Bab I
Kekuasaan Dinasti Mamluk Di
Mesir
Mamluk atau Mameluk (Bahasa Arab) mamlūk (tunggal), mamālīk (jamak) adalah tentara budak yang
telah memeluk Islam
dan berdinas untuk khalifah Islam dan Kesultanan Ayyubi
pada Abad Pertengahan. Mereka akhirnya menjadi tentara
yang paling berkuasa dan juga pernah mendirikan Kesultanan Mamluk di Mesir. Pasukan
Mamluk pertama dikerahkan pada zaman Abbasiyyah
pada abad ke-9.
Bani Abbasiyyah merekrut tentara-tentara ini dari kawasan Kaukasus
dan Laut Hitam
dan mereka ini pada mulanya bukanlah orang Islam. Dari Laut Hitam direkrut bangsa Turki
dan kebanyakan dari suku Kipchak.
Keistimewaan tentara Mamluk ini ialah mereka tidak
mempunyai hubungan dengan golongan bangsawan atau pemerintah lain. Tentara-tentara Islam
selalu setia kepada syekh, suku dan juga bangsawan mereka. Jika terdapat
penentangan tentara Islam ini, cukup sulit bagi khalifah untuk menanganinya
tanpa bantahan dari golongan bangsawan. Tentara budak juga golongan asing dan
merupakan lapisan yang terendah dalam masyarakat. Sehingga mereka tidak akan
menentang khalifah dan mudah dijatuhkan hukuman jika menimbulkan masalah. Oleh
karena itu, tentara Mamluk adalah aset terpenting dalam militer.
1.
Organisasi
Setelah memeluk Islam, seorang Mamluk akan dilatih
sebagai tentara berkuda. Mereka harus mematuhi Furisiyyah, sebuah aturan
perilaku yang memasukkan nilai-nilai seperti keberanian dan kemurahan hati dan
juga doktrin mengenai taktik perang berkuda, kemahiran menunggang kuda,
kemahiran memanah dan juga kemahiran merawat luka dan cedera. Tentara
Mamluk ini hidup di dalam komunitas mereka sendiri saja. Masa lapang mereka
diisi dengan permainan seperti memanah dan juga persembahan kemahiran
bertempur. Latihan yang intensif dan ketat untuk anggota-anggota baru Mamluk
juga akan memastikan bahwa kebudayaan Mamluk ini abadi.
Setelah tamat latihan, tentara Mamluk ini dimerdekakan
tetapi mereka harus setia kepada khalifah atau sultan. Mereka mendapat perintah
terus dari khalifah atau sultan. Tentara Mamluk selalu dikerahkan untuk
menyelesaikan perselisihan antara suku setempat. Pemerintah setempat seperti amir juga mempunyai
pasukan Mamluk sendiri tetapi lebih kecil dibandingkan pasukan Mamluk Khalifah
atau Sultan.
Pada mulanya, status tentara Mamluk ini tidak boleh
diwariskan dan anak lelaki tentara Mamluk dilarang mengikuti jejak langkah
ayahnya. Di sebagian kawasan seperti Mesir, tentara Mamluk
mulai menjalin hubungan dengan pemerintah setempat dan akhirnya mendapat
pengaruh yang luas.
2.
Kemajuan di bidang Ilmu kemiliteran
Pada era Dinasti Al-Mamluk produksi buku mengenai ilmu
militer itu berkembang pesat. Sedangkan, pada zaman Shalahuddin,
ada buku manual militer karya AT-Thurtusi (570 H/1174
M) yang membahas keberhasilan menaklukan Yerussalem. Semenjak awal Islam memang menaruh
perhatian khusus mengenai soal perang. Bahkan Nabi Muhammad
Shallallahu 'Alaihi Wasallam pernah meminta agar para anak lelaki
diajari berenang, gulat, dan berkuda. Berbagai kisah peperangan seperti legenda
Daud
dan Jalut juga dikisahkan dengan apik dalam Al-Qur'an.
Bahkan, ada satu surat di Al-Qur'an yang berkisah tentang `heroisme’ kuda-kuda yang
berlari kencang dalam kecamuk peperangan.
”Demi kuda perang yang berlari kencang dengan terengah-engah.
Dan kuda yang mencetuskan api dengan pukulan (kuku kakinya). Dan kuda yang
menyerang dengan tiba-tiba di waktu pagi. Maka, ia menerbangkan debu dan
menyerbu ke tengah kumpulan musuh.” (Al-‘aAdiyat 1-4).
Kaum muslim
sebenarnya pun sudah menulis berbagai karya mengenai soal perang dan ilmu
militer. Berbagai jenis buku mengenai ‘jihad’ dan pengenalan terhadap seluk
beluk kuda, panahan, dan taktik militer. Salah satu buku yang terkenal dan
kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris The Catologue yang merupakan
karya Ibnu Al-Nadim (wafat
antara 380H-338 H/990-998 M).
Dalam karya itu, Al-Nadim menulis berbagai kategori
mengenai cara menunggang kuda, menggunakan senjata, tentang menyusun pasukan,
tentang berperang, dan menggunakan alat-alat persenjataan yang saat itu telah
dipakai oleh semua bangsa. Karya semacam ini pun kemudian banyak muncul dan
disusun pada masa Khalifah Abbasiyah,
misalnya oleh Khalifah al-Manshur dan al-Ma’mun. Bahkan, pada periode kekuasaan
Daulah Al-Mamluk produksi buku mengenai ilmu militer itu berkembang sangat
pesat. Minat para penulis semakin terpacu dengan keinginan mereka untuk
mempersembahkan sebuah karya kepada kepada para sultan yang menjadi penguasa
saat itu. Pembahasan sering dibahas adalah mengenai seluk beluk yang berkaitan
dengan serangan bangsa Mongol.
Pada zaman Shalahuddin,
ada sebuah buku manual militer yang disusun oleh At-Tharsusi, sekitar tahun
570 H/1174 M. Buku ini membahas mengenai keberhasilan Shalahuddin
di dalam memenangkan perang melawan bala tentara salib
dan menaklukan Yerussalem. Buku ini ditulis dengan bahasa Arab,
meski sang penulisnya orang Armenia.
Manual yang ditulisnya selain berisi tentang penggunaan panah, juga membahas
mengenai ‘mesin-mesin perang’ saat itu, seperti mangonel
(pelempar batu), alat pendobrak, menara-menara pengintai, penempatan pasukan di
medan perang, dan cara membuat baju besi. Buku ini semakin berharga karena
dilengkapi dengan keterangan praktis bagaimana senjata itu digunakan.
Buku lain yang membahas mengenai militer adalah karya
yang ditulis oleh Ali ibnu Abi Bakar
Al Harawi (wafat 611 H/1214 M). Buku ini membahas secara
detail mengenai soal taktik perang, organisasi militer, tata cara pengepungan,
dan formasi tempur. Kalangan ahli militer di Barat menyebut buku ini sebagai
sebuah penelitian yang lengkap tentang pasukan muslim di medan
tempur dan dalam pengepungan. Pada lingkungan militer Daulah Mamluk
menghasilkan banyak karya tentang militer, khususnya keahlian menunggang kuda
atau fu'usiyyah. Dalam buku ini dibahas mengenai bagaimana cara seorang
calon satria melatih diri dan kuda untuk berperang, cara menggunakan
senjatanya, dan bagaimana mengatur pasukan berkuda atau kavaleri.
Contoh buku yang lain adalah karya Al-Aqsara’i (wafat74
H/1348 M) yang diterjemahkan kedalam bahasa Inggris
menjadi An End to Questioning and Desiring (Further Knowledge) Concering the
Science of Horsemenship. Buku ini lebih komplet karena tidak hanya membahas
soal kuda, pasukan, dan senjata, namun juga membahas mengenai doktrin dan
pembahasan pembagaian rampasan perang.
BAB II
Masa
Kekuasaan Daulah Mamalik di Mesir
Kalau ada negeri Islam yang selamat dari kehancuran
akibat serangan-serangan bangsa Mongol,
baik serangan Hulagu Khan maupun Timur Lenk, maka negeri itu adalah Mesir yang ketika itu
berada di bawah kekuasaan dinasti Mamalik. Karena negeri ini terhindar dari
kehancuran, maka persambungan perkembangan peradaban dengan masa klasik relatif
terlihat dan beberapa diantara prestasi yang pernah dicapai pada masa klasik
bertahan di Mesir. Walaupun demikian, kemajuan yang dicapai oleh dinasti ini,
masih di bawah prestasi yang pernah dicapai oleh umat Islam pada masa klasik.
Hal itu mungkin karena metode berpikir tradisional sudah tertanam sangat kuat
sejak berkembangnya aliran teologi 'Asy'ariyah,
filsafat mendapat kecaman sejak pemikiran al- Ghazali mewarnai
pemikiran mayoritas umat Islam, dan yang lebih penting lagi adalah karena
Baghdad dengan fasilitas-fasilitas ilmiahnya yang banyak memberi inspirasi ke
pusat-pusat peradaban Islam, hancur.
Mamalik adalah jamak dari Mamluk yang berarti budak.
Dinasti Mamalik memang didirikan oleh para budak. Mereka pada mulanya adalah
orang-orang yang ditawan oleh penguasa dinasti Ayyubiyah
sebagai budak, kemudian dididik dan dijadikan tentaranya. Mereka ditempatkan
pada kelompok tersendiri yang terpisah dari masyarakat. Oleh penguasa Ayyubiyah
yang terakhir, al-Malik al-Salih, mereka
dijadikan pengawal untuk menjamin kelangsungan kekuasaannya. Pada masa penguasa
ini, mereka mendapat hak-hak istimewa, baik dalam karier ketentaraan maupun
dalam imbalan-imbalan material. Pada umumnya mereka berasal dari daerah Kaukasus
dan Laut Kaspia.
Di Mesir
mereka ditempatkan di pulau Raudhah di Sungai Nil untuk menjalani
latihan militer dan keagamaan. Karena itulah, mereka dikenal dengan julukan Mamluk Bahri. Saingan
mereka dalam ketentaraan pada masa itu adalah tentara yang berasal dari suku Kurdi.
Ketika al-Malik al-Salih
meninggal (1249 M), anaknya, Turansyah, naik tahta sebagai Sulthan.
Golongan Mamalik merasa terancam karena Turansyah lebih dekat kepada tentara asal Kurdi daripada mereka.
Pada tahun 1250 M Mamalik di bawah pimpinan Aybak
dan Baybars
berhasil membunuh Turansyah. Istri al-Malik al-Salih, Syajarah
al-Durr, seorang yang juga berasal dari kalangan Mamalik berusaha mengambil
kendali pemerintahan, sesuai dengan kesepakatan golongan Mamalik itu.
Kepemimpinan Syajarah al-Durr
berlangsung sekitar tiga bulan. Ia kemudian kawin dengan seorang tokoh Mamalik
bernama Aybak dan menyerahkan tahta
kepemimpinan kepadanya sambil berharap dapat terus berkuasa di belakang tabir.
Akan tetapi segera setelah itu Aybak membunuh Syajarah al-Durr dan
mengambil sepenuhnya kendali pemerintahan. Pada mulanya, Aybak mengangkat seorang keturunan
penguasa Ayyubiyah
bernama Musa sebagai Sultan "syar'i" (formal) disamping dirinya yang
bertindak sebagai penguasa yang sebenarnya. Namun, Musa akhirnya dibunuh oleh Aybak. Ini
merupakan akhir dari dinasti Ayyubiyah di Mesir dan awal dari kekuasaan dinasti Mamalik.
Aybak berkuasa selama tujuh tahun (1250-1257
M). Setelah meninggal ia digantikan oleh anaknya, Ali yang masih berusia
muda. Ali kemudian mengundurkan diri pada tahun 1259 M dan digantikan
oleh wakilnya, Qutuz.
Setelah Qutuz
naik tahta, Baybars yang
mengasingkan diri ke Syria
karena tidak senang dengan kepemimpinan Aybak kembali ke Mesir. Di awal tahun 1260
M Mesir terancam serangan bangsa Mongol yang sudah
berhasil menduduki hampir seluruh dunia Islam. Kedua tentara bertemu di Ayn Jalut, dan pada tanggal 13
September 1260 M, tentara Mamalik di bawah pimpinan Qutuz, Baybars dan Syaikhul Islam Ibn
Taimiyyah Rahimahullah berhasil menghancurkan pasukan Mongol tersebut.
Kemenangan atas tentara Mongol ini membuat kekuasaan Mamalik di Mesir menjadi tumpuan
harapan umat Islam di sekitarnya. Penguasa-penguasa di Syria segera menyatakan
sumpah setia kepada penguasa Mamalik.
Tidak lama setelah itu Qutuz meninggal dunia. Baybars, seorang pemimpin militer yang
tangguh dan cerdas, diangkat oleh pasukannya menjadi Sultan (1260- 1277 M).
Ia adalah sultan terbesar dan termasyhur diantara Sultan Mamalik. Ia pula yang
dipandang sebagai pembangun hakiki dinasti Mamalik.
Sejarah daulah ini hanya berlangsung sampai tahun 1517
M, ketika dikalahkan oleh Bani Utsmani, Daulah ini
dibagi menjadi dua periode :
Pertama, periode kekuasaan Mamluk Bahri, sejak
berdirinya (1250 M) sampai berakhirnya pemerintahan Hajji II tahun 1389 M.
Kedua, periode kekuasaan Mamluk Burji, sejak
berkuasanya Burquq untuk kedua kalinya tahun 1389 M
sampai kerajaan ini dikalahkan oleh Bani Utsmani tahun 1517
M.
Daulah Mamalik membawa warna baru dalam sejarah
politik Islam. Pemerintahan dinasti ini bersifat oligarki militer, kecuali
dalam waktu yang singkat ketika Qalawun (1280-1290 M) menerapkan
pergantian sultan secara turun temurun. Anak Qalawun berkuasa hanya empat tahun, karena
kekuasaannya direbut oleh Kitbugha (1295- 1297 M). Sistem
pemerintahan oligarki ini banyak mendatangkan kemajuan di Mesir. Kedudukan amir
menjadi sangat penting. Para amir berkompetisi dalam prestasi, karena mereka
merupakan kandidat sultan. Kemajuan-kemajuan itu dicapai dalam bebagai bidang,
seperti konsolidasi pemerintahan, perekonomian, dan ilmu pengetahuan.
Dalam bidang pemerintahan, kemenangan dinasti Mamalik
atas tentara Mongol
di 'Ayn al-Jalut menjadi
modal besar untuk menguasai daerah-daerah sekitarnya. Banyak penguasa-penguasa
dinasti kecil menyatakan setia kepada kerajaan ini. Untuk menjalankan
pemerintahan di dalam negeri, Baybars mengangkat kelompok militer sebagai elit
politik. Disamping itu, untuk memperoleh simpati dari kerajaan-kerajaan Islam lainnya,
Baybars membaiat keturunan Bani Abbas yang berhasil meloloskan diri
dari serangan bangsa Mongol,
al-Mustanshir sebagai khalifah. Dengan demikian, khilafah Abbasiyah,
setelah dihancurkan oleh tentara Hulaghu di Baghdad,
berhasil dipertahankan oleh daulah ini dengan Kairo sebagai pusatnya.
Sementara itu, kekuatan-kekuatan yang dapat mengancam kekuasaan Baybars dapat dilumpuhkan, seperti tentara
Salib di sepanjang Laut Tengah, Assasin
di pegunungan Syria, Cyrenia (tempat
berkuasanya orang-orang Armenia),
dan kapal-kapal Mongol di
Anatolia.
Dalam bidang ekonomi, dinasti Mamalik membuka hubungan
dagang dengan Perancis
dan Italia
melalui perluasan jalur perdagangan yang sudah dirintis oleh dinasti Fathimiyah di Mesir sebelumnya. Jatuhnya
Baghdad
menjadikan kota Kairo
sebagai jalur perdagangan antara Asia
dan Eropa,
dan menjadi lebih penting karena Kairo
menghubungkan jalur perdagangan Laut Merah
dan Laut Tengah dengan Eropa. Disamping itu, hasil pertanian juga meningkat.
Keberhasilan dalam bidang ekonomi ini didukung oleh pembangunan jaringan
transportasi dan komunikasi antarkota, baik laut maupun darat. Ketangguhan
angkatan laut Mamalik sangat membantu pengembangan perekonomiannya.
Di bidang ilmu pengetahuan, Mesir menjadi tempat
pelarian ilmuwan-ilmuwan asal Baghdad
dari serangan tentara Mongol.
Karena itu, ilmu-ilmu banyak berkembang di Mesir, seperti sejarah, kedokteran,
astronomi, matematika, dan ilmu agama. Dalam ilmu sejarah tercatat nama-nama
besar, seperti Ibn Khalikan, Ibn
Taghribardi, dan Ibn Khaldun.
Di bidang astronomi dikenal nama Nashiruddin ath-Thusi. Di
bidang matematika Abul Faraj al-'Ibry .
Dalam bidang kedokteran: Abul Hasan 'Ali
an-Nafis, penemu susunan dan peredaran darah dalam paru-paru
manusia, Abdul Mun'im
ad-Dimyathi, seorang dokter hewan, dan Ar-Razi’,
perintis psykoterapi. Dalam bidang opthalmologi dikenal nama Shalahuddin ibn Yusuf.
Sedangkan dalam bidang ilmu keagamaan, tersohor nama Syaikhul Islam ibn
Taimiyah Rahimahullah, seorang mujaddid, mujahid dan ahli
hadits dalam Islam, Imam As-Suyuthi Rahimahullah yang menguasai banyak ilmu
keagamaan, Imam Ibn Hajar al-'Asqalani
Rahimahullah dalam ilmu hadits, ilmu fiqih dan lain-lain.
Daulah Mamalik juga banyak mengalami kemajuan di
bidang arsitektur. Banyak arsitek didatangkan ke Mesir untuk membangun
sekolah-sekolah dan masjid-masjid yang indah. Bangunan-bangunan lain yang
didirikan pada masa ini diantaranya adalah rumah sakit, museum, perpustakaan,
villa-villa, kubah dan menara masjid.
Kemajuan-kemajuan itu tercapai berkat kepribadian dan
wibawa Sulthan yang tinggi, solidaritas sesama militer yang kuat, dan
stabilitas negara yang aman dari gangguan. Akan tetapi, ketika faktor-faktor
tersebut menghilang, daulah Mamalik sedikit demi sedikit mengalami kemunduran.
Semenjak masuknya budak-budak dari Sirkasia yang kemudian dikenal dengan nama
Mamluk Burji yang untuk
pertama kalinya dibawa oleh Qalawun, solidaritas antar sesama militer
menurun, terutama setelah Mamluk Burji berkuasa.
Banyak penguasa Mamluk Burji yang bermoral
rendah dan tidak menyukai ilmu pengetahuan. Kemewahan dan kebiasaan
berfoya-foya di kalangan penguasa menyebabkan pajak dinaikkan. Akibatnya,
semangat kerja rakyat menurun dan perekonomian negara tidak stabil. Disamping
itu, ditemukannya Tanjung Harapan oleh kaum Eropa tahun 1498 M,
menyebabkan jalur perdagangan Asia-Eropa melalui Mesir menurun fungsinya.
Kondisi ini diperparah oleh datangnya kemarau panjang dan berjangkitnya wabah
penyakit.
Di pihak lain, suatu kekuatan politik baru yang besar
muncul sebagai tantangan bagi Mamalik, yaitu Daulah Bani Utsmani.
Kerajaan inilah yang mengakhiri riwayat Mamalik di Mesir. Dinasti Mamalik
kalah melawan pasukan Utsmani dalam pertempuran menentukan di
luar kota Kairo
tahun 1517 M . Sejak itu wilayah Mesir berada di bawah kekuasaan
Kesultanan Bani Utsmani sebagai salah
satu propinsinya.
Capaian Peradaban Dinasti Mamluk Dalam Bidang Politik
Masa
pemerintahan Dinasti Mamluk yang cukup lama, yakni sekitar 267 tahun (648-922H/
1250-1517M), telah menunjukkan dinamika politik yang sangat fluktuatif. Ada
kalanya pemerintahan Dinasti Mamluk, baik ketika dipegang oleh Mamluk Bahriyah
maupun tokoh Mamluk Burjiyah, mengalami kemajuan di bidang politik dan
pemerintahan dan adakala sebaliknya. Pada Bab ini hanya akan dikemukakan
kemajuan yang pernah dicapai oleh pemerintahan Dinasti Mamluk dalam bidang
politik, termasuk pemerintahan. Walaupun pada hakekatnya, kemajuan dalam bidang
politik dan pemerintahan tersebut tidak bersifat permanen dan tetap.
Oleh
sebab yang dikemukakan di sini hanyalah kemajuan-kemajuan dalam bidang politik
dan pemerintahan saja, dan ini bukan berarti menafikan kelemahan dan kemunduran
yang pernah dialami oleh pemerintahan Dinasti Mamluk. Di antara para sultan di
atas yang terkenal telah membawa kemajuan dan kejayaan adalah Sultan Baybars,
Sultan Qalawun, dan Sultan Nashir Muhammad bin Qalawun. Sultan Baybars dianggap
sebagai pembangun pertama dinasti Mamluk dan Sultan Qalawun dianggap sebagai
pembangun keduanya, sedangkan masa Sultan Nasir Muhammad bin Qalawun dianggap
sebagai puncak kejayaan dinasti ini. Pada masa ini Negara manjadi kokoh dan
kuat, sistem pemerintahan serta administrasinya terus berkembang begitu juga
dalam bidang seni. Ahli sejarah mengatakan bahwa Kota Kairo pada masa Al-Nasir
seakan-akan sebuah kerajaan
besar yang bersatu.
Ada
beberapa kemajuan dalam politik yang dicapai oleh pemerintahan Dinasti Mamluk
di Mesir, di antaranya adalah sebagai berikut : Seperti yang telah dikemukakan
sebelum ini bahwa di masa pemerintahan Sultan Malik al-Shaleh Najmuddin Ayyub
melakukan pembelian besar-besaran terhadap budak-budak yang berasal dari daerah
pegunungan Kaukakus Asia Tengah. Kemudian budak-budak tersebut ditempatkan di
Pulau Raudhah yang terletak di Sungai Nil, sehingga mereka disebut dengan
Mamluk Bahri. Setelah melalui berbagai pendidikan dan pelatihan para Mamluk
Bahri ini dipercayakan menjabat beberapa jabatan penting dan strategis dalam
pemerintahan Bani Ayyub. Di samping itu, para Mamluk Bahri di masa pemerintahan
Sultan Malik al-Shaleh Najmuddin Ayyub mendapat penghasilan yang tinggi,
sehingga sangat berpengaruh terhadap kesejahteraan hidup mereka.
Sebaliknya,
Pangeran Tauran Syah yang dipersiapkan sebagai pengganti Sultan Malik al-Shaleh
Najmuddin Ayyub, menurut pandangan para tokoh Mamluk Bahri tidak akan
melanjutkan kebijakan ayahnya, apabila ia kelak menjadi sultan. Bahkan, ada
indikasi Pangeran Tauran Syah lebih berpihak kepada para militer Bani Ayyub
yang berasal dari keturunan suku Kurdi. Oleh sebab itulah, para tokoh Mamluk
Bahri menyusun siasat dan strategi rahasia untuk menggagalkan Pangeran Tauran
Syah menjadi sultan. Siasat tersebut dilakukan ketika Sultan Malik al-Shaleh
Najmuddin Ayyub meninggal dunia pada 1249M dan ketika itu Pangeran Tauran Syah
sedang berada di luar kota Kairo untuk menghadapi pasukan Salib yang masuk ke
Mesir datang dari Eropa. Kematian Sultan Malik al-Shaleh Najmuddin Ayyub
dirahasiakan kepada Pengeran Tauran Syah. Bahkan, diusahakan Pangeran Tauran
Syah dapat dibunuh sebelum ia mengetahui kematian ayahnya, dan usaha itu
berhasil. Sehingga dengan demikian, sampai dengan akhir hayatnya, Pangeran
Tauran Syah tidak tahu bahwa ayahnya Sultan Malik al-Shaleh Najmuddin Ayyub
telah meninggal dunia.
Agar jangan terkesan adanya upaya kudeta
atau pengambil alihan
kekuasaan oleh tokoh-tokoh Mamluk Bahri dari keturunan Bani Ayyub di Mesir,
maka diangkatlah Sajarat al-Dur menggantikan kedudukan suaminya Sultan Malik
al-Shaleh. Walaupun masih ada keturunan Sultan Malik al-Shaleh yang bisa diangkat
menjadi sultan. Selanjutnya, untuk memperkuat kedudukan Syajarat al-Dur sebagai
sultanah di Mesir, dimintalah persetujuan atau dukungan dari khalifah
al-Musta’shim (640-656H/1242-1258M) di Bagdad, khalifah Bani Abbas yang
memerintah waktu itu. Tetapi, ternyata permintaan tersebut ditolak dengan
alasan karena Syajarat al-Dur seorang perempuan. Pada waktu itu para ulama dan
khalifah masih menganut pandangan bahwa perempuan dilarang memegang jabatan
publik, perempuan hanya diperbolehkan memegang jabatan non publik yaitu ibu
rumah tangga.
Setelah gagal mendapat pengakuan dari
khalifah al-Musta’shim terhadap kedudukan Syajarat al-Dur menjadi sultanah,
selanjutnya tokoh Mamluk Bahri sepakat untuk mengusulkan seorang panglima
militer dari kalangan Mamluk Bahri yang terkenal cerdas, cakap, tangkas, dan
disenangi, yaitu Izzuddin Aibak. Ternyata Khalifah al-Musta’shim mengakui dan
mendukung Izzuddin Aibak menjadi sultan, dan dengan demikian resmilah berdiri
Dinasti Mamluk di Mesir melalui suatu upaya politik yang cerdas dari
tokoh-tokoh Mamluk Bahri, tanpa menimbulkan korban, kecuali Pangeran Tauran
Syah.
Keberhasilan dinasti Mamluk yang pertama
sekali terlihat dalam sejarah adalah keberhasilan tokoh-tokoh Mamluk mengambil
alih kekuasaan pemerintahan Sultan Malik al-Shaleh Najmuddin Ayyub dengan cara
menyingkirkan Pangeran Tauran Syah, yang sudah ditetapkan sebagai putra mahkota
atau pengganti bapaknya Sultan Malik al-Shaleh Najumuddin Ayyub. Keputusan
beberapa tokoh senior Mamluk untuk mengambil alih kekuasaan dari keturunan
Dinasti Ayyub merupakan keputusan yang sangat luar biasa sekaligus gambaran
kearifan mereka tentang segala hal yang berkaitan dalam bidang pemerintahan,
menjadi luar biasa karena latar belakang mereka sebagai orang asing di negeri
itu. Setelah Sultan Malik al-Shaleh Najmuddin Ayyub meninggal dunia,
tokoh-tokoh militer Mamluk, dalam hal ini Mamluk Bahriyah tidak langsung
mengambil alih kekuasaan, tetapi mereka bersepakat untuk menyerahkan jabatan
sultan itu kepada Syajarat al-Dur, janda Sultan Malik al-Shaleh. Tetapi karena
sultanah Syajarat al-Dur tidak mendapat legitimasi (pengakuan) dari
kekhalifahan Abbasiyah di Bagdad karena ia perempuan, maka terpaksa tokoh-tokoh
Mamluk mengusulkan seorang sultan laki-laki yaitu Izzuddin Aibak. Awalnya penobatan
Aibak sebagai sultan sekedar mendapatkan legitimasi khalifah saja dan sultanah
Syajarat al-Dur tetap sebagai penentu segala kebijakan dalam pemeritahan, namun
dalam kenyataannya Izzuddin Aibak dapat memanfaatkan jabatan sultan tersebut
dan betul-betul memonopoli pemerintahan tanpa mengikutsertakan Syajarat al-Dur
yang telah dinikahinya. Dengan sikap monopoli Izzuddin Aibak dalam menjalankan
roda pemerintahan di Mesir, maka berakhirlah pemerintahan Ayyubiyah di Mesir
untuk seterusnya dilanjutkan oleh para Mamluk.
Sebelum Dinasti Mamluk berdiri di Mesir,
sistim pemilihan dan pengangkatan khalifah atau sultan, ada dua cara. Pertama,
dengan cara musyawarah dan memilih di antara calon yang terbaik. Cara seperti
ini telah berlaku sejak pemilihan dan pengangkatan Khulafa al-Rasyidin, yaitu
cara pemilihan dan pengangkatan Khalifah Abu Bakar, Umar bin Khatab, Usman bin
Affan, dan Ali bin Abi Thalib. Pemilihan Abu Bakar menjadi khalifah setelah
Nabi Muhammad SAW wafat misalnya, telah menjadi keyakinan mayoritas umat Islam
bahwa Nabi Muhammad SAW tidak pernah menetapkan siapa yang akan menggantikan
kedudukannya sebagai kepala Negara di Madinah. Akibatnya, golongan Anshar
terlebih dahulu mengambil inisiatif untuk membicarakan siapa yang akan
menggantikan posisi Nabi Muhammad SAW sebagai kepala Negara Madinah dari
kalangan mereka sendiri, maka berkumpullah para tokoh golongan Anshar di
Tsaqifah Bani Sa’idah, yang saat itu jenazah Nabi Muhammad SAW sedang terbaring
dan dihadiri oleh tokoh-tokoh Muhajirin.
Agaknya, inisiatif golongan Anshar untuk
memilih pengganti kedudukan Nabi Muhammad SAW sebagai kepala Negara Madinah
adalah wajar, karena mereka adalah penduduk asli Madinah. Mereka telah sepakat
memilih Sa’ad bin Ubadah, tetapi sebelum Sa’ad bin Ubadah dibai’ah, Abu Bakar,
Umar bin Khattab, dan Abu ‘Ubadah bin Jarrah, (tiga orang tokoh Muhajirin)
datang dan hadir di pertemuan Tsaqifah Bani Sa’idah tersebut dan terjadilah
dialog di antara mereka dengan tokoh-tokoh Anshar yang telah menetapkan Sa’ad
bin Ubadah tanpa terlebih dahulu bermusyawarah dengan tokoh-tokoh Muhajirin.
Masing-masing kelompok mengklaim merekalah yang paling berhak menggantikan
kedudukan Nabi Muhammad SAW sebagai kepala Negara Madinah. Dengan beberapa
alasan, akhirnya dalam suasana dialog yang sangat hangat tersebut pilihan jatuh
kepada Abu Bakar, maka Abu Bakar dibai’at menjadi khalifah, yang secara
geneologi bukanlah keturunan Nabi Muhammad SAW, walaupun secara kekerabatan Abu
Bakar adalah mertua Nabi Muhammad SAW.
Demikian pula selanjutnya, Umar bin Khatab
dipilih menjadi Khalifah melalui musyawarah Khalifah Abu Bakar dengan para
tokoh sahabat, baik dari golongan Muhajirin maupun Anshar. Seperti diketahui,
Umar bin Khattab bukanlah keturunan Abu Bakar. Berikutnya hal yang sama juga
terjadi pada pemilihan dan pengangkatan Khalifah Usman bin Affan dan Ali bin
Abi Thalib.
Kedua, pengangkatan khalifah dengan cara
penunjukan oleh khalifah sebelumnya terhadap anggota keturunannya (anak,
saudara, keponakan, atau paman). Cara seperti ini mulai berlaku dalam pemerintahan
Islam sejak Khalifah Muawiyah bin Abi Sofyan menunjuk dan mengangkat anaknya
Yazid menjadi Putra Mahkota atau al-Waliy al-‘Ahd. Walaupun Muawiyah bin Abu
Sofyan mendapat tantangan dari beberapa putra sahabat, seperti Husen bin Ali,
Muhammad bin Abu Bakar, Abdullah bin Zubir, dan Abdullah bin Umar, ia tetap
melaksanakan keinginannya tersebut.
Menurut pendapat penulis, ada beberapa
alasan mengapa Muawiyah bin Abu Sofyan mengangkat anaknya Yazid menjadi Putra
Mahkota, di antaranya adalah : a) Muawiyah khawatir akan muncul perselisihan
dan perpecahan di kalangan umat Islam, apabila urusan tersebut diserahkan
kepada mekanisme musyawarah, b) Muawiyah yang sejak masa mudanya tinggal di
Syiria sangat terpengaruh dan tertarik dengan sistim yang berlaku pada
raja-raja Byzantium di Konstantinopel. Di sana cara penggantian jabatan raja
dilakukan melalui pengangkatan Putra Mahkota yang dipilih dari keturunan raja
yang sedang memerintah. Di samping itu, cara seperti ini memang telah menjadi
kebiasaan raja-raja di dunia waktu itu, seperti di Cina, India, Indonesia, dan
lain-lainnya. Ternyata kemudian hari cara seperti yang dilakukan oleh Muawiyah
bin Abu Sofyan itu dilanjutkan oleh khalifah-khalifah Bani Umayyah berikutnya.
Begitu juga oleh khalifah-khalifah Bani Abbas, Bani Ayyub, dan lain-lainnya.
Kecuali itu sultan-sultan Bani Mamluk tidak sepenuhnya melanjutkan cara
pemilihan dan pengangkatan sultan dari keturunan. Sultan-sultan Dinasti Mamluk
menerapkan pemerintahan Oligarki militer, walaupun tidak sepenuhnya diterapkan
oleh masing-masing Sultan, setidaknya Dinasti Mamluk telah memberikan satu
pembelajaran politik baru dalam sejarah peradaban Islam.
Bentuk pemerintahan oligarki militer
adalah suatu bentuk pemerintahan yang menerapkan sesuai kepemimpinan yang dipilih di antara
para Mamluk yang paling kuat dan berpengaruh dan bukan melalui garis keturunan.
Sistim pemerintahan oligarki militer ini merupakan kreatifitas tokoh-tokoh
militer Mamluk yang belum pernah berlaku sebelumnya dalam perkembangan politik
di pemerintahan Islam. Bila dibandingkan dengan sistim pemerintahan yang
dijalankan sebelumnya, yaitu Sistim Monarki dan Sistim Aristokrasi atau
pemerintahan para bangsawan, maka sistim pemerintahan Oligarki Militer dapat
dikatakan lebih demokratis. Sistim Oligarki Militer lebih mementingkan
kecakapan, kecerdasan, dan keahlian dalam peperangan, sultan yang lemah bisa
saja disingkirkan atau diturunkan dari kursi jabatannya oleh seorang Mamluk
yang lebih kuat dan memiliki pengaruh besar di tengah-tengah masyarakat.
Kelebihan lain dari sistim oligarki militer ini adalah tidak adanya istilah
senioritas yang berhak atas juniornya untuk menduduki jabatan sultan, melainkan
melihat kepada keahlian dan kepiawaian seorang Mamluk tersebut. Bahkan demi
menjunjung tinggi nilai-nilai demokratis, untuk menghindari pertikaian antara
para Mamluk yang masing-masing bernama Syaikh al-Mahmudi dan Nuruz al-Hafizi,
di mana kedua amir Mamluk ini saling memperebutkan tampuk pemerintahan,
dinobatkanlah oleh para pendukung keduanya Khalifah Abbasiyah al-Musta’in
Billah sebagai Sultan untuk sementara waktu agar tidak terjadi pertikaian yang
berkelanjutan. Di antara 22 Khalifah Abbasiyah yang telah di bai’at oleh rakyat
Mesir, maka Khalifah al-Musta’in Billah inilah satu-satunya khalifah Abbasiyah
yang pernah dinobatkan menjadi menjadi Sultan menggantikan Sultan an-Nasir
Faraj ibn Barquq tahun 815 H/1412 M.
Dinasti Mamluk di Mesir menghidupkan
kembali kekhalifahan Abbasiyyah yang sudah hancur tahun 656 H/ 1258 M di tangan
Bangsa Tartar oleh Holago dan bala tentaranya. Baybars telah membuat suatu
peristiwa besar selama pemerintahannya, yaitu melakukan bai’at terhadap
al-Manshur (1226-1242) sebagai khalifah. Usaha menghidupkan kembali
kekhalifahan Abbasiyah di Mesir ini merupakan sebuah kebijakan besar sepanjang
sejarah umat Islam, walaupun penobatan itu hanya bersifat politis. Karena sosok
khalifah merupakan simbol persatuan. Dengan kecerdasan politiknya, Baybars juga
meminta legalitas dari khalifah atas kekuasaannya. Sehingga dengan demikian ia
bisa menduduki kursi kesultanan dengan cara terhormat.
Setelah dua tahun kehancuran Bagdad
Sultan al-Zahir Baybars segera merencanakan untuk mengembalikan khilafah
Abbasiyyah. Pada tahun 659 H/1261 M, Baybars mengundang salah seorang keturunan
Abbasiyyah yang berhasil lolos dari serangan bangsa Mongol, kemudian Baybars
dengan para pembesarnya seperti para Qadhi, pemuka agama serta para Amir
bermusyawarah untuk memastikan keabsahan nasab keturunan al-Mustanshir, sebagai
keturunan Abbasiyyah. Ketika sudah dipastikan keabsahannya, maka segeralah
mereka membai’at keturunan Abbasiyyah itu untuk dijadikan khalifah resmi bagi
umat Islam dengan gelar al-Mustanshir Billah. Pemikiran seperti ini bukanlah
hal yang sederhana bagi seorang sultan berkuasa, karena tidak sedikit di antara
para penguasa justru menganggap apa yang dilakukan Baybars akan membahayakan
posisi politiknya sebagai sultan di Mesir ketika itu. Namun pada hakikatnya
kebijakan ini sangat tepat dan memberikan pembelajaran politik bagi generasi
selanjutnya bahwa kepentingan umat lebih didahulukan dari pada pribadi.
Lebih dari hanya sekedar menghidupkan
kekhalifahan, Sultan Baybars juga menjatahkan khalifah seorang atabak al-‘askar
dengan kekuatan 1000 prajurit, al-Syarabbi dengan 500 prajurit, al-Khazindar 200
prajurit, ustaz al-dar (ustadar) dengan 500 prajurit, al-Dawadar 500 orang,
beberapa petugas di al-Tablakhanah, dan khalifah dibelikan mamluk (hamba)
sebanyak 100 orang untuk difungsikan sebagai jamadar dan silahdar. Setiap orang
diberi tiga kuda dan tiga onta. Sultan juga menetapkan administrative untuk
khalifah, seperti kuttab al-insya’ (para penulis atau pengarang), sekretaris
pribadi khalifah, para ulama, pembantu-pembantu, orang-orang bijak dan
tabib-tabib, serta tempat tinggal yang disiagakan dengan kuda, baik yang untuk
ditunggangi maupun untuk mengangkut perbekalan dan senjata. Dalam pemahaman
ulama Sunni, pada masa Dinasti Mamluk di Mesir masih sangat kuat bahwa
menegakkan khilafah wajib hukumnya. Apabila umat Islam tidak menunaikan
kewajiban ini, maka berdosalah seluruhnya. Artinya, menegakkan khilafah adalah
fardhu kifayah. Pandangan yang mengatakan bahwa wajib hukumnya menegakkan
khilafah dikemukakan oleh pada umumnya ulama Suni, di antaranya al-Mawardi
dalam bukunya al-Ahkam al-Sulthaniyah. Ia mengatakan bahwa menegakkan khilafah
adalah fardu kifayah, sebagaimana hukumnya menuntut ilmu dan penyelenggaraan
jenazah.
Sejak khalifah al-Musta’shim
(1246-1258M), khalifah Bani Abbasiyyah yang terakhir di Kota Bagdad dibunuh
oleh pasukan Holago Khan pada 1258 M, dunia Islam telah kehilangan khalifah
untuk beberapa tahun lamanya. Oleh sebab itu, timbul kegelisahan di kalangan
para ulama dan sultan-sultan yang memerintah, karena khalifah tidak ada. Sesuai
dengan ayat dan hadits di atas menurut pendapat mereka, berdosalah seluruh umat
Islam karena tidak memiliki khalifah. Akhirnya dengan ditegakkannya atau
dihidupkannya kembali khilafah oleh Sultan Baybars, maka seluruh umat Islam di
dunia terlepas dari dosa. Maka wajarlah apabila dikatakan usaha Sultan Baybars
menegakkan khilafah kembali adalah suatu usaha besar dan disambut baik oleh
seluruh umat Islam waktu itu, terutama umat Islam yang berpaham Suni.
Berkaitan dengan hal menghidupkan
kekhalifahan ini, penulis berpendapat bahwa setidaknya ada beberapa makna di
balik itu, pertama, dihidupkannya lagi kekhalifahan Abbasiyah di Mesir atas
prakarsa Sultan Mamluk, mengandung arti bahwa Sultan Mamluk sangat paham dan
mengerti sekali tentang kondisi politik saat itu, karena rakyat Mesir
sebelumnya pada masa pemerintahan Dinasti Ayyub telah menganut paham Sunni.
Dengan dihidupkannya kembali sistem khilafah, Sultan Mamluk dapat mencuri
perhatian rakyat Mesir ketika itu. Kedua, kebijakan menghidupkan kekhalifahan
Abbasiyah di Mesir membuktikan bahwa para Sultan Mamluk tidak rakus akan
kekuasaan. Karena jika mereka rakus akan kekuasaan tentu mereka akan mengambil
kesempatan tersebut untuk menguasai secara utuh wilayah-wilayah Islam. Makna
yang ketiga adalah sebagai bukti bahwa para Mamluk adalah orang-orang penganut mazhab
Sunni, mewarisi dari tuan-tuan mereka dahulu yaitu Dinasti Ayyubiyah.
Bahkan sampai dengan zaman modern
sekarang sebahagian besar ulama Suni masih berpandangan seperti al-Mawardi,
sebagaimana disebutkan di atas. Muhammad Rasyid Rida dalam bukunya al-Khilafah
wa al-Imamah al-Uzma juga mengatakan bahwa menegakkan khilafah wajib hukumnya.
Demikian juga pandangan Abdul A’la al-Maududi dalam bukunya al-Hukumah
al-Islamiyah. Hizbut Tahrir Indonesia termasuk kelompok umat Islam yang paling
keras mempelopori agar khilafah Islamiyah bisa ditegakkan kembali, agar umat
Islam terlepas dari dosa dan cengkraman sistim politik sekuler yang didukung
oleh Barat. Sejak tanggal 3 Maret 1924 M umat Islam tidak lagi memiliki
khilafah, karena lembaga ini telah dihapus oleh Mustafa Kemal Attaturk.
Khalifah atau Sultan Abdul Majid sultan terakhir dari Turki Usmani diturunkan
dari jabatanya dan diusir ke luar Turki. Selanjutnya, pada waktu itu masih kuat
paham bahwa salah satu syarat khalifah adalah dari suku Quraisy. Al-Mawardi,
seperti disebutkan di atas menyebutkan ada tujuh syarat khalifah, salah satu di
antaranya adalah syarat keturunan suku Quraisy, karena adanya Nash dan Ijma’
tentang masalah ini.
Oleh sebab itu, sultan Baybars walaupun
secara politik kekuasaan dan pemerintahannya sangat kuat, tetapi untuk menjadi
khalifah ia tidak bisa, karena bukan keturunan suku Quraisy. Sultan Baybars
seperti yang telah dikemukakan di atas adalah keturunan dari suku yang ada di
daerah Kaukasus di Asia Tengah. Jika ingin menjadi khalifah, pasti ditolak oleh
para ulama, terutama ulama yang berpandangan bahwa khalifah wajib dari
keturunan suku Quraisy. Menurut Amany Lubis dalam bukunya Sistem Pemerintahan
Oligarki Dalam Sejarah Islam, Khilafah Abbasiyyah yang dibai’at oleh rakyat
Mesir sebanyak 22 khalifah. Beberapa penulis sejarah berbeda tentang jumlah
Khalifah Abbasiyah yang pernah dibai’at selama pemerintahan Dinasti Mamluk di
Mesir. Seperti terdapat dalam buku Tarikh al-Khulafa’ yang ditulis oleh
Jalaluddin as-Sayuthi, dalam buku tersebut hanya tertulis 15 orang nama
khalifah. Sedangkan menurut Syauqi Abu Khalil dalam bukunya Atlas al-Tarikh
al-Araby al-Islamy, Khilafah Abbasiyyah yang berkedudukan di Mesir tercatat 17
orang. Menurut penulis perbedaan ini terjadi karena para khalifah yang pernah
dibai’at tersebut adakalanya menjabat sebagai khalifah hanya beberapa saat saja
setelah dibai’at yang kemudian diturunkan kembali, meninggal, atau digantikan
oleh yang lain. Selanjutnya perbedaan ini terjadi karena ada di antara para
khalifah itu yang menjabat lebih dari satu kali. Sehingga dalam permasalahan
ini para penulis sejarah itu ada yang mencantumkan nama khalifah tersebut dan
ada juga yang tidak.
Kekhalifahan Abbasiyah yang berkedudukan
di Mesir berakhir setelah Sultan Salim I dari kerajaan Turki Usmani mengalahkan
dan menguasai Mesir pada tahun 1517 M serta membawa Khalifah Abbasiyah yang
terkahir, yaitu Al-Mutawakkil ‘Alallah ke Istambul, pusat pemerintahan kerajaan
Turki Usmani dan menurunkannya dari jabatannya. Jabatan-jabatan penting dalam
struktur pemerintahan Dinasti Mamluk di Mesir hampir sama dengan struktur
pemerintahan dinasti-dinasti lainnya. Di antara jabatan penting dalam struktur
pemerintahan Dinasti Mamluk adalah : Khalifah ; sebagaimana telah disebutkan di
atas pada tahun 1260 M Sultan Baybars telah menghidupkan kembali khilafah Bani
Abbas yang telah vakum sekitar dua tahun. Pada waktu itu khalifah tetap
dipandang sebagai pimpinan tertinggi secara spiritual (spiritual power). Pada
masa pemerintahan Dinasti mamluk di Mesir khalifah yang telah dinobatkan
berfungsi sebagai pihak yang mengukuhkan kedaulatan sultan dan jabatan-jabatan
para kadi serta pejabat negara lainnya. Ia ditempatkan di Benteng al-Kabsy yang
menghadap ke sungai Nil dan ia diberi gaji bulanan. Berita penobatannya
disebarkan ke semua wilayah, demikian pula namanya ditulis pada mata uang dinar
dan dirham. Di dalam khutbah jumat nama khalifah disebut lebih dahulu baru
kemudian nama sultan. Sebagai kewajibannya terhadap sultan, khalifah diharuskan
menghadap ke istana setiap awal bulan arab guna mengucapkan selamat. Melihat
peran yang dimainkan para khalifah di Kairo ini, maka dapat dikatakan bahwa
khalifah telah menjadi sumber legitimasi bagi keberadaan sultan Mamluk.
Sultan ; kata sultan berasal dari
sultan- yusaltinu-sultanan yang artinya kekuasaan (reign, mandate), menjadi
penguasa, dan pemimipin (ruler). Kata ini mempunyai hubungan erat dengan sultah
(kata kerjanya sallata) yang artinya kekuasaan (power) dan pemerintahan
(authority). Ada kata lain yang berkaitan, yaitu as-syiyadah yang maknanya
kekuasaan (rule, supremacy) dan kadaulatan (sovereignty). Dari kata-kata yang
dikutip di atas, dapat disimpulkan bahwa seorang pemimpin atau sultan itu
adalah orang yang berkuasa dan berdaulat atas rakyatnya. Qadi al-Qudah (Hakim
Agung) ; Qadi al-qudah artinya ketua para kadi atau dapat disebut sebagai hakim
agung; ia menjadi salah satu anggota permusyawaratan atau ahl al-masyurah.
Jabatan ini di masa pemerintahan Dinasti Mamluk memainkan peranan penting
karena para kadi menjalankan tugasnya di lingkungan Istana dan menjadi pejabat
yang menjaga kemaslahatan rakyat secara umum. Di antara tugas pentingnya adalah
menangani perkara-perkara di peradilan umum dan diwan al-mazalim.
Na’ib as-Saltanah (Wakil Sultan) ; na’ib
berasal dari naba- yanubu, yang berarti menggantikan dan pelakunya na’ib sama
dengan pengganti. Di dalam literature sejarah ditemukan bahwa na’ib adalah yang
mewakili sultan atau yang menggantikannya. Wakil sultan yang dinamakan na’I
as-saltanah atau wakil kesultanan adalah salah satu jabatan tinggi
administratif di dalam pemerintahan Dinasti Mamluk. Sebahagian sejarawan
menganggapnya sebagai jabatan tertinggi secara hierarkis setelah sultan. Wakil
sultan atau disebut juga as-sultan as-sani (ad interim) melaksanakan sebagian
besar tugas sultan. Wazir (Perdana Menteri) ; wazir berasal dari kata muazarah
yang artinya pertolongan atau dari kata wizr yang berarti beban. Penamaan
tersebut sesuai dengan tugas wazir yang memang membantu sultan di dalam
pelaksanaan pemerintahan atau yang memikul sebagian beban pemerintahan dari
sultan. Di dalam sejarah pemikiran politik Islam, istilah wazir atau perdana
menteri dapat digolongkan menjadi dua macam. Pertama wazir tafwid adalah wazir
yang diserahi oleh sultan untuk menangani urusan pemerintahan dan ia berhak
berinisiatif dalam membuat kebijaksanaan serta menandatangani
peraturan-peraturan setelah terlebih dahulu berkonsultasi dengan sultan. Kedua
wazir tanfiz artinya wazir yang melaksanakan perintah sultan dan mempunyai
wewenang terbatas; ia tidak melakukan sesuatu kecuali atas sepengetahuan
sultan. Atabak (Panglima Tertinggi) ; Kata atabak berasal dari bahasa Turki dan
terdiri atas dua kata : ata (huruf kedua adalah ta) berarti bapak dan bak
artinya amir atau pangeran. Makna dari atabak adalah bapak para amir. Bagi para
putra sultan atau amir senior Mamluk atabak ditunjuk sebagai pengasuh para amir
muda, dan ketika mereka menginjak dewasa, atabak hanya merupakan jabatan
kehormatan yang tidak memiliki tugas apapun di dalam pemerintahan. Dengan
berkembangnya system pemerintahan Dinasti Mamluk, atabak memainkan peran yang
penting, selain menjadi pengasuh dan pendamping, ia juga menjadi penasehat
sultan.
Pada masa kekuasaan Baybars perubahan
demi perubahan mulai dilakukannya dalam segala bidang, baik dalam bidang
administrasi pemerintahan maupun dalam ketentaraan. Ia membangun pemerintahan
dengan baik sehingga kesulthanan ini menjadi kuat. Barisan elite militernya
didudukkan sebagai elite politis. Jabatan-jabatan penting dipegang oleh anggota
militer yang berprestasi. Untuk mendapatkan simpatik dari rakyat Mesir,
sebagiamana Dinasti Ayubiyah, Baybars menghidupkan kembali Mazhab Suni. Baybars
juga merupakan sultan Mesir pertama mengangkat empat orang hakim yang mewakili
empat mazhab dan mengatur keberangkatan haji secara sistematis dan permanen. Ia
juga dikenal sebagai sultan yang saleh dalam soal agama dan sungguh-sungguh
menjalankan ibadah. Beberapa undang-undang untuk menjunjung tinggi akhlak mulia
juga dikeluarkan Baybars, seperti perintah larangan jual beli khamar, menutup
tempat-tempat maksiat dan banyak memenjarakan orang-orang yang berbuat
kemaksiatan.
Di bidang diplomatik Baybars menjalin
hubungan dengan pihak-pihak yang bersahabat yang tidak membahayakan
kekuasaanya. Ia memperbaharui hubungan Mesir dengan Constantinopel serta
membuka hubungan Mesir dan Sisilia. Selain itu, ia juga menjalin ikatan
perdamaian dengan Barke (Baraka), keponakan Hulago Khan yang telah masuk Islam
dan berkuasa di Golden Horde atau Kipchak Khanate (wilayah di bagian barat
Kerajaan Mongol). Di tengah-tengah masyarakat Islam pada periode pertengahan
ini diliputi oleh kesengsaraan akibat tidak adanya kekuatan politik yang dapat
menjamin kemakmuran rakyat, di Mesir masyarakatnya dapat menikmati kemakmuran tersebut
di bawah kepemimpinan sultan Mamluk. Jika Sultan Baybars telah berhasil
menancapkan pundi-pundi pemerintahan dengan kokoh, maka pada masa Sultan
al-Nasir Muhammad bin Qalawun dapat dianggap sebagai masa-masa menikmati
kemakmuran dalam berbagai bidang. Sehingga sultan al-Nasir Muhammad menjadi
sultan yang sangat disenangi oleh masyarakatnya. Sultan al-Nasir Muhammad ini
memegang tahta pemerintahan tiga kali, dengan
mengalami dua kali turun tahta. Ia digulingkan pertama kali karena usianya yang
masih muda sembilan tahun, oleh panglima angkatan bersenjatanya
(atabak) yang bernama al-Adil Katbuga (694-696 H/1295-1297 M) dan kemudian
disusul oleh pemerintahan Sultan al-Mansur Lajin (696-698 H/1297-1299 M). Oleh
karena al-Mansur Lajin tidak memperoleh popularitas di antara para Mamluk dan
Rakyat, lalu al-Nasir Muhammad ibn Qalawun dinobatkan kembali. Sultan al-Nasir
Muhammad kembali turun tahta ketika dilihatnya bahwa tokoh yang menjabat
sebagai wakil sultan – Bibars al-Jasynakir (708-709 H/1309-1310 M) berambisi
untuk menjadi sultan, akan tetapi atas dukungan mamluk-mamluk di Syam dan
masyarakat, akhirnya al-Nasir Muhammad menjadi sultan hingga akhir hayatnya
setelah berkuasa selama 31 tahun berturut-turut. Sejarawan Ibn Tagri Bardi
menyatakan bahwa ia adalah sultan yang terhebat. Sultan al-Nasir Muhammad ibn
Qalawun telah terbukti menjadi sultan yang disenangi oleh berbagai lapisan
masyarakat baik dalam maupun di luar kesultanannya. Dialah yang telah
melindungi Mesir dari jamahan bangsa Mongol, sehingga Mesir selamat dari
kehancuran, seperti apa yang telah terjadi pada wilayah-wilayah yang pernah
dikuasai oleh tentara Mongol. Sejarah telah menjadikannya contoh dalam
berdiplomasi dan pengelolaan sebuah kerajaan Islam.
Kebijakan-kebijakan
politik al-Nasir Muhammad yang secara nyata memihak masyarakat di antaranya
adalah bahwa dia menekan harga barang-barang sehingga tidak menyulitkan
masyarakat miskin, banyak menghapus pajak yang sebelumnya menjadi kewajiban
sebagian besar penduduk, kemudian menggantinya dengan memungut pajak dari
orang-orang yang mempunyai kelebihan harta. Barangkali dari beberapa kebijakan
politiknya di atas ia menjadi sangat disenangi oleh seluruh lapisan masyarakat
terutama lapisan masyarakat menengah ke bawah. Kota Kairo pada masa al-Nasir ini
menjadi Ibukota bagi sebuah dinasti yang meliputi Mesir, Syam, Hijaz, dan
Yaman. Atas keberhasilan Sultan al-Nasir Muhammad ibn Qalawun inilah, tahta
tetap berada di tangan putra-putra dan cucu-cucunya. Terlihat bahwa sistem
suksesi di masa Mamluk Bahri umumnya adalah dengan cara turun temurun dari satu
jalur silsilah keluarga. Oleh karena itu tepat jika dikatakan bahwa periode ini
disebut era Dinasti Qalawun. Namun demikian, sistem suksesi lain, yakni
oligarki, tetap menjadi harapan para amir Mamluk yang berambisi menjadi sultan
Layanan Pos
Ala Dinasti Mamluk
Layanan pos di era kejayaan Islam tak hanya sekadar
sebagai pengantar pesan. Dinasti Mamluk yang
berkuasa di Mesir
pada 1250 M hingga 1517 M juga menjadikan pos sebagai alat
pertahanan. Guna mencegah invasi pasukan tentara Mongol di bawah
komando Hulagu Khan
pada medio abad ke-13 M, para insinyur Mamluk membangun menara pengawas
di sepanjang rute pos Irak
hingga Mesir.
Di atas menara pengawas itu, selama 24 jam penuh para
penjaga telah menyiapkan tanda-tanda bahaya. Jika bahaya mengancam di siang
hari, petugas akan membakar kayu basah yang dapat mengepulkan asap hitam.
Sedangkan di malam hari, petugas akan membakar kayu kering. Upaya itu ternyata
tak sepenuhnya berhasil. Tentara Mongol
mampu menembus Baghdad
dan memorak-porandakan metropolis intelektual itu. Meski begitu, peringatan
awal yang ditempatkan di sepanjang rute pos itu juga berhasil mencegah masuknya
tentara Mongol
ke Kairo, Mesir.
Hanya dalam waktu delapan jam, berita pasukan Mongol akan menyerbu Kairo sudah diperoleh pasukan tentara Muslim. Itu berarti,
sama dengan waktu yang diperlukan untuk menerima telegram dari Baghdad
ke Kairo di
era modern. Berkat informasi berantai dari menara pengawas itu, pasukan Mamluk
mampu memukul mundur tentara Mongol
yang akan menginvasi Kairo.
Menurut Paul Lunde, layanan pos melalui jalur
darat pada era kekuasaan Dinasti Mamluk juga sempat
terhenti ketika pasukan Tentara Salib memblokir rute pos. Meski begitu, penguasa Dinasti Mamluk tak
kehabisan akal.
Sejak saat itu, kata dia, Dinasti Mamluk mulai
menggunakan merpati pos. Dengan menggunakan burung merpati sebagai pengantar
pesan, pasukan Tentara Salib tak dapat mencegah masuknya pesan dari Kairo ke Irak. Merpati pos mampu
mengantarkan surat dari Kairo
ke Baghdad
dalam waktu dua hari, tutur Lunde. Sejak itu, peradaban Barat juga mulai meniru
layanan pos dengan merpati seperti yang digunakan penguasa Dinasti Mamluk.
Lunde menuturkan, pada 1300 M Dinasti
Mamluk memiliki
tak kurang dari 1.900 merpati pos. Burung merpati itu sudah sangat terlatih dan
teruji mampu mengirimkan pesan ketempat tujuan. Seorang tentara Jerman bernama Johan Schiltberger
menuturkan kehebatan pasukan merpati pos yang dimiliki penguasa Dinasti Mamluk. Sultan
Mamluk mengirim
surat dengan merpati, sebab dia memiliki banyak musuh, cetus Schiltberger. Dinasti Mamluk memang
bukan yang pertama menggunakan merpati pos. Penggunaan merpati untuk
mengirimkan pesan kali pertama diterapkan peradaban Mesir kuno pada 2900 SM.
Pada masa kekuasaan Dinasti Mamluk, merpati
pos juga berfungsi untuk mengirimkan pesanan pos parcel. Al-kisah, penguasa
Mamluk sangat puas dengan kiriman buah ceri dari Lebanon
yang dikirimkan ke Kairo
dengan burung merpati. Setiap burung merpati membawa satu biji buah ceri yang
dibungkus dengan kain sutra. Pada masa itu, sepasang burung merpati pos harganya
mencapai 1.000 keping emas. Layanan merpati pos ala Dinasti Mamluk itu
tercatat sebagai sistem komunikasi yang tercepat di abad pertengahan.
Pembubaran
Mamalik
Dimasa kekuasaan Muhammad Ali Mamalik dibubarkan
melalui pembantaian dalam sebuah pesta kenegaraan di Al-Qal'ah pada 11
Maret 1811 M. Ketika para perwiwa tinggi mamlik telah berkumpul di pesta
kenegaraan Muhammad Ali memrintahkan para pengawalnya untuk mengunci semua
pintu dan dengan
serentak menembaki para perwira Mamalik, Jumlah perwira yang dibantai mencapai
1000 orang tanpa seorangpun dari mereka dapat lolos. Pembantaian ini memang
keji namun Muhammad Ali memandang pada sejarah Mamalik yang sering melakukan
penghianatan dan penggulingan kekuasaan berdarah.
Referensi :
- Kitab At-Tarikh,Ibn Khaldun.
- Tarikh Khulafra',As-Suyuthi.
- Al-Bidaayaah Wan Nihaayah,Ibn Katsir.
- Sejarah Kerajaan Mamalik,Muhammad Syu'ub,Penerbit PT.Bulan Bintang.
- 1000 Peristiwa Dalam Islam,Abdul Hakim Al-Afifi.Pustaka Hidayah.Bandung. 2002
- Ensiklopedia Islam
- Postal System in Pre- Modern Islam, Adam Silverstein
- The Catalogue karya Ibnu al-Nadim (990-998 M).
- Buku Militer yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi An End to Questioning and Desiring (Further Knowledge) Concerning the Science of Horsemenship karya al-Aqsarai (wafat 1348 M)
- Amerika Dan Islam Politik, Fawaz A. Gergez
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
dunia ini memang indah,, tergantung bagaimana kita menjaga keindahan itu,,. untuk itu mari kita bersatu, satu pikiran satu tujuan untuk Indonesia merdeka,.. berpisah kita berjuang bersatu kita memukul..