Minggu, 05 Februari 2012

terorisme atau jihad sebuah pemaknaan bagi islam rahmatan lil alamin


BAB II
TINJAUAN TEORITIS
A.      Pengertian Terorisme dan Jihad
1.      Pengertian Terorisme
Terorisme adalah serangan-serangan terkoordinasi yang bertujuan membangkitkan perasaan teror terhadap sekelompok masyarakat. Berbeda dengan perang, aksi terorisme tidak tunduk pada tatacara peperangan seperti waktu pelaksanaan yang selalu tiba-tiba dan target korban jiwa yang acak serta seringkali merupakan warga sipil.
Istilah teroris oleh para ahli kontraterorisme dikatakan merujuk kepada para pelaku yang tidak tergabung dalam angkatan bersenjata yang dikenal atau tidak menuruti peraturan angkatan bersenjata tersebut. Aksi terorisme juga mengandung makna bahwa serang-serangan teroris yang dilakukan tidak berperikemanusiaan dan tidak memiliki justifikasi, dan oleh karena itu para pelakunya ("teroris") layak mendapatkan pembalasan yang kejam.
Akibat makna-makna negatif yang dikandung oleh perkataan "teroris" dan "terorisme", para teroris umumnya menyebut diri mereka sebagai separatis, pejuang pembebasan, pasukan perang salib, militan, mujahidin, dan lain-lain. Tetapi dalam pembenaran dimata terrorism : "Makna sebenarnya dari jihad, mujahidin adalah jauh dari tindakan terorisme yang menyerang penduduk sipil padahal tidak terlibat dalam perang". Padahal Terorisme sendiri sering tampak dengan mengatasnamakan agama.
Selain oleh pelaku individual, terorisme bisa dilakukan oleh negara atau dikenal dengan terorisme negara (state terorism). Persoalan standar ganda selalu mewarnai berbagai penyebutan yang awalnya bermula dari Barat. Seperti ketika Amerika Serikat banyak menyebut teroris terhadap berbagai kelompok di dunia, di sisi lain liputan media menunjukkan fakta bahwa Amerika Serikat melakukan tindakan terorisme yang mengerikan hingga melanggar konvensi yang telah disepakati.
Terorisme di dunia bukanlah merupakan hal baru, namun menjadi aktual terutama sejak terjadinya peristiwa World Trade Center (WTC) di New York, Amerika Serikat pada tanggal 11 September 2001, dikenal sebagai “September Kelabu”, yang memakan 3000 korban. Serangan dilakukan melalui udara, tidak menggunakan pesawat tempur, melainkan menggunakan pesawat komersil milik perusahaan Amerika sendiri, sehingga tidak tertangkap oleh radar Amerika Serikat. Tiga pesawat komersil milik Amerika Serikat dibajak, dua di antaranya ditabrakkan ke menara kembar Twin Towers World Trade Centre dan gedung Pentagon.
Berita jurnalistik seolah menampilkan gedung World Trade Center dan Pentagon sebagai korban utama penyerangan ini. Padahal, lebih dari itu, yang menjadi korban utama dalam waktu dua jam itu mengorbankan kurang lebih 3.000 orang pria, wanita dan anak-anak yang terteror, terbunuh, terbakar, meninggal, dan tertimbun berton-ton reruntuhan puing akibat sebuah pembunuhan massal yang terencana. Akibat serangan teroris itu, menurut Dana Yatim-Piatu Twin Towers, diperkirakan 1.500 anak kehilangan orang tua. Di Pentagon, Washington, 189 orang tewas, termasuk para penumpang pesawat, 45 orang tewas dalam pesawat keempat yang jatuh di daerah pedalaman Pennsylvania. Para teroris mengira bahwa penyerangan yang dilakukan ke World Trade Center merupakan penyerangan terhadap "Simbol Amerika". Namun, gedung yang mereka serang tak lain merupakan institusi internasional yang melambangkan kemakmuran ekonomi dunia. Di sana terdapat perwakilan dari berbagai negara, yaitu terdapat 430 perusahaan dari 28 negara. Jadi, sebetulnya mereka tidak saja menyerang Amerika Serikat tapi juga dunia[1]. Amerika Serikat menduga Osama bin Laden sebagai tersangka utama pelaku penyerangan tersebut.
Kejadian ini merupakan isu global yang memengaruhi kebijakan politik seluruh negara-negara di dunia, sehingga menjadi titik tolak persepsi untuk memerangi Terorisme sebagai musuh internasional. Pembunuhan massal tersebut telah mempersatukan dunia melawan Terorisme Internasiona. Terlebih lagi dengan diikuti terjadinya Tragedi Bali, tanggal 12 Oktober 2002 yang merupakan tindakan teror, menimbulkan korban sipil terbesar di dunia[2], yaitu menewaskan 184 orang dan melukai lebih dari 300 orang. Perang terhadap Terorisme yang dipimpin oleh Amerika, mula-mula mendapat sambutan dari sekutunya di Eropa. Pemerintahan Tony Blair termasuk yang pertama mengeluarkan Anti Terrorism, Crime and Security Act, December 2001, diikuti tindakan-tindakan dari negara-negara lain yang pada intinya adalah melakukan perang atas tindak Terorisme di dunia, seperti Filipina dengan mengeluarkan Anti Terrorism Bill[3].
Kegiatan Terorisme mempunyai tujuan untuk membuat orang lain merasa ketakutan sehingga dengan demikian dapat menarik perhatian orang, kelompok atau suatu bangsa. Biasanya perbuatan teror digunakan apabila tidak ada jalan lain yang dapat ditempuh untuk melaksanakan kehendaknya. Terorisme digunakan sebagai senjata psikologis untuk menciptakan suasana panik, tidak menentu serta menciptakan ketidak percayaan masyarakat terhadap kemampuan pemerintah dan memaksa masyarakat atau kelompok tertentu untuk mentaati kehendak pelaku teror[4]. Terorisme tidak ditujukan langsung kepada lawan, akan tetapi perbuatan teror justru dilakukan dimana saja dan terhadap siapa saja. Dan yang lebih utama, maksud yang ingin disampaikan oleh pelaku teror adalah agar perbuatan teror tersebut mendapat perhatian yang khusus atau dapat dikatakan lebih sebagai psy-war.
Sejauh ini belum ada batasan yang baku untuk mendefinisikan apa yang dimaksud dengan Terorisme. Menurut Prof. M. Cherif Bassiouni, ahli Hukum Pidana Internasional, bahwa tidak mudah untuk mengadakan suatu pengertian yang identik yang dapat diterima secara universal sehingga sulit mengadakan pengawasan atas makna Terorisme tersebut. Sedangkan menurut Prof. Brian Jenkins, Phd., Terorisme merupakan pandangan yang subjektif[5], hal mana didasarkan atas siapa yang memberi batasan pada saat dan kondisi tertentu.
Belum tercapainya kesepakatan mengenai apa pengertian terorisme tersebut, tidak menjadikan terorisme dibiarkan lepas dari jangkauan hukum. Usaha memberantas Terorisme tersebut telah dilakukan sejak menjelang pertengahan abad ke-20. Pada tahun 1937 lahir Konvensi Pencegahan dan Penghukuman Terorisme (Convention for The Prevention and Suppression of Terrorism), dimana Konvensi ini mengartikan terorisme sebagai Crimes against State. Melalui European Convention on The Supression of Terrorism (ECST) tahun 1977 di Eropa, makna Terorisme mengalami suatu pergeseran dan perluasan paradigma, yaitu sebagai suatu perbuatan yang semula dikategorikan sebagai Crimes against State (termasuk pembunuhan dan percobaan pembunuhan Kepala Negara atau anggota keluarganya), menjadi Crimes against Humanity, dimana yang menjadi korban adalah masyarakat sipil[6]. Crimes against Humanity masuk kategori Gross Violation of Human Rights (Pelanggaran HAM Berat) yang dilakukan sebagai bagian yang meluas/sistematik yang diketahui bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, lebih diarahkan pada jiwa-jiwa orang tidak bersalah (Public by innocent), sebagaimana terjadi di Bali[7]
Dalam rangka mencegah dan memerangi Terorisme tersebut, sejak jauh sebelum maraknya kejadian-kejadian yang digolongkan sebagai bentuk Terorisme terjadi di dunia, masyarakat internasional maupun regional serta berbagai negara telah berusaha melakukan kebijakan kriminal (criminal policy) disertai kriminalisasi secara sistematik dan komprehensif terhadap perbuatan yang dikategorikan sebagai Terorisme.
Menyadari sedemikian besarnya kerugian yang ditimbulkan oleh suatu tindak Terorisme, serta dampak yang dirasakan secara langsung oleh Indonesia sebagai akibat dari Tragedi Bali, merupakan kewajiban pemerintah untuk secepatnya mengusut tuntas Tindak Pidana Terorisme itu dengan memidana pelaku dan aktor intelektual dibalik peristiwa tersebut. Hal ini menjadi prioritas utama dalam penegakan hukum. Untuk melakukan pengusutan, diperlukan perangkat hukum yang mengatur tentang Tindak Pidana Terorisme. Menyadari hal ini dan lebih didasarkan pada peraturan yang ada saat ini yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) belum mengatur secara khusus serta tidak cukup memadai untuk memberantas Tindak Pidana Terorisme[8], Pemerintah Indonesia merasa perlu untuk membentuk Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, yaitu dengan menyusun Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) nomor 1 tahun 2002, yang pada tanggal 4 April 2003 disahkan menjadi Undang-Undang dengan nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Keberadaan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme di samping KUHP dan Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), merupakan Hukum Pidana Khusus. Hal ini memang dimungkinkan, mengingat bahwa ketentuan Hukum Pidana yang bersifat khusus, dapat tercipta karena[9]:
Hukum nasional yang menjadi obyek penelitian ini adalah perundang-undangan pidana mengenai pemberantasan Tindak Pidana Terorisme sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 2002 yang ditetapkan pada tanggal 18 Oktober 2002, Lembaga Negara R.I Tahun 2002 No 16. Perpu ini kemudian disahkan menjadi undang-undang berdasarkan Undang-Undang No. 15 Tahun 2003. Sesungguhnya Rancangan Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme tersebut telah dipersiapkan jauh sebelum lahirnya Perpu Nomor 1 Tahun 2002.[10]
            Berbagai peristiwa terorisme yang terjadi dibelahan dunia telah menyentak masyarakat internasional bahwa terorisme dengan segala bentuknya adalah membahayakan kepentingan dan keselamatan umat manusia. Pada hari-hari ini, umat manusia dibayangi ketakutan akan terjadinya aneka macam bahaya yang tidak pasti kapan datangnya. Jaringan terorisme yang begitu tertutup rapi dengan peralatan teknologi yang canggih, dan bahkan disertai keyakinan pelaku teror untu bersedia mati karena syahid, telah menggugah kesadaran bangsa-bangsa.
Tindak pidana terorisme merupakan tindak pidana yang sangat menonjol dalam era globalisasi menunjukkan fenomena sebagai kejahatan yang bersifat terorganisir, dilakukan oleh sekelompok beberapa orang yang bekerja sama atas dasar tujuan atau kepentingan bersama, baik dengan ikatan formal maupun terjadi dalam ikatan yang tidak formal, yaitu ikatan sikap batin yang bersikap subyektif diantara lebih dari satu orang
Laporan Panel Tingkat Tinggi PBB tanggal 2 Desember 2004 tentang ancaman, tantangan, dan perubahan telah memasukkan Tindak Pidana Terorisme sebagai salah satu dari 6 (enam) Kelompok Ancaman Terhadap Bangsa-Bangsa.[11]
2.      Pengertian Jihad
Moenawar khalil merumuskan pengertian jihad ini sebagai berikut: “kata-kata jihad itu diambil dari bahasa arab dari asal kata “jahd” yang artinya usaha atau “juhd” yang artinya kekuatan. Dan arti menurut aslinya yaitu “bersungguh-sungguh mencurahkan segenap tenaga untuk melawan musuh”. Menurut keterangan ibnu abbas r.a perkataan “jihad” itu artinya ialah “mencurahkan segenap kekuatan dan bukanlah ketakutan untuk membela allah terhadap cercaan orang yang mencerca dan permusuhan orang yang memusuhi”.[12]
Dan menurut syariat perkataan jihad itu artinya: “bersungguh-sungguh mencurahkan segenap kekuatan untuk membinasakan orang-orang kapir, dan termasuk pula berjihad terhadap nafsu, terhadap syaitan dan terhadap orang-orang pendurhaka”.[13]
Abdul Karim Zaidin menguraikan arti jihad yaitu: Jihad dalam bahasa berarti pengerahan dan kesungguhan dari seseorang dan menurut syara’ ialah pengarahan tenaga dari seseorang muslim, karena menuntut keredhoan Allah. Karena itu jihad ini mengandung arti yang penting sekali di dalam agama islam, karena pentingnya, telah ditetapkan syarat-syarat tertentu agar sesuai dengan arti jihad menurut pandangan hukum Islam. Di dalam al-qur’an di dapat banyak ayat-ayat yang mencantumkan kalimat jihad yang terpenting ialah berperang di jalan Allah. Kalau kaum muslimin berjihad untuk menjunjung agama Allah dan menuntut keredhoan-Nya, maka orang kapir berjihad menuntut keredhoan syaitan, dan di jalan syaitan.[14]
Adapun menurut madzhab syafi’i, Al Bajuri berkata “al Jihad artinya berperang di jalan Allah). Ibnu Hajar mengatakan bahwa menurut syariat, al jihad adalah berjuang dengan sekuat-kuatnya memerangi kaum kapir.[15] Kemudian mayoritas ulama berpendapat mengenai kewajiban jihad, yakni:
B.       Kewajiban berjihad.
1.      Fardhu “ain[16]:
setiap muslim wajib mengerjakannya, dan jihad inilah yang terutama dan harus dilakukan oleh tiap-tiap orang yang beriman. Yang dapat dimasukkan fardhu ‘ain tentang jihad ini, yaitu:
a.      Jihad terhadap hawa nafsu
Adapun pengertian berjihad terhadap hawa nafsu, terdiri atas empat masalah, yakni:
-          Pertama, diri supaya rajin mempelajari kebenaran agama yang datangnya dari Allah dan Rasulnya-Nya; dan dengan berkeyakinan bahwa dirinya tidak akan berbahagia baik di dunia maupun di akhirat, jika tidak dengan mengikuti kebenaran itu.
-          Kedua, diri supaya rajin dengan sungguh menjalankan kebenaran yang telah dipelajarinya itu, karena kebenaran yang telah diperolehnya itu tidak akan berguna sama sekali jika tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya, sesuai dengan kemampuannya.
-          Ketiga, diri supaya rajin menyeru dan menyiarkan kebenaran itu kepada orang lain yang belum mengetahuinya; sebab apabila pengetahuan/ilmu tentang kebenaran itu tidak disiarkannya, ia akan tetap mendapat ancaman hukuman dari Allah SWT.
-          Keempat, dalam menyeru dan menyiarkan kebenaran itu, ia harus siap menerima segala resiko: ancaman, penderitaan, kesusahan dan sebagainya.
Apabila keempat syarat ini belum dikerjakan, maka belumlah ia dinilai telah melakukan jihad terhadap hawa nafsu.




b.      Jihad terhadap Syaitan[17]
Tentang jihad yang kedua ini, tiap-tiap muslim wajib mengerjakan-nya, karena syaitan merupakan musuh pertama sejak kehadiran manusia di alam ini yang telah dapat menggelincirkan nenek-moyang pertama Adam a.s. adapun jihad terhadap syaitan ini ada dua masalah, yaitu:
-          Pertama, memerangi segala tipu muslihat seseorang (baik dalam bentuk lisan, tulisan atau gambaran) yang dapat menimbulkan keraguan atau syak-wasangka di dalam keimanan/keyakian.
-          Kedua, memerangi apa yang ada pada diri seseorang daripada cita-cita dan kemauan yang melampaui batas yang telah ditetapkan oleh syari’at Islam
Memerangi syaitan pada tingkatan pertama itu, akan menerbitkan iman yang seyakin-yakinnya; dan memerangi syaitan pada tingkat kedua itu, akan melahirkan sifat tahan uji dan berani melawan segala apa yang terlarang dan menyusahkannya. Maka apabila seseorang muslim telah dapat berjihad terhadap hawa nafsunya sendiri dengan sebaik-baiknya, kemudian mampu berjihad terhadap syaitan sebagaimana mestinya, maka ia adalah orang yang patut dan berhak menjadi imam pemuka atau pemimpin di dalam masyarakat Islam; dan ia juga bisa dijadikan penganjur dan contoh di dalam masyarakat tersebut
c.       Jihad terhadap kaum kapir dan munkarat[18]
Adapun jihad terhadap kaum kapir dan munkarat ini fardhu ‘ain, apabila musuh-musuh itu berusaha membinasakan negara Islam dan mengotori kehormatan dan kesucian umatnya, sebagaimana terjadi dewasa ini. Islam baru menyatakan perang apabila musuh-musuh Islam melakukan kezaliman (penganiayaan/penyiksaan/ hukuman) terhadap umat Islam atau menyerang umat Islam. Dari segi ini, Islam mewajibkan kepada umatnya mengenyahkan kezaliman dan permusuhan; sehingga kaum muslimin terbebas dari hantu kezaliman dan permusuhan
Abdul Qadir Audah menulis kewajiban jihad ini sebagai berikut: “para ahli hukum islam berbeda pendapat tentang kewajiban jihad ini, sebagian memandang fardu kifayah yaitu fardhu yang bisa lepas tanggung jawab seseorang bila kawannya telah berbuat, tetapi bila tak seorangpun yang melakukannya, maka berdosalah semua mereka”
Dan sebagian lagi memandang jihad itu adalah fardhu ‘ain, yaitu wajib yang mesti dikerjakan oleh masing-masing pribadi, dan tidak lepas diri seseorang walaupun orang lain telah melakukannya. Tetapi para ahli hukum Islam telah sepakat, bahwa jihad itu tetap “fardhu ‘ain” dalam tiga hal, yakni:
-          Apabila bertemu dan berhadap-hadapan dua pasukan (Islam dan kapir), maka haramlah lari atas orang yang ikut berperang.
-          Apabila imam (pemimpin) umat Islam telah memerintahkan kepada umat Islam untuk berangkat ke medan perang, wajiblah ia mengikuti perintah imam itu.
-          Apabila kaum kapir telah datang di negeri umat Islam; maka wajiblah setiap penduduk negeri itu untuk meolak musuh. Karena corak jihad (perang) waktu itu adalah bersifat defensif untuk mempertahankan agama dan kaum muslimin. Dengan masuknya musuh berarti suatu bahaya yang tidak dapat dihindari lagi dan paling tidak ia pasti menimbulkan fitnah.
2.      Fardhu kifayah[19]
Fardhu kifayah hanya berlaku terhadap jihad untuk menghadapi munkarat dan kaum kapir, selain yang telah disebutkan dalam fardhu ‘ain. Sedangkan jihad terhadap hawa nafsu dan syaitan, sepanjang hayat adalah tetap fardhu ‘ain.
C.      Antara jihad, kekerasan dan terorisme
            Jihad tidaklah identik dengan perang dan pertumpahan darah. Namun begitu, seseorang apabila telah yakin dengan pekerjaannya maka ia akan melakukan pekerjaan tersebut dengan sungguh-sungguh. Seorang petani akan selalu serius dalam mengurusi percocokan tanaman. Begitu pula halnya dengan seorang pelajar, pada saat mendapatkan niilai tinggi, tentu ia akan lebih serius. Untuk itu fokus dalam berjihad, yang merupakan kewajiban moral, akan membimbing kepada peradaban. Sebagaimana yang sudah disampaikan di muka, bahwa peradaban bukanlah bentukan dari negara, namun peradaban adalah bentukan dari rakyat itu sendiri. Untuk itu, rakyat tidak akan dapat membangun peradaban, jika mereka tidak mampu bersikap secara beradab.[20]
            Terorisme adalah satu bentuk kerusuhan yang dilancarkan oleh individu, kelompok ataupun negara tertentu untuk menganiaya manusia. Strategis teknis yang dicanangkan meliputi ancaman dan penganiayaan ilegal dan segala bentuk aksi kekerasan ataupun ancaman kekerasan yang dilancarkan untuk kejahatan. Tujuannya adalah untuk menciptakan nuansa penuh kecaman dan rasa takut akan ancaman bahaya.[21]
Selain itu, strategis teknis yang dikedepankan terorisme adalah tindakan yang dapat mengancam keselamatan lingkungan ataupun fasilitas umum ataupun khusus. Atau dengan kata lain ilustrasi kerja mereka mengarah kepada kerusakan di muka bumi.
            Aksi terorisme adalah bentuk tindak kekerasan yang bertentangan dengan kemanusiaan dan peradaban. Yang menjadi latar belakang pemikirannya adalah dogma setan yang menyesatkan. Banyak cara yang dilancarkan untuk aksi terorisme, seperti pembunuhan, penculikan, peledakan bom dan lainnya dalam bentuk kekerasan yang sama sekali tidak terkait dengan nilai islam. Karena konsep islam mengembangkan mekanisme ajarannya dari toleransi dan hikmah. Sedang diskusi dan musyawarah yang diramu dengan kesabaran , ditempatkan sebagai media untuk meluruskan pemikiran yang salah.[22]
            Islam sejati selaras dengan sifat simpatik dan ajakan kepada ketaatan. Generasi muda yang diarahkan untuk perang oleh para teroris, seharusnya dapat menjadi generasi yang mempunyai pemahaman keislaman yang mapan. Potensi kemajuan komunitas sosial Islami, sehingga dapat menyokong laju perkembangan ekonomi masyarakat. Hal ini menjadi penting adanya, mengingat kondisi kebanyakan negara dengan mayoritas pemeluk agama islam, adalah negara-negara bekas jajahan. Kenapa mereka mesti antri berbondong-bondong melakukan sejumlah aksi yang justru akan berakibat fatal bagi komunitas sosialnya.[23]
            Kebanyakan taktik lama masih digunakan, namun dalam bentuk yang lebih dahsyat.[24] Salah satu bentuk yang paling serius dari oprasi ini adalah teroris bunuh diri. Dalam satu hal, ini merupakan sebuah perkembangan baru. Cara-cara kekerasan untuk mencapai tujuan jelas, berlawanan dengan seluruh prinsip Islam yang otentik. Jalan kekerasan hanyalah akan menyulitkan posisi umat keseluruhan dalam berdakwah.
            Menurut Karen Armstrong[25], kekerasan dan intoleransi yang ada dalam tubuh umat Islam tidak bersumber dari ajaran Islam; yaitu al-quran dan Sunnah Nabi. Islam adalah agama yang cinta damai dan Islam sendiri memproklamirkan dirinya sebagai agama yang rahmatan lil ‘alamin, bukan hanya kepada umat Islam, tapi untuk semua manusia, termasuk kepada alam. Tapi sayangnya wajah Islam yang cinta damai harus tertutupi oleh perilaku segelintir penganutnya yang menyimpang, bahkan bertentangan, dari pesan dan moral Islam.


D.      Terorisme atau Jihad
1.    Jihad Bukan Terorisme
Arti kata Jihad sering disalah pahami oleh yang tidak mengenal prinsip-prinsip Agama Islam sebagai 'perang suci' (holy war); istilah untuk perang adalah Qital, bukan Jihad. Jihad dalam bentuk perang dilaksanakan jika terjadi fitnah yang membahayakan eksistensi ummat (antara lain berupa serangan-serangan dari luar).
Pada dasar kata arti jihad adalah "berjuang" atau "berusaha dengan keras" , namun bukan harus berarti "perang dalam makna "fisik". Jika sekarang jihad lebih sering diartikan sebagai "perjuangan untuk agama", itu tidak harus berarti perjuangan fisik .
jika mengartikan jihad hanya sebagai peperangan fisik dan extern, untuk membela agama, akan sangat berbahaya, sebab akan mudah dimanfaatkan dan rentan terhadap fitnah.
jika mengartikan Jihad sebagai "perjuangan membela agama" , maka lebih tepat bahwa berJihad adalah: "perjuangan menegakkan syariat Islam". Sehingga berjihad haruslah dilakukan setiap saat, 24 jam sehari, sepanjang tahun, seumur hidup.
Jihad bisa berarti berjuang "Menyampaikan atau menjelaskan kepada orang lain kebenaran Ilahi Atau bisa berjihad dalam diri kita sendiri", Bisa saja berjihad adalah: "Memaksakan diri untuk bangun pagi dan salat Subuh, walau masih mengantuk dan dingin dan memaksakan orang lain untuk salat subuh dengan menyetel TOA mesjid dan memperdengarkan salat subuh".
Saat ini kerangka berfikir masyarakat tentang pengertian jihad hanyalah sebatas mengurusi syiar-syiar ibadah saja. Seperti halnya mempermasalahkan banyak orang yang tidak salat, padahal hal ini tidak murni dilakukan oleh prinsip seseorang, namun perlulah disadari bahwa setiap poin-poin syariat bukan sebatas harus dilakukan oleh perorangan tetapi oleh seluruh lapisan Islam di Jagad Raya. Karena perilaku seseorang terdapat pada nilai-nilai prosesi pembinaan terkait kelembagaan yang mengelola masyarakat. Dengan kata lain, sebetulnya kemerosotan moral masyarakat terbentuk oleh adanya sistem pemerintahan di dalam negeri yang sangat kuat berpengaruh pada setiap aspek kehidupan masyarakat. Contoh, kesenjangan ekonomi. Ekonomi adalah salah satu sektor yang dikuasai oleh pemerintahan. Hal ini mampu menyebabkan kerusakan pshychologis masyarakat jika sistem yang dijalankan adalah hasil buatan manusia yang sudah tentu tidak mampu mengatur semesta alam.
Hal di atas menyimpulkan bahwa Jihad harus mengkerucut pada penegakan Dien Islam di dunia. Sesuai dengan apa yang diajarkan oleh seorang tokoh revolusioner Islam, yakni Baginda Rosulullah Muhammad SAW. Juga berdasarkan Undang - Undang Allah yaitu Kitab Suci Al- Qur'an mengatakan bahwa " Allah mengutus RosulNya ( Muhammad ) dengan membawa petunjuk ( Al-Qur'an ) dan agama ( Dien/Sistem ) yang benar ( Islam ) untuk dimenangkannya di atas segala agama ( Dien/Sistem ), walaupun kaum musyrikin( Segolongan orang beridentitaskan Islam namun tidak mengakui syariat Islam bahkan secara halus memerangi Islam dengan Rezimnya, Contoh Idiologi Pancasila ) tidak menyukai
Terorisme tidak bisa dikategorikan sebagai Jihad; Jihad dalam bentuk perang harus jelas pihak-pihak mana saja yang terlibat dalam peperangan, seperti halnya perang yang dilakukan Nabi Muhammad yang mewakili Madinah melawan Makkah dan sekutu-sekutunya. Alasan perang tersebut terutama dipicu oleh kezaliman kaum Quraisy yang melanggar hak hidup kaum Muslimin yang berada di Makkah (termasuk perampasan harta kekayaan kaum Muslimin serta pengusiran).
“Mengapa kamu tidak mau berperang di jalan Allah dan (membela) orang-orang yang lemah baik laki-laki, wanita-wanita maupun anak-anak yang semuanya berdoa: "Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami dari negeri ini (Mekah) yang zalim penduduknya dan berilah kami pelindung dari sisi Engkau, dan berilah kami penolong dari sisi Engkau !".(QS 4:75)
Perang yang mengatasnamakan penegakan Islam namun tidak mengikuti Sunnah Rasul tidak bisa disebut Jihad. Sunnah Rasul untuk penegakkan Islam bermula dari dakwah tanpa kekerasan!, bukan dalam bentuk terorisme, hijrah ke wilayah yang aman dan menerima dakwah Rasul, kemudian mengaktualisasikan suatu masyarakat Islami (Ummah) yang bertujuan menegakkan Kekuasaan Allah di muka bumi
2.        Islam Agama Perdamaian
Islam selalu mengajak orang kepada perdamaian dan kerukunan. Islam tidak pernah mengizinkan seseorang untuk memerangi siapa pun yang tidak bersalah. Bahkan dalam konsep Islam, eksistensi sebuah agama diakui meski bukan untuk dibenarkan. Sehingga ide-ide untuk mengatakan bahwa semua agama adalah benar agar tidak terjadi bentrok sesama pemeluk agama, bukanlah ide yang bisa diterima dalam pandangan Islam. Karena konsep dasar Islam adalah mengakui eksistensi agama apapun serta menghormati para pemeluknya. Dan juga memberikan kebebasan untuk menjalankan ibadah sesuai dengan keyakinannya. Tetapi tanpa harus mengobral aqidah dengan mengatakan bahwa semua agama itu sama atau semua agama itu benar.
Sejarah telah membuktikan kepada kita bahwa Islam adalah satu-satunya agama yang mampu menghimpun semua pemeluk agama dalam sebuah masyarakat yang rukun, toleran dan hidup berdampingan dengan damai. Semua itu selama para pemeluk agama itu tidak melancarkan serangan dan permusuhan dengan umat Islam.
Namun dalam kondisi dimana umat Islam diperangi, maka Islam pun mengenal peperangan melawan kebatilan dengan melakukan kontak senjata. Dengan catatan bahwa peperangan dalam Islam adalah satu-satunya jenis peperangan yang paling beradab yang ada di muka bumi. Kalau pun harus terjadi kontak senjata melawan orang kafir, maka harus jelas dulu perjanjian dan syarat-syarat yang diajukan.
Selain itu jauh sebelum perang diizinkan, harus ada dakwah kepada mereka terlebih dahulu, baik dengan lisan mapun tulisan. Sehingga tidak terjadi perang sebelum mereka tahu persis apa itu Islam dan tahu bahwa agam mereka itu salah. Kalau pun mereka mengangkat senjata, mereka lakukan bukan karena tidak tahu apa itu Islam, tapi karena gengsi dan takabbur saja, sementara dalam hati mereka tidak bisa menolak kebenaran Islam

 






















BAB III
PENUTUP

A.      KESIMPULAN
1.      Jihad adalah berjuang dengan sungguh-sungguh menurut syariat Islam. Jihad dilaksanakan untuk menjalankan misi utama manusia yaitu menegakkan agama Allah atau menjaga agama tetap tegak, dengan cara-cara yang sesuai dengan garis perjuangan para Rasul dan Al-Quran.
2.      Sedangkan Terorisme adalah serangan-serangan terkoordinasi yang bertujuan membangkitkan perasaan teror terhadap sekelompok masyarakat. Terorisme tidak bisa dikategorikan sebagai Jihad, Jihad dalam bentuk perang harus jelas pihak-pihak mana saja yang terlibat dalam peperangan, Alasan perang tersebut terutama dipicu oleh kezaliman kaum Quraisy yang melanggar hak hidup kaum Muslimin
3.      Islam selalu mengajak orang kepada perdamaian dan kerukunan. Islam tidak pernah mengizinkan seseorang untuk memerangi siapa pun yang tidak bersalah. Namun dalam kondisi dimana umat Islam diperangi, maka Islam pun mengenal peperangan melawan kebatilan dengan melakukan kontak senjata, dengan syrat harus ada dakwah kepada mereka terlebih dahulu, baik dengan lisan mapun tulisan.
B.       SARAN
Setelah kita mengetahui perbedaan antara jihad dalam islam dengan terorisme diharapkan kita mampu untuk:
1.      merealisasikan arti jihad yang sebernanya dan tidak terpengaruh dengan aliran-aliran radikal yang mengatas namakan islam.
2.      Mengerti akan pentingnya jihad untuk menegakan eksistensi islam
3.      Bersama-sama memberantas Teroris
4.      Sebagai manusia biasa tentunya banyak kekurangan didalam makalah ini maka dari itu kami sangat mengharapkan saran dari para pembaca.




[2] Indriyanto Seno Adji, Bali, “Terorisme dan HAM” dalam Terorisme: Tragedi Umat Manusia, (Jakarta: O.C. Kaligis & Associates, 2001), hal.51.
[3] Hilmar Farid, “Perang Melawan Teroris”, <http://www.elsam.or.id/txt/asasi/2002_0910/05.html>
[4] Loebby Loqman, Analisis Hukum dan Perundang-Undangan Kejahatan terhadap Keamanan Negara di Indonesia, (Jakarta: Universitas Indonesia, 1990), hal. 98.
[5] Indriyanto Seno Adji, “Terorisme, Perpu No.1 tahun 2002 dalam Perspektif Hukum Pidana” dalam Terorisme: Tragedi Umat Manusia (Jakarta: O.C. Kaligis & Associates, 2001), hal. 35.
[6] Indriyanto Seno Adji, “Terorisme, Perpu No.1 tahun 2002 dalam Perspektif Hukum Pidana” dalam Terorisme: Tragedi Umat Manusia (Jakarta: O.C. Kaligis & Associates, 2001), hal. 50.
[7] Indriyanto Seno Adji, Bali, “Terorisme dan HAM” dalam Terorisme: Tragedi Umat Manusia, (Jakarta: O.C. Kaligis & Associates, 2001), hal.52
[8] Indonesia, Undang-Undang Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, UU No.15 tahun 2003, LN. No.45 tahun 2003, TLN. No.4284, Konsiderans.
[9] Loebby Loqman, Analisis Hukum dan Perundang-Undangan Kejahatan terhadap Keamanan Negara di Indonesia, (Jakarta: Universitas Indonesia, 1990), hal. 17.
[10] Ramelan, Ajaran Turut Serta (medeplegen) dalam Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Transnasionalisme, (Jakarta: Literata Lintas Media, 2010), Hal. 194
[11] Ramelan, Ajaran Turut Serta (medeplegen) dalam Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Transnasionalisme, (Jakarta: Literata Lintas Media, 2010), Hal. 7
[12] Abdul Qadir Djaelani,Jihad Fi Sabilillah dan Tantangan-Tantangannya, (Jakarta: CV Pedoman Ilmu Jaya, 1995), Cet. Ke -1, Hal 3
[13] Moenawar Khalil, Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad SAW, (Jakarta: Bulan Bintang, 1980), hal. 214
[14] Abdul Karim Zaidan, Dasar-Dasar Ilmu Da’wah Terjemahan, (Jakarta: Media Da’wah, 1983), hal 306
[15] Dr. Abdullah Azzam, Perang Jihad di Jaman Modern, (Jakarta: Gema Insani Press, 1992), Hal 12
[16] Abdul Qadir Djaelani,Jihad Fi Sabilillah dan Tantangan-Tantangannya, (Jakarta: CV Pedoman Ilmu Jaya, 1995), Cet. Ke -1, Hal 27
[17] Abdul Qadir Djaelani,Jihad Fi Sabilillah dan Tantangan-Tantangannya, (Jakarta: CV Pedoman Ilmu Jaya, 1995), Cet. Ke -1, Hal 29
[18] Abdul Qadir Djaelani,Jihad Fi Sabilillah dan Tantangan-Tantangannya, (Jakarta: CV Pedoman Ilmu Jaya, 1995), Cet. Ke -1, Hal 30
[19] Abdul Qadir Djaelani,Jihad Fi Sabilillah dan Tantangan-Tantangannya, (Jakarta: CV Pedoman Ilmu Jaya, 1995), Cet. Ke -1, Hal 3
[20] DR. Ali Syu’aibi Gil Kibil, Meluruskan Radikalisme Islam, (Ciputat: Pustaka Azhary, 2004), Cet. 1 Hal. 276
[21] DR. Ali Syu’aibi Gil Kibil, Meluruskan Radikalisme Islam, (Ciputat: Pustaka Azhary, 2004), Cet. 1 Hal. 278
[22] DR. Ali Syu’aibi Gil Kibil, Meluruskan Radikalisme Islam, (Ciputat: Pustaka Azhary, 2004), Cet. 1 Hal. 284
[23] DR. Ali Syu’aibi Gil Kibil, Meluruskan Radikalisme Islam, (Ciputat: Pustaka Azhary, 2004), Cet. 1 Hal. 285
[24] Bernard Lewis, Krisis Islam Antara Jihad dan Terorisme, (Jakarta: PT. Ina Publikatama, 2004), Hal. 143
[25] Prof. Dr. A. Syafii Maarif, Meluruskan Makna Jihad, (Jakarta: Center For Moderate Muslim[CMM], 2005), Hal 2-3

2 komentar:

dunia ini memang indah,, tergantung bagaimana kita menjaga keindahan itu,,. untuk itu mari kita bersatu, satu pikiran satu tujuan untuk Indonesia merdeka,.. berpisah kita berjuang bersatu kita memukul..