BAB II
TINJAUAN TEORITIS
A.
Pengertian
Terorisme dan Jihad
1.
Pengertian
Terorisme
Terorisme adalah serangan-serangan terkoordinasi yang bertujuan
membangkitkan perasaan teror terhadap sekelompok masyarakat. Berbeda dengan perang, aksi
terorisme tidak tunduk pada tatacara peperangan seperti waktu pelaksanaan yang
selalu tiba-tiba dan target korban jiwa yang acak serta seringkali merupakan warga sipil.
Istilah teroris oleh para ahli kontraterorisme dikatakan merujuk kepada para pelaku yang tidak
tergabung dalam angkatan bersenjata yang dikenal atau tidak menuruti peraturan
angkatan bersenjata tersebut. Aksi terorisme juga mengandung makna bahwa
serang-serangan teroris yang dilakukan tidak berperikemanusiaan dan tidak
memiliki justifikasi, dan oleh karena itu para pelakunya ("teroris")
layak mendapatkan pembalasan yang kejam.
Akibat makna-makna negatif yang dikandung oleh
perkataan "teroris" dan "terorisme", para teroris umumnya
menyebut diri mereka sebagai separatis, pejuang pembebasan, pasukan perang salib, militan, mujahidin, dan
lain-lain. Tetapi dalam pembenaran dimata terrorism : "Makna
sebenarnya dari jihad, mujahidin adalah jauh dari tindakan terorisme yang menyerang penduduk sipil padahal
tidak terlibat dalam perang". Padahal Terorisme sendiri sering tampak dengan
mengatasnamakan agama.
Selain oleh pelaku individual, terorisme bisa
dilakukan oleh negara atau dikenal dengan terorisme negara (state terorism).
Persoalan standar ganda selalu mewarnai berbagai penyebutan yang awalnya bermula dari Barat.
Seperti ketika Amerika Serikat banyak menyebut teroris terhadap berbagai
kelompok di dunia, di sisi lain liputan media menunjukkan fakta bahwa Amerika
Serikat melakukan tindakan terorisme yang mengerikan hingga melanggar konvensi yang telah disepakati.
Terorisme di dunia bukanlah merupakan hal baru, namun
menjadi aktual terutama sejak terjadinya peristiwa World Trade Center (WTC) di New York, Amerika Serikat pada tanggal 11 September 2001, dikenal sebagai “September Kelabu”, yang memakan 3000 korban. Serangan
dilakukan melalui udara, tidak menggunakan pesawat tempur, melainkan
menggunakan pesawat komersil milik perusahaan Amerika sendiri, sehingga tidak
tertangkap oleh radar Amerika Serikat. Tiga pesawat komersil milik Amerika
Serikat dibajak, dua di antaranya ditabrakkan ke menara kembar Twin Towers
World Trade Centre dan gedung Pentagon.
Berita jurnalistik seolah menampilkan gedung World
Trade Center dan Pentagon sebagai korban utama penyerangan ini. Padahal, lebih
dari itu, yang menjadi korban utama dalam waktu dua jam itu mengorbankan kurang
lebih 3.000 orang pria, wanita dan anak-anak yang terteror, terbunuh, terbakar,
meninggal, dan tertimbun berton-ton reruntuhan puing akibat sebuah pembunuhan
massal yang terencana. Akibat serangan teroris itu, menurut Dana Yatim-Piatu
Twin Towers, diperkirakan 1.500 anak kehilangan orang tua. Di Pentagon, Washington, 189 orang tewas, termasuk para penumpang pesawat, 45 orang tewas dalam
pesawat keempat yang jatuh di daerah pedalaman Pennsylvania. Para teroris
mengira bahwa penyerangan yang dilakukan ke World Trade Center merupakan
penyerangan terhadap "Simbol Amerika". Namun, gedung yang mereka
serang tak lain merupakan institusi internasional yang melambangkan kemakmuran
ekonomi dunia. Di sana terdapat perwakilan dari berbagai negara, yaitu terdapat
430 perusahaan dari 28 negara. Jadi, sebetulnya mereka tidak saja menyerang
Amerika Serikat tapi juga dunia[1].
Amerika Serikat menduga Osama bin Laden sebagai tersangka utama pelaku
penyerangan tersebut.
Kejadian ini merupakan isu global yang memengaruhi
kebijakan politik seluruh negara-negara di dunia, sehingga menjadi titik tolak
persepsi untuk memerangi Terorisme sebagai musuh internasional. Pembunuhan massal
tersebut telah mempersatukan dunia melawan Terorisme Internasiona. Terlebih
lagi dengan diikuti terjadinya Tragedi Bali, tanggal 12 Oktober 2002 yang
merupakan tindakan teror, menimbulkan korban sipil terbesar di dunia[2],
yaitu menewaskan 184 orang dan melukai lebih dari 300 orang. Perang terhadap
Terorisme yang dipimpin oleh Amerika, mula-mula mendapat sambutan dari
sekutunya di Eropa.
Pemerintahan Tony Blair termasuk yang pertama mengeluarkan Anti Terrorism, Crime and
Security Act, December 2001, diikuti tindakan-tindakan dari negara-negara
lain yang pada intinya adalah melakukan perang atas tindak Terorisme di dunia,
seperti Filipina dengan mengeluarkan Anti Terrorism Bill[3].
Kegiatan Terorisme mempunyai tujuan untuk membuat
orang lain merasa ketakutan sehingga dengan demikian dapat menarik perhatian
orang, kelompok atau suatu bangsa. Biasanya perbuatan teror digunakan apabila
tidak ada jalan lain yang dapat ditempuh untuk melaksanakan kehendaknya.
Terorisme digunakan sebagai senjata psikologis untuk menciptakan suasana panik,
tidak menentu serta menciptakan ketidak percayaan masyarakat terhadap kemampuan
pemerintah dan memaksa masyarakat atau kelompok tertentu untuk mentaati
kehendak pelaku teror[4].
Terorisme tidak ditujukan langsung kepada lawan, akan tetapi perbuatan teror
justru dilakukan dimana saja dan terhadap siapa saja. Dan yang lebih utama,
maksud yang ingin disampaikan oleh pelaku teror adalah agar perbuatan teror
tersebut mendapat perhatian yang khusus atau dapat dikatakan lebih sebagai psy-war.
Sejauh ini belum ada batasan yang baku untuk
mendefinisikan apa yang dimaksud dengan Terorisme. Menurut Prof. M.
Cherif Bassiouni, ahli Hukum Pidana Internasional, bahwa tidak mudah untuk mengadakan suatu
pengertian yang identik yang dapat diterima secara universal sehingga sulit
mengadakan pengawasan atas makna Terorisme tersebut. Sedangkan menurut Prof. Brian
Jenkins, Phd., Terorisme merupakan pandangan yang subjektif[5], hal
mana didasarkan atas siapa yang memberi batasan pada saat dan kondisi tertentu.
Belum tercapainya kesepakatan mengenai apa pengertian
terorisme tersebut, tidak menjadikan terorisme dibiarkan lepas dari jangkauan
hukum. Usaha memberantas Terorisme tersebut telah dilakukan sejak menjelang
pertengahan abad ke-20. Pada tahun 1937 lahir Konvensi Pencegahan dan
Penghukuman Terorisme (Convention for The Prevention and Suppression of
Terrorism), dimana Konvensi ini mengartikan terorisme sebagai Crimes
against State. Melalui European Convention on The Supression of Terrorism
(ECST) tahun 1977 di Eropa, makna Terorisme mengalami suatu pergeseran dan
perluasan paradigma, yaitu sebagai suatu perbuatan yang semula dikategorikan
sebagai Crimes against State (termasuk pembunuhan dan percobaan
pembunuhan Kepala Negara atau anggota keluarganya), menjadi Crimes against
Humanity, dimana yang
menjadi korban adalah masyarakat sipil[6]. Crimes
against Humanity masuk kategori Gross Violation of Human Rights
(Pelanggaran HAM Berat) yang dilakukan sebagai bagian yang meluas/sistematik
yang diketahui bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap
penduduk sipil, lebih diarahkan pada jiwa-jiwa orang tidak bersalah (Public by
innocent), sebagaimana terjadi di Bali[7]
Dalam rangka mencegah dan memerangi Terorisme
tersebut, sejak jauh sebelum maraknya kejadian-kejadian yang digolongkan
sebagai bentuk Terorisme terjadi di dunia, masyarakat internasional maupun
regional serta berbagai negara telah berusaha melakukan kebijakan kriminal (criminal
policy) disertai kriminalisasi secara sistematik dan komprehensif terhadap
perbuatan yang dikategorikan sebagai Terorisme.
Menyadari sedemikian besarnya kerugian yang
ditimbulkan oleh suatu tindak Terorisme, serta dampak yang dirasakan secara
langsung oleh Indonesia sebagai akibat dari Tragedi Bali, merupakan kewajiban
pemerintah untuk secepatnya mengusut tuntas Tindak Pidana Terorisme itu dengan
memidana pelaku dan aktor intelektual dibalik peristiwa tersebut. Hal ini
menjadi prioritas utama dalam penegakan hukum. Untuk melakukan pengusutan,
diperlukan perangkat hukum yang mengatur tentang Tindak Pidana Terorisme.
Menyadari hal ini dan lebih didasarkan pada peraturan yang ada saat ini yaitu
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) belum mengatur secara khusus serta
tidak cukup memadai untuk memberantas Tindak Pidana Terorisme[8],
Pemerintah Indonesia merasa perlu untuk membentuk Undang-Undang Pemberantasan
Tindak Pidana Terorisme, yaitu dengan menyusun Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang (Perpu) nomor 1 tahun 2002, yang pada tanggal 4 April 2003
disahkan menjadi Undang-Undang dengan nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Terorisme. Keberadaan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme di samping KUHP dan Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum
Acara Pidana (KUHAP), merupakan Hukum Pidana Khusus. Hal ini memang
dimungkinkan, mengingat bahwa ketentuan Hukum Pidana yang bersifat khusus,
dapat tercipta karena[9]:
Hukum
nasional yang menjadi obyek penelitian ini adalah perundang-undangan pidana
mengenai pemberantasan Tindak Pidana Terorisme sebagaimana diatur dalam
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 2002 yang
ditetapkan pada tanggal 18 Oktober 2002, Lembaga Negara R.I Tahun 2002 No 16.
Perpu ini kemudian disahkan menjadi undang-undang berdasarkan Undang-Undang No.
15 Tahun 2003. Sesungguhnya Rancangan Undang-Undang tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Terorisme tersebut telah dipersiapkan jauh sebelum lahirnya Perpu
Nomor 1 Tahun 2002.[10]
Berbagai peristiwa terorisme yang
terjadi dibelahan dunia telah menyentak masyarakat internasional bahwa
terorisme dengan segala bentuknya adalah membahayakan kepentingan dan
keselamatan umat manusia. Pada hari-hari ini, umat manusia dibayangi ketakutan
akan terjadinya aneka macam bahaya yang tidak pasti kapan datangnya. Jaringan
terorisme yang begitu tertutup rapi dengan peralatan teknologi yang canggih,
dan bahkan disertai keyakinan pelaku teror untu bersedia mati karena syahid,
telah menggugah kesadaran bangsa-bangsa.
Tindak
pidana terorisme merupakan tindak pidana yang sangat menonjol dalam era
globalisasi menunjukkan fenomena sebagai kejahatan yang bersifat terorganisir, dilakukan
oleh sekelompok beberapa orang yang bekerja sama atas dasar tujuan atau
kepentingan bersama, baik dengan ikatan formal maupun terjadi dalam ikatan yang
tidak formal, yaitu ikatan sikap batin yang bersikap subyektif diantara lebih
dari satu orang
Laporan
Panel Tingkat Tinggi PBB tanggal 2 Desember 2004 tentang ancaman, tantangan,
dan perubahan telah memasukkan Tindak Pidana Terorisme sebagai salah satu dari
6 (enam) Kelompok Ancaman Terhadap Bangsa-Bangsa.[11]
2.
Pengertian
Jihad
Moenawar
khalil merumuskan pengertian jihad ini sebagai berikut: “kata-kata jihad itu
diambil dari bahasa arab dari asal kata “jahd” yang artinya usaha atau “juhd”
yang artinya kekuatan. Dan arti menurut aslinya yaitu “bersungguh-sungguh
mencurahkan segenap tenaga untuk melawan musuh”. Menurut keterangan ibnu abbas
r.a perkataan “jihad” itu artinya ialah “mencurahkan segenap kekuatan dan
bukanlah ketakutan untuk membela allah terhadap cercaan orang yang mencerca dan
permusuhan orang yang memusuhi”.[12]
Dan
menurut syariat perkataan jihad itu artinya: “bersungguh-sungguh mencurahkan
segenap kekuatan untuk membinasakan orang-orang kapir, dan termasuk pula
berjihad terhadap nafsu, terhadap syaitan dan terhadap orang-orang pendurhaka”.[13]
Abdul
Karim Zaidin menguraikan arti jihad yaitu: Jihad dalam bahasa berarti
pengerahan dan kesungguhan dari seseorang dan menurut syara’ ialah pengarahan
tenaga dari seseorang muslim, karena menuntut keredhoan Allah. Karena itu jihad
ini mengandung arti yang penting sekali di dalam agama islam, karena
pentingnya, telah ditetapkan syarat-syarat tertentu agar sesuai dengan arti
jihad menurut pandangan hukum Islam. Di dalam al-qur’an di dapat banyak
ayat-ayat yang mencantumkan kalimat jihad yang terpenting ialah berperang di
jalan Allah. Kalau kaum muslimin berjihad untuk menjunjung agama Allah dan
menuntut keredhoan-Nya, maka orang kapir berjihad menuntut keredhoan syaitan,
dan di jalan syaitan.[14]
Adapun
menurut madzhab syafi’i, Al Bajuri berkata “al Jihad artinya berperang di jalan
Allah). Ibnu Hajar mengatakan bahwa menurut syariat, al jihad adalah berjuang
dengan sekuat-kuatnya memerangi kaum kapir.[15] Kemudian
mayoritas ulama berpendapat mengenai kewajiban jihad, yakni:
B.
Kewajiban
berjihad.
1.
Fardhu
“ain[16]:
setiap
muslim wajib mengerjakannya, dan jihad inilah yang terutama dan harus dilakukan
oleh tiap-tiap orang yang beriman. Yang dapat dimasukkan fardhu ‘ain tentang
jihad ini, yaitu:
a.
Jihad
terhadap hawa nafsu
Adapun
pengertian berjihad terhadap hawa nafsu, terdiri atas empat masalah, yakni:
-
Pertama, diri supaya
rajin mempelajari kebenaran agama yang datangnya dari Allah dan Rasulnya-Nya;
dan dengan berkeyakinan bahwa dirinya tidak akan berbahagia baik di dunia
maupun di akhirat, jika tidak dengan mengikuti kebenaran itu.
-
Kedua, diri supaya
rajin dengan sungguh menjalankan kebenaran yang telah dipelajarinya itu, karena
kebenaran yang telah diperolehnya itu tidak akan berguna sama sekali jika tidak
dilaksanakan sebagaimana mestinya, sesuai dengan kemampuannya.
-
Ketiga, diri supaya
rajin menyeru dan menyiarkan kebenaran itu kepada orang lain yang belum
mengetahuinya; sebab apabila pengetahuan/ilmu tentang kebenaran itu tidak
disiarkannya, ia akan tetap mendapat ancaman hukuman dari Allah SWT.
-
Keempat, dalam menyeru
dan menyiarkan kebenaran itu, ia harus siap menerima segala resiko: ancaman,
penderitaan, kesusahan dan sebagainya.
Apabila
keempat syarat ini belum dikerjakan, maka belumlah ia dinilai telah melakukan
jihad terhadap hawa nafsu.
b.
Jihad
terhadap Syaitan[17]
Tentang
jihad yang kedua ini, tiap-tiap muslim wajib mengerjakan-nya, karena syaitan
merupakan musuh pertama sejak kehadiran manusia di alam ini yang telah dapat
menggelincirkan nenek-moyang pertama Adam a.s. adapun jihad terhadap syaitan
ini ada dua masalah, yaitu:
-
Pertama, memerangi
segala tipu muslihat seseorang (baik dalam bentuk lisan, tulisan atau gambaran)
yang dapat menimbulkan keraguan atau syak-wasangka di dalam keimanan/keyakian.
-
Kedua, memerangi apa
yang ada pada diri seseorang daripada cita-cita dan kemauan yang melampaui
batas yang telah ditetapkan oleh syari’at Islam
Memerangi
syaitan pada tingkatan pertama itu, akan menerbitkan iman yang
seyakin-yakinnya; dan memerangi syaitan pada tingkat kedua itu, akan melahirkan
sifat tahan uji dan berani melawan segala apa yang terlarang dan
menyusahkannya. Maka apabila seseorang muslim telah dapat berjihad terhadap
hawa nafsunya sendiri dengan sebaik-baiknya, kemudian mampu berjihad terhadap
syaitan sebagaimana mestinya, maka ia adalah orang yang patut dan berhak
menjadi imam pemuka atau pemimpin di dalam masyarakat Islam; dan ia juga bisa
dijadikan penganjur dan contoh di dalam masyarakat tersebut
c.
Jihad
terhadap kaum kapir dan munkarat[18]
Adapun
jihad terhadap kaum kapir dan munkarat ini fardhu ‘ain, apabila musuh-musuh itu
berusaha membinasakan negara Islam dan mengotori kehormatan dan kesucian
umatnya, sebagaimana terjadi dewasa ini. Islam baru menyatakan perang apabila
musuh-musuh Islam melakukan kezaliman (penganiayaan/penyiksaan/ hukuman)
terhadap umat Islam atau menyerang umat Islam. Dari segi ini, Islam mewajibkan
kepada umatnya mengenyahkan kezaliman dan permusuhan; sehingga kaum muslimin
terbebas dari hantu kezaliman dan permusuhan
Abdul
Qadir Audah menulis kewajiban jihad ini sebagai berikut: “para ahli hukum islam
berbeda pendapat tentang kewajiban jihad ini, sebagian memandang fardu kifayah
yaitu fardhu yang bisa lepas tanggung jawab seseorang bila kawannya telah
berbuat, tetapi bila tak seorangpun yang melakukannya, maka berdosalah semua
mereka”
Dan
sebagian lagi memandang jihad itu adalah fardhu ‘ain, yaitu wajib yang mesti
dikerjakan oleh masing-masing pribadi, dan tidak lepas diri seseorang walaupun
orang lain telah melakukannya. Tetapi para ahli hukum Islam telah sepakat,
bahwa jihad itu tetap “fardhu ‘ain” dalam tiga hal, yakni:
-
Apabila bertemu dan
berhadap-hadapan dua pasukan (Islam dan kapir), maka haramlah lari atas orang
yang ikut berperang.
-
Apabila imam (pemimpin)
umat Islam telah memerintahkan kepada umat Islam untuk berangkat ke medan perang,
wajiblah ia mengikuti perintah imam itu.
-
Apabila kaum kapir
telah datang di negeri umat Islam; maka wajiblah setiap penduduk negeri itu
untuk meolak musuh. Karena corak jihad (perang) waktu itu adalah bersifat
defensif untuk mempertahankan agama dan kaum muslimin. Dengan masuknya musuh
berarti suatu bahaya yang tidak dapat dihindari lagi dan paling tidak ia pasti
menimbulkan fitnah.
2.
Fardhu
kifayah[19]
Fardhu
kifayah hanya berlaku terhadap jihad untuk menghadapi munkarat dan kaum kapir,
selain yang telah disebutkan dalam fardhu ‘ain. Sedangkan jihad terhadap hawa
nafsu dan syaitan, sepanjang hayat adalah tetap fardhu ‘ain.
C.
Antara
jihad, kekerasan dan terorisme
Jihad tidaklah identik dengan perang
dan pertumpahan darah. Namun begitu, seseorang apabila telah yakin dengan
pekerjaannya maka ia akan melakukan pekerjaan tersebut dengan sungguh-sungguh.
Seorang petani akan selalu serius dalam mengurusi percocokan tanaman. Begitu
pula halnya dengan seorang pelajar, pada saat mendapatkan niilai tinggi, tentu ia
akan lebih serius. Untuk itu fokus dalam berjihad, yang merupakan kewajiban
moral, akan membimbing kepada peradaban. Sebagaimana yang sudah disampaikan di
muka, bahwa peradaban bukanlah bentukan dari negara, namun peradaban adalah
bentukan dari rakyat itu sendiri. Untuk itu, rakyat tidak akan dapat membangun
peradaban, jika mereka tidak mampu bersikap secara beradab.[20]
Terorisme adalah satu bentuk
kerusuhan yang dilancarkan oleh individu, kelompok ataupun negara tertentu
untuk menganiaya manusia. Strategis teknis yang dicanangkan meliputi ancaman
dan penganiayaan ilegal dan segala bentuk aksi kekerasan ataupun ancaman
kekerasan yang dilancarkan untuk kejahatan. Tujuannya adalah untuk menciptakan
nuansa penuh kecaman dan rasa takut akan ancaman bahaya.[21]
Selain
itu, strategis teknis yang dikedepankan terorisme adalah tindakan yang dapat
mengancam keselamatan lingkungan ataupun fasilitas umum ataupun khusus. Atau
dengan kata lain ilustrasi kerja mereka mengarah kepada kerusakan di muka bumi.
Aksi terorisme adalah bentuk tindak
kekerasan yang bertentangan dengan kemanusiaan dan peradaban. Yang menjadi
latar belakang pemikirannya adalah dogma setan yang menyesatkan. Banyak cara
yang dilancarkan untuk aksi terorisme, seperti pembunuhan, penculikan,
peledakan bom dan lainnya dalam bentuk kekerasan yang sama sekali tidak terkait
dengan nilai islam. Karena konsep islam mengembangkan mekanisme ajarannya dari
toleransi dan hikmah. Sedang diskusi dan musyawarah yang diramu dengan
kesabaran , ditempatkan sebagai media untuk meluruskan pemikiran yang salah.[22]
Islam sejati selaras dengan sifat
simpatik dan ajakan kepada ketaatan. Generasi muda yang diarahkan untuk perang
oleh para teroris, seharusnya dapat menjadi generasi yang mempunyai pemahaman
keislaman yang mapan. Potensi kemajuan komunitas sosial Islami, sehingga dapat
menyokong laju perkembangan ekonomi masyarakat. Hal ini menjadi penting adanya,
mengingat kondisi kebanyakan negara dengan mayoritas pemeluk agama islam,
adalah negara-negara bekas jajahan. Kenapa mereka mesti antri
berbondong-bondong melakukan sejumlah aksi yang justru akan berakibat fatal
bagi komunitas sosialnya.[23]
Kebanyakan taktik lama masih
digunakan, namun dalam bentuk yang lebih dahsyat.[24]
Salah satu bentuk yang paling serius dari oprasi ini adalah teroris bunuh diri.
Dalam satu hal, ini merupakan sebuah perkembangan baru. Cara-cara kekerasan
untuk mencapai tujuan jelas, berlawanan dengan seluruh prinsip Islam yang
otentik. Jalan kekerasan hanyalah akan menyulitkan posisi umat keseluruhan dalam
berdakwah.
Menurut Karen Armstrong[25],
kekerasan dan intoleransi yang ada dalam tubuh umat Islam tidak bersumber dari
ajaran Islam; yaitu al-quran dan Sunnah Nabi. Islam adalah agama yang cinta
damai dan Islam sendiri memproklamirkan dirinya sebagai agama yang rahmatan lil
‘alamin, bukan hanya kepada umat Islam, tapi untuk semua manusia, termasuk
kepada alam. Tapi sayangnya wajah Islam yang cinta damai harus tertutupi oleh
perilaku segelintir penganutnya yang menyimpang, bahkan bertentangan, dari
pesan dan moral Islam.
D.
Terorisme
atau Jihad
1.
Jihad
Bukan Terorisme
Arti
kata Jihad sering disalah pahami oleh yang tidak mengenal prinsip-prinsip Agama
Islam
sebagai 'perang suci' (holy war); istilah untuk perang adalah Qital,
bukan Jihad. Jihad dalam bentuk perang
dilaksanakan jika terjadi fitnah yang membahayakan eksistensi ummat
(antara lain berupa serangan-serangan dari luar).
Pada
dasar kata arti jihad adalah "berjuang" atau "berusaha dengan
keras" , namun bukan harus berarti "perang dalam makna
"fisik". Jika sekarang jihad lebih sering diartikan sebagai
"perjuangan untuk agama", itu tidak harus berarti perjuangan fisik .
jika
mengartikan jihad hanya sebagai peperangan fisik dan extern, untuk membela
agama, akan sangat berbahaya, sebab akan mudah dimanfaatkan dan rentan terhadap
fitnah.
jika
mengartikan Jihad sebagai "perjuangan membela agama" , maka lebih
tepat bahwa berJihad adalah: "perjuangan menegakkan syariat Islam".
Sehingga berjihad haruslah dilakukan setiap saat, 24 jam sehari, sepanjang
tahun, seumur hidup.
Jihad
bisa berarti berjuang "Menyampaikan atau menjelaskan kepada orang lain
kebenaran Ilahi Atau bisa berjihad dalam diri kita sendiri", Bisa saja
berjihad adalah: "Memaksakan diri untuk bangun pagi dan salat Subuh, walau
masih mengantuk dan dingin dan memaksakan orang lain untuk salat subuh dengan
menyetel TOA mesjid dan memperdengarkan salat subuh".
Saat
ini kerangka berfikir masyarakat tentang pengertian jihad hanyalah sebatas
mengurusi syiar-syiar ibadah saja. Seperti halnya mempermasalahkan banyak orang
yang tidak salat, padahal hal ini tidak murni dilakukan oleh prinsip seseorang,
namun perlulah disadari bahwa setiap poin-poin syariat bukan sebatas harus
dilakukan oleh perorangan tetapi oleh seluruh lapisan Islam di Jagad Raya.
Karena perilaku seseorang terdapat pada nilai-nilai prosesi pembinaan terkait
kelembagaan yang mengelola masyarakat. Dengan kata lain, sebetulnya kemerosotan
moral masyarakat terbentuk oleh adanya sistem pemerintahan di dalam negeri yang
sangat kuat berpengaruh pada setiap aspek kehidupan masyarakat. Contoh,
kesenjangan ekonomi. Ekonomi adalah salah satu sektor yang dikuasai oleh
pemerintahan. Hal ini mampu menyebabkan kerusakan pshychologis masyarakat jika
sistem yang dijalankan adalah hasil buatan manusia yang sudah tentu tidak mampu
mengatur semesta alam.
Hal
di atas menyimpulkan bahwa Jihad harus mengkerucut pada penegakan Dien Islam di
dunia. Sesuai dengan apa yang diajarkan oleh seorang tokoh revolusioner Islam,
yakni Baginda Rosulullah Muhammad SAW. Juga berdasarkan Undang - Undang Allah
yaitu Kitab Suci Al- Qur'an mengatakan bahwa " Allah mengutus RosulNya (
Muhammad ) dengan membawa petunjuk ( Al-Qur'an ) dan agama ( Dien/Sistem ) yang
benar ( Islam ) untuk dimenangkannya di atas segala agama ( Dien/Sistem ),
walaupun kaum musyrikin( Segolongan orang beridentitaskan Islam namun tidak
mengakui syariat Islam bahkan secara halus memerangi Islam dengan Rezimnya,
Contoh Idiologi Pancasila ) tidak menyukai
Terorisme
tidak bisa dikategorikan sebagai Jihad; Jihad dalam bentuk perang harus jelas
pihak-pihak mana saja yang terlibat dalam peperangan, seperti halnya perang
yang dilakukan Nabi
Muhammad yang mewakili Madinah
melawan Makkah
dan sekutu-sekutunya. Alasan perang tersebut terutama dipicu oleh kezaliman
kaum Quraisy
yang melanggar hak hidup kaum Muslimin
yang berada di Makkah (termasuk perampasan harta kekayaan kaum Muslimin serta
pengusiran).
“Mengapa kamu tidak mau berperang di jalan Allah dan
(membela) orang-orang yang lemah baik laki-laki, wanita-wanita maupun anak-anak
yang semuanya berdoa: "Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami dari negeri ini
(Mekah) yang zalim penduduknya dan berilah kami pelindung dari sisi Engkau, dan
berilah kami penolong dari sisi Engkau !".(QS
4:75)
Perang
yang mengatasnamakan penegakan Islam
namun tidak mengikuti Sunnah
Rasul tidak bisa disebut Jihad. Sunnah Rasul untuk penegakkan Islam bermula
dari dakwah
tanpa kekerasan!, bukan dalam bentuk terorisme, hijrah
ke wilayah yang aman dan menerima dakwah Rasul, kemudian mengaktualisasikan
suatu masyarakat Islami (Ummah)
yang bertujuan menegakkan Kekuasaan Allah di muka bumi
2.
Islam
Agama Perdamaian
Islam
selalu mengajak orang kepada perdamaian dan kerukunan. Islam tidak pernah
mengizinkan seseorang untuk memerangi siapa pun yang tidak bersalah. Bahkan
dalam konsep Islam, eksistensi sebuah agama diakui meski bukan untuk
dibenarkan. Sehingga ide-ide untuk mengatakan bahwa semua agama adalah benar
agar tidak terjadi bentrok sesama pemeluk agama, bukanlah ide yang bisa
diterima dalam pandangan Islam. Karena konsep dasar Islam adalah mengakui
eksistensi agama apapun serta menghormati para pemeluknya. Dan juga memberikan
kebebasan untuk menjalankan ibadah sesuai dengan keyakinannya. Tetapi tanpa
harus mengobral aqidah dengan mengatakan bahwa semua agama itu sama atau semua
agama itu benar.
Sejarah
telah membuktikan kepada kita bahwa Islam adalah satu-satunya agama yang mampu
menghimpun semua pemeluk agama dalam sebuah masyarakat yang rukun, toleran dan
hidup berdampingan dengan damai. Semua itu selama para pemeluk agama itu tidak
melancarkan serangan dan permusuhan dengan umat Islam.
Namun
dalam kondisi dimana umat Islam diperangi, maka Islam pun mengenal peperangan
melawan kebatilan dengan melakukan kontak senjata. Dengan catatan bahwa
peperangan dalam Islam adalah satu-satunya jenis peperangan yang paling beradab
yang ada di muka bumi. Kalau pun harus terjadi kontak senjata melawan orang
kafir, maka harus jelas dulu perjanjian dan syarat-syarat yang diajukan.
Selain
itu jauh sebelum perang diizinkan, harus ada dakwah kepada mereka terlebih
dahulu, baik dengan lisan mapun tulisan. Sehingga tidak terjadi perang sebelum
mereka tahu persis apa itu Islam dan tahu bahwa agam mereka itu salah. Kalau
pun mereka mengangkat senjata, mereka lakukan bukan karena tidak tahu apa itu
Islam, tapi karena gengsi dan takabbur saja, sementara dalam hati mereka tidak
bisa menolak kebenaran Islam
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
1. Jihad
adalah berjuang dengan sungguh-sungguh menurut syariat Islam. Jihad
dilaksanakan untuk menjalankan misi utama manusia yaitu menegakkan agama Allah
atau menjaga agama tetap tegak, dengan cara-cara yang sesuai dengan garis
perjuangan para Rasul dan Al-Quran.
2. Sedangkan
Terorisme adalah serangan-serangan terkoordinasi yang bertujuan membangkitkan
perasaan teror terhadap sekelompok masyarakat. Terorisme tidak bisa
dikategorikan sebagai Jihad, Jihad dalam bentuk perang harus jelas pihak-pihak
mana saja yang terlibat dalam peperangan, Alasan perang tersebut terutama
dipicu oleh kezaliman kaum Quraisy yang melanggar hak hidup kaum Muslimin
3. Islam
selalu mengajak orang kepada perdamaian dan kerukunan. Islam tidak pernah
mengizinkan seseorang untuk memerangi siapa pun yang tidak bersalah. Namun
dalam kondisi dimana umat Islam diperangi, maka Islam pun mengenal peperangan
melawan kebatilan dengan melakukan kontak senjata, dengan syrat harus ada
dakwah kepada mereka terlebih dahulu, baik dengan lisan mapun tulisan.
B.
SARAN
Setelah
kita mengetahui perbedaan antara jihad dalam islam dengan terorisme diharapkan
kita mampu untuk:
1. merealisasikan
arti jihad yang sebernanya dan tidak terpengaruh dengan aliran-aliran radikal yang
mengatas namakan islam.
2. Mengerti
akan pentingnya jihad untuk menegakan eksistensi islam
3. Bersama-sama
memberantas Teroris
4. Sebagai
manusia biasa tentunya banyak kekurangan didalam makalah ini maka dari itu kami
sangat mengharapkan saran dari para pembaca.
[2] Indriyanto Seno Adji, Bali, “Terorisme dan HAM” dalam Terorisme: Tragedi Umat Manusia,
(Jakarta: O.C. Kaligis & Associates, 2001), hal.51.
[4] Loebby Loqman, Analisis
Hukum dan Perundang-Undangan Kejahatan terhadap Keamanan Negara di Indonesia,
(Jakarta: Universitas Indonesia, 1990), hal. 98.
[5] Indriyanto Seno Adji, “Terorisme, Perpu No.1 tahun 2002 dalam Perspektif Hukum Pidana” dalam
Terorisme: Tragedi Umat Manusia (Jakarta: O.C. Kaligis & Associates,
2001), hal. 35.
[6] Indriyanto Seno Adji, “Terorisme, Perpu No.1 tahun 2002 dalam Perspektif Hukum Pidana” dalam
Terorisme: Tragedi Umat Manusia (Jakarta: O.C. Kaligis & Associates,
2001), hal. 50.
[7] Indriyanto Seno Adji, Bali, “Terorisme dan HAM” dalam Terorisme: Tragedi Umat Manusia,
(Jakarta: O.C. Kaligis & Associates, 2001), hal.52
[8] Indonesia, Undang-Undang Tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Terorisme, UU No.15 tahun 2003, LN. No.45 tahun 2003, TLN. No.4284,
Konsiderans.
[9] Loebby Loqman, Analisis
Hukum dan Perundang-Undangan Kejahatan terhadap Keamanan Negara di Indonesia,
(Jakarta: Universitas Indonesia, 1990), hal. 17.
[10] Ramelan,
Ajaran Turut Serta (medeplegen) dalam
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Transnasionalisme, (Jakarta: Literata
Lintas Media, 2010), Hal. 194
[11] Ramelan, Ajaran Turut Serta (medeplegen) dalam
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Transnasionalisme, (Jakarta: Literata
Lintas Media, 2010), Hal. 7
[12] Abdul Qadir Djaelani,Jihad Fi Sabilillah dan
Tantangan-Tantangannya, (Jakarta: CV Pedoman Ilmu Jaya, 1995), Cet. Ke -1,
Hal 3
[13] Moenawar Khalil, Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad SAW,
(Jakarta: Bulan Bintang, 1980), hal. 214
[14] Abdul Karim Zaidan, Dasar-Dasar Ilmu Da’wah Terjemahan,
(Jakarta: Media Da’wah, 1983), hal 306
[15] Dr. Abdullah Azzam,
Perang Jihad di Jaman Modern, (Jakarta: Gema Insani Press, 1992), Hal 12
[16] Abdul
Qadir Djaelani,Jihad Fi Sabilillah dan
Tantangan-Tantangannya, (Jakarta: CV Pedoman Ilmu Jaya, 1995), Cet. Ke -1,
Hal 27
[17] Abdul
Qadir Djaelani,Jihad Fi Sabilillah dan
Tantangan-Tantangannya, (Jakarta: CV Pedoman Ilmu Jaya, 1995), Cet. Ke -1,
Hal 29
[18] Abdul
Qadir Djaelani,Jihad Fi Sabilillah dan
Tantangan-Tantangannya, (Jakarta: CV Pedoman Ilmu Jaya, 1995), Cet. Ke -1,
Hal 30
[19] Abdul
Qadir Djaelani,Jihad Fi Sabilillah dan
Tantangan-Tantangannya, (Jakarta: CV Pedoman Ilmu Jaya, 1995), Cet. Ke -1,
Hal 3
[20] DR.
Ali Syu’aibi Gil Kibil, Meluruskan
Radikalisme Islam, (Ciputat: Pustaka Azhary, 2004), Cet. 1 Hal. 276
[21] DR.
Ali Syu’aibi Gil Kibil, Meluruskan
Radikalisme Islam, (Ciputat: Pustaka Azhary, 2004), Cet. 1 Hal. 278
[22] DR.
Ali Syu’aibi Gil Kibil, Meluruskan
Radikalisme Islam, (Ciputat: Pustaka Azhary, 2004), Cet. 1 Hal. 284
[23] DR.
Ali Syu’aibi Gil Kibil, Meluruskan
Radikalisme Islam, (Ciputat: Pustaka Azhary, 2004), Cet. 1 Hal. 285
[24] Bernard Lewis, Krisis Islam Antara Jihad dan Terorisme,
(Jakarta: PT. Ina Publikatama, 2004), Hal. 143
[25] Prof.
Dr. A. Syafii Maarif, Meluruskan Makna Jihad, (Jakarta: Center For Moderate
Muslim[CMM], 2005), Hal 2-3
nice gan..
BalasHapusthanks...
BalasHapus