelitian terhadap Hizbut Tahrir dilakukan
tahun 2008- 2009.
Kerangka pemikiran yang
digunakan dalam penelitian ini adalah teori perubahan perilaku dan pembentukkan
kelompok manusia dari John F. Longres[1] dan
James W. Vander Zande [2].
Menurut Longres, perubahan perilaku manusia dipengaruhi oleh norma (norm) dan
nilai (value) yang dianut dan diyakini seseorang, juga menurut Vander
Zanden pembentukan kelompok manusia (human groups) pun salah satunya dipengaruhi
oleh kesamaan norma dan nilai yang dianut-nya tersebut sekaligus membedakannya
dari karakteristik kelompok lainnya.
Selain itu digunakan juga
teori dari Harun Nasution dan Azyumardi Azra, guru besar IAIN Syarif
Hidayatullah Jakarta tentang pemilihan tokoh/ pemikir Islam. Dalam hal ini para
ulama pada umumnya (jumhur) sepakat bahwa sumber hukum dan nilai ajaran Islam
adalah Al-Qur‟an yang dielengkapi dengan al-Hadits (sunah rasul). Kedua sumber
ini diakui keberadaan dan fungsinya oleh seluruh ulama dan telah dipraktekkan
sejak zaman nabi dan para sahabatnya. Akan tetapi dalam tataran penafsiran,
telah melahirkan multi interpretasi karena penafsiran sangat dipengaruhi oleh
banyak faktor antara lain oleh paradigma berpikir para ulama dan konsep-konsep,
teori, serta prinsip-prinsip yang digunakannya. Tidak heran apabila terjadi
sekian banyak perbedaan (khilafiyah). Namun sejauh perbedaan itu masih
berada pada koridor aturan baku yang telah disepakati bersama oleh para ulama
secara umum (jumhur ulama) tidaklah menjadi masalah. Berbeda sekali
apabila khilafiyah itu memang terjadi karena pelanggaran terhadap
sejumlah prinsip, teori dan konsep-konsep dasar yang telah di-sepakati.
Berkaitan dengan corak
penafsiran, Harun Nasution memilah ulama menjadi dua besaran pokok yakni ulama
Tradisional dan Ulama Modernia. Ulama tradisional ialah ulama yang masih
terikat oleh hadits Ahad dan pendapat ulama salaf yang sangat banyak jumlahnya.
Sedangkan ulama modernis adalah ulama yang sudah menggunakan akal secara luas
dalam memahami Islam serta tidak lagi terikat oleh hadits Ahad dan oleh
pendapat ulama terdahulu, sedangkan Azyumardi Azra membagi ulama dalam konteks
konsep negara. Menurutnya ulama terbagi dua yakni ulama fundamentalis dan ulama
modernis. Ulama fundamentalis adalah mereka yang berpendapat bahwa bentuk
negara harus seperti apa adanya di zaman nabi. Sedangkan ulama modernis
menyatakan tidak ada keharusan membentuk negara Islam, yang penting substansi
dan nilai-nilai universal Islam yang harus masuk menjadi fondasi negara misalnya
nilai keadilan, demokratis dan lain-lain, tidak harus berbentuk negara
sebagaimana negara Madinah di zaman Rasul. Jadi Azyumardi Azra lebih memilih
Islam substantif daripada Islam simbolik.
Untuk membahas masalah
ini, metode pendekatan yang digunakan adalah pendekatan teologis (teological
approach) yakni melihat masalah serta menganalisis segala macam pendapat
DA, NII dan HTI melalui pendekatan Al-Qur‟an dan Hadits serta pendapat para
ulama dan pemikir Islam.
Metode penelitian yang
digunakan adalah deskriptif ekplanatoris, yakni menge-depankan data dan
fakta ilmiah tentang pendapat DA, NII, dan HTI apa adanya, kemudian setelah itu
ide atau konsep mereka dibahas satu persatu, dibandingkan dengan pendapat ulama
dan pemikir Islam lainnya.
2.
Hasil Temuan Penelitian
A. Pandangan Darul Arqam
Darul Arqam selanjutnya
disebut DA adalah sebuah badan dakwah Islam yang bermula dari pengajian keluarga
yang disebut pengajian Rumah Putih karena markasnya adalah sebuah rumah bercat
putih. Selanjutnya tumbuh berkembang menjadi gerakan keagama-an bercorak
tasawuf tarekat yang dinisbahkan (dihubungkan) kepada seorang ulama Malaysia
asal Wonosobo bernama Muhammad Suhaimi sehingga dikenal dengan sebutan Tarekat
Muhammadiyah atau tarekat Suhaimiyah.[3]
Pusat gerakannya adalah di Sungai Penchala Malaysia.[4]
Sejak tanggal 28 Februari 1971 organisasi ini resmi diberi nama Darul Arqam dan
dimpimpin oleh syaikh Ashaari Muhammad, seorang yang mengklaim sebagai pemuda
Bani Tamim yang akan mendampingi Imam Mahdi (messias) yang kelak akan mengambil
alih kekuasaan negara lantas mendirikan Khilafah Islamiyah yang terakhir
sebelum kiamat terjadi.
DA cepat
berkembang antara lain karena Syaikh Ashaari Muhammad rajin mempublikasikan
ajaran DA melalui berbagai media antara menulis buku sebanyak 64 buah, melalui
VCD dan dakwah dari daerah ke daerah bahkan tembus ke mancanegara. Identitas
lahiriah DA mudah dibedakan dari gerakan keagamaan lainnya. Kaum prianya
memakai gamis yang dilengkapi dengan sorban yanag dililitkan di atas songko
(peci), baju mereka berwarna hijau atau hitam. Merekapun memelihara jenggot,
Sedangkan kaum wanitanya meng-gunakan jilbab dan cadar yang seluruhnya berwarna
hitam.[5]
Selain ciri lahirilah mereka dikenal pula sebagai kelompok keagamaan yang
menggalakkan polgani. Sebagai ilustrasi Ashari Muhammad sebagai imam tertinggi
memiliki empat isteri dan 40 anak, Salim Abbas sebagai wakil syaikh beristeri
empat dan mempunyai 18 anak, dan Dr. Risdam Effendi alias Abdurrahman sebagai
pimpinan DA untuk wilayah Indonesia mempunyai tiga isteri.
DA yang
bercorak gerakan tasawuf dan tarekat berubah menjadi gerakan politik yang
tendensius serta memublikasikan bahwa DA akan mengubah Malaysia menjadi negara
Islam pada tahun 2025. DA pun sering secara tajam mengecam negara dengan sistem
demokrasi terbuka, mengecam negara yang menggunakan undang-undang di luar hukum
Islam, serta mengkritik kebijakan perdana menteri Mahatir Muhammad. Pemerintah
Malaysia menilai bahwa DA telah mengubah gerakan dakwah Islam kepada gerakan
politik praktis yang bisa membahayakan negara. DA berkali-kali diberi
peringatan dan dipersempit ruang geraknya sehingga akhirnya pada hari jumat
tanggal 5 Agustus 1994, pemerintah Malaysia dengan tegas menyatakan DA sebagai
organisasi terlarang. Dengan larangan ini, resmilah 100.000 jemaah DA tidak
diperbolehkan secara hukum mengamalkan dan melaksanakan aktivitas meliputi
penerbitan, pendidikan dan perdagangan. Tidak kurang dari 200 sekolah dasar dan
taman kanak-kanak serta 48 desa Islam DA di seluruh Malaysia ditutup. Demikian
pula aset bisnis DA senilai 230 milyar rupiah meliputi bisnis makanan halal,
real estat, dan industri kecil tidak diperbolehkan lagi menggunakan nama Darul
Arqam. Sejak itu, bukan semua atribut DA dilepaskan. Pakaiannyapun diubah,
anggota pria memakai celana panjang, kemeja dan peci, sedangkan anggota wanita
menggunakan jilbab berwarna cerah, umumnya warna krem.
Pada
perkembangan selanjutnya yakni tahun 1997, nama DA diubah menjadi Rufaqa
untuk Malaysia sedangkan untuk Indonesia bernama Hawariyun tetapi
untuk urusan luar meggunakan nama Jumala. Pada tahun 2001 untuk ke
luar DA menggunakan nama Rufaqa. Tahun 2003, nama Hawariyun untuk DA Indonesia
dibuang kemudian menggunakan nama Rufaqa, baik untuk Indonesia. Kemudian pada
tahun 2007, nama Rufaqa diganti lagi mennadi Global Ikhwan, nama ini berlaku
terus sampai hari ini.[6]
Bagaimana
pandangan DA tentang demokrasi? DA menyatakan bahwa di dalam Islam tidak
dikenal konsep daulah (negara) dengan batas – batas teritorial yang
sangat ketat yang dipimpin oleh seorang presiden atau raja yang berdiri
masing-masing. Di dalam Islam hanya dikenal konsep al-ummah, Jama’atul
Muslimin atau kesatuan umat yaitu suatu kesatuan yang terikat dengan ikatan
iman dan steril dari simbol-simbol nasionalisme. Pandangan ini berdasar pada
konsep bahwa segala kekuasaan adalah milik mutlak Allah SWT, akan tetapi karena
Allah tidak mungkin memerintah langsung maka Allah mengangkat khalifatullah di
muka bumi ini, jadi sebagian kekuasaan Allah itu didelegasikan kepada khalifah
(presiden dunia). Seorang khalifah berkedudukan sebagai wakil Tuhan
bukan sebagai wakil rakyat. Oleh karena itu, pemimpin tidak dipilih oleh
rakyat, namun ditunjuk dan ditetapkan oleh Tuhan. Akan tetapi, karena Tuhan
tidak mungkin langsung memilih wakilNya, Tuhan memilih khalifah lewat
kelompok orang-orang saleh yang memahami hukum-hukum Allah dan sangat comitted
kepada kehendak Allah. Kelompok ini disebut ahlul halli wa aqdi.
Tugasnya adalah memusyawarkan dan memutuskan berbagai macam kebijakan negara
termasuk memilih pimpinan (khalifah).
Ahlul
halli wa aqdi adalah sekelompok orang yang berpengetahuan luas dalam soal
Islam dan kenegaraan, beriman, dan selalu bertindak atas dasar ilmu Allah. Oleh
sebab itu, seseorang yang dipilih dan dilantik sebagai pejabat oleh mereka pada
hakikatnya diangkat oleh Allah. Akan tetapi, dalam hal ini Ashaari Muhammad
tidak menjelaskan siapa yang berhak memilih ahlul halli wa aqdi itu.
Hanya saja, di kalangan DA yang memilih mereka adalah Ashari Muhammad sendiri.
Tugas ahlul halli wa aqdi sangat berat karena harus menentukan orang
yang paling layak di antara para calon yang akan dipilih kendati sudah sejak
awal calon pimpinan itu telah diseleksi berdasarkan kriteria kepempimpinan
secara umum menurut Islam. Dengan adanya ahlul halli wa aqdi, DA tidak
mengenal Pemilu sebagaimana di-laksanakan di negara demokratis. Karena prinsip
ini, anggota DA tidak pernah mengikuti Pemilu. Selanjutnya, karena khalifah dipilih
oleh ahlul halli wa aqdi, khalifah, imam atau pimpinan tidak
boleh diganti atau diturunkan dari jabatannya. Ia menjadi pemimpin se-umur
hidup. Selagi ia belum wafat atau tidak ada udzur syar’i, ia tidak boleh
diganti juga tidak boleh mengundurkan diri.
Ini
berbeda sekali dengan pemilihan pimpinan di negara demokrasi terbuka. Di dalam
sistem demokrasi, siapapun boleh dipilih menjadi pimpinan walaupun orang itu
jahat dan jahil. Dalam pemilu seperti itu, suara orang jahat sama harganya
dengan suara orang yang saleh. Selain itu, pemilih sering tidak paham apa visi
dan misi partai atau orang yang dipilihnya. Tidak sedikit orang yang menghalalkan
segala acara demi mencapai tujuannya sehingga muncullah istilah “politic is
dirty game”. Sebagai aktualisasi dari pandangannya ini, DA menolak sistem
demokrasi. Mereka tidak ikut dalam pemilu dan merekapun menolak sistem partai
karena tidak terdapat di dalam sunnah rasul.
Bagaimana
pandangan DA tentang musyawarah ?. Menurut DA, di dalam sistem khilafah
ada sebuah pranata yang disebut Majelis Syura, disebut juga ahlul
halli wal aqdi atau Majelis Suyukh (majelis pini sepuh) atau disebut
juga dewan tanfidz. Disebut ahlul hallli wal aqdi karena mereka
adalah kelompok keahlian yang berwewenang menyeleksi dan memilih pimpinan.
Disebut Majelis Syura karena merupakan badan musyawarah atau badan
legislatif. Disebut Dewan Tanfidz karena merupakan dewan pertimbangan
atau dewan penasihat atau disebut Majelis Syuyukh karena mereka
merupakan majelis pini sepuh. Terserah mau apa penamaannya. Salah satu syarat
menjadi anggota majelis syura adalah beragama Islam sehingga dengan demikian
mustahil terjadi musyawarah antara muslim dengan nonmuslim dalam membahas
urusan umat. Tugas pokok Majelis Syura ini adalah memusyawarahkan hal-hal yang
belum dijelaskan secara ekplisit oleh Al-Qur‟an dan hadits, belum diijmakan
oleh ulama salaf, dan belum diarahkan oleh ketua jemaah, ketua negara atau khalifah.
Apabila terjadi perbedaan pendapat di antara anggota majelis syura (deadlock),
maka tidak boleh diambil suara terbanyak (vooting) tetapi keputusan
akhir berada di tangan khalifah, sebab khalifahlah yang bertanggung jawab atas
semua urusan umat. Dalam hal musyawarah, khalifah boleh saja tidak
melibatkan banyak orang tetapi hanya melibatkan dua atau tiga orang tergantung
kepada keperluannya. Berdasarkan uraian di atas dapat diringkas bahwa pandangan
DA tentang demokrasi dan musyawarah adalah sebagai berikut:
a.
Demokrasi bukan
dari ajaran Islam, di dalam Islam ada Ahlul halli wal aqdi yang bertugas
memilih pimpinan bukan melalui Pemilu seperti dalam sistem demokrasi. Pemilihan
pimpinan melalui Pemilu sangat berbahaya karena suara seorang jahil dihargai
sama dengan suara seorang yang saleh, juga saangat sering terjadi pemilih
menentu-kan pilihannya tanpa mengetahui visi dan misi orang yang dipilihnya.
b.
Di dalam
demokrasi sangat bisa terjadi musyawarah antara muslim dengan nonmuslim
termasuk dalam membahas urusan umat Islam. Sedangkan di dalam Islam musyawarah
hanya berlaku antara muslim dengan muslim sebab syarat menjadi anggota majelis
syura harus beragama Islam.
c.
Di dalam
demokrasi, pengambilan keputusan bisa melalui vooting, Sedangkan di
dalam Islam tidak demikian, apabila terjadi deadlock, maka keputusan
akhir berada di tangan khalifah karena dialah yang bertanggung jawab
atas semua urusan umat.
d.
Di dalam
demokrasi dipebolehkan ada partai-partai. Dalam hal ini calon anggota dewan
legislatif atau kepala negara diusung oleh partai-partai tersebut. Sedangkan di
dalam Islam tidak dikenal sistem kepartaian karena hal itu dapat melahirkan ashabiyah
atau fanatisme kelompok.
B. Pandangan NII
(Negara Islam Indonesia)
NII
adalah sebuah gerakan Islam (harakah Islamiyah) yang dipimpin oleh
Maridjan Sekarmadji Kartoseowirjo salah seorang tokoh Masyumi Jawa Barat. Dalam
memperjuangkan berdirinya negara Islam Indonesia, mereka bersikap nonkooperatif
terhadap Belanda serta melakukan politik hijrah. NII telah
memproklamirkan lahirnya negara Islam Indonesia pada taggal 7 Agustus 1949 yang
kemudian disebut DI (dar al-Islam) atau wilayah Islam. NII memiliki
tentara sendiri yang disebut TII (tentara Islam Indonesia). Pada tahun 1962 NII
ditumpas oleh TNI sebagai tentara pemerintah Indonesia kemudian Kartosewirjo
di-hukum mati pada tanggal 5 September tahun itu pula. Setelah NII ditumpas
oleh NKRI, NII tumbuh sebagai gerakan bawah tanah dan mengalami beberapa kali
pergantian pemimpin (imam) dua di antaranya adalah Daud Beurueh dan Adah
Djaelani. Pada tahun 1996 imamah NII dipegang oleh Abu Toto Abdussalam sampai
hari ini.
Sebelum
Abu Toto mernjadi presiden NII, ia adalah pemimpin tertinggi NII Komandemen
Wilayah IX yang meliputi daerah Jakarta, Banten dan Bekasi, oleh karena itu
maka NII di bawah Abu Toto ini lebih dikenal dengan sebutan NII KW IX. Baik NII
Kartosoewirjo maupun NII KW IX kedua-duanya memiliki kesamaan pandangan dan
sikap terhadap demokrasi dan musyawarah yang berbeda hanyalah argumentasinya.
Dalam
membahas demokrasi dan musyawarah, NII KW IX menggunakan konsep Tauhid Rubbubiyah,
Mulkiyah dan Uluhiyah (selanjutnya disebut tauhid RMU). Menurut NII
KW IX, surat Al-Fátihah yang merupakan surat pendahuluan berisi statement
maha penting, terutama pada kalimat Rabbul ‘álamin, Máliki Yaumiddin dan
Iyyáka na‘budu. Demikian juga pada surat penutup yakni surat an-Nás ada
kalimat rabbinnas, málikinnas dan iláhinnas. Kedua surat itu
mengandung konklusi pengesaan Allah yang luar biasa, mengandung konsep tauhid
yang lengkap dan kokoh. Dengan demikian Al-Qur‟an dibingkai oleh dua surat
(awal dan akhir) yang memuat pesan tauhid yang sangat kuat. Munásabah (interrelasi)
kedua surat itu meng-gambarkan secara jelas adanya taksonomi tauhid yakni Tawhid
Rubbubiyah, Tawhid Mulkiyah dan Tawhid Uluhiyah. Untuk lebih
jelasnya dapat dilihat pada table di bawah ini.
KONSEP
TAUHID DALAM MUNASABAH SURAT AL-FATIHAH DAN AN-NAS[7]
Surat Al-Fátihah
|
Surat An-Nás
|
Munásabah (interelasi ) surat dan
ayat
|
1
|
2
|
3
|
Rabbul ‘alamn
|
Rabbinnas
|
Melahirkan Tawhid
Rubbãbiyah. Hanya Allahlah satu-satu nya Pemgatur alam
termasuk manusia.
|
Maliki yaumiddin
|
Mailikinnas
|
Melahirkan Tawhid
Mulkiyah. Hanya Allah-lah satu-satunya Raja alam ini termasuk raja
manusia.
|
Iyyaka na’budu
|
Ilahinnas
|
Melahirkan Tawhid
Uluhiyah. Hanya Allah-lah yang wajib disembah karena Allah adalah
satu-satunya Tuhan manusia.
|
Kata Rabb mengandung
dua pengertian, yakni sebagai Pencipta dan sebagai Pemilik. Sebagai Pencipta,
mengandung maksud bahwa Allah adalah Pencipta alam semesta dengan segala isinya
termasuk manusia. Dia adalah Maha Pengatur segala urusan, Maha Pemelihara, Maha
Pemberi rizki, Maha Pendidik, dan Maha Penjamin stabilitas keamanan. ( QS. 96 :
1 -5 , QS. 10 : 3,31,32. QS. 2 :21,22 . QS. 42 : 11-12, QS. 106 : 3 -4).
Sedangkan Rabb sebagai Pemilik mengandung maksud bahwa Allah adalah
pemilik alam, pemilik hukum, dan pembuat undang-undang. (QS. 42 :10 QS. 7 :2,3.
QS. 6 : 144, QS. 32: 2,3 QS. 10:37, QS 12 : 40).
Dengan demikian yang
dimaksud dengan Tauhid Rubbubiyah adalah meyakini bahwa Allah-lah
satu-satunya Rabb, yang menciptakan, memelihara, memberi rizki, dan
mengatur manusia. Oleh karena itu, di tangan Allah-lah kewenangan secara
absolut untuk membuat undang-undang atau hukum. Apabila manusia mencoba membuat
atau memproduksi hukum di luar hukum Al-Qur‟an, maka sama saja dengan
memproklamirkan diri sebagai Rabb. Dengan demikian ia termasuk orang
yang musyrik. Jadi hukum tidak bisa diputuskan oleh hasil musyawarah secara
demokratis yang pada umumnya didasarkan kepada suara terbanyak. Islam tidak
mengenal demokrasi dalam penetapan hukum sebab pembuatan hukum adalah hak
preoregatif Allah.
Allah dengan predikat
sebagai Rabb al-‘álamin telah menata alam semesta ini dengan
undang-undangNya yang disebut Sunnatullah. Sedangkan Allah dengan predikat Rabb
an-nás (QS. 114 :2) berarti Allah-lah yang telah menata kehidupan
manusia dengan wahyu Al-Qur‟an (Rubbubiyah Allah). Seluruh aturan dan
perundang-undangan yang merupakan produk akal manusia (di luar wahyu) harus
dinyatakan gugur karena dinilai batil, walaupun telah melalui proses demokrasi.
Hukum seperti itu termasuk hukum jahiliyah yang tak lain merupakan hukum
hawa nafsu. Orang yang berpegang kepada aturan produk akal dan mengingkari
hukum Allah (Rubbubiyah Allah) dihukum zalim, fasik, dan musyrik. Dihukum
demikian karena ia telah mengingkari tauhid Rubbubiyah.[8]
Selanjutnya, manusia yang mengaku Allah
sebagai Rabb an-Nás wajib melaksanakan undang-undangNya di muka bumi
bukan menegakkan hukum hasil proses demokrasi. Jika tidak, maka pengakuan
terhadap Allah sebagai rabb an-nás adalah dusta dan oleh karena itu ia
dinyatakan sedikitpun mereka tidak beriman hingga menegakkan hukum wahyu”.[9] Untuk
menegakkan hukum Allah (Rubbubiyah Allah) diperlukan kekuatan yang
sangat besar tegasnya sebuah negara, tanpa itu, maka Rubbubiyah Allah itu
tidak akan bisa terrealisasi. Dengan kata lain, realisasi tauhid Rubbubiyah adalah
terwujudnya tauhid Mulkiyah. Tauhid Mulkiyah adalah pengakuan
seorang hamba bahwa hanya Allah-lah satu-satu málik (Raja) yang
memiliki kerajaan langit dan bumi, sehingga manusia wajib menaati Allah
melebihi segalanya. Juga harus meyakini bahwa tidak ada kedaulatan lain yang
boleh diakui apalagi ditaati kecuali kedaulatan Allah. Ini berdasarkan firman
Allah di dalam surat 25 : 2 dan surat 17 : 111. Mengakui lembaga lain di luar pemerintahan
lembaga Allah berarti musyrik, yakni syirik Mulkiyah. Dalam
menjelaskan hubungan antara Islam dengan negara melalui takso-nomi tauhid oleh
NII KW IX, nampaknya ide dasarnya mirip dengan apa yang telah dikemukakan oleh
Al-Maududi. Menurut Maududi sistem politik Islam didasarkan kepada tiga prinsip
pokok yaitu Tawhid, Risálah dan Khiláfah.
Dengan konsep tauhid ditegaskan bahwa
hanya Allah-lah satu-satunya Rabb atau pencipta dan penguasa alam ini,
maka Dialah yang berdaulat terhadap alam ini. Kedaulatan tertinggi adalah milik
Allah sedangkan manusia sama sekali tidak memiliki kedaulatan.[10]
Allah sebagai Rabb berarti Tuhan yang memelihara, mengatur, mengasihi
dan menyempurnakan. Dialah satu-satunya Penguasa dan Pemilik. Karena hanya
Allah sebagai Rabb manusia maka manusia ketaatan dan kepasrahan manusia
hanya diserahkan kepada Allah, tidak boleh diserahkan kepada makhluk. Dalam
arti inilah Allah sebagai Iláh (yang disembah, al-ma‘bud). Hanya
Allah-lah yang berhak mengklaim sebagai hakim serta tidak ada undang-undang
selain undang-undang-Nya. [11]Prinsip
kedua adalah Risálah, yaitu sunnah nabi. Al-Qur‟an hanya menjelaskan
prinsip-prinsip pokok sebagai landasan yang harus dipatuhi manusia, selanjutnya
apa-apa yang global itu diperjelas oleh Rasulullah sepanjang hayatnya. Oleh
karena itu, pedoman dasar bagi kehidupan manusia adalah Al-Qur‟an dan Sunnah
Rasul. Kedua pegangan itu dalam terminologi Islam disebut syari„at. Selanjutnya
Maududi menjelaskan bahwa syari'at baru dapat ditegakkan apabila didukung oleh
kekuasaan (sulthan ).
Konsep ketiga adalah Khiláfah,
yaitu manusia sebagai wakil Tuhan (khalifah) di atas bumi. Menurut
Maududi, manusia mempunyai kekuasaan yang didelegasikan oleh Allah kepadanya
dengan batas-batas tertentu. Ini artinya bahwa pemilik kekuasaan itu pada
hakikatnya adalah Allah. Manusia (umat) wajib menaati khalifah itu selama dia
menaati kehendak Allah. Dengan teori kekuasaan mutlak milik Allah, maka negara
yang dicita-citakan oleh Maududi adalah kerajaan Tuhan, kingdom of
God, Mulkiyah Allah atau theocracy. Ini jelas-jelas bertentangan
dengan negara demokrasi. Menurut konsep NII KW IX, Mulkiyah Allah di
muka bumi direalisasikan dalam Lembaga Kerasulan / Lembaga Ulu
al-Amri, Lembaga Kekhalifahan fi al-Ardhi, suatu peme-rintahan struktur
Allah yang sah.[12]
Realisasi menaati Allah adalah menaati lembaga kepemimpinan Allah di muka bumi
yang diwakili oleh Rasul, suatu lembaga pemerintahan wahyu. Seseorang yang
tidak menaati lembaga tersebut dinilai telah melakukan maksiat, akibatnya, bukan
saja amalnya dianggap batal (tidak sah) tetapi akidahnya dianggap gugur (QS. 4
: 64, 80,59,65, QS. 47: 33, dan QS 3 : 32). Berdasarkan pendapat ini maka nanti
berkembang pendapat di kalangan NII KW IX bahwa beribadah yang dilakukan oleh
orang-orang yang masih berada di luar kerajaan Allah, atau ibadah warga NKRI
adalah sia-sia. Menurut mereka , supaya ibadah tidak mubazir, maka orang itu
harus berada di lingkungan lembaga pemerintahan Allah. Dan ini wajib hukumnya.
Sedangkan keluar dari organisasi negara itu dicap murtad.
Sementara ini ada sebagian orang Islam
yang memilih jalan tengah, yakni tetap berada di NKRI tetapi sambil berusaha di
parlemen untuk menegakkan syarii'at Islam lewat musyawarah. Menurut NII tidak
ada sepotong ayat Al-Qur‟an pun yang membenarkan seorang mukmin boleh mengakui
dan menaati negara non-wahyu. Di dalam banyak ayat Al-Qur‟an terdapat larangan
keras mengakui dan menaati lembaga pemerintahan kufár (QS. 5 : 80, 82,
QS: 3: 149, 150, QS. 4 : 41,60, QS. 5 : 57, QS. 4 : 144, QS. 3 : 28, QS. 4: 140
serta QS 58 :22). Untuk mewujudkan Mulkiyah Allah di muka bumi bukanlah
dengan sistem parlementer ala demokrasi Barat, karena itu berarti membuka pintu
musyawarah antara muslim dan non-muslim, padahal Allah telah mengunci mati hati
"Iblis" untuk menerima kebenaran (QS. 2 : 34). Perlu digaris bawahi
bahwa musyawarah di dalam Al-Qur‟an (QS. 42 : 38, QS. 3 : 159), adalah antara
mukmin dengan mukmin bukan antara mukmin dengan kafir. Menurut mereka, tidak
ada kamusnya di dalam Al-Qur‟an agar seorang mukmin bermusyawarah dengan kafir.
Ayat tentang wa amruhum syurá bainahum, atau wa syáwirhum fi al-amr,
bukanlah dalil tentang sistem parlementer dengan pola demokrasi Barat atau
demokrasi manapun di dunia ini, tetapi musyawarah di antara orang-orang yang
beriman (bainahum) yang memiliki tanggung jawab yang besar terhadap
kemajuan Islam. NII KW IX mencela organisasi pergerakan Islam seperti
Muhammadiyah, Persis, NU, Perti, PUI, dan Al-Washliyah yang ingin
memperjuangkan Islam melalui parlementer (nasionalis). Mereka pun mencela
partai-partai Islam yang dengan keras menyuarakan diberlakukannya syari„at
Islam di Indonesia dengan menempuh cara musyawarah di DPR/ MPR.
Mewujudkan Mulkiyah Allah melalui
parlemen adalah mustahil. Baik Al-Qur‟an maupun hadis menyatakan dengan tegas
bahwa untuk mewujudkan Mulkiyah Allah adalah dengan pola Furqan atau
pola Hijrah, yakni membentuk lembaga yang berdiri sendiri
terpisah dari struktur lembaga yang ada dan sedang berkuasa. (QS. 60 :4, QS.4 :
140, 97, 60, QS. 2 : 256, 257, QS. 9 : 71, QS. 36 : 16, QS. 5 : 50). Lembaga
Allah ini adalah Lembaga Furqán. Apabila Tawhid Rubbubiyyah dan
Tawhid Mulkiyyah telah terwujud, ini artinya negara Lembaga Kerasulan
atau suatu negara dengan undang-undang wahyu Allah telah terwujud. Selain
tauhid Rubbubiyyah dan tauhid Mulkiyyah maka ada satu dimensi
tauhid lagi, yakni tauhid Uluhiyyah. Secara etimologi, Uluhiyyah berarti
al-Ma‘bud (sesuatu yang disembah). Secara terminologi, tauhid Uluhiyyah
berarti meyakini bahwa hanya Allah-lah satu-satunya zat yang wajib disembah
dan dimintai pertolongan. Islam tidak mengenal ada pengabdian ganda sebab yang
demikian adalah sikap munafik dan kemusyrikan yang nyata. Muslim dituntut untuk
monoloyalitas, yakni hanya mengabdi kepada Allah, sebagaimana Allah tegaskan di
dalam Al-Qur‟an ( QS. 1 : 4 QS. 25 : 55, QS. 18 : 110). Konsekuensi tauhid Uluhiyyah
atau monoloyalitas ini adalah sikap konsisten terhadap hukum wahyu. Namun
perlu digaris bawahi bahwa pengabdian kepada Allah (Uluhiyyah) bisa
terwujud secara káffah hanya apabila dilaksanakan di negara Allah (Mulkiyah
Allah), yang di dalam negara itu berlaku hukum-hukum Allah (Rubbubiyah
Allah). Berdasarkan uraian di atas dapat diringkas bahwa pandangan NII
termasuk NII KW IX tentang demokrasi dan musyawarah adalah sebagai berikut:
a. Kekuasaan Allah sangat absolut dan
unlimited kemudian Allah mendelegasikan sebagian kekuasaannya yakni
negara kepada khalifatullah (rasul) dan para penggantinya. Oleh karena
itu maka negara yang dibentuk harus negara lembaga kerasulan atau negara yang
bersifat theokrasi bukan negara demokrasi.
b. Pembuatan hukum adalah hak absolut
Allah, sedangkan hukum yang dihasilkan oleh akal manusia termasuk melalui
pengambilan suara terbanyak secara demokratis adalah syirik. Mentaati hukum
tersebut dinilai kafir, fasik dan dzhalim.
c. Pembentukan negara Islam bukanlah
melalui perjuangan di parlemen atau bersikap kooperatif tetapi melalui pola furqan
dan hijrah.
d. Islam menganjurkan musyawah antara
mukmin dengan mukmin tetapi sama sekali tidak memberi arahan sedikitpun
musyawah mukmin dengan kafir sebagaimana terjadi di DPR sekarang ini.
C.
Pandangan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI)
Menurut Hizbut Tahrir, Kemal Attaturk
yang dibantu oleh Inggris dan Yahudi telah menghancurkan kekhalifahan Turki
Utsmani pada tanggal 3 maret 1924 sehingga umat Islam tidak pernah lagi
menikmati hari-hari yang membahagiakan. Negeri-negeri Islam diiris - iris
menjadi puluhan negara yang mamasung kaum muslimin di dalamnya.[13]
Melihat kenyataan ini seorang ulama besar bernama Taqiyudin al-Bani terpanggil
ruh jihadnya untuk menggelorakan tegaknya kembali khilafah. Sejak tahun
1949 di Palestina dan di Yordan, Taqiyudin Al-Nabhani mulai merintis ide ini
melalui pidato-pidato pencerahan, braintorming dan debat-debat dengan
para tokoh, baik yang sejalan maupun yang tidak sejalan dengan pemikirannya
sehingga akhirnya berdirilah Hizbut Tahrir yang terus menjalar ke mana-mana. Di
Indonesia organisasi ini dikenal dengan sebutan HTI dengan juru bicaranya bernama
Ismail Yusanto. Menurut HTI, apabila umat Islam ingin kembali jaya seperti di
masa klasik, umat Islam harus berjuang menegakkan berdiri kembali khilafah
Islamiyah, yakni sistem pemerintahan Islam berdasarkan kesatuan umat bukan
negara kebangsaan. Pemerintahan yang diikat dengan iman dan diatur oleh
undang-undang Allah, Al-Qur‟an. Pemerintahan tersebut bersifat global atau
mendunia dengan kepmimpinan tunggal yakni seorang khalifah. Pemerintahan
ini tanpa batas-batas teritorial atau batas-bats geografis antar wilayah Islam
serta bersih dari simbol nasionalisme.
HTI sering melakukan demonstrasi dengan
mengusung ide khilafah. Bendera yang mereka gunakan dalam setiap
demonstrasi bertuliskan : “ Asyhadu allaa ilaha illah wa asyhadu anna
Muhammad Rasusulullah “. Dalam pandangannya khilafah tidak bisa
tidak harus terwujud dan itu merupakan harga mati tidak ada alternatif lain.
Selanjutnya mereka menegaskan bahwa keberadaan khilafah sangat penting
untuk meningkatkan eksistensi umat Islam. Umat Islam di dunia adalah umat
beragama terbesar kedua setelah Nashrani namun terpecah-pecah dalam bentuk
negara-negara nasionalisme sehinga tidak ada kesatuan umat. Umat Islam tidak
memiliki komandan tertinggi yang mengomando semua aktivitas besar, akibatnya
potensi yang dimiliki umat Islam tidak menjadi kemampuan nyata.
Dunia Islam kini tunduk kepada PBB
sebagai badan dunia yang mengatur berbagai macam hubungan antara negara
termasuk urusan di negara Islam, setiap solusi yang ditawarkan oleh PBB sangat
tidak baik bahkan makin membuat negeri-negeri Islam acak-acakan. Lihat saja
kasus Irak, Afghanistan, dan Palestina. Ini semua tidak akan terjadi apabila
Islam memiliki khalifah. Memamg benar bahwa kaum kufar tidak akan
menyukai terbemtuknya khilafah Islamiyah sebab dianggap dapat megancam
keberadaan mereka yang sedang menikmati dunia setelah mereka berhasil
menghancurkan kekhalifahan Turki Utsmani pada tanggal 3 Maret 1924, oleh karena
itu mereka berusaha sekuat tenaga merintanginya dengan berbagai cara termasuk
menyebarkan opini dan persepsi yang salah tentang Islam. HTI sangat yakin bahwa
khilafah Islam lambat laun pasti akan terbentuk oleh karena itu
perjuangan membentuk khilafah harus terus dilakukan.
Dalam manifestonya HTI menyeru umat
Islam Indonesia agar bergabung dengan HTI dalam perjuangan menagakkan khilafah.[14]
Menurut HTI kedudukan khalifah adalah sebagai kepala negara daulah khilafah dan
sebagai wakil rakyat dalam pemerintahan untuk melaksanakan syari‟ah Allah.
Adapun mengenai pemilihan khalifah bisa
beragam cara antara lain:
a. Diminta kesediaannya oleh seseorang yang
paling berkompeten kemudian disetujui oleh orang banyak seperti pemilihan Abu
Bakar sebagai khalifah pertama dari khulafa al-Rasyidin. Ia
diminta oleh Umar ibn Khattab kemudian disetujui oleh kaum Muhajirin yakni kaum
muslimin Mekah yang berhijrah ke Medinah, disetujui pula oleh kaum Anshar yakni
muslimin Medinah yang menolong Muhajirin.
b. Pemilihan khalifah ditunjuk langsung
oleh khalifah sebelumnya seperti Abu Bakar menunjuk Umar ibn Khatab menjadi
khalifah kedua.
c. Melalui musyawarah antar kandidat
sebagaimana pengangkatan Utsman ibn Affan sebagai khalifah ketiga,
d. Melalui tim penyeleksi yanag disebut Ahlul
halli wal aqdi seperti pemilihan Ali ibn Abi Thalib. Bahkan bisa juga
dipilih melalui pemilu atas dasar ridha wa ikhtiyar (kerelaan dan
kebebasan memilih). Selanjutnya umat melakukan bai’at (sumpah setia),
kepada khalifah terpilih.
Langkah berikutnya khalifah wajib
menegakkan syari‟at Islam secara total (kaffah),[15] Pada
kenyataannya, semua calon presiden dan wakil persiden yang dipilih pada pilpres
tanggal 8 Juli 2009 yang lalu tidak secara ekplisit maupun implisit mau
menegakkan syari‟at Islam di Indonesia manakala mereka terpilih, oleh karena
itu tidak heran apabila pada kenyatannya seluruh anggota HTI tidak ikut
mencontreng dalam pilpres yang lalu. Selanjutnya HTI membedakan antara
pemilihan kepala negara dengan pemilihan anggota legislatif. Pemilihan anggota
legistaltif dilakukan melalui akad wakalah (perwakilan).
Di dalam akad wakalah terdapat
tiga unsur yakni (1) Pemilih sebagai orang yang mewakilkan (2). Wakil atau
calon anggota legislatif, dan (3). Isi atau amanah apa yang harus dijalankan
oleh wakil rakyat itu. Dalam hal ini harus ada wa’ad (janji) antara
pemilih dan calon legislatif. Wa’ad ini harus sejalan dengan syariat
Islam, misalnya pihak pemilih berjanji bahwa ia akan memilih calon legislatif
bernama A dengan amanah bahwa apabila calon tersebut terpilih menjadi anggota
legislatif, ia harus berjuang menegakkan syari‟at Islam. Apabila calon A menyatakan
bersedia maka bisa terjadi pemilihan. Akan tetapi manakala calon tersebut tidak
bersedia maka pemilihan tidak akan terjadi. Kemudian apabila anggota legisltif
terpilih ternyata tidak men-jalankan amanahnhya untuk memperjuangkan syari‟at
Islam maka akad wakalah bisa dicabut. Pertanyaannya adalah pernahkah wa’ad
(perjanjian) ini terjadi, adakah calon legislatif yang menyanggupi akad wakalah
ini ? Pada kenyatannya, bukan hanya tidak pernah terjadi bahkan sering
pemilih tidak mengetahui visi dan misi calon legislatif yang akan dipilihnya.
Jika demikian, apabila calon yang telah terpilih menjadi anggota legisltif
tidak berusaha menegakkan sayri‟at Islam maka pemilih ikut berdosa. Daripada
menganggung dosa, lebih baik tidak memilih alias golput. Inilah yang menjadi
pilihan anggita HTI. Bagaimana pandangan HTI tentang masalah hak legislasi
menurut HTI, di dalam sistem demokrasi, kekuasaan berada di tangan manusia
bukan di tangan Allah SWT. Di DPR atau MPR RI dengan mengatas namakan kebebasan
dana demokrasi waki wakil telah bertindak sebagai Tuhan yang memiliki wewennag
menatapkan hukum sesuai kehendak mereka (hak legislatif).
Menurut HTI musyawarah dalam sistem
khilafah memiliki perbedaan signifikan dengan musyawarah sistem demokrasi,
antara lain :
a) Musyawarah dalam sistem khilafah bukan
untuk menetapkan hukum benar salah atau haram halal, misalnya membahas
privatisasi sumber daya energi, karena sudah jelas keharamannya karena di dalam
Islam sebagaimana ditegaskan oleh hadits rasulullah SAW bahwa sumber air, sumber
api dan tempat penggembalan adalah miliki ber-sama rakyat. Atau membahas perlu
tidaknya mengirimkan pasukan untuk membebaskan negeri - negeri muslim padahal
sudah jelas hukumnya, wajib.
b) Di dalam majelis syura sistem khilafah,
warga negara non muslim berhak mengajukan dakwaan (syakwat) apabila
terdapat ketidak adilan perlakuan negara terhadap mereka tetapi mereka tidak
meberhak memberikan usulan atau ikut dalam pembahasan syari‟ah seperti membahas
soal pornografi karena mereka sudah jelas-jelas tidak mengimani syari‟ah Islam.
c) Dalam persoalann yang me-ngandung ikhtilaf
atau perbedaan, klhalifah tidak terikat dengan pendapat mayaorits majelis
syura. Contoh, Abu Bakar memerangi orang yang ingkar membayar zakat walaupun
mayoritas sahabat menolaknya.
d) Dalam hal-hal yang dipahami publik,
khalifah terikat dengan pendapat mayoritas misalnya menentukan lokasi yang
strategis untuk pendirian universitas.
e) Dalam hal-hal yang memerlukan keahlian
khusus, khalifah harus mendengar pendapat para ahli, bukan berdasarkan suara
mayoritas para ahli tetapi berdasarkan kekuatan argumentasinya misalnya tentang
cara mengatasi kekurangan listrik.
f) Syarat utama anggota musyawarah harus
beriman karena jika tidak, sangat mungkin ada keinginan pihak kolonial atau
kelompok kepentingan yang mempengaruhi para anggota majelis untuk memutuskan
sesuatu sesuai kehendak kelompok tersebut. Terjadilah penjualan pasal-pasal
dalam UU. Anggota legilatif menlakukan negoisasi dengan pihak – pihak tertentu
untuk memperjual belikan pasal-pasal yang dapat meng-untungkan kelompok
kepentingan.[16]
HTI secara tegas menolak demokrasi, mereka
menyatakan bahwa demokrasi yang diagungkan di Barat yang mendasarkan sistem pemerintahan
kepada suara mayoritas adalah sistem kafir, tidak ada hubungannya dengan Islam.
Demokrasi sangat bertentangan dengan Islam, baik dari sisi akidah yang
melahirkannya, azas yang digunakan maupun aturan yang dibawanya. Demokrasi pada
hakikatnya adalah ide sekuker yang memisahkan agama dari negara yang merupakan
ide dasar kapitalisme.[17] (Zallum
: 1-15).
Pembahasan
Bab II
Musawarah Dan Demokrasi
A. Sorotan terhadap Demokrasi
Keharaman demokrasi dalam pandangann DA,
NII, dan HTI ide dasarnya adalah tentang kedaulatan dan kewenangan membuat UU.
Dalam soal kekuasaan diyakni bahwa semua kekuasaan adalah milik Allah,
Allah-lah yang berhak mengatur manusia serta membuat UU, Allah adalah Asy-Sayri‟
(pembuat peraturan). Selanjutnya UU Allah dijelaskan oleh Rasul, jadi risalah
nabi adalah penjelasan atas UU Allah yang terdapat di dalam Al-Qur;an.
Setelah itu semua UU yang terdapat di dalam Al-Qur‟an dan risalah nabi
harus dilaksanakan oleh khalifah sebab khalifah dianggap sebagai wakil Allah di
muka bumi ini. Tugas khalifah adalah mengelola pemerintahan sesuai dengan
undang-undang Allah. Apabila khalifah melihat ada kekuranglengkapan aturtan
yang dibutuhkan maka dilaksanakanlah musyawarah mufakat.
Pandangan DA, NII dan TII sebagaimana
diuangkapkan di atas bukanlah pandangan yang sama sekali baru tetapi sudah
menjadi pemikiran di kalangan para pemikir Islam sebelumnya. Konsep mereka ini
sama dengan konsep Maududi (Pakistan), menurutnya sistem politik Islam
didasarkan kepada tiga prinsip pokok yaitu Tawhid, Risálah dan Khiláfah.
Dengan konsep tauhid ditegaskan bahwa hanya Allah-lah satu-satunya Rabb atau
pencipta dan penguasa alam ini, maka Dialah yang berdaulat terhadap alam ini.
Kedaulatan tertinggi adalah milik Allah sedangkan manusia sama sekali tidak
memiliki kedaulatan. Allah sebagai Rabb berarti Tuhan yang memelihara,
mengatur, mengasihi dan menyempurna-kan. Dialah satu-satunya Penguasa dan
Pemilik. Karena hanya Allah sebagai Rabb manusia maka manusia ketaatan
dan kepasrahan manusia hanya diserahkan kepada Allah, tidak boleh diserahkan
kepada makhluk.
Dalam arti inilah Allah sebagai Iláh (yang
disembah, al-ma‘bud). Hanya Allah-lah yang berhak mengklaim sebagai
hakim serta tidak ada undang-undang selain undang-undangNya. Prinsip kedua
adalah Risálah, yaitu sunnah nabi. Al-Qur‟an hanya menjelaskan
prinsip-prinsip pokok sebagai landasan yang harus dipatuhi manusia, selanjutnya
apa-apa yang global itu diperjelas oleh Rasulullah sepanjang hayatnya. Oleh
karena itu, pedoman dasar bagi kehidupan manusia adalah Al-Qur‟an dan Sunnah
Rasul. Kedua pegangan itu dalam terminologi Islam disebut syari„at.
Selanjutnya Maududi menjelaskan bahwa
syari'at akan dapat ditegakkan apabila didukung oleh kekuasaan (sulthan )
. Konsep ketiga adalah Khiláfah, yaitu manusia sebagai wakil Tuhan (khalifah)
di atas bumi. Menurut Maududi, manusia mempunyai kekuasaan yang didelegasikan
oleh Allah kepadanya dengan batas-batas tertentu. Ini artinya bahwa pemilik
kekuasaan itu pada hakikatnya adalah Allah. Manusia (umat) wajib menaati
khalifah itu selama dia menaati kehendak Allah. Dengan teori kekuasaan mutlak
milik Allah, maka negara yang dicita-citakan oleh Maududi adalah kerajaan
Tuhan, kingdom of God, Mulkiyah Allah atau theocracy.
Pendapat Maududi sama dengan pendapat
Sayyid Quthub, menurut Quthub, kekuasaan Allah itu sangat luas dan tidak
terbatas. Dialah penguasa tunggal tanpa sekutu. Kemudian sebagian kekuasaan itu
didelegasikan kepada manusia sebagai khalifah. Jadi khalifah adalah manusia
yang diserahi amanah. Oleh karena itu ia harus mengelola bumi ini (termasuk
negara) dengan sebaik-baiknya menurut ketentuan Allah. Ini artinya tugas para
penguasa adalah melaksanakan hukum Allah, yakni Islam, al-Qur‟an.
Dalam hubungan dengan fungsi khalifah,
Al-Mawardi menyatakan, khalifah berfungsi sebagai pengganti nabi yakni untuk
melindungi agama, memberi mandat mengatur negara, menggariskan kebijaksaan yang
bersumber kepada syari„at serta agar opini terpusat kepada satu pendapat yang
disepakati bersama. Khakifah bukan pembuat hukum tetapi hanya pelaksana hukum
(eksekutif), apabila ada hal-hal yang kurang jelas dapat dilihat pada
al-hadits. Apabila di hadits kurang jelas maka lihatlah hasil ijtihad para
ulama. Apabila hasil ijtihad kurang jelas maka masalah tersdebut bisa
dimusayawarahkan. Pengambilan keputusan harus melalui adu arguementasi, jika
tidak bisa juga maka khalifahlah yang menentukan, bukan diputuskan melalui
suara terbanyak.
Hal perlu penulis tekankan dalam
hubungannya dengan kedaulatan adalah sbb : (1). Kedaulatan mutlak adalah milik
Allah. Dialah Allah pemilik absolut yang kekuasaannya unlimited. (2).
Sebagian kekuasaan Allah itu didelegasikan kepada manusia sebagai khalifah,
jadi khalifah diberi kewenangan oleh Allah untuk mengelola pemerintahan sesuai
dengan UU Allah yakni Al-Qur‟an. (3). Kedudukan khalifah adalah sebagai wakil
Allah dalam menegakkan hukum-hukum Allah di muka bumi. (4). Manusia berkewajiban
membuat UU atau peraturan tambahan yaag diperlukan untuk menjaga ketertiban
dengan syarat UU dan peraturan tersebut tidak bertentangan dengan aturan Allah
(5). Aturan untuk kemaslahan yang menyangkut ipoleksosbudmilhankamnas harus
sejalan dengan nilai-nilai Ilahiyah (6). Tatacara penetapan aturan tersebut
bisa melalui musyawarah mufakat, bisa melalui pengambilan suara terbanyak, bisa
ditetapkan langsung oleh pemimpin, yang penting substansinya dan esensinya
tidak melanggar nilai-nilai Ilahiyah.
B.
Sorotan terhadap Musyawarah
DA dan yang lebih tegas lagi NII
sebagaimana telah dijelaskan pada bagian II berpandangan bahwa musya-warah
hanya boleh antara muslim dengan muslim, musyawarah di DPR MPR antara muslim
dengan nonmuslim tidak memiliki dasar hukum. Menanggapi pendapat mereka penulis
berpandangan sebagai berikut:
Musyawarah pun diperlukan dalam membahas
persoalan-persoalan teknis di lapangan. Suatu pekerjaan yang sudah sangat baik
dari sisi substansi dan nilai tetapi belum tentu jelas aturan pelaksanaannya di
lapangan, oleh karena itu diperlukan musyawarah yang melibatkan banyak ahli,
sekalipun ahli terebut non-muslim. Musyawarah antara muslim dengan nonmuslim
tidak dilarang oleh Al-Qur‟an maupun sunnah rasul. Musyawarah muslim dengan
non-muslim bisa dilaksanakan dalam pembahasan hal-hal berikut:
a. Membahas urusan warga negara nonmuslim
yang harus diselesaikan oleh khalifah
b. Membahas Kepentingan bersama seperti
soal keamanan negara
c. Membahas kepentingan global seperti isu
lingkungan hidup.
Musayawarah antara muslim dengan musuh juga
tidak terlarang misalnya soal gencatan senjata atau pertukaran tawanan perang.
Nabi pun bermusyawarah dengan kaum Jahiliyah Quraish seperti dalam perjanjian
Hudaibiyah. Berdasarkan hasil temuan penelitian sebagaimana dijelaskan pada
bagian dua dan tiga, di bawah ini akan peneliti sampaikan kesimpulan hasil
penelitian, vonis akademis dan pemetaan /mapping.
BAB III
Penutup
1. Kesimpulan
1) Pengharaman demokrasi oleh DA, NII, dan
HTI tidak semuanya benar karena penentuan keputusan melalui voting tidak
dilarang oleh Islam selama tidak mengubah hukum Allah atau hanya seputar aturan
pelengkap atau aturan teknis yang bersifat ijtihadi, itupun dilakukan
manakala adu argumen-tasi sama kuatnya (deadlock). b). Mengenai
pengharaman musyawah antara muslim dengan nonmuslim sebagaimana ditegaskan oleh
NII, tidaklah seluruhnya benar karena tidak dilarang oleh Al-Qur‟an maupun
sunnah rasul. Musyawarah muslim dengan nonmuslim bisa dilaksanakan dalam
pembahasan urusan warga negara nonmuslim serta membahas kepentingan bersama
seperti soal keamanan negara atau membahas kepentingan global seperti isu
lingkungan hidup.
2) Vonis Akademis :
Pandangan DA, NII dan HTI tentang keharaman demokrasi ala Barat dalam arti menetapkan
hukum atau aturan berdasarkan suara terbanyak memiliki argumentasi teologis
yang valid / absah sehingga secara akademis (tanpa muatan emosi dan keinginan
pribadi) pendapat mereka dapat diterima. 3. Mapping / Pemetaan:
Sebagaiman dijelaskan pada bagian satu, pemikir Islam dilihat dari sisi
penggunaan hadits Ahad terbagi dua yakni pemikir tradisional dan modernis,
sedangkan dilihat dari sisi konsep negara, pemikir Islam terbagi dua yakni
modernis dan fundamentalis. Setelah melihat pandangan DA, NII dan HTI, penulis
mengelompokkan mereka ke dalam kelompok pemikir Islam tradisionalis -
fundamentalis (tanpa konotasi negatif).
2.
Saran
1) Ada beberapa
hal yang menarik perhatian kami, bahwa ternyata Islam memiliki berbagai macam
banyak cara dalam mewujudkan kesejahteraan bersama, baik dengan tercapainya
musyawarah yang professional maupun dengan system demokrasi.
DAFTAR PUSTAKA
Abduh,
Umar.2001. Membongkar Gerakan sesat NII Di Balik Pesantren Mewah Al-Zaytun, Cetakan
pertama, Jakarta : Lembaga Penelitian & Pengka-jian Islam (LPPI).
Abdurrahman,
Ramli Ka‟bi Ahmad Shiddiq.1993. Bai’at, Suatu Prinsip Gerakan Islam,
Jakarta : Penerbit Abu Ridha.
Ahmad,
Mumtaz, Ed.1986.State Politics and Islam, Washington : American Tsust
Publication.
Ahsan,
Abdullah Al.1992. Ummah or Nation? Identity Crisis In Contemporary Muslim
Society, The Islamic Foundation, UK.
Ali
Jabir, Hussain Ibn Muhammad.1999. Menuju Jama’atul Muslimin, Tela’ah Sistem
Jama’ah dalam Gerakan Islam, Cetakan kelima. Jakarta :, Penerbit Robbani
Press.
Azra,
Azyumardi.2000. Islam Substantif, Editor Idris Toha. Bandung : Penerbit
Mizan.
Butter,
Charles E, Ed.1992. The Political Aspects of Islamic Philosophy,
Cambridge :
Harvard
University Press.
Chaidar,
al.2000. Serial Musuh-Musuh Dar al-Islam, Sepak Terjang KW 9 Abu Toto
Menyelewengkan NKA – NII Pasca S.M. Kartososewirjo. Cetakan pertama.
Jakarta : Madani Press.
--------------.
1999. Pengantar Pemikiran Politik Proklamator Negara Islam Indonesia:
Soekarmadji Maridjan Kartosoewiryo, Jakarta : Dar al-Falah.
Dengel,
Holk Harald. 1995. Darul Islam dan Kartosoewirjo, Jakarta : Pustaka
Sinar Harapan.
Dijk,
P Van. 1983. Darul Islam, Sebuah Pemberontakan, cetakan I. Jakarta :
Grafitipers.
Ewahbah
Zuhaily. 1991. Tafsir al-Munir fi al-Aqidah wa al-Syari’ah wa al-Manhaj,
Juz VI, Beirut Dar al-Fikr li al-Mu‟ashir.
Effendi,
Bahtiar. 1998. Islam dan Negara, Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik
Islam di Indonesia cetakan pertma. Jakarta : Penerbit Paramadina.
--------------.
2000. Repolitisasi Islam, Editor A. Suryana Sudrajat, Bandung : Mizan.
Jaiz,
Hartono Ahmad. 2002. Aliran dan Faham Sesat di Indonesia, cetakan
pertama. Jakarta : Pustaka Al-Kautsar.
Kurzman,
Charles. 2001. Wacana Islam Liberal, Jakarta : Penerbit Paramadina.
Khalidi,
Al, M. Abdul Majid. 2009. Analisis Dilaktika, Jilid 1,
”Kaidfah-kiadah Pokok Peremintahan Islam,”. Jakarta : Al-Azhar.
Longres,
John F. 2000. Human Behavior in the Social Environment, Washington: F.E
Peacock Publisher, Inc.
Ma‟arif,
Ahmad Syafi‟I. 1996. Studi tentang Konstituante, Islam dan Masalah
Kenegaraan Cetakan Ketiga., Jakarta : LP3ES.
Maududi,
Abu Al-A‟la. 1967. Islamic Way of Life, Lahore : Islamic Publication
Ltd.
-------------,
1994. Khilafah dan Kerajaan, Evaluasi Kritis atas Sejarah Pemerintahan Islam,
Jakarta : Mizan.
-------------.
1977. The Islamic Law and Constitution, Islamic Publication, Lahore.
Mawardi,
al. 2000. Al-Ahkam al-Shuthaniyah, Prinsip-prinsip Penyelenggaraan
Negara Islam, Jakarta : Dar al-Falah.
Muhammad,
Ashaari. 1986. Aurad Muhammadiyah Pegangan Darul Arqam Sekaligus Menjawab
Tuduhan. Malaysia : Penerbit Shoutul Arqam, Slangor.
Nabhani,
Taqiyuddin. 1995. Sistem Khilafah, Konsep Kenegaraan dan Kepemimpinan Umat Islam
Seluruh Dunia, Jakarta : Khazanah Islam.
Nasution,
Harun. 1996. Islam Rasional, Gagasan dan Pemikiran Catakan IV. Bandung :
Mizan.
NII
KW IX, Al Islam, t.t
------------,
Ibadah dan Proklamasi, t.t.
------------,
Buku Pedoman Tazkiyah, t.t.
------------,
Standard Materi Tilawah Riasah Desa, t.t
------------,
Sejarah Perjuangan Rasulullah, t.t.
------------,
Kuliah Tafsir NII KW IX, t.t.
-------------,
Sejarah Perjuangan Kartosoewirjo, t.t.
M.S
Kartosoewirjo, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (Qanun Uqubat).
-------------,
Pedoman Dharma Bhakti, jilid 1 dan 2,
Majalah
Bulanan Al-Zaytun, Edisi 1 S/D edisi 11.
Piscatori,
James P. 1988. Islam in A World of Nation-States, Sydney : Cambridge
University Press.
Qadir
Hamid, Tijani Abd. 2001. Pemikiran Politik Dalam Islam, (Terjemahan dari
, Ushul al-fikr al-siyasi fi al- Qur’an Makky), Cetakan pertama. Jakarta
: Gema Insani Press.
Quthub,
Sayyid. 1980. Tafsir Fi Dzilal al-Qur’an, Jilid 2. Beirut : Dar
al-Syuruq.
Rais,
al Shiya al-Din. 1985. Islam dan Khilafah, Kritik Terhadap Buku Khilafah dan
Pemerintahan Dalam Islam , Ali Abd Al-Raziq, Bandung : Pustaka.
Salus,
Ali Al. 1997. Imamah dan Khilafah, Dalam Tinjauan Syar’i, Jakarta : Gema
Insani Press.
Sukardja,
Ahmad. 1995. Piagam Madinah dan Undang-undang Dasar 1945, Kajian
Perbandingan tentang Dasar Hidup Bersama dalam Masyarakat yang Majemuk,
Jakarta : Penerbit Universitas Indonesia.
Sukri
Saleh, Muhammad. 1987. Pembangunan Berteraskan Islam. Malaysia :
penerbit Tiga Fajar Bakti SDN, Slangor.
Tajul
Arifin. 1986. Pada hemah dan Pandangan Ustadz Ashaari Muhammad. Malaysia
: Penerbit : Pusat penerangan Arqam, Pahang, Malaysia.
Taimiyah,
Ibn. 1966. al-Siyasah al-Syari’ah, Beirut : Dar al-Kitab, al-„Arabiyah.
Tim
Penulis LSAF.1989. Refleksi Pembaharuan Pemikiran Islam, 70 Tahun Harun
Nasution, Jakarta : Diterbitkan oleh Lembaga Studi Agama dan Filsafat.
Tim
Penyusun. 1993. 25 Tahun Darul Arqam, Kisah Perjuangan Abuya Syaikh Ashaari
Muhammad. Malaysia : Penerbit Abuya, Slangor .
[1] John F. Longres, Human behavior in The Social
Environment (Washington, F.E. Peacock Publisher , Inc. 2000), hal, 29
[3] Ashaari
Muhammad, Aurad Muhammadiyah Pegangan Darul Arqam Sekaligus Menjawab Tuduhan
(Penerbit Shoutul Arqam, Slangor , Malaysua, 1986) hal. 54
[4] Muhammad
Sukri Saleh, Pembangunan Berteraskan Islam, (penerbit Tiga Fajar Bakti
SDN, Slangor Malaysia, 1987), hal. 15. Lihat juga : Tim Penyusun, 25 Tahun
Darul Arqam, Kisah Perjuangan Abuya Syaikh Ashaari Muhammad (Penerbit Abuya
, Slangor Malaysia, 1993), hal 31. Lihat juga Hisman, Menangani
Ancaman Arqam, (Penerbit Munir, Kuala Lumpur Malaysia, 1993), hal. 11
[5] Tajul
Arifin, Pada hemah dan Pandangan Ustadz Ashaari Muhammad, (Penerbit :
Pusat penerangan Arqam, Pahang, Malaysia, 1986) hal. 50
[11] Abul
A‟la al-Maududi, The Islamic Law and Constitution (Lahore : Islamic
Pubication, Ltd, 1877), hal 123-124
[13] Hizbut
Tahrir Indonesia, Menyongsong Khalifah Islamiyah dengan Dakwah, Majalah
Al-Wafie Edisi Menyongsong Khalifah menegakkan Kembali Syari‟ah, hal. 2
Hari ini kaum Muslimin berada dalam situasi di mana aturan-aturan kafir sedang diterapkan. Maka realitas tanah-tanah Muslim saat ini adalah sebagaimana Rasulullah Saw. di Makkah sebelum Negara Islam didirikan di Madinah. Oleh karena itu, dalam rangka bekerja untuk pendirian Negara Islam, kelompok ini perlu mengikuti contoh yang terbangun di dalam Sirah. Dalam memeriksa periode Mekkah, hingga pendirian Negara Islam di Madinah, kita melihat bahwa RasulAllah Saw. melalui beberapa tahap spesifik dan jelas dan mengerjakan beberapa aksi spesifik dalam tahap-tahap itu
BalasHapus