Dunia Barat abad kedua puluh berbeda sekali dengan
abad kesembilan belas. Bukan saja karena semua perubahan teknis dan ekonomis
serta kedua perang dunia yang menghancurkan banyak negara, melainkan juga
karena gaya hidup, bentuk seni, jenis musik dan cara berpikir sama sekali
berbeda.
Sering dikatakan bahwa dalam
pemikiran abad kedua puluh, heterogenitas dan kuantitas aliran-aliran lebih
menonjol daripada kualitas mereka. Jumlah aliran dan perselisihan pendapat
memang besar, tetapi di tengah semua kekacauan masih tetap menonjol beberapa
pemikir yang penting.
Salah satu sebab heterogenitas
filsafat abad kedua puluh adalah “profesionalisme” yang semakin besar.
Kebanyakan filsuf abad kedua puluh merupakan spesialis-spesialis dalam
matematika, fisika, psikologi, sosiologi dan ekonomi. Jelas bahwa titik pangkal
yang khas ini juga membawa sutau cara berpikir yang khas dan suatu perhatian
untuk masalah-masalah yang khas pula.
Pragmatisme
Pragmatisme diambil dari kata pragma
(bahasa Yunani), yang berarti tindakan, perbuatan. Kata pragmatisme sering
diucapkan orang-orang yang menyebutkan kata itu dalam pengertian praktis.
Sebenarnya istilah pragmatisme lebih banyak berarti sebagai metode untuk
memperjelas suatu konsep ketimbang sebagai suatu doktrin kefilsafatan.[1]
Pragmatisme mula-mula diperkenalkan
oleh Charles Sanders Peirce, filosof Amerika yang pertama kali menggunakan
pragmatisme sebagai metode filsafat, tetapi pengertian pragmatisme telah
terdapat juga pada Socrates, Aristoteles.[2]
Aliran pragmatisme timbul di Amerika
dengan tokohnya yang terutama : William James dan John Deawey.
1. William James
Dalam
bukunya The Meaning of Truth, James menyatakan bahwa tiada kebenaran yang
mutlak, berlaku umum, yang bersifat tetap, yang berdiri sendiri lepas dari akal
yang mengenal. Sebab pengalaman kita berjalan terus dan segala yang kita anggap
benar dalam perkembangan pengalaman itu senantiasa berubah, karena di dalam
praktek, ada yang kita anggap benar dapat dikoreksi oleh pengalaman berikutnya.
Nilai konsep
atau pertimbangan kita, tergantung pada akibatnya, kepada kerjanya. Artinya
tergantung pada keberhasilan perbuatan yang disiapkan oleh pertimbangan itu.
Pertimbangan itu benar bila bermanfaat bagi pelakunya, memperkaya hidup dan
kemungkinan-kemungkinannya.[3]
Menurut
James, dunia tidak dapat diterangkan dengan berpangkal pada satu asas saja.
Dunia adalah dunia yang terdiri dari banyak hal yang saling bertentangan.
2. John Deawey
Menurutnya,
tugas filsafat adalah memberikan pengarahan bagi perbuatan dalam kenyataan
hidup. Filsafat tidak boleh tenggelam dalam pemikiran-pemikiran Metafisis yang
tidak ada faedahnya. Filsafat harus berpijak pada pengalaman dan mengolahnya
secara kritis.
Menurut John
Deawey tidak ada sesuatu yang tetap. Manusia senantiasa bergerak dan berubah.
Jika mengalami kesulitan, segera berpikir untuk mengatasi kesulitan itu. Maka
dari itu berpikir tidak lain daripada alat (instrumen) untuk bertindak.
Kebenaran dari pengertian dapat ditinjau dari berhasil tidaknya mempengaruhi
kenyataan. Satu-satunya cara yang dapat dipercaya untuk mengatur pengalaman dan
untuk mengetahui artinya yang sebenarnya adalah metode induktif. Metode ini
tidak hanya berlaku bagi ilmu pengetahuan fisika, melainkan juga bagi
persoalan-persoalan sosial dan moral.[4]
Filsafat Hidup
Henri
Bergson (1859-1941). Menurut Bergson, hidup merupakan tenaga eksplosif yang
telah ada sejak permulaan dunia. Kemudian terus berkembang dengan penentangan
materi. Bergson meyakini adanya evaluasi yang dipandangnya sebagai suatu
perkembangan yang menciptakan, yang meliputi semua kesadaran, semua hidup,
semua kenyataan dimana di dalam perkembangannya senantiasa menciptakan
bentuk-bentuk yang baru dengan menghasilkan kekayaan baru pula.[5]
Filsafat Bergson disebut sebagai filsafat
hidup, karena Bergson mendasarkan filsafatnya pada kenyataan bahwa yang ada
adalah gerak, hidup, berubah terus. Filsafat Bergson merupakan perlawanan
terhadap pandangan pada waktu itu (abad 19 dan permulaan abad 20) yang menaruh
penghargaan yang berlebih-lebihan terhadap pengetahuan rasional.
Bergson, filsafatnya kembali pada
pemikiran Metafisis dan anti rasionalis, dan menciptakan filsafat intuisi.
Fungsi intuisi ialah untuk mengenal hakekat pribadi dengan lebih murni dan
dapat mengenali seluruh hakekat kenyataan. Hakekat kenyataan baik dari pribadi
maupun dari seluruh kenyataan oleh intuisi dilihat sebagai “kelangsungan murni”
atau “masa murni”.
Intuisi yang dimaksudkan Bergson,
lain dari perasaan perseorangan atau sentimen. Baginya filosof bukanlah seorang
sentimentalis, bukanlah orang perasaan, melainkan seorang ahli pikir yang
intuitif.[6]
Fenomenologi
Edmund
Husserl (1859-1938) adalah pelopor filsafat fenomenologi yang sangat berpengaruh.
Fenomenologi adalah suatu filsafat yang menggunakan suatu metode fenomenologi
dalam usahanya memahami suatu kenyataan. Bahwa dalam menghadapi suatu kenyataan
kita menjumpai gejala-gejala (fenomena) yang belum tentu bahwa pengertian kita
tentang sesuatu itu betul sama sekali.
Adapun usaha untuk mencapai hakekat
segala sesuatu itu dengan jalan reduksi (penyaringan). Husserl mengemukakan
tiga macam reduksi atau penyaringan, yaitu :
1. Reduksi Fenomenologis
Di dalam
reduksi fenomenologis, kita harus melakukan penyaringan terhadap semua
pengalaman-pengalaman kita, dengan maksud agar mendapatkan fenomena yang
semurni-murninya. Telah dikemukakan, bahwa barang-barang yang nampak kepada
kita, yang lebih kita pentingkan ialah apa yang menampakkan diri yang segera
kita anggap sebagai realitas di luar kita. Fenomena atau gejala yang
menyodorkan diri sebagai hal yang nyata ada itu tidak boleh kita terima begitu
saja. Keputusan itu harus ditangguhkan terlebih dahulu atau ditempatkan di
antara tanda kurung dahulu. Sesudah itu harus memandang atau menilik apa yang
kita alam di alam kesadaran kita. Kalau tindakan ini berhasil kita akan
menemukan phenomenon atau gejala yang sebenarnya kita dengan demikian mengenal
gejala dalam dirinya sendiri.
2. Reduksi Eidetis
Yaitu
penyaringan atau penempatan dalam tanda kurung segala hal yang bukan eidos
(intisari/hakekat gejala/fenomena). Kita melihat hakekat sesuatu. Inilah
pengertian yang sejati.
3. Reduksi Transendental
Dalam
reduksi transendental yang harus ditempatkan di antara tanda kurung ialah
eksistensi dan segala sesuatu yang tidak ada hubungan timbal balik dengan
kesadaran murni, agar dari obyek itu akhirnya orang sampai kepada apa yang ada
pada subyek sendiri, dengan lain kata, metode fenomenologi itu diterapkan pada
subyeknya sendiri dan kepada perbuatannya, kepada kesadaran yang murni.[7]
Eksistensialisme
Eksistensialisme adalah aliran
filsafat yang memandang segala gejala kehidupan dengan berpangkal pada
eksistensi. Eksistensi adalah cara manusia berada di dalam dunia.
Kata eksistensi berasal dari kata ex
(keluar) dan sistensi (berdiri, menempatkan). Jadi, eksistensi diartikan
manusia berdiri sebagai diri sendiri dengan keluar dari dirinya dan sibuk
dengan dunia di luarnya.[8]
Martin
Heidegger (1905) dengan bukunya Sein Und Zeit (1927).
Menurutnya, persoalan berada hanya
dapat dijawab melalui ontologi, artinya jika persoalan ini dihubungkan dengan
manusia dan dicari artinya dalam hubungan itu. Metode untuk ini adalah metode
fenomenologis. Jadi yang penting adalah menemukan arti berada itu. Satu-satunya
yang berada dalam arti yang sesungguhnya adalah beradanya manusia. Keberadaan
benda-benda terpisah dengan yang lain, sedang beradanya manusia, mengambil
tempat di tengah-tengah dunia sekitarnya.[9]
Keberadaan manusia adalah “berada di
dalam dunia”. Maka ia dapat memberi tempat kepada benda-benda yang di
sekitarnya, ia dapat bertemu dengan benda-benda itu dan dengan manusia-manusia
lain dapat bergaul dan berkomunikasi dengan semuanya.
Menurut Heidegger, manusia tidak
menciptakan dirinya sendiri, ia dilemparkan ke dalam keberadaan. Tetapi, walau
manusia keberadaannya tidak mengadakan sendiri, bahkan merupakan keberadaan
yang terlempar, manusia tetap harus bertanggungjawab atas keberadaannya itu.
Di dalam hidup sehari-hari manusia
bereksistensi, tidak yang sebenarnya. Manusia yang tidak memiliki eksistensi
yang sebenarnya itu menghadapi hidup yang semu, hidupnya orang banyak. Ia tidak
menyatukan hidupnya sebagai satu kesatuan. Dengan ketekunan mengikuti kata
hatinya itulah cara bereksistensi yang sebenarnya guna mencapai eksistensi yang
sebenarnya.[10]
Jean Paul
Sartre (1905- …)
Cukup lama ia menjadi pemikir paling
populer di Eropa. Eksistensialisme-nya menjadi suatu gaya hidup. Bersama
teman-temannya Sartre menerbitkan majalah Les Temps Modernes (Jaman Modern)
yang menjadi corong bicara filsafat eksistensialistis, dan sekaligus dari suatu
orientasi politik dan kultural.[11]
Dialah yang menyebabkan
eksistensialisme menjadi tersebar, bahkan menjadi semacam mode, sekalipun
pendiri eksistensialisme bukan dia, melainkan Soren Aabye Kierkegaard. Ia
mengajarkan bahwa yang ada ialah “akal individual”. Ia telah memperkenalkan
istilah eksistensi yang memegang peranan penting dalam filsafat abad ke-20.
Pandangan tentang pentingnya arti manusia sebagai pribadi inilah yang menjadi
intisari filsafat yang dikembangkan oleh Sartre dalam nama eksistensinya.
Bagi Sartre, segala berada secara
ini, “segala berada” dalam diri (I’efre en soi) adalah memuakkan (nauseant).
Benda-bend yang berada demikian, kalau kita tidak memberikan arti apa-apa,
dalam keadaannya sendiri, nampak memuakkan.
Adapun yang termasuk “berada untuk
dirinya sendiri” (I’efre pour soi) adalah berada yang dengan sadar akan
dirinya, yaitu cara berada manusia. Manusia mempunyai hubungan dengan
keberadaannya, ia bertanggungjawab atas fakta bahwa ia ada.
Eksistensi walaupun kebebasan, namun
tergantung juga kepada hal yang lain. Sebab sekali kita bebas di dalam
pemilihan, kita terikat pada pemilihan itu, serta harus berbuat serta memikul
akibat perbuatan itu. Maka tidak ada kebebasan yang mutlak. Kita bebas, tetapi
justru itulah kecemasan kita.
Gabriel
Marcel (1889-1973). Bukunya yang bersifat eksistensialis Exsistence et
Obyektivite (1924). Dalam filsafatnya ia menyatakan, bahwa manusia tidak hidup
sendirian, tetapi bersama-sama dengan orang lain. Tetapi manusia memiliki
kebebasan yang bersifat otonom. Ia selalu dalam situasi yang ditentukan oleh
kejasmaniannya. Dari luar ia dapat menguasai jasmaninya, tetapi dari dalam ia
dikuasai oleh jasmaninya.
Manusia bukanlah makhluk yang
statis, sebab ia senantiasa menjadi (berproses). Ia selalu menghadapi obyek
yang harus diusahakan seperti yang tampak dalam hubungannya dengan orang lain.
Perjalanan manusia ternyata akan
berakhir pada kematian, pada yang tidak ada. Perjuangan manusia sebenarnya
terjadi di daerah perbatasan antara “berada” dan “tidak berada”. Maka manusia
menjadi gelisah, menjadi putus asa dan takut kepada kematian. Tapi sebesarnya
kemenangan kematian hanyalah semu saja, sebab hanya cinta kasih dan kesetiaan
itulah yang memberi harapan guna mengatasi kematian. Di dalam cinta kasih dan
kesetiaan ada kepastian, bahwa ada engkau yang tidak dapat mati. Harapan itulah
yang menembus kematian. Adanya harapan menunjukkan, bahwa kemenangan kematian
adalah semu.
Ajaran tentang harapan ini menjadi
puncak ajaran Marcel. Harapan ini menunjuk adanya “Engkau Yang Tertinggi” (Toi
Supreme), yang tidak dapat dijadikan obyek manusia.[12]
KESIMPULAN
Filsafat abad 20 disebut filsafat
dewasa ini (contemporary) dengan ciri-ciri bahwa rasio yang ada pada
masa-masa sebelum masa itu dianggap sebagai potensi kebenaran, mulai
ditinggalkan. Dan oleh karena itu orang mengalihkan pandangannya ke
potensi-potensi yang bukan rasio, misalnya ke intuisi.
Pada abad ini muncul beberapa aliran
filsafat, pragmatisme yang memberikan penilaian sesuatu pada nilai kontannya.
Fenomenologi, suatu filsafat yang menggunakan suatu metode fenomenologi dalam
usahanya memahami suatu kenyataan. Filsafat hidup yang berdasarkan filsafatnya
pada kenyataan bahwa yang ada adalah gerak, hidup, berubah terus.
Eksistensialisme yang memandang segala gejala kehidupan dengan berpangkal pada
eksistensi.
DAFTAR PUSTAKA
Basori, A.
Chairil, Filsafat, Semarang: IAIN Walisongo, 1985.
Hamersma,
Harry, Tokoh-Tokoh Filsafat Barat Modern, Jakarta: PT. Gramedia,
1992.
Sudarsono,
Ilmu Filsafat Suatu Pengantar, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1993.
Syadzali,
Ahmad, Filsafat Umum, Bandung: CV. Pustaka Setia, 1997.
Tafsir, Ahmad,
Filsafat Umum, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1990.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
dunia ini memang indah,, tergantung bagaimana kita menjaga keindahan itu,,. untuk itu mari kita bersatu, satu pikiran satu tujuan untuk Indonesia merdeka,.. berpisah kita berjuang bersatu kita memukul..